Bencana Banjir Sumatera, Darurat Tata Ruang Hutan
Bencana Banjir Sumatera, Darurat Tata Ruang Hutan
Oleh: M. Anwar Siregar.
Pembangunan
saat ini, lebih memfokuskan pada pembangunan pencapaian ekonomi,
terlihat dari eskalasi pemanfaatan lahan-lahan sempit dengan bentuk
bangu-nan vertikal sehingga memunculkan tekanan yang kuat untuk
menekan fungsi ruang hijau yang semakin terbatas, akibat sulitnya
mendapatkan tanah dan tata guna lahan yang lebih luas (horizontal)
yang berdampak pada semakin berkurangnya ekologi hijau.
Konsistensi dalam mempertahankan aturan Tata Ruang menjadi
terlupakan sehingga apa yang diharapkan dalam mempertahankan rencana
tata ruang detail wilayah berubah menjadi bencana universal, walau
sedikit saja mengalami perubahan dalam tata ruang ekologis hutan dapat
menimbulkan dampak perubahan cuaca atau iklim maka kerak bumi akan
bereaksi memberikan musibah bencana, salah satunya bencana banjir,
langganan bencana paling banyak bermunculan di wilayah Indonesia selain
letusan vulkanik, gempa bumi dan longsoran tanah kini terjadi di Aceh,
Tapanuli Tengah dan Riau serta Jambi.
Darurat Hutan
Manusia telah banyak berhasil mengatur kehidupannya dengan melakukan
pengendalian tata ruang hutan dengan pengaturan fungsi lahan agar ada
keseimbangan antara tanah, air dan udara dalam kearifan lokal sebelum
era industri modern. Namun ketika di era sekarang, mulai terkikis oleh
ego keserakahan dengan melupakan eksistensi ketiga sumber daya
keseimbangan bagi manusia itu menjadi malapetaka. Salah satunya adalah
perubahan signifikan fungsi tata ruang hutan berdampak pada gangguan
iklim, siklus hidrologis dan terputusnya rantai makanan serta ilmu
pengetahuan.
Hutan merupakan suatu sistim lingkungan yang membentuk tatanan
ekosistem yang tidak boleh terputus bagi kehidupan di muka bumi,
eksploitasi harus terbatas dan harus ada batas daya regenerasi agar
menjadi sumber daya yang diperbaharui menjadi sumber daya lestari bagi
makhluk hidup. Jadi, sistim di hutan berfungsi sebagai faktor produksi,
konsumsi, dan sarana pelayanan bagi kehidupan manusia tidak boleh
mengalami gangguan parah agar tidak terhambatnya pemberi kehidupan.
Laju kebakaran hutan di Sumatera terancam oleh laju deforestasi
yang tidak terkendali akibat laju peruntukan pembukaan kebun kelapa
sawit mencapai 90 persen di Sumatera plus Kalimantan dan Papua dengan
mengorbankan fungsi tata ruang hutan menjadi tersisa 10 persen di luar
area non hutan yang meningkatkan perubahan iklim global.
Laju kebakaran hutan Indonesia akibat deforestasi mencapai 6.02
hektar per tahun pada tahun 2000-2012, sehingga Indonesia menjadi negara
penghasil gas emisi terbesar di dunia, setiap tahun hutan hancur
mencapai 0.84 juta hektar (Sumber Nature Climate Change). Dari gambaran
data tersebut, bisa kita bayangkan bagaimana hancurnya tata ruang hutan
di Sumatera sehingga tidak mengherankan kenapa setiap tahun terjadi
banjir bandang di kota-kota besar di Pulau Sumatera.
Darurat Iklim
Sebagaimana disebutkan oleh laporan Intergovernmental Panel on
Climate Change (IPCC) tahun 2007 bahwa pulau-pulau kecil yang ada di
Samudera Indonesia sangat rentan mengalami penurunan dan dapat terjadi
penenggelaman akibat dampak perubahan iklim ekstrim dan efek dari laju
kerusakan tata ruang hutan di Pulau Sumatera, pulau-pulau itu mudah
terjadi abrasi dan kehilangan ketinggian permukaan tanah dan lahan yang
berpotensi ekonomis wisata disebabkan terjadinya kenaikan air permukaan
laut, kehancuran hutan mangrove dan laju kerusakan terumbu karang
dapat mempercepat kerusakan daratan pantai akibat hantaman gelombang
geologis air ombak sehingga terjadi kelembaban tanah dan menurunkan
daya tahan tanah pulau-pulau berakhir pada longsoran tebing pulau
berdampak gelombang tsunami.
Perubahan tata ruang hutan sedikit saja sudah mengalami gangguan
kerusakan ekologi dapat mengubah kondisi atmosfir terhadap kekuatan
tanah dalam mencegah banjir, terkait dengan proses yang ada di alam
seperti efek gas rumah kaca dan gas rumah kaca. Salah satunya disebabkan
oleh pembakaran hutan di Sumatera berdampak pencemaran udara,
pembakaran ini menghasilkan gas oksida belerang dan oksida nitrogen dan
bereaksi menjadi asam sulfat dan asam nitrat dan jatuh ke bumi menjadi
hujan asam, yang dapat menyebabkan kerusakan pohon-pohon hijau di
kawasan hutan.
Hal ini juga salah satu penyebab terjadinya kenaikan suhu permukaan
bumi, kenaikan suhu permukaan bumi menimbulkan reaksi pada kulit bumi
(lempeng) untuk menstimuluskan keseimbangan dengan memberikan manusia
hadiah bencana. Sebab, naiknya kadar gas rumah kaca (GRK) akibat polutan
pembakaran hutan seperti CO2, CH4, dan N2O menaikkan intensitas efek
rumah kaca (ERK) sehingga permukaan bumi akan naik dan menimbulkan
pemanasan global dan darurat iklim global yaitu perubahan curah hujan
di daerah pegunungan ke daratan rendah seperti yang kita lihat di
beberapa provinsi di Indonesia, yang teraktual untuk Sumatera Utara ada
di Batubara, Tapteng dan Madina,
Pertambahan volume curah air hujan berdampak juga pada ketinggian
air pada sungai-sungai besar yang umumnya membelah tata ruang kota
besar di Indonesia, sekitar 45 persen sungai-sungai besar banyak
membelah kota besar seperti Medan, Jakarta, Semarang termasuk wilayah di
Tapanuli Tengah, Rohul dan Rengat (Riau), serta Aceh dan laju erosi
lateral pantai mengancam kota Sibolga, Lampung dan Padang karena ada
garis pantai mundur sejauh minimal 1 meter dengan kenaikan air permukaan
laut 25-140 cm serta garis pantai mundur menjadi 25-140 cm.
Perlu aktualisasi tata ruang hutan dengan menekan penghancurannya.
Gangguan Hidrologis
Selain ganguan iklim, banjir yang terjadi di Sumatera itu tidak
terlepas juga dari gangguan siklus hidrologis akibat intervensi manusia
pada kehancuran tata ruang hutan karena cakupan luas hutan mencapai
jutaan hektar mengalami penggundulan, pembakaran dan alih fungsi
peruntukan sehingga potensi daya serap infiltrasi air ke dalam tanah
mengalami kelulusan air, melaju cepat ke permukaan tanah tanpa
terbendung oleh pengakaran pohon di kawasan kota dan tebing bukit
berbuah efek domino yaitu banjir bandang, gerakan tanah menahun dan
hilangnya flora dan fauna yang dilindungi serta kerusakan infrastruktur
dan korban jiwa.
Gangguan hidrologis untuk daratan sangat berperan penyebab utama
banjir di beberapa kota di Sumatera akibat intervensi manusia dalam
mengubah daerah tutupan lahan dari daerah hijau menjadi daerah perkotaan
yang dapat kita lihat jelas di sekitar hulu DAS yang membentuk kawasan
bangunan sehingga hutan ataupun lahan kosong itu sebenarnya sudah
ditetapkan sebagai daerah fungsi resapan air, mempengaruhi siklus
geohidrologis, terutama ketika hujan menuju kepermukaan, fungsi
infiltrasi berkurang dan proses intersepsi tidak bekerja sesuai
fungsinya, sehingga jumlah limpasan air tidak tertampung oleh kapasitas
debit sungai mengakibatkan banjir, (kasus ini dapat dilihat sepanjang
sungai Sibabangun, Indragiri serta Kampar dan Batanghari).
Effek Banjir Tahunan
Sudah 20 tahun terakhir ini, Sumatera silih bergantian atau arisan
bencana antara kebakaran hutan, kabut asap dengan banjir disertai bonus
longsoran yang mematikan, melanda daratan di beberapa provinsi.
Ironisnya, daerah penghasil sawit terbesar di Indonesia mampu juga
menghasilkan bencana emisi iklim global, menghasilkan banjir musiman dan
kehancuran ekologis.
Lihat kasus musibah banjir di Aceh, Riau dan Jambi, di semua lini
tata ruang hutan akan terdapat perubahan peruntukkan menjadi pembukaan
hunian, lahan perkebunan. Pembakaran hutan sepertinya sudah biasa,
termasuk juga menghabisi habitat hutan lindung di kawasan Taman Nasional
Lauser, Talang Mamak dan Jambi di sekitar sungai besar yang membelah
setengah ketiga Provinsi ini menjadi rawan bencana.
Ternyata bencana banjir tahunan itu belum cukup memberikan efek
penghasil bencana seperti sudah disebutkan didepan, masih ada efek
lainnya yaitu menurunnya ketahanan sebagian penduduk menjadi miskin,
akibat dampak kehilangan tempat tinggal karena kehancuran dan kebatilan
sebagian manusia serta memutuskan kembali ke daerah yang terlanda
bencana. Maka pengaturan tata ruang hutan dan RTH semakin sulit
terlaksana dengan baik dan amanah UU Tata Ruang tinggal pepesan kosong.
***
Penulis adalah Enviromental Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer.
Komentar
Posting Komentar