23 Apr 2015

GEMPA MALUKU DI LEMPENG “HILANG” : Geologi Disaster


GEMPA MALUKU DI LEMPENG “HILANG”
Oleh : M. Anwar Siregar
Gempa di Kepulauan Maluku dan Sulawesi Utara 15 November 2014 merupakan daerah pertemuan triple junction plate, daerah dengan tingkat kebencanaan geologi yang tinggi, tidak mengherankan seringkali terjadi gempa dengan skala yang cukup kuat setiap bulan. Gempa dan tsunami sudah pernah terjadi didaerah ini, menenggelamkan beberapa Desa-desa pada abad 18 lalu, dan sebagian daerahnya terbentuk oleh proses geologi subduksi antar lempeng yang membentuk rangkaian kepulauan pegunungan api yang kompleks.
Gempa dan vulkanik merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Maluku yang mesti disingkapi dengan arif, bahwa wilayah Kepulauan Maluku merupakan daerah pertemuan Sirkum Mediteran dan Sirkum Pasifik yang melingkar dan bertemu langsung dititik hunjaman parit Banda Neira sebagai batas lempeng Paparan Sahul, di luar titik hunjaman lempeng Kepulauan Maluku masih terdapat zona lingkaran ruang kosong atau seismic gap gempa yang kompleks oleh proses pembentukan lempeng bumi di masa silam.
BUSUR GUNUNGAPI
Serangkaian gempa yang terjadi diwilayah Kepulauan Maluku merupakan akumulasi energi yang tertekan akibat penekanan dan penghancuran batuan di zona litosfera, yang membutuhkan ruang terbaru dalam proses kontinen dalam membangun arsitektur bumi yang baru untuk menuju keseimbangan. Proses pembangunan ruang arisitektur kerak bumi itu telah membentuk berbagai pegunungan yang tidak terlihat dibawah laut. Karakteritik geologi wilayah perairan Maluku ada kemiripan dengan di perairan Pantai Barat Sumatera, keduanya sering terjadi gempa-gempa kuat dan merupakan polarisasi dari gerakan pembalikan energi keseimbangan antara Samudera Pasifik dengan Samudera Hindia, silih berganti melepaskan energi gempa. Terbentuk rangkaian pulau-pulau kecil subdukasi atau busur-busur kepulauan gunungapi yang memanjang sebagai bagian dari kelanjutan “ring of fire”, yang saling berinteraksi, berotasi, bersinggungan dengan jalur pertumbukan dan pemisahan antar lempeng, jalur vulkanik yang aktif dan panjang, sehingga gempa dapat terjadi serentak dengan gempa vulkanik yang dapat menekan zona a-seismik di daerah daratan Papua.

Interaksi lempeng di kawasan utara Sulewesi dan Maluku 
(Sumber Gambar : Internet dan berbagai sumber)

LEMPENG “HILANG”
Penyebab utama sering berlangsung gempa-gempa di Kawasan Indonesia Timur sebelum kejadian gempa dahsyat sekarang karena ada “ruang kosong” di perairan Maluku, ada lempeng “terlumatkan” memberikan keleluasan bagi gerak Lempeng Philipina dan Lempeng Carolina-Pasifik dengan tipe pertumbukan antar lempeng sebagai model dominan yang akan membentuk jenis-jenis sesar yang terdapat di daratan dan Laut Maluku Sulawesi.
Kondisi pembentukan geologi Kepulauan Maluku terjadi dimasa pembentukan Lempeng Sahul yang sekarang membujur di dasar Laut Maluku dan Halmahera dan melingkar di Laut Kepulauan Banda Neira dengan puluhan zona subduksi yang luas dengan pembagian mikrozonasi kegempaan yang aktif sehingga memerlukan penataan ruang kota-pulau dan kota darat yang berketahanan bencana.
Selama proses pembentukan daratan dan Pulau Maluku, terjadi terus menerus penekanan dua lempeng di Samudera Pasifik yang membentang di utaranya, penekanan lempeng Pasifik akibat kondisi anomaly magnetic yang tidak beraturan itu mampu menarik lebih kuat lempeng-lempeng kecil di Samudera Pasifik yang sudah terpecah-pecah lalu bergerak ke perairan Laut Maluku dan Kepulauan Sangihe. Proses penarikan oleh akumulasi dari polarisasi anomali yang kompleks. Terbentuk pola pembenturan simpang empat di Kepulauan Halmahera dan Teluk Tomini. Lempeng Maluku yang berada diantara kelima lempeng tersebut mengalami penghancuran dan terlumatkan ke dalam Lempeng Halmahera.
Akibat penyumatan terhadap Lempeng Maluku terbentuk lajur panjang patahan dan subduksi, membelah busur-busur vulkanis atau Kepulauan Maluku sekarang dengan berbagai jenis patahan/sesar lokal yang rumit, berinteraksi, berotasi satu sama lain, bersambung ke daratan Papua.
SUBDUKSI PATAHAN MALUKU
Gempa Maluku merupakan akibat fenomena geologi antara lain subduksi di patahan Maluku, akibat terjadinya penekanan oleh pergerakan lempeng di sekitar Maluku dan struktur zona kerak bumi yang rapuh oleh lempeng yang terlumatkan.
Pemicu gempa di kawasan Maluku secara keseluruhan dapat terjadi oleh subduksi dari interaksi antara tiga-empat lempeng, yaitu Lempeng Pasifik disebelah timur, Lempeng Eurasia di barat dan Lempeng Philipina yang mengarah ke barat laut, Lempeng Indo-Australia ke utara menuju sepanjang batas Lempeng Sunda di Laut Banda, yeng bergerak dengan tipe pertemuan lempeng yang saling berhadapan. Dampak tatanan geologi berupa terbentuk pulau-pulau pegunungan yang tersembul di permukaan dan rangkaian pegunungan api bawah laut dengan palung sangat dalam.
Kompleksitas di zona subduksi patahan Kepulauan Maluku semakin rumit, ada jurang pemisah antara ruang kosong seismik gap dengan sesar-sesar tidak aktif yang tertimbun oleh peledakan gunungapi bawah laut, terdapat juga parit yang panjang melingkar seperti “mangkuk” disekitar Kepulauan Seram menuju ke palung Laut Timor, pola sesar yang bergeser vertikal oleh penekanan gerak Lempeng Pasifik terhadap Lempeng Eurasia dengan titik pusat tekanan di Lempeng Sahul, seperti halnya Lempeng Sumatera yang ditekan oleh Lempeng Indo-Australia sehingga menimbulkan kejadian gempa dan tsunami.
Lajur patahan di subduksi Maluku ada juga yang berbentuk pola gerak frontal dan berinteraksi dengan lajur patahan subduksi tegak lurus di Teluk Tomini bisa mencapai panjang 100 km. Penekanan Lempeng Philipina membuka jalur baru penumbukan bersama Lempeng Pasifik, pembebanan terhadap Lempeng Sangihe ke Lempeng Halmahera menyebabkan terkompres dan terpatahkan secara vertikal ataupun bergeser, kondisi ini membangkitkan energi kekuatan gempa di pulau-pulau vulkanis dilingkaran Laut Banda, akibatnya ada gempa secara serentak dilokasi yang berbeda, dipicu gerak frontal dari perubahan anomali disekitar zona patahan yang ada di Laut Sulawesi dan utara Papua Barat.
Adanya pergeseran dan persentuhan kedua Lempeng Sangihe dan Lempeng Halmahera di sekitar lempeng yang hilang itu sehingga tampak jelas ada kelanjutan penekanan semakin kedalam di sekitar ujung Pulau Sulawesi menuju ke Laut Maluku, tidak mengherankan terjadi gempa yang hampir bersamaan dengan Gempa Manado dengan kekuatan 6.3 Skala Richter dan di susul beberapa jam kemudian menekan gempa Bitung dengan 5.3 SR, membuka perubahan kerentanan patahan naik yang tidak aktif serta sesar geser mendatar yang ditandai oleh pergeseran Lempeng Pasifik di barat Laut Biak, bersambung ke patahan subduksi Mayu. Kondisi geologi bawah permukaan ada gangguan ketinggian dan perubahan batimetri kelautan, melingkar ke Palung Seram dan menerus di Patahan Palung Timor . Panjang Patahan yang bersentuhan di zona subduksi Mayu dapat mencapai ratusasn kilometer karena ada interaksi Lempeng Pasifik dengan patahan Sorong sehingga gempa akan terasa kuat ke wilayah Australia dan Selandia Baru disebabkan ada zona subduksi disekita Laut Aru, terdapat Palung Aru.
Interaksi antar patahan ini perlu diperhitungkan bagi daerah yang rawan bencana gempa karena dapat saling memicu gempa pada zona subduksi yang berdekatan dan bersinggungan dengan gempa vulkanik yang banyak terdapat di Kepulauan Maluku dan Sulut di Samudera Pasifik. Bentuk kondisi patahan geologi seperti ini berpeluang menghasilkan tsunami maut dan mungkin megathrus terbesar kedua di Asia Tenggara.
TINGKATKAN KEWASPADAAN
Pemerintah dan masyarakat perlu memperhatikan gejala alam geologi tempat dimana aktivitas kehidupan berlangsung, antara lain kondisi tanah tempat bangunan seperti struktur pondasi bangunan yang besar dan berat, perubahan kondisi badan jalan dan jembatan, kekuatan pondasi bendungan dan jalan tol., bentuk perubahan geometri lereng sepanjang jalan, keadaan pola aliran sungai, gerakan tanah yang sering berlangsung.
Kewaspadaan dan siap siaga masyarakat yang perlu ditingkatkan, meningkatkan pengetahuan tentang bencana geologi dan pemahaman bangunan tempat tinggal dan kemampuan mengendalikan diri ketika gempa berlangsung.
Pemerintah daerah wajib juga memberikan penyuluhan dan sosialisasi penyebaran informasi geologi didaerah rawan bencana kepada masyarakat secara berkala dalam upaya pengurangan korban bencana alam dan pembangunan fisik yang berbasis mitigasi masyarakat.
M. Anwar Siregar
Envoromental Geologis, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer. Tulisan ini sudah dipublikasi di HARIAN ANALISA MEDAN, 2015
http://analisadaily.com/opini/news/



MEMAHAMI BENCANA LINGKUNGAN DALAM KEHIDUPAN

MEMAHAMI BENCANA LINGKUNGAN DALAM KEHIDUPAN
Oleh M. Anwar Siregar
Secara sederhana, bencana bisa didefinisikan sebagai suatu gangguan serius lingkungan terhadap fungsi-fungsi dalam lingkungan manusia yang menyebabkan kerugian ataupun kehilangan nyawa bagi makhluk hidup terutama bagi manusia serta material maupun penurunan daya dukung lingkungan akibat terbatasnya kemampuan lingkungan dalam mengikuti peningkatan populasi manusia di bumi untuk memulihkan kapasitas sumber daya kehidupan.
Sedangkan Mitigasi adalah bagian dari pengurangan risiko yaitu menjinakan, oleh karenanya, pengolahan manajemen risiko yang komprehensif terhadap ancaman bencana sangat dibutuhkan untuk mengurangi kerugian akibat bencana geologis, bencana klimatologi dan bencana sosial dalam suatu tata ruang lingkungan.
DINAMIKA MANUSIA
Manusia adalah dinamisator lingkungan yang paling kuat. Mengutip buku Guns, Germ and Steel karya Geografer Jared Diamond, bahwa posisi geografis mempengaruhi perilaku dan dinamika sosial masyarakat dalam menciptakan peradaban manusia di muka bumi, memiliki kemampuan logika dalam mengeksplorasi sumber daya alam dengan penyesuaian dengan lingkungan, beradaptasi berbagai perubahan lingkungan dengan daya logis yang diciptakan melalui ilmu pengetahuan dan teknologi yang membentuk peradaban dan budaya mereka.
Dengan peradaban iptek ini manusia menciptakan budaya dan sekaligus juga berhadapan dengan kondisi yang kini mengancam kehidupan mereka melalui berbagai perusakan lingkungan di muka bumi, budaya yang tercipta, tergali dari alam kadang kini diabaikan sehingga menimbulkan permasalahan bencana lingkungan, berbagai kearifan yang mengutamakan unsur-unsur kolektivitas dalam menjaga keserasian alam mulai terkikis, akibat adanya egoisme diri, pembangunan yang ada kadang tidak dilengkapi oleh mekanisme demokratis sehingga mendorong masyarakat mencari tempat hunian di daerah rawan bencana, sehingga hal ini menimbulkan kompleksitas bencana dalam suatu tata ruang sehingga akar permasalahan semakin kompleks.
Dinamika kearifan budaya manusia seharusnya menjadi pengendali konflik tata guna lahan, dapat memfasilitasi kepentingan yang tersembunyi dari keserakahan individu dalam pemanfaatan kondisi lokal untuk keberlanjutan hidup masyarakat yang di daerah rawan bencana, lihat kejadian bencana lingkungan kabut asap dari kebakaran lahan dan hutan untuk perluasan perkebunan, kepentingan ekonomi.
KOMPLEKSITAS BENCANA
Mengkategorikan beberapa model bencana lingkungan sebagai upaya untuk mengurangi tingkat bencana di tengah masyarakat dan lingkungan hidup berdasarkan jenis ancamannya perlu dipahami lebih dulu dan sosialisasi secara berkala antara lain yaitu Pertama, penyebab bencana bisa berasal dari ancaman alam dan berasal dari ancaman buatan manusia. Bila dua jenis kategori ancaman ini bersamaan menyumbangkan bencana akan menimbulkan resiko lost generation dan multi crisis bagi dunia.
Kedua, berdasarkan frekuensi dan resiko bencana dapat diketahui masyarakat melalui kekerapan terjadinya berbagai jenis bencana yang terjadi lebih dari satu jenis bencana, sebagai contoh bencana banjir yang sering terjadi dengan frekuensi lebih dari sekali dalam sebulan yang menghasilkan bencana banjir yang sering terjadi di Indonesia akan menimbulkan dampak resiko yang menjadi lebih besar bagi aktivitas manusia dengan berbagai efek yang mengikutinya, misalnya terputus jalur logistik, jalur transportasi, kendala penerbangan, korban tidak pernah menurun. (Studi kejadian, bencana banjir Jakarta dan beberapa kabupaten di NAD).
Ketiga, dengan frekuensi bencana yang sering terjadi akan diketahui tingkat durasi dampak berdasarkan cepat atau lamanya kejadian yang dirasakan, misalnya gempa bumi, ataupun bencana banjir bandang yang dapat tercatat dalam hitungan beberapa menit atau jam, sedangkan bencana kekeringan bisa dalam hitungan bulan atau tahun. Durasi dampak bencana perlu diingat karena kejadiannya akan sering berulang sehingga perlu budaya SOP mitigasi secara menyeluruh. (Letusan gunung api di beberapa wilayah di Indonesia).
Keempat, dengan mengetahui durasi dampak bencana maka diketahui kapan laju kecepatan bencana terjadi, laju kecepatan terjadinya suatu bencana dapat dihubungkan dengan jarak antara gejala/indikator yang bisa diprediksi. Contoh, khususnya gempa bumi dapat dikategori dalam lingkup yang tidak diprekdisi kapan terjadi namun siklus kejadiannya dapat diperkirakan, namun tsunami terjadi tiba-tiba dan antara jarak lokasi bahaya dengan indikator dalam hitungan menit sebelum kejadian bencana menimpah suatu kawasan (Belajar atau pelajaran dari gempa dan tsunami Aceh dan Mentawai).
Kelima, berdasarkan lingkup ukuran dampak bencana bisa mencakup beberapa luas kewilayahan. Misalnya letusan gunung Sinabung hanya berdampak beberapa wilayah, seperti hembusan awan panas ke Medan dalam ukuran wilayah terbatas, sedang kekeringan bisa mencakup beberapa kota/kabupaten, propinsi atau suatu negara.
Keenam, berdasarkan potensi merusak maka masyarakat perlu membuat kategori perencanaan darurat dalam suatu wilayah, misalnya bencana banjir yang menyebabkan kematian manusia, memberikan kerugian ekonomi yang lebih besar tingkat kepulihan dalam bentuk bulanan. Ketujuh, bencana ada yang dapat diprediksi dan ada tidak dapat diprediksi dan memerlukan suatu kajian penataan ruang karena mencakup aspek luasan dampaknya seperti bencana gempa bumi sulit diprediksi.
BUDAYA SOP
Berdasarkan pemahaman kompleksitas dari bencana, maka komponen-komponen infrastruktur yang terbangun merupakan upaya pemenuhan kegiatan pengurangan resiko bencana. Namun belum diimbangi oleh pengetahuan dan pemahaman serta tindak nyata warga terkait pengurangan resiko bencana belum seimbang dengan prasarana dasar lingkungan permukiman yang telah terbangun.
Bertitik tolak dari berbagai bencana lingkungan yang berlangsung di Indonesia, maka perlu ditingkat budaya SOP mitigasi bencana lingkungan dalam kehidupan masyarakat Indonesia terutama yang paling mendesak adalah peningkatan kesadaran penyelamatan dan pelestarian hutan serta terumbu karang sebagai upaya pengendali minimal mengurangi efek perubahan iklim global yang kini sangat terasa di Indonesia, perlu upaya peningkatan pengetahuan dan pemahaman serta keterampilan pengetahuan lingkungan dalam menghadapi bencana. Kegiatan yang perlu ditingkatkan adalah membudayakan SOP mitigasi komprehensif dari tingkat komunitas dan atau desa/kelurahan untuk menghasilkan daya tahan terhadap bencana.
Sistim SOP mitigasi yang komprehensif tidak akan berjalan dengan baik jika tidak didukung oleh pola koordinasi organisasi yang tertata rapi. BNPB sebagai koordinasi penanggulangan bencana harus memiliki mobilitas yang tinggi dalam bergerak cepat untuk melakukan koordinasi antar lembaga dengan membangun serta menerapkan sistim informasi daerah bahaya dan terdapat potensi terjadinya bencana. Kerjasama antar lembaga riset dan perlu ditingkatkan untuk membangun kapasitas kesiagsiagaan, berupaya meretas rumitnya jalur biroktrasi manajemen pananggulangan bencana di Indonesia.
Pemerintah sekarang, harus memiliki visi kebencanaan yang tegas sesuai Undang-undang yang ada, agar penanganan bencana dalam kehidupan masyarakat maupun pemangku kepentingan tidak menggunakan istilah ”bencana dulu baru belajar kemudian”, budaya pikiran seperti ini seharusnya tidak lagi menjadi landasan/pegangan hidup di negeri yang telah diciptakan sebagai negeri yang bermacam menghadapi bencana dengan berbagai variasi tingkatan bahaya. Agar masyarakat tidak terkaget-kaget, panik dan menyebarkan isu-isu yang tidak bertanggung jawab ketika terjadi bencana, melemparkan tanggung jawab sehingga menimbulkan euforia ketakutan, serta pembiaran kerusakan lingkungan seperti kebakaran hutan sehingga menimbulkan bencana kabut asap antar negara.
Dengan pemahaman visi kebencanaan serta berbagai peraturan penanggulangan bencana dalam kehidupan masyarakat Indonesia, maka niscaya kita akan memiliki serta terbentuk sebuah masyarakat dan lingkungan yang tangguh menghadapi bencana, mandiri serta mampu membangun kapasitas dalam memulihkan diri dengan segera dari berbagai trauma bencana.
M. Anwar Siregar
Enviromental Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer. Tulisan ini sudah dipublikasi di HARIAN ANALISA MEDAN, Januari 2015
http://analisadaily.com/lingkungan/news/memahami-bencana-lingkungan-dalam-kehidupan/97246/2015/01/11

TAHUN 2015 : WASPADA TRIBENCANA GEOLOGIS-KLIMATOLOGIS : Geologi Disaster

TAHUN 2015 : WASPADA TRIBENCANA GEOLOGIS-KLIMATOLOGIS
Oleh M.  Anwar Siregar
Sepanjang tahun 2014, Ibu pertiwi tidak pernah absen berduka cita, dari kehadiran bencana geologis (gempa, gunungapi meletus dan gerakan tanah/longsor) serta bencana klimatologis yang terus hadir silih berganti “arisan bencana” banjir (curah hujan tinggi), angin puting beliung, cuaca iklim ektrim serta gelombang air laut dan kebakaran (kabut asap hutan, perkebunan dan pertambangan, dan terakhir musibah hilangnya pesawat air asia QZ 8501 akibat cuaca ekstrim di langit udara Indonesia.
Dampak dari dua jenis bencana ini sangat mengancam kondisi kewilayahaan Indonesia, ancaman bagi ekosistim lingkungan dan tata ruang wilayah Indonesia, ancaman bagi keberlangsungan umat manusia, mengingat kondisi Indonesia rentang untuk segala jenis bencana, dan perlu upaya untuk meningkatkan kemampuan kualitas dan kapasitas masyarakat dalam mengatasi berbagai ancaman tribencana geologis dan klimatologis di masa mendatang.
KADO AKHIR TAHUN
Rentetan bencana banjir dalam satu dasawarsa ini, lempeng bumi Indonesia terus menggeliat aktif sejak guncangan gempa tektonik dengan diiringi oleh tsunami maut yang terjadi di Pantai Barat Sumatera dengan titik hunjaman berada di patahan Aceh Desember 2004 merupakan peristiwa relaksasi bumi yang belum seimbang, akan terus menimbulkan korban bencana bagi manusia dan tak terhitung nilai harta benda yang menjadi korban.
Perhatian kita selama tahun 2014 tentang bencana menunjukan ada data peningkatan jumlah bencana dan jumlah korban serta kerusakan infrastruktur dan kemampuan kapasitas mitigasi masyarakat belum ada perubahan yang signifikan, tetap saja wilayah yang rawan bencana geologis dan klimatologis di huni walau sudah di peta secara tematik, tetap saja ada masyarakat “menerobos”. Padahal ancaman bencana kebumian itu tetap ada dan dapat terjadi kapan saja. Sebab, hingga sekarang tidak ada satupun manusia, satu Negara di bumi unggul dalam bidang dan budaya teknologi yang mumpuni jika berhadapan langsung dalam daulat bencana alam di muka bumi ini.
Pelajaran berharga untuk ini, lihatlah musibah badai Hasugit di Flipina dan gempa di Tiongkok, ataupun di Amerika Serikat yang memiliki teknologi super power belum mampu mengurangi jumlah korban jiwa dan infrastruktur.
Kita sudah mengetahui, bahwa bumi tempat kita beraktivitas itu memiliki “nyawa”, menggeliat, bergerak melalui suatu yang disebut plate atau “lempeng” karena ada unsur panas di dalam, yang sebagai energi penggerak, jika dari hal ini kita sudah ketahui, maka pengurangan dan penguraian bencana korban dapat di tekan melalui penataan daya dukung lingkungan.
Dalam konsep daya dukung lingkungan untuk mengendalikan bencana seperti yang terjadi sepanjang 2014, kehidupan manusia yang tergantung pada kapasitas pengendalian produksi terutama pemanfaatan sumber-sumber daya alam serta alih fungsi lahan hutan yang berlebihan dapat menjadi ancaman bagi manusia, bahwa kapasitas produksi dan ekosistem dalam penggunaan ditingkat minimum dan integritas ekosistem sangat esensial bagi ketahanan kehidupan manusia. Faktor inilah yang selalu diabaikan dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, terabaikan fungsi integritas sumber daya lingkungan dengan faktor ekonomi, sehingga kapasitas cadangan kadang tidak tercukup, tidak terpenuhi, kadang tidak ada konsep rehabilitasi dan terus berupaya menggali di tempat yang lain tanpa peduli esensi lingkungan tersebut (kasus ini banyak terjadi di Pulau Jawa, Aceh, Riau dan Sumsel serta Kaltim).
Dalam kerangka ekologis bencana alam oleh kejadian tersebut diatas, hal ini banyak dilupakan oleh manusia sehingga sepanjang tahun sering terjadi musibah bencana geologis terutama gerakan tanah dan klimatologis diwakili oleh bencana banjir dan banjir bandang serta kabut asap, dampak kerusakan ekosistem akibat tingkat kegiatan pembangunan atau tingkat ekonomi yang terus mengejar keuntungan sehingga melewati daya dukung lingkungan. Hal itulah yang terjadi dibeberapa kota yang mengalami musibah banjir dan gerakan tanah longsor sebagai bonus bencana akhir tahun.
Kado akhir tahun bencana 2014 itu adalah bencana longsoran maut di Banjarnegara bulan Desember, letusan gunungapi Sinabung Tanah Karo mulai memuncakan erupsi lagi juga bulan Desember dan letusan gunung Gamalama di Ternate akan berlanjut terus serta gempa bumi Halmahera kembali bergoyang dan banjir dibeberapa wilayah Kabupaten di Provinsi Aceh bulan November dan Desember, banjir di Riau akibat kerusakan hutan dan kabut asap pada bulan Oktober-November, lalu disusul bencana angin puting beliung di Jawa Timur, lalu banjir di Jakarta, Cilacap dan Kabupaten Bandung di bulan Desember 2014 dan beberapa daerah lainnya.
WASPADA BENCANA 2015
Gejala bencana tahun 2014 masih akan berlanjut ke tahun 2015, diprediksi dengan diawali rutinitas banjir Jakarta, Semarang dan Bandung di Jawa. Di Sumatera diawali oleh Sumatera Utara di empat wilayah kota yang berlangganan banjir seperti Medan, Madina, Tebing Tinggi dan Labuhan Batu (sudah dimulai di Labura), data diperoleh dari pengamatan fenomena bencana yang sering melanda daerah tersebut selama lima tahun berturut-turut hingga ke bulan Februari sebagai puncak musim hujan dan kualitas daya dukung hutan serta pola tata ruang drainage dan sistem irigasi atau bendungan air serta daerah tangkapan air di daerah tersebut sangat buruk.
Bencana Geologis yang perlu diwaspadai di Sumatera adalah bencana gempa bumi di sekitar pantai barat sumatera, patahan daratan sumatera di Aceh Singkil, Aceh Tenggara dan Liwa. Gunung Sinabung meletus di Tanah Karo, gerakan tanah sepanjang jalinsum di Sumatera Utara di ruas tebing Danau Toba menerus ke Taput dan Tapsel khususnya di Aek Latong kecil, menerus ke Madina serta Sumbar (Sudah terjadi di jalinsum Pasaman Selatan-Pasaman). Bencana klimatologis mengancam Sumatera di wilayah perairan Nias-Selat Mentawai dan Sunda, musibah banjir di Madina, Labuhan Batu sebagian Tapsel. Begitu juga diwilayah Jambi dan Riau karena banyak sungai-sungai yang telah mengalami pengikisan erosi lateral di Hilir dan gundul hutan di Hulu. Bencana kebakaran hutan yang menghasilkan kabut asap dapat menyebabkan jarak pandang semakin pendek, yang membahayakan penerbangan di Sumatera Selatan, Babel, Jambi dan khususnya Riau sebagai sumber utama “jerabu”, angin puting beliung mungkin bisa saja terjadi di beberapa propinsi di Sumatera dan Jawa.
Curah hujan yang tinggi akan banyak terjadi di awal tahun, seperti pada tahun-tahun sebelumnya dampak perubahan iklim ekstrim sering tidak dapat diprediksikan secara tepat kapan datangnya karena kualitas lingkungan saat ini telah mengalami deforestasi dan degradasi yang semakin parah disebabkan alih fungsi lahan hutan yang produktif, kerusakan prasarana infrastruktur bendungan dan daerah resapan air yang belum di rehabilitasi secara optimal yang akan memperbesarkan peluang terjadinya bencana banjir kiriman.
TANTANGAN 2015
Isu mengenai bencana alam kebumian perlu terus disosialisasikan agar terbentuk masyarakat yang tangguh menghadapi bermacam bencana di wilayah Indonesia, penting untuk diingatkan tentang kebencanaan dikemukakan agar kita diingatkan terus menerus untuk selalu waspada dan  mengantisipasi ancaman bencana kebumian di Indonesia. Karena bumi Indonesia berada di daerah rawan gempa bumi, vulkanik, longsor, angin puting beliung, badai tropis dan lain-lain, posisi Indonesia berada dalam jalur pertemuan tiga lempeng aktif bergerak, dan semua jenis bencana itu akan hadir dengan tiba-tiba, memerlukan suatu konsep fundamental budaya masyarakat dalam memandang tantangan bencana.
Ke depan, perlu diimplementasikan konsep daya dukung lingkungan dengan kapasitas masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim ekstrim, peningkatan kualitas lingkungan hidup dimungkinkan apabila pola dan tingkat kegiatan produksi dan konsumsi sesuai dengan kapasitas sumber daya alam dan preferensi masyarakat untuk mengurangi secara berlebihan penggunaan sumber daya alam dan lingkungan dalam usaha mengurangi resiko bencana kebumian menjadi perilaku dan kebiasaan keseharian, antara daya dukung sumber daya lingkungan dengan integritas fundamental diri sangat dibutuhkan masyarakat untuk menghadapi tantangan bencana 2015, untuk meredam trauma psikologis bencana di daerah rawan bencana.
M. Anwar Siregar


Enviromental Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer. Tulisan ini sudah dipublikasi di HARIAN ANALISA MEDAN, Januari 2015
http://analisadaily.com/opini/news/tahun-2015-waspada-tribencana-geologis-klimatologis/98209/2015/01/14 

Populer

Laut Indonesia darurat sampah

  LAUT INDONESIA DARURAT SAMPAH Oleh M. Anwar Siregar   Laut Indonesia banyak menyediakan banyak hal, bagi manusia terutama makanan ...