Apr 1, 2018

Euforia Standar Ganda Bencana Lingkungan



TAJUK EMAS 21
EUFORIA DAN STANDAR GANDA HUTAN LINGKUNGAN
Oleh M. Anwar Siregar

“Pawai ini sangat penting. Iklim kita kini membunuh kita,” ucap Coula Farris, warga New York berusia 88 tahun kepada AFP. “Orang muda pantas mendapat sebuah dunia yang lebih baik dan saya sangat mujur masih dapat berjalan,” ucap perempuan tadi. Tidak salah memang, dunia bumi dalam kondisi berbahaya sangat ini karena semakin tercemar, kotor dan perubahan iklim global semakin tidak pasti untuk ”dipastikan”.
Demokrasi ini cermin euforia masyarakat dunia yang tidak menginginkan lingkungan rusak, maka selamatkan planet bumi ini.
EUFORIA SDA

Ketika terjadi reformasi dan transisi kekuasaan, serta euphoria reformasi lalu terjadilah kelemahan penegakan hukum dan pengawasan. Momentum reformasi seolah dimanfaatkan untuk melepaskan dendam di daerah yang selama ini tidak pernah menikmati kekayaan alamnya sendiri, Untuk mengabil ‘hak-hak mereka’. Keadaan ini memperparah kondisi habitat dan hutan alam yang ada di Indonesia,banyak kawasan-kawasan konservasi seperti taman nasional Leuser di Aceh dan Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan Tengah kemudian dijarah oleh masyarakat.
Disamping itu kawasan ini juga menderita tekanan-tekanan lain, yaitu terbakar pada musim kemarau dan mudah diclaim atas nama ijin pemanfaatan yang lain misalnya perkebunan dan dirambah karena tata batas lapangan yang tidak jelas dan memudahkan terjadinya illegal logging. Kekhawatiran tentang ketidak stabilan politik mempengaruhi pada pengelolaansumber daya alam dan sudah menjadi common sense bagi banyak orang di duniaseperti yang disinyalir oleh Jared Diamon dalam essainya ‘Collapse’: “ Indonesia asone of the state in political trouble spots of the modern world as well asenvironmental trouble spots of the modern world.”
Sisi lain, Monnin dkk dalam publikasinya di Jurnal Science mencatat kenaikan konsentrasi CO2 di atmosfer sebesar lebih dari 76 part per million (ppm) menjadi lebih dari 300 ppm sejak prahingga pasca era industri, serta mengindikasikan adanya korelasi erat antara peningkatan konsentrasi CO2 dengan kenaikan temperatur bumi.5 Amerika Serikat, negara pengkonsumsi energi terbesar, menghasilkan lebih dari 30% emisi gas CO2 dunia, melebihi total emisi yang dihasilkan oleh gabungan Cina, India, Jepang dan seluruh negara-negara di Asia, Afrika, Amerika Selatan dan Australia
GAGAL TERWUJUD

Laporan sebelumnya, yang diterbitkan tahun 2007, menimbulkan sebuah gelombang aksi politik yang pada satu titik sempat memunculkan harapan tercapainya sebuah traktat dunia mengenai perubahan iklim di Kopenhagen, Denmark, tahun 2009.
Namun, sebuah konsensus global gagal terwujud saat terjadi perbedaan pendapat antara negara-negara berkembang dan negara-negara maju. Negara-negara penyebab polusi utama, seperti Tiongkok, bersikeras bahwa negara-negara kayalah yang seharusnya memimpin upaya penurunan emisi karbon. Negara-negara berkembang, lanjut Tiongkok, tak bisa diharapkan untuk mengorbankan pertumbuhan ekonomi mereka.
Di Amerika Serikat, upaya Presiden Barack Obama untuk meloloskan undang-undang perubahan iklim terganjal di Kongres, saat banyak politisi Partai Republik masih tak yakin pada bukti-bukti ilmiah pemanasan global. Menurut para republiken ini, upaya mitigasi perubahan iklim hanya akan menjadi penghalang yang tidak perlu terhadap pertumbuhan ekonomi.(Sumber: Kompas.com/AFP/REUTERS/BBC/DI)
RATIFIKASI KABUT ASAP

Singapura Sambut Baik Niat RI Ratifikasi UU Kabut Asap Stasiun berita Channel News Asia, melansir pernyataan dari Kementerian Lingkungan dan Sumber Daya Air (MEWR), yang menyebut ratifikasi kesepakatan tersebut tiba di waktu yang tepat. Sebab, beberapa hari terakhir terjadi kenaikan titik api di Pulau Sumatera dan Kalimantan.
Ratifikasi itu dilakukan tepat satu hari, setelah tingkat kualitas udara di Negeri Singa mencapai 113. Artinya, menurut standar indeks polusi, itu berada di tingkatan tidak sehat.
Mereka menambahkan, Singapura siap bekerja sama lebih dekat dengan Pemerintah Indonesia dan negara ASEAN lainnya untuk mengatasi permasalahan itu.
Dalam sidang yang digelar hari ini di Gedung DPR di Senayan, dihadiri perwakilan dari sembilan fraksi. Mereka melakukan voting untuk mengesahkan kesepakatan tersebut.
"Indonesia telah melakukan operasi pencegahan, mitigasi kebakaran hutan, kabut, dan aktivitas pemulihan di tingkat nasional," ungkap parlemen dalam sebuah pernyatan.
Parlemen menambahkan, untuk mengatasi polusi lintas negara, Indonesia dan negara ASEAN lainnya mengakui langkah pencegahan dan mitigasi perlu dilakukan bersama-sama.
Dalam kesepakatan kabut asap lintas negara, Indonesia diwajibkan untuk memperkuat kebijakan dalam mengatasi kebakaran hutan dan kabut asap, secara aktif berpartisipasi dalam pengambilan keputusan regional terkait isu itu dan mengalokasikan lebih banyak sumber daya untuk mengatasi masalah, baik itu di tingkat domestik dan regional.
Kabut asap yang paling parah menimpa Malaysia dan Singapura terjadi pada Juni 2013. Hal itu, sampai membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta maaf kepada Pemerintah Singapura.
Beberapa usaha sudah dilakukan Pemerintah Indonesia untuk mengatasi kondisi hutan dan lahan gambut yang kritis. Salah satunya Inpres No .10/2011 yang berisi mengenai penundaan proses perizinan baru selama dua tahun terhadap hutan primer dan lahan gambut.
Tujuannya untuk pemanfaatan hutan lestari. Namun, Instruksi Presiden ini pun akhirnya menimbulkan pro-kontra. "Pemerintah Indonesia sudah memulai moratorium dengan pembiayaan bernilai miliaran dolar dari Norwegia. Namun, moratorium ini dikritik karena kurang kuat untuk mencegah deforestasi," tambah pernyataan beberapa peneliti.
IRONI JIRAN
Sementara itu, pada Agustus lalu 2016, Singapura mengesahkan sebuah UU Kabut Asap yang memberikan kekuasaan bagi pemerintah untuk menjatuhkan denda perusahaan yang terbukti menyebar asap. Denda yang diberikan senilai S$2 juta, atau Rp18 miliar.
Perusahaan itu bisa terkena jeratan UU Negeri Singa, walaupun mereka tidak memiliki kantor perwakilan di sana.
”Asap lintas negara telah mengganggu wilayah kami selama puluhan tahun. Sehingga, perlu adanya aksi efektif dan nyata secapatnya di sumber terjadinya api, termasuk pencegahan, investigasi, dan penegakan hukum terhadap perusahaan yang terbukti bertanggung jawab atas kabuit asap” tulis Media MEWR dari Singapura
Benarkah puluhan tahun terjadi kabut asap di Singapura dan Malaysia? Perhitungan apakah yang digunakan jika benar kabut asap hadir dalam puluhan tahun, berarti setiap bulan ada dan hadir kabut asap  melintas negara ini tiap tahun?
Data penulis, Memang kabut asap hadir tiap tahun kadang tidak melintas ke negeri Jiran itu setiap tahun, hanya terlokasi di sekitar wilayah udara Indonesia, bukan dalam hitungan puluhan tahun atau tiap bulan, jika perhitungan kabut asap di total per minggu dalam setiap bulan per tahun datang kabut asap, maka jumlah kabut asap hadir selama 1 bulan berarti itu setiap 4 tahun atau empat minggu, kabut asap sudah hadir di negeri itu selama 16 tahun. Bencana asap hadir hanya sesaat saja selama seminggu, sisanya nikmati udara bersih selama 11 bulan 3 minggu, lantas kenapa mencak-mencak?
Rasanya permintaan maaf SBY tidak pada tempatnya, sehingga menimbulkan polemik di tengah publik. Nasionalisme terusik, yang perlu diketahui bahwa masalah kabut asap bukan sekadar nasionalisme
STANDAR DUNIA
Masyarakat Dunia perlu menekan standar ganda politik terhadap lingkung dengan  mengajak semua orang untuk melakukan upaya kongkret menghadapi isu perubahan iklim dan semuanya ini untuk masa depan kita bersama.
Aksi masyarakat global telah sering dilakukan untuk menekan standar ganda lingkungan dari maju sehingga menekan negara miskin yang sebenarnya tidak bersalah, pertemuan Kopenhagen gagal pada tahun 2009 lalu. Pertemuan ini merupakan langkah mendorong upaya politik menuju kesepakatan dunia baru yang melibatkan semua negara untuk menangani masalah perubahan iklim pada akhir 2015 nanti.
Namun hingga kini, tindakan standar ganda tersebut tidak menghasilkan perubahan signifikan. Tidaklah mengherankan mengapa sering kita lihat ada unjuk rasa tidak puas terhadap para pemimpin dunia terutama dari maju, sedikitnya sumbangan bagi negara maju untuk memberikan bantuan dalam menbangun energi baru terbarukan sehingga energi fosil masih terus dipakai. Perlu tindakan untuk menyelamatkan bumi ”Urgent, Save our Planet” bagi pemerintah negara maju dan para politikus untuk menjadi momen titik balik untuk menghilangkan kebiasaan standart ganda politik lingkungan agar tercipta sejarah baru untuk bagi planet bumi agar tidak semakin berbahaya untuk ditempati. Perubahan iklim tidak bisa ditunda lagi dan para politikus harus bertindak sekarang untuk melindungi planet bumi.
(Tajuk Palu Emas Geolog, disari dari berbagai sumber dan data pustaka) April 2018

No comments:

Post a Comment

Related Posts :