Apr 16, 2018

Peta Investasi Gempa di Sumut

Peta Investasi Gempa di Sumut

Oleh: M. Anwar Siregar
MUSIBAH gempa dan banjir terus menghantui negeri ini, susul menyusul bergantian datang melanda sejumlah kota-kota besar dan kecil di Indonesia. Belum selesai bencana letusan gunungapi Sinabung di Tanah Karo lalu gempa berpindah lagi ke sekitar wilayah Tapanuli Utara de­ngan kekuatan 5.0 SR terjadi akibat sesar aktif dan tekanan per­geseran lempeng dan gempa tabagsel di laut dekat megathrust Nias, dengan magnitude 5.7 SR
Betapa pentingnya etika ilmiah bangunan dalam tata ruang wilayah di daerah rawan gempa dan gunung api untuk mengurangi dampak ben­cana walau kekuatan gempa sangat kecil namun daya mema­tikannya sangat tinggi jika bangunan tidak mengikuti kaidah standar kons­truksi.
Tanah-tanah telah tercacah-cacah menjadi bubur yang mudah terurai, longsor di jalan raya menuju lokasi wisata Brastagi adalah bukti dari kejadian tersebut dan semakin membahayakan karena BMKG menyebutkan ada patahan baru yang telah terbentuk di wilayah Karo dan dipastikan akan mengakumulasi “seismik gap” yang membahaya suatu saat nanti “meledak’.

Investasi Rt rw gempa
Bencana adalah bahaya yang mengancam kehidupan, yang dapat terjadi melalui proses panjang dan bisa terjadi secara tiba-tiba seperti bencana gempa bumi. Paradigma pembangunan tata ruang yang ber­basis bencana gempa bagi tata ruang investasi ekonomi di Suma­tera Utara sangat mendesak. Mengingat Sumut membutuhkan sinergitas dalam tata ruang inves­tasi lingku­ngan yang aman terha­dap ancaman bencana alam, salah satu yang harus diperhitungkan adalah etika buil­ding code ba­ngunan dan RT RW yang berbasis gempa.
Hasil gambar untuk peta investasi gempa di sumut 
Gambar : Contoh peta daerah rawan gempa untuk peta investasi (sumber Pemkab Tapteng)
 
Penyusunan RT RW yang berba­sis investasi rawan ben­cana gempa sangat penting bagi Sumatera Utara mengingat arus deras investasi da­lam pembangunan fisik yang sangat kencang, gempa bumi yang berada di ruas Deli Serdang saja sudah cukup mampu menghancur separuh wilayah investasi di Mebidang jika kekuatan gempa mencapai 6.5 SR dan gempa 5.6 SR saja sudah terasa kuat di Medan dan Deli Serdang dan cukup membuat beberapa bangu­nan plat­fonnya rusak, apalagi jika kekuatan gempa mencapai 7.5 Skala Richter, bayangkan saja ke­han­curan itu dengan perban­dingan gempa Pidie Desember 2016 jika pemerin­tahan di wilayah ini tidak cepat bergerak dalam menyu­sun RTRW berbasis gempa untuk mene­kan kerugian dan kehancuran inves­tasi tata ruang dan sebagaimana juga yang di amanat­kan oleh aturan yang tercantum di dalam UU No. 26 Tahun 2007 ten­tang Penataan Ruang yaitu untuk me­wujudkan Pe­na­taan Ruang Wilayah yang aman, nyaman, produktif, dan berke­lanjutan; merupakan amanat yang wajib dituangkan di dalam RTRW Kota-kota dalam Mebidang Karo dan Suma­tera Utara keseluruhan karena geografis bencana gempa di Suma­tera Utara sangat luas dan saling memberikan dampak bagi provinsi tetangganya baik di Utara maupun ke arah selatan dan Tengah sehingga Sumut harus tangguh dalam meng­hadapi bencana dan bebas dari ancaman gempa bumi dan bencana alam lainnya.
Untuk menegaskan hal tersebut sangat penting, dapat juga dilihat amanat pencegahan bencana selain UU No. 26 Tahun 2007 tersebut, per­lindungan masyarakat dari keben­canaan, juga tercantum di dalam UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana di dalam Pasal 24 ayat 1 yang menyebutkan, “Pelaksanaan dan pe­negakan tata ruang dilakukan untuk mengurangi resiko bencana yang mencakup sanksi terhadap pelang­garan”. Berdasarkan dua landasan hukum tersebut, maka Pemda bergerak cepat menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang mengakomodir isu adaptasi dan mitigasi bencana yang bertujuan agar pola pengembangan ruang ke depannya dapat menjamin ke­ama­nan, kenyaman, dan menye­diakan ruang sebagai jalur, maupun area penyelamatan penduduk ke tempat yang lebih aman apabila terjadi ben­cana gempa.
Saat ini konsentrasi investasi pembangunan tata ruang di kota di Sumatera Utara justrunya ke arah pantai dan bukannya menjauhi lokasi pantai, terlihat tata ruang kota di pesisir barat Sumatera Utara yaitu Kota Sibolga, Tapanuli Tengah, dan kota-kota di Nias, begitu juga di Selatan Medan dan Batu Bara, Tanjung Balai dan Langkat yang menuju timur dari Pantai Timur Sumatera tanpa mitigasi struktural fisik.
Selain itu, pertumbuhan pendu­duk di lokasi sekitar pantai terus meningkat seharusnya sudah juga dibatasi dan tanpa sebaran peta papan informasi tingkat kerawanan gempa dan tsunami maupun peta percepatan pergeseran puncak batuan dasar, hanya penduduk yang bekerja sebagai nelayan saja yang bermukim di daerah sekitar pantai. Jalur-jalur hijau harus berfungsi sebagai buffer pantai direncanakan untuk menahan deburan ombak yang kencang. Perencanaan jalur-jalur evakuasi yang letaknya tegak lurus dari wilayah pantai harus terlihat pada peta pola ruang RT RW di beberapa kota di Sumatera Utara.
Etika tata ruang
Terdapat tiga faktor yang harus menjadi rujukan etika ilmiah bagi pembangunan RTRW di Sumatera Utara agar dapat menekan jumlah korban, tiga faktor yaitu kaidah building code untuk semua sarana dan prasarana, peta tata ruang berbasis seismotektonik dan konsis­tensi penegakan aturan zonasi tata ruang.
Posisi wilayah Mebidang-Karo sebagai tantangan untuk hidup berdampingan selaras dengan alam. Dari beberapa fakta kejadian gempa yang sering terjadi, masyarakat dan para investor sering mengalami kerugian tak sedikit, bukan karena bangunan umum dan tempat tinggal rata dengan tanah tidak dirancang tahan gempa melainkan kurangnya data peta seismotektonik yang menyangkut data dukungan untuk keberlanjutan investasi. Lokasi investasi yang baik harus sesuai dengan panduan perencanaan dan perancangan desain untuk kawasan rawan tsunami dan gempa tektonik dan Mebidang-Karo adalah pusat investasi terbesar saat ini.
Dalam panduan daerah rawan tsunami atau national tsunami hazard mitigation terdapat tujuh prinsip-prinsip yang harus di penuhi dalam etika pembangunan tata ruang RTRW mitigasi tsunami bagi daerah yang rawan tsunami dan gempa tektonik untuk mencegah bencana risiko dan membangun daerah yang baru yaitu mengenal risiko tsunami (Nias, Tapsel, Madina. Tapteng dan Sibolga), menghindari pembangu­nan baru didaerah terpaan tsunami (RTRW kota di Nias), merancang bangunan baru untuk mengurangi risiko kerusakan (seluruh kota di Sumatera Utara), mengatur pemba­ngunan baru di daerah terpaan tsunami (Kota di Nias dan pesisir pantai barat dan timur Sumatera Utara), meman­faatkan kembali lahan untuk melindungi pemba­ngunan yang sudah berjalan (RT­RW Sumut), merancang infra­struk­tur untuk meminimalisasikan kerusakan dan merencanakan evakuasi (seluruh kota di Sumut).
Panduan etika konstruksi sangat penting bagi pe­ngembagan investasi untuk menekan bencana kerugian, memahami kondisi fisik bangunan, dan tata ruang fisik, untuk menekan tertimpa runtuhan bangunan rumah tinggal dan gedung, toko dan infra­struktur jembatan harus tahan gem­pa dengan mengikuti kaidah ilmiah tentang desain bangunan tahan gem­pa dan seharusnya ini menjadi re­nungan atau introspeksi bagi pem­bangunan tata ruang kota, rumah tempat tinggal serta tanta­ngan il­miah bagi para ahli di bidang­nya untuk terus mengupayakan tata ruang tahan bencana.
Budayakan tata ruang tangguh gempa dengan membuat peta seismotektonik RT RW berbasis gem­pa lokal di kota-kabupaten di Su­matera Utara dalam rangka me­nekan aspek kebencanaan dan ke­rugian investasi karena investasi pembangunan di daerah rawan gem­pa akan menjadi sangat mahal dan bangunan yang boleh didirikan harus cukup kuat dan Sumut termasuk kategori merah yang terdampak gempa besar.
Penulis adalah Geolog, ANS Pemprov Sumatera Utara
Dipublikasi di HARIAN WASPADA DAN ANALISA MEDAN, 12 DAN 14 MARET 2018

No comments:

Post a Comment

Related Posts :