Sep 21, 2015

Bisakah Indonesia Hidup Tanpa Menghasilkan Emisi

Bisakah Indonesia Hidup Tanpa Menghasilkan Emisi

Oleh: M. Anwar Siregar
Isu lingkungan hidup selama ini lebih banyak dilihat sebagai persoalan struktural, me-nyangkut politik pembangu-nan, terutama pemahaman kebijakan perencanaan tata ruang dan lingkungan, menguraikan konflik-konflik tanah. Perusakan lingkungan hutan yang terus muncul ke permukaan adalah akibat tidak konsistensi mempertahankan aturan, memunculkan berbagai ancaman bencana kini menjadi “penyakit modern” berupa peningkatan emisi CO2  dunia meningkat tajam sejak kebakaran hutan terbesar kembali terulang dari tahun 2011 naik sekitar 3 persen daripada tahun 2010, lalu melonjak kembali 5 persen pada tahun 2013 setelah hutan-hutan di Indonesia menginjeksi CO2 juga terus meningkat.
Sumber Gambar : http://analisadaily.com/opini/news/bisakah-indonesia-hidup-tanpa-menghasilkan-emisi/170826/2015/09/15 
Bisakah dunia khususnya Indonesia dapat mengurangi CO2 dengan menekan beberapa aspek penggunaan CO2 dari beberapa lahan atau barang buatan manusia selain “merusak kondisi hutan”?
Sumber Injeksi
Dampak kebakaran hutan telah menimbulkan fenomena asap hitam yang membubung tinggi jauh menembus batas antara negara, sehingga menjadi monster hitam yang membentuk kabut di langit bumi negara tetangga, dan Indonesia adalah negara disebut sebagai “biang kerok” polutan udara dunia. Fakta yang menyebabkan adalah injeksi sawit dan merupakan salah satu monster Asia Tenggara.
Perluasan perkebunan kelapa sawit yang siginifikan di Pulau Sumatera terdapat di empat Provinsi yaitu Jambi, Sumatera Selatan, Riau dan Sumatera Utara, perluasan perkebunan sejalan dengan progran transmigrasi yang dilaksanakan oleh pemerintah sejak tahun 1990. Dampak dari perubahan lahan hutan di empat provinsi dan menjadikan Indonesia penghasil devisa crude oil terbesar dunia dapat mencapai puluhan hektar per provinsi. Perluasan inilah mengapa kebun kelapa sawit menjadi sorotan masyarakat, sebab dari ke empat provinsi “petro dollar” ini setengah wilayahnya merupakan penghasil kandungan bahan bakar tambang strategis dan vital.
Bersama empat provinsi di Sumatera ternyata belum cukup, hutan-hutan di Indonesia terus memproduksi emisi ke langit dunia mencapai lebih 490 juta ton ppm hingga ke tahun 2012, Indonesia penghasil emisi gas karbon terbesar di bumi setelah hutan di Kalimantan tergerus dengan perluasan kebun sawit mencapai 31.000 kilometer persegi. Meningkat setiap tahun dan mencapai puncaknya sebanyak 350 persen pada tahun 2012.
Laporan media dan jurnal ilmiah internasional menyebutkan hutan Indonesia di Kalimantan sepertinya tidak mau dunia bebas emisi dengan terlihat fakta dilapangan, ditemukan sejumlah perubahan yang menakutkan bagi kehidupan dan kelestarian bumi karena hutan bumi Indonesia merupakan paru-paru dunia dengan kehilangan hutan penyerap emisi seluas 53 persen, dibagi masing-masing 22 persen untuk hutan primer yang masih perawan, 21 persen hutan skunder dan 10 persen dari non hutan namun daerah hijau. Berkurangnya luasan ini berujung pada emisi karbon sebanyak 0.41 gigaton, dan perlu upaya untuk mengatasi sebelum tahun 2020, karena sepertiga hutan di luar wilayah konservasi di Kalimantan akan menjadi perkebunan sawit dan menghasilkan lebih banyak lagi emisi sebanyak empat kali dari yang ada sekarang.
Sebuah pengurangan hutan yang sangat dramatis dan peningkatan emisi yang mengerikan serta memunculkan sebuah pertanyaan ”masih pantaskah Indonesia disebut negeri zamrud khatulistiwa jika menghasilkan berton-ton emisi dari hasil jerabu hutan-hutannya?”
Mana Keberlanjutan
Indonesia merupakan negara yang memproduksi gas emisi rumah kaca ke tiga terbesar setelah Tiongkok dan Amerika Serikat dengan 85 persen emisi berasal dari kerusakan dan berkurangnya jumlah luas hutan di Indonesia sebagai hutan alam Indonesia. Hutan alam merupakan penyimpan karbon terbesar di bumi.
Menimbulkan pertanyaan kita, apakah Indonesia dapat hidup dengan tidak menghasilkan emisi? Jangankan tidak menghasilkan emisi ke lingkungan menguranginya saja belum sanggup.
Faktor utama dari semua itu adalah dalih peningkatan ekonomi pembangunan, sehingga fungsi hutan diabaikan dan baru dipikirkan jika telah mengalami perusakan yang menimbulkan bencana dahsyat, sedangkan pemikiran tentang pembangunan hijau berkelanjutan itu sebenarnya apakah ada? Jika ada, kemanakah keberlanjutan hijau itu? Yang justrunya kita kita lihat adalah keberlanjutan bencana kabut asap sepanjang tahun, kadang muncul seminggu atau dua mingu, lalu muncul masalah banjir klasik, dampak dari berkurangnya daya dukung lingkungan, didasarkan pada tingkat pemanfaatan sumber daya alam hutan yang berlebihan sehingga menimbulkan intensitas dan beban buangan limbah banjir dari kerusakan hutan ke lingkungan, inilah yang terlihat di beberapa kota-kota besar di Indonesia pada akhir tahun lalu dan berlanjut lagi ke akhir tahun ini.
Moratorium Emisi
Perlu sebuah moratorium untuk pengurangan emisi, mengingat daya dukung lingkungan di beberapa kota di Indonesia saat ini mengalami tingkat degradasi yang sangat tinggi, laju penurunan daya dukung tanah di beberapa kota di Indonesia melaju dengan penurunan rata-rata mencapai 1.5-2 c, per tahun, kecuali Jakarta bisa mencapai 5 cm per tahun.
Dampak dari alih fungsi hutan, pengurangan taman hijau dan tidak terpenuhinya amanah UU tata ruang hijau yang mengamanahkan sekitar 30 persen dari total luas wilayah.
Bukti lainnya dapat kita lihat, penggunaan energi fosil seperti batubara dan migas secara besar-besaran mendorong Indonesia lupa untuk melakukan “pembaharuan energi” dalam jangka waktu tertentu sehingga menimbulkan efek kerusakan alam. Terlihat dari peningkatan CO2 yang dihasilkan penggunaan bahan bakar minyak di Indonesia tidak mengalami penurunan permintaan.
Selaras tersebut dengan diatas, polusi udara kota-kota besar di Indonesia kini sudah diambang kritis, udara panas menyengat itu salah satu dari dampak kerusakan hutan, dengan tingginya konsumsi pemakaian BBM mencapai 240 juta kilo liter dari kendaraan, dimana terkandung unsur kimia seperti timbal yang melewati ambang batas 0.03 ug/l dan saat ini sudah diatas 0.09 ug/l dari total lebih 45 juta kendaraan secara Nasional hilir mudik di jalan-jalan kota di Indonesia yang mencapai 60 persen buangan emisi dari knalpot yang mengandung sulfur dioksida, nitrogen oksida dan timbal menghasilkan konsentrasi emisi hingga 2 juta ton part per million (ppm) setiap tahun, lalu disusul penggunaan bahan bakar rumah tangga dari energi fosil mencapai 1.900 juta kilo liter di tingkat Nasional. Penggunaan batubara dan tumpahan minyak adalah pencemar dan penghasil emisi terbesar ke udara merupakan produksi unggulan dari usaha pertambangan dan perminyakan perlu sebuaj moratorium emisi penggunaan BBM konvensional.
Sangat berbading terbalik dari keinginan pemerintah untuk menurunkan laju emisi dunia. Di tingkat Nasional, Pemerintah berkomitmen penurunan emisi Gas rumah Kaca sebesar 26 persen pada tahun 2020 dengan upaya sendiri dan sebesar 41 persen dengan bantuan dunia internasional. Penurunan emisi GRK menuntut arah pembangunan yang rendah karbon seiring dengan produksi dan konsumsi BBM dan daerah hijau berkelanjutan.
Membaca data tersebut, seperti keniscayaan, menimbulkan ironis. Mengingat kondisi lingkungan hutan dan udara Indonesia semakin rusak, laut sebagai penyerap oksigen terbesar kini telah mengalami penghancuran ekosistem terumbu karang dan hutan mangrove akibat ekspansif wisata hotel dipinggir pantai, serta begitu juga banyaknya tumpahan minyak dan jutaan ton plastik tersebar di laut Indonesia, laju kerusakan hutan mencapai 460.000 hektar per tahun sehingga daya serap emisi laut dan hutan semakin berkurang dan menimbulkan hujan asam.
Agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap keberlanjutan pembangunan, tingkat pemanfaatan sumber daya alam dan buangan limbah beracun dan penghasil emisi lainnya harus ada tujuan pengendalian melalui perencanaan kegiatan pembangunan secara tepat, dalam pencapaian kualitas hidup yang ditentukan secara tepat, salah satunya adalah moratorium emisi dan pengendalian konsumsi BBM non hijau dan izin pembatasan pembukaan perkebunan di lahan hutan. ***
Penulis adalah Enviromental Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer
http://analisadaily.com/opini/news/bisakah-indonesia-hidup-tanpa-menghasilkan-emisi/170826/2015/09/15

No comments:

Post a Comment

Related Posts :