Sep 21, 2015

Devisa Asap dari Negeri Kabut Asap

(Analisa/Said Harahap) KEBAKARAN HUTAN: Asap mengepul ke udara dari sebahagian hutan yang dibakar untuk perluasan lahan perkebunan di kawasan Sumatera Utara. Pembakaran hutan secara besar-besaran dapat memberikan dampak negatif dalam penyebaran emisi gas karbon ke wilayah atmosfer sehingga menyebabkan penipisan lapisan ozon.

Devisa Asap dari Negeri Kabut Asap

Oleh: M. Anwar Siregar
Sumber Jurnal Nature Climate Change menyebutkan “Deforestasi di Indonesia mencapai 840.000 hektar pada tahun 2013”. Sungguh luar biasa kalau memang itu terjadi, dan tidak salah jika begitu banyak bencana alam klimatologis di Indonesia akibat kerusakan hutan.
SUMBER tersebut menyebutkan “Indonesia mengalahkan angka deforestasi di Brazil yang mencapai angka 460.000 hektar, di tahun yang sama, setahun setelah moratotium (2011) penebangan hutan diberlakukan”. 
Jadi apakah laju kerusakan hutan Indonesia paling kencang di muka bumi kalau begitu? Lihatlah, darurat kabut asap telah berlakukan di Riau akibat terbakarnya hutan dan lahan mencapai lebih 100 hektar dan diperkirakan tanpa surut waktu ke tahun depan, menjadi persoalan yang berkepanjangan karena kita tidak hidup selaras dengan alam.
Selain pembakaran hutan terdapat juga perencanaan pembangunan tata ruang yang kurang baik, seperti pembangunan kota dan perumahan, sehingga lahan pertanian yang subur semakin sempit, yang mengincar zona hijau, zona sanggahan hijau bencana yang menimbulkan bencana longsoran setiap tahun. 
Negeri Emisi
Emisi yang dikeluarkan hutan Indonesia ternyata berpengaruh besar ke atmosfer di bumi, bahwa emisi karbon dari perubahan tutupan lahan sangat berpengaruh secara signifikan secara global, dampak dari pembakaran hutan dan pembalakan hutan mencapai 80.000 hektar setiap tahun dengan laju deforestasi tertinggi di muka bumi.
Diperkirakan hasil penelitian emisi dari karbon hutan Indonesia mencapai 40 persen dari total emisi karbon dunia selain emisi bahan bakar fosil yang dihasilkan dunia selama 10 tahun terakhir akibat pembakaran hutan-hutan di tiga pulau besar Indonesia-Sumatera, Kalimantan dan Papua.
Pada tahun 1990-an, Presiden Indonesia ketika itu menganjurkan dan mencetuskan suatu Proyek Mega Rice dengan membangun lahan sejuta hektar di Kalimantan Tengah, kondisi ini telah mendorong terjadinya perubahan tata ruang hutan Kalimantan menjadi sebuah bencana, karena ada penghancuran hutan untuk mencetak lahan pertanian sawah sejuta hektar. Penyebabnya ada penghancuran hutan, pembakaran, dan lokasi terdekat dengan lahan pertambangan yang mengandung emisi bahan bakar fosil. Contoh di bawah ini: batu bara, minyak bumi dan gambut yang jika di gabung mencapai 20 juta metrik ton selama lima tahun.
Daerah ini salah satu sumber kerawanan kebakaran dan berpotensi terus mengeluarkan emisi karbon. Jika di catat emisi karbon di Indonesia tidak pernah suruh sejak pembalakan hutan secara besar-besar dari tahun 1990 hingga ke era tahun sekarang. Emisi karbon dioksida Indonesia terus naik menjadi 490 juta ton pada tahun 2011 atau naik sekitar 210 persen dibanding pada level tahun 1990. Emisi CO2 per kapita Indonesia juga naik menjadi 122 persen dari 0,9 ton emisi CO2/penduduk pada tahun 1990 menjadi 2 ton emisi CO2 penduduk tahun 2011. Tahun 2013 emisi CO2 Indonesia naik menjadi 510 juta ton akibat dampak pembakaran hutan Sumatera sepanjang 6 bulan total. 
Sumber kenaikan emisi global Indonesia di picu dari dari kenaikan konsentrat CO2 di udara saat ini melampaui angka 390 PPM (parts per million dari batas aman yaitu 350 ppm). CO2 dari kebakaran hutan Indonesia adalah gas rumah kaca yang memicu pemanasan global dan perubahan iklim di udara atmosfir Asia Tenggara termasuk kejadian kabut asap ini, dan lagi Riau sebagai “promotor” utama penghasil devisa emisi kabut asap tahun ini.
Tragedi Devisa Asap
Dampak bencana asap dari sisi ekonomi sangat merugikan Indonesia, akibat ekspasif dari perusahaan Malaysia dan Singapura membuka lahan di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. 
Kasus kebakaran hutan semakin susah diberangus dan pemerintah dianggap gagal mengelola lingkungan, terutama dalam menegakkan hukum dengan menyeret pelaku pembakaran hutan ke pengadilan. Kebanyakan yang terekspose hukum hanya pelaku kelas bawah, sedang pelaku “utama” tidak tersentuh hukum. 
Selain itu pemerintah tidak memiliki grand design untuk mengadili korporasi yang berujung pada pencabutan izin usaha perusahaan, hingga terus menimbulkan persoalan lingkungan dengan terus terjadinya musibah bencana kabut asap, berdampak luas bagi perekonomian Indonesia serta kredibilitas pemerintah di dunia internasional.
Tiada tahun tanpa bencana kabut asap di Sumatera dengan terjadinya tragedi asap membuat warga di Pulau Sumatera harus berjuang mengatasi berbagai persoalan kondisi kesehatan dan ekonomi, tragedi asap dapat memberikan pukulan telak bagi sumber devisa. Ironisnya, sumber devisa itu justrunya merupakan sumber kekayaan alam Riau lainnya yang dapat menghentikan produksi minyak -sebagai dampak polusi kabut asap di Provinsi Riau- sekitar 12.000 barrel (kasus kejadian kabut asap tahun 2014). Ratusan sumur produksi minyak nasional terancam karena mengingat Riau adalah penyumbang terbesar, dan lucunya, Kalimatan Timur juga ikut latah, karena kedua sama, penghasil kabut asap dan daerah penghasil devisa migas terbesar di Indonesia.
Memang kita telah mengetahui, bahwa ladang-ladang atau sumur minyak kadang menginjeksikan semburan api ke udara, namun ini tidak terlalu signifikan, karena terpusat, justrunya pembakaran hutan dapat membakar sumber karbon yang terkadung dalam unsur kandungan minyak dan batubara serta gambut, yang menimbulkan kabut asap karena ikut “terpanaskan” lalu berdampak pada jarak pandang akibat sebaran asap dalam suatu wilayah kerja sehingga mendorong terjadi penurunan kualitas kerjanya. Hal inilah penyebab mengapa produksi migas di Riau dan Kaltim mengalami penurunan hingga di bawah 10.000 barrel per hari.
Dampak tragedi kabut asap ini dapat melemahkan kekuatan pertumbuhan ekonomi Indonesia bukan saja Singapura dan Malaysia. Tetapi yang paling rugi kita dibidang ekonomi, sedang pihak Singapura dan Malaysia dibidang kesehatan karena ruang udara dari hutan kedua negara ini sangat terbatas dalam menyerap emisi CO2 sehingga menimbul musim kabut asap gelap bisa berlangsung berhari-hari.
Efek Medan
Dampak kabut asap kini menjadi masalah yang tak akan pernah habis selama hutan Riau dan Kaltim di ekspansi oleh perusahaan dari Singapura dan Malaysia dalam membuka lahan perkebunan yang sangat luas. Akibatnya Medan yang termasuk kota sejuk pun telah merasakan dampak cuaca panas yang mencapai 31-35 derajat celcius. Kondisi bertambah panas setiap tahun tanpa pernah turun selama Riau di jadikan pioner negeri kabut asap.
Dengan cuaca dan polusi udara saat ini dapat memberi ancaman bagi kesehatan terutama penyakit infeksi saluran pernapasan. Kabut asap semakin berbahaya bagi kesehatan jika masuk wilayah Medan dan bergabung dengan debu vulkanik Sinabung yang belum juga menunjukkan gejala penurunan atau istirahat erupsi. Kemudian diperparah dengan laju penggunaan kendaraan yang belum semuanya menggunakan energi hijau, sehingga panas jadi ancaman sepanjang hari termasuk di malam hari.
Kabut asap adalah bencana ekologi disebabkan ulah manusia (antropogenik). Penyebab utamanya adalah pembakaran lahan dan hutan, baik oleh individu, kelompok, hingga perusahaan. 
Aroma mengorbankan ekologi demi keuntungan ekonomi sangat dominan, sehingga perlu direnung kembali untuk hidup dapat selaras dengan alam.
(Penulis adalah Enviromental Geologist, pemerhati masalah tata ruang lingkungan dan energi geosfer)

No comments:

Post a Comment

Related Posts :