Apr 16, 2018

Enargi Laut Belum Berdaulat

ENERGI LAUT BELUM BERDAULAT
Oleh: M Anwar Siregar
(MEDAN BISNIS,03 April 2018)
Paradigma pembangunan berbasis daratan ini diyakini telah menyebabkan pembangunan ekonomi Aceh kurang efisien dan berdaya saing rendah, sangat kontras dengan negara-negara yang memiliki garis pantai pendek namun memiliki visi pembangunan kemaritiman yang tinggi dan telah menikmati hasil dari pembangunan tersebut.

Hasil gambar untuk energi belum berdaulat


Gambar : Anjungan Bor Minyak di laut, Sumber minyak yang belum dikuasai rakyat secara berdaulat
Deklarasi Djoenda itu telah membangkitkan semangat maritim, dan mengingatkan juga kepada kita bahwa nenek moyang kita adalah pelaut dan perlu revolusi jalaveva jaya mahe untuk berdaulat atas segala potensi sumber daya kelautan dan terutama diantaranya paling urgen untuk dikuasai negara dan sebagai hayat hidup bagi negara terutama di Aceh adalah potensi energi laut, sangat berlimpah dan kini berada dalam incaran dan kekuasaan asing.

Paradigma

Laut Indonesia mempunyai potensi lestari sebesar 6,4 juta ton per tahun. Jumlah tangkap yang diperbolehkan besarnya 80% dari potensi lestari sumber daya perikanan. Dengan demikian, jumlah tangkap yang diperbolehkan laut kita sebesar 5,12 juta ton per tahun. Total tangkapan nelayan (baik tradisional maupun modern) Indonesia mencapai 3,6 juta ton. Berarti, pada tahun selanjutnya kita masih bisa meningkatkan hasil tangkapan sebesar 1,5 sampai 2,8 juta ton setiap tahun

Bertitik tolak dari data tersebut, perlu diketahui bahwa ada sedikitnya 11 sektor ekonomi kelautan yang yang dapat dikembangkan potensi laut Aceh dan Indonesia secara umum untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa, yakni: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan, (5) ESDM (energi dan sumber daya mineral), (6) pariwisata bahari, (7) hutan pantai (mangroves), (8) perhubungan laut, (9) industri dan jasa maritim, (10) sumber daya wilayah pulau-pulau kecil, dan (11) sumber daya non-konvensional.

Lebih ironis lagi, dari 114 pelabuhan umum yang kita miliki, tidak satu pun memenuhi standar pelayanan internasional. Pada tahun 2000, Jepang dengan panjang garis pantai 34.000 km memiliki 3.000 pelabuhan perikanan. Artinya setiap 11 km garis pantai terdapat satu pelabuhan perikanan. Thailand dengan panjang garis pantai 2.600 km mempunyai 52 pelabuhan perikanan,.berarti satu pelabuhan perikanan untuk setiap 50 km garis pantai.

Sementara Indonesia, dengan panjang garis pantai 95.161 km, hanya memiliki 20 pelabuhan perikanan yang sekelas di Thailand dan Jepang. Artinya, satu pelabuhan perikanan untuk setiap 4.500 km garis pantai. Selama Orde Baru, kredit yang dikucurkan untuk sektor-sektor ekonomi kelautan kurang dari 15%, dan untuk sektor perikanan hanya 0,02% dari total kredit. Wajar bila hingga kini kontribusi ekonomi kelautan hanya sebesar 25% PDB. Sementara negara-negara dengan potensi laut yang jauh lebih kecil ketimbang Indonesia seperti Jepang, Korea Selatan, Thailand, China, Islandia, dan Norwegia, sumbangan ekonomi kelautan atas PDB mereka rata-rata mencapai 40%.

Kita perlu reorientasikan paradigma pembangunan (paradigm shift) dari pembangunan berbasis daratan menjadi pembangunan berbasis kelautan dan kepulauan. Kita galakkan pendayagunaan sumber daya kelautan melalui peningkatan alokasi sumber daya keuangan, sumber daya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi, infrastruktur, dan management inputs lain berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan.

Kita perlu juga banyak belajar dari kepemimpinan China salam mengembangkan laut sebagai salah satu kekuatan kemakmuran, dan ingat ketika mereka terus melakukan invasi klaim teritorial laut china selatan dengan menerbitkan peta garis putus sembilan. Dan China menginginkan luas tangkapan sumber daya ikan nelayan mereka lebih luas, semua bertujuan untuk peningkatan daya saing ekonomi dari sektor kelautan.

Para pemimpin China sangat memahami, bahwa dengan terus bertambahnya jumlah penduduk, sementara lahan produksi di daratan kian menyempit, maka laut merupakan the last resort bagi kemandirian pangan, energi, dan SDA lainnya. Lebih dari itu, fakta sejarah juga membuktikan, bahwa kekuasaan dunia pada umumnya direngkuh melalui kendali di lautan. Doktrin kelautan inilah yang dilakukan oleh Imperium Romawi, Islam, Inggris, Spanyol, Belanda, hingga pada era pasca Perang Dunia yang menghadirkan kejayaan dan hegemoni AS
Menarik sekaligus ironis. Pasalnya, China hanya memiliki luas laut sekitar 25 persen dari seluruh wilayah negaranya. Sementara Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan 13.487 pulau dan 75 persen wilayahnya berupa laut, platform pembangunannya sejak masa kolonialisme sampai sekarang berorientasi pada daratan (land-based development).

Energi Berdaulat
Ancamana kedaulatan energi kini dipertaruhkan, disebabkan beberapa perusahaan lintas negara (Transnational Corporations atau TNC�s) telah menyedot 75% cadangan minyak kita hingga hari ini. Sementara 58% total produksi gas bumi dan 70% batubara pertahun terus di ekspor. Sementara itu, 90% kebutuhan energi rakyat Indonesia dibuat bergantung kepada BBM dan 45% rumah tangga belum dapat mengakses listrik. Tak pernah ada strategi nyata untuk mengurangi ketergantungan terhadap BBM. Yang justru dilakukan adalah dorongan untuk mengkonsumsi terus menerus yang menguntungkan segelintir orang.

Kita tahu di lau terdapat total sumberdaya energi laut nasional sangat melimpah, meliputi energi dari jenis panas laut, gelombang laut dan arus laut, yaitu mencapai 727.000 MW. Namun demikian, potensi energi laut yang dapat dimanfaatkan dengan menggunakan teknologi sekarang dan secara praktis memungkinkan untuk dikembangkan, berkisar antara 49.000 MW. Diantara potensi sedemikian besar tersebut, industri energi laut yang paling siap adalah industri berbasis teknologi gelombang dan teknologi arus pasang surut, dengan potensi praktis sebesar 6.000 MW.

Sementara itu untuk pilihan diatas energi murah, mudah diakses, dan bersih telah menjadi pilihan yang amat langka. Saat ini ketika negara takluk pada diktasi pasar bebas, rakyat yang sudah sedemikian tergantung dipaksa untuk membeli energi dengan harga pasar dunia. Kenaikan harga BBM, menurut sejumlah penelitian meningkatkan kemiskinan hingga 11 %. Total rakyat miskin di Indonesia setelah lonjakan kenaikan BBM menjadi 41%. Rakyat Indonesia benar-benar belum berdaulat atas kekayaan energi maritim yang terdapat di lautannya.

Penulis adalah geolog, ANS Pemprov Sumatera Utara
Dipublikasi DIHARIAN MEDAN BISNIS 03 APRIL 2018

No comments:

Post a Comment

Related Posts :