Introspeksi Etika Pembangunan : Geologi Lingkungan
BENCANA BANJIR : INTROSPEKSI
ETIKA PEMBANGUNAN
Oleh M. Anwar Siregar
Bencana banjir di Indonesia kini merupakan
pemandangan setiap hari yang disuguhkan oleh “sarapan” berbagai media di tanah
air, lokasi kejadian ada kalanya di tempat yang sama seperti yang kita lihat di
Jakarta, Medan dan Padang setiap tahun, bahwa hilangnya keseimbangan alam dapat
terjadi dan dipengaruhi oleh kegiatan manusia, sehingga menimbulkan bencana
alam banjir. Contoh yang paling jelas dan sudah banyak diketahui tetapi masih
berulangkali dilakukan yaitu penebangan hutan yang semena-mena dengan
menganggap hutan sebagai sumber daya tidak terbatas.
Hutan di Indonesia kini semakin terbatas serta
memasuki “sakratul maut”, dan ruang banjir kini semakin meluas ke kawasan
pemukiman elite, gambaran banjir tersebut dapat dilihat di kota besar Jakarta,
Medan dan Makassar akibat kemajuan pembangunan fisik non ruang hijau terbuka
atau RTH.
RUANG BANJIR
Terkait dengan proses-proses yang menyebabkan banjir, tidak terlepas akibat dari gangguan
tata ruang siklus geohidrologi, yang ditimbulkan dari berbagai
aktivitas pembangunan fisik terutama oleh intervensi dari manusia dapat
menyebabkan bencana banjir. Banjir merupakan bencana alam sering terjadi
di Medan dan Jakarta, merupakan suatu peristiwa di mana air meluap ke
daratan lebih rendah hingga mendekati daratan yang tinggi dengan batas
tertentu, dapat menyebabkan dan menimbulkan kerugian fisik dan berdampak
pada bidang sosial dan ekonomi.
Ruang-ruang yang
menyebabkan terjadinya banjir di kota besar antara lain beralih
fungsinya DAS menjadi kawasan hunian kumuh, yaitu sebagai wilayah fungsi
peresapan dan wilayah pengatusan [dranaise], sehingga menimbulkan
banjir-banjir lokal karena tersumbatnya saluran drainase oleh sampah
rumah tangga, galian-galian pipa di sekitar bantaran sungai yang tidak
kunjung selesai oleh kegiatan pembangunan yang dilaksanakan tidak
terpadu antara satu sektor dengan sektor lainnya
Beralih fungsinya kawasan
resapan air di hulu hutan oleh berbagai peruntukkan, yang berperan
penting dalam siklus hidrologi di suatu DAS, ketika terjadi hujan maka
banjir merata
di semua tempat dengan intensitas yang tinggi, vegetasi penutup yang
ada tidak lagi mampu mengendalikan aliran permukaan dan di dukung
geologi topografi terjal di daerah hulu yang berubah menjadi datar di
daerah hilir sehingga menjadi sangat responsibilitas dalam mengalirkan
aliran permukaan, menyebabkan banjir dan meluap menggenangi daerah
sekitarnya.
Peningkatan pertumbuhan
penduduk adalah salah satu faktor perusak sistim tatanan aliran sungai
dengan beralih fungsinya tata guna lahan pada lereng hutan yang terjal
sebagai kawasan resapan, sebagai contoh daerah hutan pada morfologi agak
terjal biasanya di tanam oleh tanaman keras berubah menjadi areal
persawahan oleh tanaman musiman. Maka akhir dari perilaku ini adalah
terjadinya penderasan air menuju ke daratan rendah, tak terbendung dan
menimbulkan bencana banjir bandang tiap tahun
EGOSENTRIS ETIKA
Yang membuat semakin
rawan kondisi suatu kota bukan saja faktor alam, melainkan juga egois
dan etika manusia yang mendiami suatu lingkungan. Esensi kritis diri
dalam penegakkan aturan perencanaan serta perundang-undangan hukum tata
ruang dan lingkungan serta egosentris dalam pemanfaatan tata ruang yang
menyebabkan banjir dikondisikan oleh sosial budaya masyarakat yang
serakah akibat dorongan libido ekonomi manusia Indonesia dalam
memanfaatkan kondisi alam dan tidak mampu menjaga hubungan harmonisasi
dengan alam akibat rasionalitas ekonomi politik yang membudaya dalam
bentuk kehidupan konsumtif pembangunan.
Contoh kasus bencana
banjir di kawasan Puncak [Jawa Barat] dan kawasan inti kota besar dan
kecil berkembang di Medan, Padang serta Semarang berubah menjadi kawasan
heritage-kuliner, disebabkan ketidakmampuan manusia Indonesia
menyiapkan pembangunan suatu tata ruang yang ideal bagi sebuah kota yang
aman, menata kelestarian ruang ekologi banjir, membangun sumber daya
geo-biodiversity serta menegakan aturan zonasi fisik yang bersifat efek
memaksa, hanya ‘indah diatas kertas”. Pengorbanan daerah hijau yang
sepantasnya sebagai keseimbangan alam berakhir pada kemauan komoditas (fetisisme].
Keadaan ini masih
diperparah dengan rendahnya etika kesadaran masyarakat akan pentingnya
kelestarian RTH oleh berbagai latar belakang pendidikan yang tinggi dan
mereka pasti paham arti pentingnya sistim ekologi hijau sebagai
pengendali banjir, yang justrunya menunjukkan ego kepentingan penyebab
utama kerusakan lingkungan, tingkat laku dapat diperlihatkan oleh
pembangunan vila-vila mewah di kawasan Puncak menghancurkan perkebunan
teh, di daerah kawasan pantai dengan menghancurkan hutan mangrove
berfungsi sebagai pemecah gelombang tsunami, namun dianggap “angin”
dengan prinsip keuntungan bisnis lebih dulu dan kerugian alam urusan
belakangan di pikirkan sehingga kita melihat berbagai “danau baru” di
lingkungan kehidupan kita.
Egosentris masih
dapat dilihat dari kondisi sosial ekonomi kehidupan masyarakat dalam
perencanaan tata ruang kota yang tidak berorientasi kepada kemampuan
pertumbuhan ekonomi yang dapat menimbulkan konflik horizontal karena
wujud kota hanya ditekankan kepada kemampuan masyarakat yang telah mapan
sehingga tidak akan terpengaruhi perubahan. Dimana sistim penunjang
hanya berorientasi kepada kalangan masyarakat ekonomi mampu sehingga
menjadikan kota sangat egois, kurang manusiawi dan menimbulkan
kecemburuan sosial, tingkat keamanan berkurang. Dampak ini, mendorong
masyarakat kecil semakin termarginal dan membentuk pola tata ruang
kumuh, dapat menimbulkan ancaman bencana, didorong ketidakmampuan
mendapatkan sumber kehidupan layak dengan bertempat di kawasan dan
bantaran ruang banjir seperti di kawasan
hutan dan bantaran daerah aliran sungai [DAS].
INTROSPEKSI PEMBANGUNAN
Ada beberapa introspeksi
agar menjadikan wujud etika yang baik dalam membangun tata ruang banjir
antara lain : pertama, mempertahankan dan meningkatkan lahan pertanian
subur menjadi lahan pertanian abadi sebagai kawasan RTH yang banyak
terdapat di jalur-jalur transportasi antar wilayah.
Kedua, izin
pembangunan yang harus dipatuhi oleh segenap stake holder, pemerintah
dan masyarakat agar terjadi keserasian peraturan daerah yang telah
ditetapkan bila suatu peruntukan lahan telah ditetapkan sebagai zona
kawasan terbuka hijau sebagai zona sanggahan bencana dan begitu juga
sebaliknya sebagai daerah yang diijinkan untuk kawasan pemukiman.
Ketiga, kebijakan
penegakan hukum yang harus tegas dan adil bagi semua di mata hukum,
bukan indah diatas kertas. Keempat, peningkatan pengetahuan masyarakat
yang kurang sadar akan bahaya banjir lingkungan terus ditingkatkan serta
kelima, pemerataan pembangunan untuk semua rakyat harus menjadi
introspeksi bagi pemerintah agar tidak terjadi berbagai konflik rakyat
dengan pemerintah.
introspeksi ini
perlu dibudayakanh agar efek bencana banjir dapat dikendalikan dan
peran
pemerintah agar dapat menekan egosentris etika agar ditemukan
keselarasan, tetapi itu yang terjadi dan berlangsung sampai sekarang,
banjir tiada surut tanpa tahun terlewat, kerugian dan kemiskinan terus
bertambah. Adakah anda telah sedia payung sebelum hujan?
M. Anwar Siregar
Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan
dan Energi Geosfer, Tulisan ini sudah diterbitkan di HARIAN "ANALISA" MEDAN, Tgl 10 Maret 2013
Komentar
Posting Komentar