Mar 21, 2013

Menuju Medan Kota Bebas Banjir : Geologi Lingkungan

MENUJU MEDAN KOTA BEBAS BANJIR
Oleh M. Anwar Siregar

Masalah lingkungan yang sangat ini kita hadapi adalah merupakan masalah ekologi lingkungan manusia yang timbul karena perubahan lingkungan yang menyebabkan lingkungan itu tidak sesuai lagi untuk mendukung kehidupan manusia karena daya dukung lingkungan telah mengalami kerusakan. Masalah lingkungan terutama pemanasan global, akibat efek energi terhadap lingkungan, dapat juga disebabkan oleh penataan ruang hijau terbuka yang berkurang dan kini menjadi “PR” bagi kota-kota besar di Indonesia, salah satunya kota Medan, harus merefleksikan keadaan tersebut agar menjadi kota yang layak dihuni, humanis dengan lingkungan bagi 10 juta penduduknya.
BERBASIS EKOLOGI BIOPORI
Pembangunan ekologi hijau di kota Medan memerlukan perencanaan berkelanjutan agar kota ini menjadi kota yang layak di huni, harmonisasi dengan ekologi hijau terbuka yaitu pembangunan ruang hijau terbuka sebagai upaya solusi mitigasi dini, dikonsentrasikan sebagai kota berbasis bencana ekologi biopori.
Solusi tersebut, untuk mengatasi banjir dengan menata kawasan hijau dipinggiran sungai menuju ke inti kota. Tata ruang hijau dapat difungsikan di kawasan pintu gerbang perbatasan Medan sekitarnya, untuk mencegah berkurangnya daerah rawa-rawa, serta mengidentifikasi wilayah itu apakah daerah rawan zona lintasan banjir, banjir rob, banjir raksasa (tsunamis) ataukah zona wilayah rawan jangkauan erupsi banjir lava-lahar hujan gunungapi Sibayak dan Sinabung ke wilayah Kota Medan dalam rangka mereduksi dampak bencana fisik dan alamiah kepada penduduk yang datang secara berkala.
Selain menata tata ruang hijau untuk kawasan banjir maka Medan harus menjadi negeri biopori terbanyak di Indonesia, yang terbukti salah satu dapat mencegah dan mengurangi dampak banjir akibat keterbatasan lahan hijau, biopori dapat digunakan untuk mencegah rembesan air dan mengurangi kekeringan air akibat tingkat keakaran pohon hijau mengalami kondisi distabilitas oleh konstruksi beton. Fungsi biopori dapat memberikan berbagai keuntungan bagi kelanjutan tata ruang air dan siklus air bersih berkelanjutan, geohidrologi air akan berjalan lancar, memberikan efek sampingan yaitu terjadi keseimbangan dan kekuatan tanah tetap stabil, sehingga bangunan diatasnya tidak mengalami gejala fleksure dan gerakan tanah.
Namun saat ini, RTH di Medan tersedia seluas 10 persen dari yang diamanahkan UU tahun 2006 minimal 30 persen atau sekitar 3.000 ha, kawasan RTH dapat difungsikan sebagai kawasan biopori, karena Medan memiliki tingkat curah hujan yang tinggi, sehingga memerlukan rongga-rongga tanah yang terbuka, sebagai alternatif terbaik dari pembuatan drainase yang sering mengalami penyumbatan penyebab genangan air dan banjir serta tingkat kesadaran masyarakat dalam pemeliharaan masih rendah.
KOTA BERBASIS AIR
Potensi bencana banjir masih mengancam Medan di masa mendatang, strategis ancaman banjir kiriman dan kemajuan pembangunan fisik akibat laju peningkatan prasarana khususnya dibidang Jalan, maka pemkot Medan harus memperbanyak ruang-ruang kanal banjir agar terkenal menjadi kota berbasis air, selain kota berbasis ekologi biopori, dengan memadukan sistim zonasi sanggahan RTH agar layak sebagai kota peraih Adipura.
Salah satu solusi kota berbasis air dengan melakukan studi banding di kota-kota yang memiliki karakteristik geologi banjir. Sebab, tata ruang topografi kota Medan memiliki ketinggian sekitar 25 meter di atas permukaan air laut (dpl), Medan diidentifikasi memiliki 90 titik rawan genangan air mencapai lebih 1.570 ha dan memiliki tiga jalur banjir bandang, terbentang dari utara hingga ke inti kota yang diperlihatkan oleh Sungai Belawan dan dari selatan ke inti kota melalui bagian baratdaya oleh Sungai Deli dan terus berputar-putar ke sungai Percut di bagian timur menuju ke inti kota bagaikan tsunami. Dan kanal banjir yang dibangun di kawasan Selatan Medan tidak akan mampu menampung hujan apalagi kiriman banjir lewat Sungai Deli, Sungai Babura dan Sungai Kwala yang membelah inti kota Medan.
Untuk menjadi kota berbasis air, atau kota dengan kemampuan menampung debit air yang tinggi maka kota harus dirancang dengan pembangunan fisik dengan sebutan “kota seratus kanal” ataupun “kota berbasis sejuta ekologis rawa”. Dengan mempertimbangkan kondisi DAS yang membelah kota Medan dengan menimalisasi eskalasi urbanisasi yang sering membentuk kawasan “tata ruang kumuh”.
Kajian dan pengelolaan kerentanan fisik banjir harus dilakukan Pemko Medan secara menyeluruh melalui survey investigation design dan perencanaan yang dilengkapi dengan detail engineering design yang sesuai dengan kondisi geologi bawah permukaan maupun geologi permukaan setempat secara terukur serta diperlukan menata ulang tata ruang berupa pengadaan master plan baru di kawasan kumuh di sekitar dan bantaran DAS atau bisa dijadikan “land recovery” dalam bentuk tatanan lingkungan ekologi rawa-rawa.
Untuk mencegah kehilangan daerah rawa di perbatasan wilayah, pemko Medan dapat saja melakukan pembelian dan menjadikan fungsi ekologis air, fungsi perluasan taman dan areal perkebunan produktif serta pertanian melalui instansi terkait agar dapat diintegrasikan ke dalam pengelolaan mitigasi resiko bencana untuk mereduksi bahkan meniadakan dampak yang ditimbulkan ke dalam tata ruang akibat banjir.

M. Anwar Siregar
Geolog, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer, Artikel ono sudah diterbitkan di HARIAN "ANALISA" MEDAN Januari 2013

No comments:

Post a Comment

Related Posts :