5 Jan 2016

Evolusi Sinabung : Geologi Disaster :



EVOLUSI ERUPSI SINABUNG
Oleh M. Anwar Siregar

Belajar dari rangkaian bencana alam geologis di Indonesia merupakan suatu kebutuhan yang sangat muklat untuk kita jadikan landasan bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia, kerena bencana alam di Indonesia merupakan bagian dari risiko yang harus ditanggung, karena Indonesia menjadi tempat berintraksinya tiga lempeng berukuran benua, yaitu Lempeng Hindia-Australia, Lempeng Pasifik dan Lempeng Eurasia, serta terdapat 214 gunung api yang menbentang di wilayah Republik Indonesia, dan semua lempeng ini telah mengubah deformasi fisik suatu ruang permukaan bumi.
Seperti kita telah ketahui, ruang tempat manusia beraktivitas adalah suatu sumber daya yang paling berisiko mengalami bencana lingkungan. Karena itu, jika tak ada pengaturan tata ruang maka akan terjadi apa yang disebut tragedy of common. Contoh yang paling aktual dan tak terlupakan masyarakat pada tiap negara yang rawan bencana alam dan mengalami bencana tragedi of common hampir setiap tahun di Asia Tenggara, misalnya Aceh, gempa tektonik dan tsunami 2004, Thailand, banjir maut bandang tahun 2011, Philipina, Super Badai Hayhan 2013. Semua negara tersebut telah mengalami perubahan fisik tatanan lingkungan dan pola tata ruang wilayah juga telah mengalami eksploitasi secara massal dampak dari bencana unirversal oleh perubahan iklim dan cuaca global.
EVOLUSI RUANG
Ruang yang telah tereksploitasi habis-habisan akan memberikan suatu ”pelajaran”, melampaui daya dukung dan daya lentingnya sehingga tidak ada manfaat yang dapat dinikmati bersama lagi sehingga kita selalu dan akan selalu melihat tragedi bencana yang diakibatkan peningkatan sikap sekulurisme yang menjunjung egoisme sehingga alam memberikan suatu perasaan ”sentimen” seperti yang layaknya sikap yang dimiliki oleh manusia, mendatangkan bencana yang dahsyat terhadap komunitas dan lingkungannya.
Karena meningkatnya evolusi dan dinamika bumi, maka perlu diingatkan bencana pasti akan selalu terjadi di Indonesia yaitu gunung api, angin puting beliung, badai tropis dan gerakan tanah. Sering terjadinya peristiwa bencana kebumian di Indonesia perlu disikapi dengan semakin mempertajam peramalan dengan bantuan teknologi.
Alm Prof John Ario Katili, pakar dan Bapak Geologi Indonesia, pernah mengatakan bahwa memandang perlu terus diperdalamkan pengetahuan yang mempelajari evolusi sifat fisika bumi, termasuk evolusi sehingga dapat meramalkan dengan presisi yang baik tentang kejadian-kejadian kebumian yang akan datang. Metoda prognosis dan diagnosis dalam menyelidiki dinamika bumi ini perlu terus dipertajam. Namun demikian, Katili menyadari, betapa sulit dan tak terduganya kejadian alam, seperti letusan gunung api dan gempa bumi, sebab masih ada peristiwa alam di luar kontrol manusia.
Sama dengan gambaran Sinabung, erupsi yang masih terus berlangsung merupakan evolusi dari dinamika perubahan deformasi yang lama berlangsung selama 400 tahun lebih, sehingga Sinabung terus mengeluarkan erupsi tanpa waktu periode yang belum diketahui. Belajar dari bencana yang telah berlangsung lima tahun ini seharusnya pemahaman eksistensi kebencanaannya harus di tingkatkan kepada tingkatan bencana yang lebih tinggi, yaitu status bencana Nasional, karena apa yang telah di upayakan oleh Pemkab Karo dan Pemprov Sumut belum maksimal mengatasi bahaya dan kerusakan erupsi Sinabung dan telah menghabiskan biaya yang besar.
Perlu pembelajaran tentang evolusi ruang lingkungan. Kita mengalami kerawanan lingkungan maka kita harus belajar memahami evolusi sejarah lingkungan Sinabung di bumi demi masa depan manusia, untuk ini kita tidak cukup mewaspadai dengan perencanaan tata ruang, tetapi juga harus memperbanyak informasi-informasi kebutuhan pengetahuan lingkungan terutama dalam pengadaan peta-peta yang belum memadai dan belum banyak masyarakat melek tentang pengetahuan peta di lokasi keberadaan tempat beraktivitas. Misalnya Hot Spot (efek daerah panas bahaya)


Evolusi letusan sinabung dari tahun 2010 ke 2015 
Sumber : PVMBG- Badan Geologi Kemeterian ESDM

HOT SPOT SINABUNG
Mencermati beberapa fenomena bencana erupsi gunung api Sinabung sejak tahun 2010 hingga tahun 2015, diprediksi masih akan terus mengeluarkan erupsi setiap tahun disertai dampak perubahan evolusi fisik ketataruangan akan terjadi bencana maut berulang lagi, mengingat evolusi erupsi membutuhkan lebih 400 tahun, maka Sinabung membutuhkan waktu periode lama untuk istirahat, maka perlu diwaspadai dampak yang diakibatkan oleh hot spot Sinabung dan pembelajaran bagi semua untuk memberikan dukungan rehabilitasi dengan peningkatan status bencana menjadi bencana nasional agar ada upaya meredam eskalasi kebencanaan yang ditimbulkan baik untuk lingkungan, sumber daya dan tata ruang kehidupan.
Yang penulis maksudkan daerah hot spot Sinabung, adalah daerah radius bencana yang selalu berubah dan daerah areal bencana yang telah ditimbulkan dan memberikan efek stimulus ke zona yang telah diidentifikasi kerentanannya, contoh dampak lahar dingin dan panas ke lokasi daerah yang rawan gerakan tanah, banyak terjadi di wilayah Tanah Karo dan Deli Serdang maupun ke arah zona patahan ke Aceh Tenggara. Sinabung merupakan gunung api patahan, dan tata ruang Karo dilingkupi berbagai zona patahan.
Jika pemahaman bencana ketataruangan dan infrastruktur fisik tidak ditindak lanjuti akan menyebar lebih luas dari daerah yang telah dipetakan sebagai kawasan rawan bencana (KRB), hot spot Sinabung selalu menyertai perubahan kondisi lingkungan yang sering berlangsung di wilayah Tanah Karo, yang diapit oleh berbagai zona kerentanan bencana geologis, perubahan cuaca atau pun anomali kemagnetan bumi, letusan gunungapi setiap saat meledak dan gerakan tanah menahun akan selau berlangsung, kadang terjadi gempa kuat. Kondisi bencana ini berdampak luas pada kehidupan masyarakat dan aktivitas pemerintahan kadang mengalami hambatan.

Sumber : PVMBG – Badan Geologi Kementerian ESDM

NASIONAL SINABUNG
Kenapa bencana erupsi Sinabung ditingkatkan menjadi bencana Nasional? Dapat dilihat dari dampak yang telah ditimbulkan dan membuat ironi bagi Pemerintah Pusat. Dampak tersebut antara lain : pertama, lamanya erupsi. Erupsi Sinabung yang telah berlangsung selama 5 tahun tanpa istirahat hingga ke saat ini, status level bahaya gunungapi belum berubah, status Awas. Kedua, ego sektoral dalam penanganan bantuan selalu tidak tepat sasaran, tidak tuntas, tidak melihat efek radius bahaya yang terus ditimbulkan dan evolusi fisik yang masih berlangsung, penekanan laju bencana infrastruktur fisik tidak pernah tuntas dan bersifat sektoral sehingga daerah sering kali kelabakan untuk mengatasi mengingat sumber daya terbatas.
Ketiga, dukungan pemerintah pusat hanya setengah hati, pemerintah seharusnya memberikan dukungan yang kuat dan prima, bukan terjadi di saat bencana erupsi freatik, hanya memberikan waktu darurat hanya sebulan, karena sesungguhnya Sinabung masih ”marah”, terus memberikan penderitaan kepada masyarakat Karo dan Sumut, pemerintah pusat jangan suka atau tidak suka, karena ini mengingatkan penulis pada kejadian Gempa Nias tahun 2005, hanya dijadikan status bencana ”lokal” padahal efeknya saat luas bukan terjadi di Sumut, tetapi juga daerah tetangga merasakan. Tetapi, jika terjadi bencana di Jawa maka status bencana Nasional sudah pasti melekat, padahal areal bencana tidak terlalu luas, mungkin sebentar lagi longsoran yang terjadi di Pangalengan menjadi bencana nasional.



Gambar : Penataan ruang di G. Sinabung agar menggunakan prinsip mitigasi bencana erupsi G. Sinabung, dengan tidak mendirikan bangunan permanen/infrastruktur publik/pemukiman dalam radius 4 – 5 km dari Puncak G. Sinabung. Seperti disajikan pada gambar dibawah ini (sumber : PVMBG)



Keempat efek evolusi bahaya, evolusi erupsi Sinabung masih terus berlangsung, telah memberikan bencana tambahan (sekunder), yaitu terjangan banjir lahar dan panas telah mengisolasi dua kecamatan hingga tulisan ini ditulis, juga memberikan efek kerugian infrastruktur fisik dan sumber daya manusia terus merosot. Kelima, kondisi tata ruang kehidupan masyarakat Sinabung tidak bisa lagi beraktivitas karena hampir seluruh areal lahan dan pertanian serta rumah-rumah sudah hancur, dan belum lagi debu panas yang menyelimuti daerah radius 5 km selama lima tahun terakhir.
Dukungan peningkatan bencana nasional perlu mengingat kemampuan daerah terbatas, gambaran evaluasi lahan rehabilitasi saja Pemkab Karo ternyata terbatas maka pemerintah pusat harus mengalokasikan dana APBN 2016 bagi bencana nasional Sinabung dalam upaya meredam eskalasi bencana.

M. Anwar Siregar
Enviromentalis Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer

4 Jan 2016

Kenal Geologi via Toba

Mengenali Geologi Dunia Lewat Danau Toba

Letusan Toba sekitar 74.000 tahun lalu telah menjadi semacam simbol dunia untuk peristiwa erupsi supervolcano

Mengenali Geologi Dunia Lewat Danau Toba
Danau Toba. (Thinkstock)
Sekitar 200 peserta, Jumat (11/4), memenuhi Auditorium Museum Geologi, Bandung, Jawa Barat, untuk mengikuti diskusi dan bedah buku Seri Ekspedisi Cincin Api Kompas. Buku berjudul Toba Mengubah Dunia itu ditulis oleh Tim Ekspedisi Cincin Api Kompas segmen Toba, yakni Ahmad Arif, Amir Sodikin, Indira Permanasari, dan M Hilmi Faiq.

Diskusi dan bedah buku tersebut menghadirkan sejumlah pembicara, yaitu Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dr Surono, Peneliti Museum Geologi Bandung Dr Indyo Pratomo, dan Ahmad Arif sebagai salah seorang penulis buku.

Kegiatan itu diorganisasi para mahasiswa di Bandung yang bergabung dalam komunitas media sosial Twitter dengan akun @komunitaskampus serta terselenggara dengan dukungan Museum Geologi Bandung dan Penerbit Buku Kompas.

Indyo, dalam paparannya, menyebutkan bahwa ekspedisi yang dilakukan semacam itu dan melibatkan jurnalis belum pernah dilakukan sebelumnya. Itu ditambah fakta bahwa Toba, sebagai supervolcano (gunung api super yang bisa memuntahkan minimal 300 kilometer kubik magma ketika meletus) belum banyak ditulis dan dikenal masyarakat. Publikasi ilmiah mengenai Toba juga belum pernah dihasilkan ilmuwan Indonesia.

Padahal, tambah Indyo, letusan Toba sekitar 74.000 tahun lalu telah menjadi semacam simbol dunia untuk peristiwa erupsi supervolcano. Ini menyusul fakta tidak kurang 2.800 km3 material vulkanik yang dimuntahkan Toba ketika itu.

Hasilnya adalah danau vulkanik paling besar di dunia, yakni Danau Toba. Ukurannya 90 x 30 kilometer persegi. Dalamnya mencapai 500 meter yang menjadikannya sebagai lokasi penyimpan air tawar terbesar di dunia dengan volume sekitar 240 kilometer kubik.

“Keunikan lainnya ialah keberadaan pulau di atas pulau dan danau di atas danau, yakni Pulau Samosir yang berada di atas Pulau Sumatera serta Danau Sidihoni dan Danau Aek Natonang yang berada di atas Danau Toba,” sebut Indyo.

Letusan supervolcano Toba juga pernah membuat dunia “gelap” karena badai vulkanik dan konsentrasi aerosol sulfat di atmosfer yang menghalangi sinar matahari sebagai asupan utama kehidupan di bumi. Saat itu populasi manusia diperkirakan menyusut hingga sekitar 60 persen menyusul gangguan pada mata rantai makanan.

Indyo menilai, ekspedisi tersebut sangat penting dan menuliskannya menjadi buku merupakan sumbangan bagi masyarakat serta ilmu geologi. “Pengalaman berharga bagi saya untuk menemani Tim Ekspedisi Cincin Api Kompas pada tahun 2011 untuk mengelilingi Toba,” kata Indyo.

Gunung api terbanyak
Sementara Dr Surono mengatakan, penduduk Indonesia mestinya tidak kaget dengan gunung api yang meletus. “Bahkan untuk Toba yang dikenal sebagai supervolcano,” katanya.

Menurut Surono, hal itu dikarenakan fakta bahwa Indonesia adalah rumah bagi gunung api dunia. Jumlah gunung api di Indonesia, sebanyak 127 gunung api aktif, memastikan predikat sebagai negara dengan jumlah gunung api paling banyak di dunia.

“Sebagian di antaranya pernah meletus hebat, seperti yang masih kita kenal, seperti Gunung Tambora, Krakatau, Samalas (Rinjani), dan Toba,” kata Surono.

Karena itulah, Surono menambahkan, riset terkait fakta itu penting dilakukan serta dipublikasikan terus-menerus. Ini ketimbang membiarkan masyarakat hidup dengan ketakutan-ketakutan yang dibangun tanpa landasan ilmiah.

Taman bumi
Sementara Arif mengatakan, salah satu tujuan dilakukannya ekspedisi tersebut untuk merangsang pihak-pihak lain melakukan dan melanjutkan ekspedisi ilmiah seperti Ekspedisi Cincin Api Kompas. “Termasuk menggugah kalangan peneliti untuk melakukan ekspedisi serupa,” sebutnya.

Adapun buku Seri Ekspedisi Cincin Api Kompas berjudul Toba Mengubah Dunia terdiri atas enam bagian pembahasan. Masing-masing adalah Prolog, Dongeng Toba, Jejak Kedahsyatan, Dampak Kehancuran, Skenario Mendatang, dan Perjalanan.

Pada bagian “Perjalanan” diulas tentang kemungkinan menjadikan Toba sebagai taman bumi (geopark) sesuai konsep yang dikembangkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).

Ulasan tersebut mengenai kemungkinan menerapkan terlebih dahulu konsep geowisata, alih-alih geopark jika dirasa masih terhadang sejumlah kendala infrastuktur.

Diskusi dan bedah buku tersebut juga menampilkan foto-foto 360 derajat Ekspedisi Cincin Api Kompas. Foto-foto dengan pendekatan baru itu ditampilkan jurnalis foto Kompas.com Fikria Hidayat.

Koordinator pengorganisasi acara Sekar Kanthi Nayenggita mengatakan, bagi mahasiswa dan masyarakat umum, diskusi tersebut membawa pada pengetahuan baru. “Mungkin selanjutnya perlu lebih didekatkan pada masyarakat umum dan lebih aplikatif. Juga agar lebih menjelaskan pada masyarakat umum tentang hal-hal teknis dalam ilmu geologi,” sebutnya.
(Ingki Rinaldi. Sumber: kompas.com) atau National Geographic Indonesia

Renungan Bencana Geologi Mitigasi

RENUNGAN BENCANA AKHIR TAHUN DI INDONESIA
Oleh M. Anwar Siregar


Ada dua bencana yang sangat merugikan kondisi ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2015, yaitu bencana kabut asap selama enam bulan dan bencana banjir. Dua bencana ekologis itu kadang disertai juga bencana geologis, dengan tingkat kerugian cukup besar yaitu gerakan tanah atau longsor dan gempa bumi selama tahun 2015 mencapai 10 triliun rupiah.
Bencana banjir yang melanda Aceh, Bandung, Jakarta, Medan, dan bencana longsor di Sumatera Utara adalah gambaran sebuah tragedi ekologi hijau dan sumber daya ruang yang seharusnya tidak berulang setiap tahun. Introspeksi tata ruang, etika dan kebijakan dalam mengendalikan berbagai musibah bencana di Indonesia dan dunia perlu dibumikan dengan mengurangi bencana kekerasan yang biasanya melalui teror, radikalisme dan rasisme. Indonesia dan dunia perlu restorasi lingkungan yang lebih humanis.
Bencana Dunia
Indonesia memang saat ini perlu merenungkan, bahwa bencana saat ini telah mengalami “distorsi tubuh” akibat ulah manusia yang terus merusak segala ekosistim bumi, baik di darat, dilaut maupun di udara dan juga di dalam bumi. Eksplorasi yang berlebihan itu telah memberikan kepada manusia di muka bumi sebuah bencana yang sangat menakutkan.
Perlombaan persenjataan era perang dingin hingga perang bintang (star war) antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet (Rusia) itu terus berlanjut, dengan yang berubah namun tetap mengancam kehidupan manusia di bumi dengan munculnya kekuatan militer baru dengan mengusung senjata maut yang lebih mematikan alam semesta ini yaitu perang nuklir dan perang senjata kimia yang kini berdarah-darah di Timur Tengah dan berbagai pelosok permukaan bumi.
Setiap saat kondisi bumi dapat mengalami kerentanan, dan perlu kita ingat, Bumi adalah makhluk yang bergerak, dan kadang Bumi dapat berunjuk rasa dengan menebarkan bencana bagi kesombongan manusia yang lupa diri, bahwa mereka hadir di muka bumi ini sebagai pemimpin bagi makhluk tetapi bukan sebagai perusak, penghancur dan penindas sesamanya dan lingkungan tempat mereka berada, dibiarkan sebagai ladang pembantaian.
Pertanyaan renungan, sudah dimanakah peranan Indonesia dalam mengatasi perubahan iklim global? Jika melihat kondisi lingkungan di Indonesia sejak era abad ke 21 ini, rentetan bencana silih berganti datang, mulai dari kabut asap lalu datang banjir, lalu banjir bergantian dengan longsor, begitu juga dengan gempa bumi diselang-selingi oleh letusan gunung api, sekali datang gelombang permukaan air laut, abrasi pantai dan suhu panas yang membara di berbagai kota di Indonesia.
Ada beberapa bencana alam di Indonesia belum mampu diatasi, kemampuan Indonesia dalam mengantisipasi bencana gempa bumi masih di bawah lima menit, sedangkan Jepang dan Amerika Serikat sudah diatas 15 menit hingga 1 Jam. Melihat perbandingan waktu tersebut, sudah saatnya membumikan mitigasi bencana geologi dan klimatologis yang komprehensif di seluruh wilayah tanah air.
Pertanyaan renungan kedua. Apakah negara di dunia ini perlu berlomba-lomba membangun kekuatan persenjataan nuklir? Sedangkan pemahaman tentang bencana alam dunia masih kedodoran, contoh kasus terjadinya bencana gempa bumi di Nepal, India, Philipina dan Indonesia serta Chili. Banyak negara berkembang belum mampu mengatasi berbagai persoalan bencana yang mengancam kehidupan dibandingkan berlomba memperkuat kekuatan militer hanya untuk menyerang negara lain. Kasus penembakan pesawat Rusia menewaskan semua penumpangnya, hilangnya sebuah pesawat, semua negara memiliki teknologi, namun mengatasi bencana kabut asap seperti di Indonesia dan sekarang giliran Tiongkok membutuhkan waktu yang lama, dan apakah tidak memiliki teknologi yang lebih canggih untuk masalah kabut asap atau tidak menghasilkan sumber kabut asap atau emisi?
Jangankan bencana kabut asap dan gempa bumi, bencana banjir dan longsor, Indonesia dan beberapa negara di muka bumi ini masih belum mampu mengantisipasinya. Bencana gerakan tanah atau longsor di Banjarnegara, Aceh dan Sumatera Utara adalah gambaran bagaimana manajemen bencana itu diimplementasikan dalam bentuk pola tata ruang. Dalam pengendalian banjir seharusnya daerah sudah mampu mengurangi intensitas bencana, karena Indonesia sudah memiliki teknologi, harusnya sudah diterapkan ke daerah yang sering mengalami musibah banjir seperti wilayah Aceh, Bandung dan Manado. Untuk mendeteksi  banjir di sungai-sungai yang banyak membelah tata ruang kota besar di Indonesia, perlu di renungkan bagi kota-kota yang berlangganan banjir termasuk Medan dan Jakarta. 
Pertanyaan renungan ketiga. Apa yang menyebabkan munculnya tragedi hutan belum pernah terjadi? Seharusnya manusia mampu mengendalikan kerusakan hutan dalam hal ini mencegah kabut asap seperti di Indonesia dan Tiongkok dengan mengurangi standar penggunaan materi energi yang berlebihan.
Kearifan Peta
Bencana alam seperti gempa bumi masih belum mampu diprediksi secara tepat waktu, bencana hanya dapat dikurangi jika memanfaatkan segala ilmu yang telah terangkum melalui media kearifan lokal dan fakta empiris dari peta yang sebagai lintasan sejarah dimasa lalu dan masa kini dan masa mendatang.
Memang, tidak bisa dipungkiri, bahwa populasi manusia saat ini lebih besar daripada bumi, oleh sebab itu tantangan bencana dan sumber daya adalah bagaimana menjaga keseimbangan kebutuhan konsumsi yang terdiri sumber daya, terutama sumber daya materi agar tidak berada dalam kondisi kritis, sebab seperempat populasi dunia saat ini menggunakan 75 persen sumber daya global dalam upaya mencegah bencana ekologi daya dukung lingkungan.
Peranan peta sangat penting dalam mendukung bencana lingkungan, yaitu masyarakat harus memahami zonasi-zonasi lingkungan yang sudah tersusun dalam bentuk peta, yang menghadirkan semua rangkuman kondisi dan sumber daya setiap wilayah dengan dipadukan dengan kearifan budaya lokal yang banyak hadir di Bumi Indonesia.
Renungan Bencana
Upaya yang harus dilakukan oleh semua komponen adalah membangun dan membumikan edukasi/pendidikan/pembelajaran mitigasi dari tingkat pra dasar hingga ke perguruan tinggi dan pemerintah harus memiliki sistim mitigasi yang komprehensif dan seragam dan ringkas serta rentang kendali pengambilan keputusan harus singkat dan memiliki tim bergerak cepat dalam keadaan tidak darurat sekalipun selalu ada dan semua harus terdapat pada setiap jenjang terendah dalam hirarki pemerintahan.
Karena itu Indonesia harus memiliki contigensy planning ketika bencana terjadi, negara harus siap, tanggap dan siaga mengatasinya. Dan pembelajaran mitigasi yang perlu dikuasai oleh masyarakat sebagai wujud pembelajaran mitigasi keruangan yang berbasis masyarakat yaitu : pendidikan mitigasi kearifan alam sebagai mitigasi non struktural, masyarakat diperkenalkan berbagai jenis bencana alam beserta karakter yang menyebabkannya, antisipasi yang mengendalikan bencana dan kesesuaian keadaan daerah elemen/bangunan dan masyarakat dengan kondisi alamiah. Pola perencanaan pembangunan ketataruangan harus bertekstur alamiah dengan lingkungan. Masyarakat harus mengetahui semua kondisi tersebut sebelum melanjutkan pembangunan fisik. Disini faktor utama yang harus dimulai sebelum pembangunan ketataruangan agar ada keselarasan dengan lingkungan, bertujuan meminimalisasikan bencana karena keduanya ada hubungan sebab akibat.
Bencana tahun 2015 merupakan gambaran bencana dan tata ruang 2016, dimana tiap daerah sudah harus mengantisipasi, daerah yang sudah mengalami bencana tata ruang perlu “mengobati” tata ruang tersebut dengan meninjau ulang peta-peta yang sudah dibuat.***
Penulis adalah Enviromentalist Geologist. Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan, Energi Geosfer. 
Sudah di publikasi di HARIAN ANALISA MEDAN
http://analisadaily.com/opini/news/renungan-bencana-akhir-tahun-di-indonesia/200829/2015/12/28

21 Des 2015

Kutukan Kota Metropolitan

TAJUK PALUEMAS GEOLOG 6


KUTUKAN BANJIR KOTA METROPOLITAN
Beberapa kota di Indonesia sering mengalami banjir tahunan dampak dari kerusakan dan tidak berfungsinya tata ruang yang telah di susun, menimbulkan banyak kawasan kumuh, ruang-ruang terbuka hijau telah mengalami pengurangan dan mengurangi dampak fungsi utamanya yaitu meresapkan air dan menjaga keseimbangan alam lingkungan.
Laju pesat pembangunan fisik di kota besar di Indonesia salah satu yang memungkinkan terjadinya kerusakan lingkungan, imbas dari pencaplokan ruang hijau terbukan dan laju populasi manusia juga turut membuka peluang dalam pengurangan RTH serta urbanisasi yang terus meningkat sehingga kehidupan di perkotaan menjadi padat,
JAKARTA
Ibukota Jakarta dalam beberapa hari ini terus mengalami hujan sehingga beberapa wilayahnya mengalami banjir. Jakarta tidak perlu menunggu tetangga seperti kota Bogor, Bekasi dan Tangeran untuk memperbaiki kondisi tutupan lahan yang telah mengalami perubahan peruntukan di perbatasan wilayah agar tidak mengalirkan air dalam jumlah banyak ke Jakarta.
Usaha perbaikan ini sebenarnya sudah dilakukan oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta, namun sedikit kalah cepat pembangunan yang dilakukan dibanding hujan yang turun dan adanya musim yang tidak lazim pada beberapa tahun terakhir dampak iklim global di kawasan Asia Tenggara. Hal yang dapat dilakukan adalah dengan mengurangi pembangunan resort di tepi pantai, karena tanpa disadari daerah yang dipenuhi oleh bangunan di tepi pantai secara tidak sengaja bertindak sebagai penghalang air untuk mengalir lepas ke laut dan menyebabkan banjir beberapa saat di daerah yang terletak di belakangnya.
Kutukan banjir bagi kota Jakarta sudah di mulai sejak era tahun 1900-an, pembangunan yang “terlambat mengantisipasi ruang hijau dan daerah sanggahan banjir”. Selain itu kondisi tanah Jakarta terus menurun dengan kecepatan 2-6 cm pertahun, Disis utara yang menghadap laut Jawa, telah mengalami perubahan fisik ruang dengan banyaknya dibangun perhotelan dan infrastruktur yang menjorok ke pantai.
MEDAN
Keadaan tersebut diperparah dengan buruknya kondisi perbukitan di sekitar kota Medan seperti di daerah Deli Serdang dan juga Tanah Karo. Pohon yang menjadi pelindung utama agar air bisa terserap dengan baik ke tanah kini sudah hilang entah ke mana. Bukit menjadi gundul dan airpun kini tak bisa diserap oleh tanah dengan sempurna. Akibatnya hujan satu hari saja, kawasan Medan bisa terjadi banjir yang cukup besar. 
Masalah banjir merupakan masalah pemerintah. Bukan masyarakat yang harus membereskan masalah banjir secara pribadi. Banjir di Medan disebabkan gorong-gorong yang tak berfungsi secara optimal, baru ditindak ketika menjelang hujan dan tidak berkelanjutan. Permasalahan banjir dari hulu ke hilir itu mudah masuk ke wilayah kota Medan disebabkan tidak adanya koordinasi antar pemerintah dalam mebidangro.
Pemko Medan terlebih dahulu memperbaiki saluran drainase yang berada di sekitar sungai. Karena seluruh aliran air akan harus bermuara sungai serta memahami faktor fisik tanah setiap daerah yang sering mengalami banjir terutama saluran drainase yang ada di pinggir sungai Deli atau Babura. Dampak banjir dapat teratasi apabila pemerintah  melakukan pengorekan gorong-gorong secara berkelanjutan serta membuat sistem drainase yang sesuai kebutuhan debit air. Dia berpandangan selama ini Pemerintah Kota Medan serta Provinsi Sumatera Utara tak mau membenahi sistem drainase.
BANDUNG
Bandung merupakan kota di Jawa dalam 5 tahun terakhir ini sering berlangganan banjir seperti layaknya mengikuti jejak Jakarta. Yang mengherankan adalah, posisi topografi Bandung berada di kawasan daratan tinggi namun mengapa bisa banjir? Beda dengan Jakarta dan Medan ataupun Semarang serta Surabaya yang berada di daratan nyaris sejajar dengan permukaan air laut. Bandung merupakan kota dengan elevasi yang cukup tinggi yaitu rata-rata sekitar ±768 m di atas permukaan laut rata-rata (dpl) (mean sea level). Daerah utara Kota Bandung pada umumnya lebih tinggi daripada daerah selatan. Rata-rata ketinggian di sebelah utara adalah ±1050 dpl, sedangkan di bagian selatan adalah ±675 dpl. Bandung dikelilingi oleh pegunungan yang membuat Bandung menjadi semacam cekungan (Bandung Basin).
Bandung merupakan kota dengan bentuk morfologi yang landai ke daratan rendah dan kelilingi oleh tinggian sebagai Cekungan Bandung. Sehingga memperangkat air hujan atau aliran air mudah di tampung atau berkumpul seperti membentuk danau atau lebih jelas sebagai dari pengendapan danau.
Sering terjadinya banjir, karena jejak pembentuk geomorfologi fisik Bandung merupakan daerah pengendapan danau, dibawah kota Bandung sekarang, lapisan tanahnya merupakan lapisan tanah yang susah menyerap air karena terdiri tanah lempung dan merupakan Danau atau Danau Lempung. Selain disebabkan juga mulai pesatnya pembangunan fisik di Bandung yang terlihat dengan mulai terasa panas suhu udara di kota yang dulu sangat sejuk namun beberapa tahun terakhir ini bandung mulai terasa panas.
SEMARANG
Ketinggian topografi kota Semarang 5 m dpl. Selain posisi yang rendah banyak daerah resapan yang telah berubah fungsi untuk pemukiiman dan pabrik. Bahkan pada kawasan disepanjang pantai Semarang banyak yang ditimbun dengan mengorbankan tambak serta tanaman bakau untuk memperluas bangunanpabrik atau dibuat perumahan.Kota Semarang dengan kondisi topografi yang datar dan rendah di wilayah utara dan yang berupa pegunungan di wilayah selatan menjadikan salah satu penyebab banjir di Semarang. Pada musim penghujan, banjir lebih sering disebabkan oleh banjir kiriman yang terjadi karena lahan hulunya menerima hujan besar yang mengalir kedaerah hilirnya. Sedangkan pada musim kemarau, banjir lebih disebabkan oleh adanyaair laut pasang yang lebih populer disebut rob. Banjir rob adalah banjir akibat muka air laut sama dengan atau bahkan melebihi tinggi elevasinya terhadap suatu daerah,sehingga pada waktu pasang terjadi genangan, baik di aliran sungai maupun pada daerah rendah. Kota Semarang bagian utara memiliki beberapa daerah yang rawan terhadap rob, karena rata-rata ketinggian muka air tanahnya tidak berbeda jauh dengan permukaan air laut. Genangan ini tidak hanya terjadi pada saat musim hujan, melainkan juga terjadi pada saat tidak turun hujan yaitu akibat rob atau pasang air laut. Air pasang tersebut dapat menggenang akibat adanya kontak dengan daratan melalui sungai atau saluran yang bermuara ke pantai. Dimensi saluran yang tidak memadai untuk menampung debit air hujan, air buangan kota, dan air pasang yang masuk ke sungai menyebabkan air melimpah ke daratan. Genangan yang terjadi di daerah yang tidak produktif tidak menimbulkan masalah, tetapi untuk daerah yang produktif dapat menimbulkan kerugian (disari dari berbagai sumber pustaka).
MANADO
Manado mudah diterjang banjir dampak dari etika perencanaan tata ruang, akibat eksploitasi tata ruang lingkungan hutan, kawasan lindung dan selain juga dikondisikan oleh tatanan geologi kota Manado yang hampir membentuk cekungan karena 40 persen wilayahnya bertopografi curam diatas tektur ketajaman mencapai 35 derajat dan morfologi kota umumnya diletakan dikawasan rendah sehingga air mudah menuju ke daratan yang lebih rendah dari geomorfologi curam.
Selain bentuk geologi fisik, Kota Manado di perkirakan dibelah atau terdapat sungai aktif yang selama ini menampung air hujan mencapai 20 sungai dan selebih sungai yang hanya “aktif” jika neraca air permukaan sudah melampaui batas kemampuan sungai dalam menampung debit air hujan.
Dari ingatan penulis, ketika masih menetap di Makassar dan Manado, daerah sekitar Manado di era awal 90-an masih banyak terdapat hutan lebat. Mungkin ini salah satu penyebab terjadinya banjir di Manado akibat penggundulan hutan, hilang kawasan resapan air dan berkurang daerah ekologi hijau dan belum terpenuhinya amanah UU tata ruang yang mewajibkan tiap kawasan harus terdapat 30 % RTH.
Faktor lain yang dapat mengancam, tata ruang kota Manado maupun kota Makassar dan Surabaya adalah kondisi daratan langsung menghadap ke lautan, dan dimana wilayah ini sudah berubah peruntukan menjadi daerah resort perhotelan. Tidak ada buffer zone yang berbasis green biodiversity.
Kondisi yang memungkin banjir untuk dapat melaju kencang bagaikan tsunami maut.
PALEMBANG-ACEH
Perubahan  iklim semakin meningkat tajam, telah merosotkan daya dukung lingkungan, banjir di Aceh dipastikan telah merusak tata ruang lingkungan. Aceh dalam 12 tahun terakhir tiada absen menghadapi musibah bencana, mulai dari banjir, longsor, gempa bumi serta mendapat imbas dari bencana kabut asap dari provinsi tetangga. Sedanglam Palembang dikelilingi dan dibelah sungai Musi. kawasan padat pemukiman banyak dan berada di bantaran sungai ini dan tidak jelas lagi batas sempadan hijau sungai yang seharusnya ada selebar antar 15-20 meter.
Seperti halnya kota lain, Palembang bertumbuh kembang di kawasan yang ada arus pelayaran. Sungai-sungai besar yang melewati Palembang, begitu juga kota lainnya tidak ada lagi memiliki kawasan perlindungan setempat dan diubah menjadi kawasan budidaya dan komersil.
Jadi banjir datang melanda kota-kota besar tersebut, maka terjadilah banjir dimana-mana setiap tahun. Sebab : 1, hilang kawasan hijau, 2. berubah peruntukan tata ruang, 3. tidak memenuhi aturan UU tata ruang untuk 30 % RTH, 3. Tata ruang dibelah sungai besar tanpa zone green belt. 5. Lapisan tanah menjadi jenuh dalam menyerap air permukaan. 7. Buruknya drainase perkotaan. 8. tata ruang tidak berbasis geologis air dalam memahami karakter aliran air. 9. Kota dibangun lebih mementingkan kepentingan jangka pendek. 10. Sinkronisasi tata ruang antar kota tidak sinergis. 11. Tingkat kesadaran masyarakat dan stake holder mematuhi aturan UU. 12. Tata ruang berbasis lingkungan belum membumi di Indonesia.
Selamat menikmati bencana banjir tiap tahun jika point-point tersebut diatas tidak diimplementasi dalam paradigma pembangunan tata ruang yang humanis dengan karakteristik tatanan geologi kota.

Paluemasgeolog.







Populer

Laut Indonesia darurat sampah

  LAUT INDONESIA DARURAT SAMPAH Oleh M. Anwar Siregar   Laut Indonesia banyak menyediakan banyak hal, bagi manusia terutama makanan ...