Tantangan Alam Urbanisasi dan RTH
TANTANGAN
ALAM SUMUT 2014 : URBANISASI DAN RTH BANJIR
Oleh :
M. Anwar Siregar
Salah satu renungan untuk menekan kerugian akibat
kebijakan pembangunan di Sumut untuk tahun 2014 adalah bencana banjir dan
gerakan tanah yang silih berganti, menunjukkan bahwa bencana alam terjadi tidak
semata-mata dipengaruhi oleh faktor alam, tetapi juga oleh faktor kegiatan
manusia yang mengabaikan faktor menjaga keseimbangan keserasian lingkungan, yaitu
urbanisasi dan penghancuran ruang terbuka hijau yang merupakan penyumbang utama
kerusakan lingkungan.
Sumber Ilustrasi gambar : http://analisadaily.com/opini/news/
Sumber Ilustrasi gambar : http://analisadaily.com/opini/news/
URBANISASI
Eskalasi urbanisasi ke pusat-pusat pertumbuhan kota besar
di Sumut kini menambah keruwetan masalah kependudukan dan penataan ruang
wilayah hijau yang berdampak pada perkembangan fisik ruang kota di Sumut.
Perkembangan urbanisasi di Indonesia dan Sumut khususnya dapat diamati dari
tiga aspek, pertama, jumlah penduduk yang tinggal di kawsan perkotaan meningkat
secara eksponensial. Kedua, sebaran penduduk yang tidak merata antar pulau di
Indonesia secara umum, sedang di Sumut lebih fokus atau terkonsentrasi di
wilayah pantai timur serta ketiga, laju urbanisasi umumnya di kota-kota metropolitan
seperti Mebidang, Jabodetabek serta Gerbangkertasula merupakan magnet utama
dengan peningkatan fraksi penduduk perkotaan di Indonesia meningkat dari 17,4
persen pada tahun 1970 meningkat menjadi 22,3 persen pada tahun 1980. Pada
tahun 1990 ada peningkatan penduduk menjadi 30,9 persen dan tahun 2002 menjadi
43,99 persen dan pada akhir tahun 2010 meningkat menjadi 52,03 persen. Artinya
dalam waktu 40 tahun urbanisasi telah melipatgandakan penduduk perkotaan tiga
kali lebih besar (disari dari berbagai sumber).
Urbanisasi dipandang sebagai pilihan rasional masyarakat
untuk meningkatkan taraf hidupnya, dengan kata lain, upaya untuk menjadikan
hidupnya lebih layak dan sejahtera. Tetapi disatu sisi lain, ketika kota-kota
bertransformasi menjadi lebih modern, secara bersamaan kualitas lingkungan
perkotaan ikut menurun secara signifikan. Hal inilah mendorong terjadinya
penyimpangan tata ruang sehingga mendesak ke tata ruang hijau di beberapa kota
yang sedang berkembang modern di Sumut, yang menimbulkan bencana banjir musiman
dalam skala bahaya sedang, sedang kondisi penurunan dan merosotnya kualitas
sumber daya air dapat dilihat gambaran pelajaran banjir di Jakarta, Semarang
dan Bandung.
Faktor
yang menyebabkan penurunan kualitas lingkungan diperkotaan terutama
hilangnya luasan daerah ekologi hijau, peningkatan jumlah transportasi
menyebabkan kemacetan akut, hilangnya sumber daya hayati bagi peresapan
air sehingga banjir akan berulang dan semakin parah seperti kejadian
banjir tahun 2013, akibat laju pesat pembangunan fisik terjadi penurunan
permukaan tanah oleh pemompaan air secara berlebihan berdampak pada
keterbatasan dan ketersedian air yang layak minum dan terbentuknya "tata
ruang kumuh di sungai" di pusat perkotaan hingga menuju ke daerah
pinggiran. Terbentuknya tata ruang kumuh di luar dari rencana awal
pembangunan tata ruang dapat dilacak dari kemampuan sumber daya
pendatang yang masih berpola pikir perdesaan yang tercermin dari
tingginya pengangguran dan kemampuan dalam mendapat penghidupan layak di
daerah perkotaan
KEBERLANJUTAN RUANG HIJAU
Dengan melihat beberapa faktor geologis dan
geografis kota di Sumut terutama ibukota Propinsi yaitu Medan yang bertumpuk
pada kajian geohazard dan georisk dengan memanfaatkan sistim informasi data
penginderaan jauh sebagai aspek dari pertimbangan penyusunan peta spasial ruang
daerah banjir, dan manajemen sistim alam atau geologi lingkungan yaitu
manajemen sumber daya alam untuk mendukung pembangunan ekonomi dan sosial
berkelanjutan yang berkaitan dengan sumber daya air untuk dijadikan sebagai sumber daya terbarukan dan upaya
menimalisasi dampak dari pengambilan dan penggunaan sumber daya alam tak
terbarukan yang memperhatikan tata ruang hijau berbasis mitigasi bencana banjir
yang meliputi aspek hidrometeorgeologi, penyebaran penduduk di kawasan padat,
dan garis patahan lempeng bumi di kawasan tengah Propinsi Sumatera Utara.
Dalam kaitan ini, maka perlu dipikirkan
ruang-ruang hijau terbuka dan ruang publik untuk pusat perekonomian, ruang
hijau atau taman lokasi pemukiman, taman daerah perkantoran, taman sanggahan
bencana di kawasan industri, serta publik space khusu yang bukan sekedar ruang
hijau terbuka untuk peningkatan pendapatan sumber daya ekonomi pembangunan
maupun keperluan peningkatan ekonomi masyarakat tetapi sebagai ruang
penyelamatan, taman dan jalur evakuasi, depot bencana serta ruang hijau abadi untuk berbagai keperluan
sandang-pangan, harus dijaga ketat dan ditindak secara tegas dengan partisipasi
masyarakat yang sadar untuk kepentingan mereka.
Keberlanjutan ruang terbuka hijau di wilayah
daerah yang telah diidentifikasi sebagai daerah rawan banjir memerlukan konsep
kota hijau berbasis banjir maka ada dua tahapan diperlukan. Tahap jangka pendek
yaitu kawasan perlinduangan hijau dan air yaitu DAS atau sungai-sungai yang
membelah tata ruang Medan, dan kota satelitnya yang telah kehilangan ekologi
hijau dan memerlukan reboisasi dengan membongkar kawasan kumuh sesuai aturan UU
tata ruang dan UU pengairan harus terdapat kawasan lindung hijau sejauh 50
meter dari kiri dan kanan bantaran dan DAS sungai. Kawasan budidaya (yang ini
di Medan tidak ada dan terkikis oleh kemajuan pembangunan fisik), kawasan hutan
konservasi pantai berupa hutan mangrove.
Sedangkan tahapan jangka penjang diperlukan adalah
pertama, manajemen penataan sistim kelembagaan pengelolaan DAS untuk mengontrol
aktifitas sosial dan pembengunan fisik oleh masyarakat agar dapat melaksanakan
perencanaan dan mengimplementasikan yang berkaitan dengan pengelolaan DAS.
Kedua, pengembangan hutan di kawasan DAS bagian
hulu untuk meningkatkan fungsi hutan dalam hal pengendalian banjir. Ketiga,
mengupayakan pemerataan pembangunan antar wilayah dalam kota untuk mengurangi
konsentrasi penyebaran penduduk di perkotaan agar dapat mencegah berkurangnya
daerah rawa dan daerah taman kota serta keempat, menyusun strategi penyuluhan
lingkungan bagi masyarakat terdidik untuk menjadikan kawasan hijau sebagai
ekonomi produktivitas melalui konsep pertanian abadi dengan sumber dana dan
fasilitasi manajemen dari Pemko Medan dengan melakukan pendataan lahan tidur
sebagai sumber ekonomi daerah agar dapat dijadikan fungsi ekologis air, fungsi
perluasan taman dan areal perkebunan produktif melalui instansi terkait.
TANTANGAN BANJIR
Hukum geologi lingkungan menyebutkan bahwa
kejadian bencana-bencana masa lalu merupakan gambaran ke masa kini dan
merupakan introspeksi gambaran ke masa mendatang, bahwa kejadian bencana alam
yang sering terjadi sekarang dapat di tekan jika belajar dari sejarah bencana
yang pernah terjadi, sebagai contoh gempa tsunami, terekam dari jejak
pengangkatan pulau-pulau karang, sehingga upaya menimalisasi luasan kerusakan
tata ruang dapat diketahui, berapa luas lahan yang akan hancur dan dimanakah
perlu diletakan suatu pusat distribusi dan aktivitas kehidupan manusia.
Begitu juga gambaran tentang bencana banjir dan
gerakan tanah, semua elemen kejadian bencana sebenarnya ada sumber
pelajarannya, namun manusia sekarang alpa, masalaha klasik terletak pada
bagaimana mengupayakan keselarasan ruang hijau dengan kekuatan ekonomi dalam
tata ruang di kota besar Sumut yang berlangganan banjir seperti Medan, Tebing
Tinggi, Rantau Parapat serta kota sedang berkembang seperti Sibuhuan dan Gunung
Tua serta Panyabungan. Sebuah tantangan 2014 untuk menekan bencana banjir dan
sekali disertai batu Sinabung atau mungkin giliran Sibual-buali yang menyertai
pemikiran para perencana pembangunan di tahun 2014.
M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer. Tulisan ini sudah di Publikasi di Harian ANALISA MEDAN Tahun 2013
Komentar
Posting Komentar