Oct 29, 2014

Tantangan Alam Urbanisasi dan RTH

TANTANGAN ALAM SUMUT 2014 : URBANISASI DAN RTH BANJIR
Oleh : M. Anwar Siregar
Salah satu renungan untuk menekan kerugian akibat kebijakan pembangunan di Sumut untuk tahun 2014 adalah bencana banjir dan gerakan tanah yang silih berganti, menunjukkan bahwa bencana alam terjadi tidak semata-mata dipengaruhi oleh faktor alam, tetapi juga oleh faktor kegiatan manusia yang mengabaikan faktor menjaga keseimbangan keserasian lingkungan, yaitu urbanisasi dan penghancuran ruang terbuka hijau yang merupakan penyumbang utama kerusakan lingkungan. 

Sumber Ilustrasi gambar :  http://analisadaily.com/opini/news/
URBANISASI
Eskalasi urbanisasi ke pusat-pusat pertumbuhan kota besar di Sumut kini menambah keruwetan masalah kependudukan dan penataan ruang wilayah hijau yang berdampak pada perkembangan fisik ruang kota di Sumut. Perkembangan urbanisasi di Indonesia dan Sumut khususnya dapat diamati dari tiga aspek, pertama, jumlah penduduk yang tinggal di kawsan perkotaan meningkat secara eksponensial. Kedua, sebaran penduduk yang tidak merata antar pulau di Indonesia secara umum, sedang di Sumut lebih fokus atau terkonsentrasi di wilayah pantai timur serta ketiga, laju urbanisasi umumnya di kota-kota metropolitan seperti Mebidang, Jabodetabek serta Gerbangkertasula merupakan magnet utama dengan peningkatan fraksi penduduk perkotaan di Indonesia meningkat dari 17,4 persen pada tahun 1970 meningkat menjadi 22,3 persen pada tahun 1980. Pada tahun 1990 ada peningkatan penduduk menjadi 30,9 persen dan tahun 2002 menjadi 43,99 persen dan pada akhir tahun 2010 meningkat menjadi 52,03 persen. Artinya dalam waktu 40 tahun urbanisasi telah melipatgandakan penduduk perkotaan tiga kali lebih besar (disari dari berbagai sumber).
Urbanisasi dipandang sebagai pilihan rasional masyarakat untuk meningkatkan taraf hidupnya, dengan kata lain, upaya untuk menjadikan hidupnya lebih layak dan sejahtera. Tetapi disatu sisi lain, ketika kota-kota bertransformasi menjadi lebih modern, secara bersamaan kualitas lingkungan perkotaan ikut menurun secara signifikan. Hal inilah mendorong terjadinya penyimpangan tata ruang sehingga mendesak ke tata ruang hijau di beberapa kota yang sedang berkembang modern di Sumut, yang menimbulkan bencana banjir musiman dalam skala bahaya sedang, sedang kondisi penurunan dan merosotnya kualitas sumber daya air dapat dilihat gambaran pelajaran banjir di Jakarta, Semarang dan Bandung.
Faktor yang menyebabkan penurunan kualitas lingkungan diperkotaan terutama hilangnya luasan daerah ekologi hijau, peningkatan jumlah transportasi menyebabkan kemacetan akut, hilangnya sumber daya hayati bagi peresapan air sehingga banjir akan berulang dan semakin parah seperti kejadian banjir tahun 2013, akibat laju pesat pembangunan fisik terjadi penurunan permukaan tanah oleh pemompaan air secara berlebihan berdampak pada keterbatasan dan ketersedian air yang layak minum dan terbentuknya "tata ruang kumuh di sungai" di pusat perkotaan hingga menuju ke daerah pinggiran. Terbentuknya tata ruang kumuh di luar dari rencana awal pembangunan tata ruang dapat dilacak dari kemampuan sumber daya pendatang yang masih berpola pikir perdesaan yang tercermin dari tingginya pengangguran dan kemampuan dalam mendapat penghidupan layak di daerah perkotaan
KEBERLANJUTAN RUANG HIJAU
Dengan melihat beberapa faktor geologis dan geografis kota di Sumut terutama ibukota Propinsi yaitu Medan yang bertumpuk pada kajian geohazard dan georisk dengan memanfaatkan sistim informasi data penginderaan jauh sebagai aspek dari pertimbangan penyusunan peta spasial ruang daerah banjir, dan manajemen sistim alam atau geologi lingkungan yaitu manajemen sumber daya alam untuk mendukung pembangunan ekonomi dan sosial berkelanjutan yang berkaitan dengan sumber daya air untuk dijadikan  sebagai sumber daya terbarukan dan upaya menimalisasi dampak dari pengambilan dan penggunaan sumber daya alam tak terbarukan yang memperhatikan tata ruang hijau berbasis mitigasi bencana banjir yang meliputi aspek hidrometeorgeologi, penyebaran penduduk di kawasan padat, dan garis patahan lempeng bumi di kawasan tengah Propinsi Sumatera Utara.
Dalam kaitan ini, maka perlu dipikirkan ruang-ruang hijau terbuka dan ruang publik untuk pusat perekonomian, ruang hijau atau taman lokasi pemukiman, taman daerah perkantoran, taman sanggahan bencana di kawasan industri, serta publik space khusu yang bukan sekedar ruang hijau terbuka untuk peningkatan pendapatan sumber daya ekonomi pembangunan maupun keperluan peningkatan ekonomi masyarakat tetapi sebagai ruang penyelamatan, taman dan jalur evakuasi, depot bencana serta ruang hijau  abadi untuk berbagai keperluan sandang-pangan, harus dijaga ketat dan ditindak secara tegas dengan partisipasi masyarakat yang sadar untuk kepentingan mereka.
Keberlanjutan ruang terbuka hijau di wilayah daerah yang telah diidentifikasi sebagai daerah rawan banjir memerlukan konsep kota hijau berbasis banjir maka ada dua tahapan diperlukan. Tahap jangka pendek yaitu kawasan perlinduangan hijau dan air yaitu DAS atau sungai-sungai yang membelah tata ruang Medan, dan kota satelitnya yang telah kehilangan ekologi hijau dan memerlukan reboisasi dengan membongkar kawasan kumuh sesuai aturan UU tata ruang dan UU pengairan harus terdapat kawasan lindung hijau sejauh 50 meter dari kiri dan kanan bantaran dan DAS sungai. Kawasan budidaya (yang ini di Medan tidak ada dan terkikis oleh kemajuan pembangunan fisik), kawasan hutan konservasi pantai berupa hutan mangrove.
Sedangkan tahapan jangka penjang diperlukan adalah pertama, manajemen penataan sistim kelembagaan pengelolaan DAS untuk mengontrol aktifitas sosial dan pembengunan fisik oleh masyarakat agar dapat melaksanakan perencanaan dan mengimplementasikan yang berkaitan dengan pengelolaan DAS.
Kedua, pengembangan hutan di kawasan DAS bagian hulu untuk meningkatkan fungsi hutan dalam hal pengendalian banjir. Ketiga, mengupayakan pemerataan pembangunan antar wilayah dalam kota untuk mengurangi konsentrasi penyebaran penduduk di perkotaan agar dapat mencegah berkurangnya daerah rawa dan daerah taman kota serta keempat, menyusun strategi penyuluhan lingkungan bagi masyarakat terdidik untuk menjadikan kawasan hijau sebagai ekonomi produktivitas melalui konsep pertanian abadi dengan sumber dana dan fasilitasi manajemen dari Pemko Medan dengan melakukan pendataan lahan tidur sebagai sumber ekonomi daerah agar dapat dijadikan fungsi ekologis air, fungsi perluasan taman dan areal perkebunan produktif melalui instansi terkait.
TANTANGAN BANJIR
Hukum geologi lingkungan menyebutkan bahwa kejadian bencana-bencana masa lalu merupakan gambaran ke masa kini dan merupakan introspeksi gambaran ke masa mendatang, bahwa kejadian bencana alam yang sering terjadi sekarang dapat di tekan jika belajar dari sejarah bencana yang pernah terjadi, sebagai contoh gempa tsunami, terekam dari jejak pengangkatan pulau-pulau karang, sehingga upaya menimalisasi luasan kerusakan tata ruang dapat diketahui, berapa luas lahan yang akan hancur dan dimanakah perlu diletakan suatu pusat distribusi dan aktivitas kehidupan manusia.
Begitu juga gambaran tentang bencana banjir dan gerakan tanah, semua elemen kejadian bencana sebenarnya ada sumber pelajarannya, namun manusia sekarang alpa, masalaha klasik terletak pada bagaimana mengupayakan keselarasan ruang hijau dengan kekuatan ekonomi dalam tata ruang di kota besar Sumut yang berlangganan banjir seperti Medan, Tebing Tinggi, Rantau Parapat serta kota sedang berkembang seperti Sibuhuan dan Gunung Tua serta Panyabungan. Sebuah tantangan 2014 untuk menekan bencana banjir dan sekali disertai batu Sinabung atau mungkin giliran Sibual-buali yang menyertai pemikiran para perencana pembangunan di tahun 2014.

M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer. Tulisan ini sudah di Publikasi di Harian ANALISA MEDAN Tahun 2013

No comments:

Post a Comment

Related Posts :