Sep 21, 2015

Bencana Banjir Sumatera, Darurat Tata Ruang Hutan

Bencana Banjir Sumatera, Darurat Tata Ruang Hutan

Oleh: M. Anwar Siregar.   

Pembangunan saat ini, lebih memfokus­kan pada pem­bangunan pencapaian ekonomi, terlihat dari eskalasi peman­faatan lahan-lahan sempit dengan bentuk bangu-nan verti­kal se­hingga memunculkan tekanan yang kuat untuk menekan fungsi ruang hijau yang se­makin terbatas, akibat sulitnya mendapat­kan tanah dan tata guna lahan yang lebih luas (hori­zontal) yang berdampak pada semakin berkurangnya ekologi hijau.
Konsistensi dalam mempertahankan atu­ran Tata Ruang menjadi terlupakan se­hing­ga apa yang diharapkan dalam memper­tahankan rencana tata ruang detail wilayah berubah menjadi bencana universal, walau sedikit saja mengalami perubahan dalam tata ruang ekologis hutan dapat menimbulkan dampak perubahan cuaca atau iklim maka kerak bumi akan bereaksi memberikan musibah bencana, salah satunya bencana banjir, langganan ben­cana paling banyak bermunculan di wilayah Indonesia selain letusan vulkanik, gempa bumi dan longsoran tanah kini terjadi di Aceh, Tapanuli Tengah dan Riau serta Jambi.
Darurat Hutan
Manusia telah banyak berhasil mengatur kehi­dupannya dengan melakukan pengenda­lian tata ruang hutan dengan pengaturan fung­si lahan agar ada keseimbangan antara tanah, air dan udara dalam kearifan lokal sebelum era industri modern. Namun ketika di era seka­­rang, mulai terkikis oleh ego keserakahan dengan melupakan eksistensi ketiga sumber daya keseimbangan bagi manusia itu menjadi mala­petaka. Salah satunya adalah perubahan signifikan fungsi tata ruang hutan berdampak pada gangguan iklim, siklus hidrologis dan terpu­­tusnya rantai makanan serta ilmu penge­tahuan.
Hutan merupakan suatu sistim lingkungan yang membentuk tatanan ekosistem yang tidak boleh terputus bagi kehidupan di muka bumi, eksploitasi harus terbatas dan harus ada batas daya regenerasi agar menjadi sumber daya yang diperbaharui menjadi sumber daya lestari bagi makhluk hidup. Jadi, sistim di hutan berfungsi sebagai faktor produksi, konsumsi, dan sarana pelayanan bagi kehidupan manusia tidak boleh meng­alami gangguan parah agar tidak terham­batnya pemberi kehidupan.
Laju kebakaran hutan di  Sumatera teran­cam oleh laju deforestasi yang tidak terkendali akibat laju peruntukan pembukaan kebun kelapa sawit mencapai 90 persen di Sumatera plus Kalimantan dan Papua dengan mengor­bankan fungsi tata ruang hutan menjadi tersisa 10 persen di luar area non hutan yang me­ningkatkan perubahan iklim global.
Laju kebakaran hutan Indonesia akibat defo­restasi mencapai 6.02 hektar per tahun pada tahun 2000-2012, sehingga Indonesia menjadi negara penghasil gas emisi terbesar di dunia, setiap tahun hutan hancur mencapai 0.84 juta hektar (Sumber Nature Climate Change). Dari gambaran data tersebut, bisa kita bayangkan bagaimana hancurnya tata ruang hutan di Sumatera sehingga tidak mengherankan kenapa setiap tahun terjadi banjir bandang di kota-kota besar di Pulau Sumatera.
Darurat Iklim
Sebagaimana disebutkan oleh laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2007 bahwa pulau-pulau kecil yang ada di Samudera Indonesia sangat rentan mengalami penurunan dan dapat terjadi penenggelaman akibat dampak perubahan iklim ekstrim dan efek dari laju kerusakan tata ruang hutan di Pulau Sumatera, pulau-pulau itu mudah terjadi abrasi dan kehilangan ketinggian permukaan tanah dan lahan yang berpotensi ekonomis wisata disebabkan terja­dinya kenaikan air permukaan laut, kehan­curan hutan mangrove dan laju kerusakan terumbu karang dapat memper­cepat kerusa­kan daratan pantai akibat hantaman gelom­bang geologis air ombak sehingga terjadi kelem­baban tanah dan menurunkan daya tahan tanah pulau-pulau berakhir pada longsoran tebing pulau berdampak gelom­bang tsunami.
Perubahan tata ruang hutan sedikit saja sudah mengalami gangguan kerusakan ekologi dapat mengubah kondisi atmosfir terhadap kekuatan tanah dalam mencegah banjir, terkait dengan proses yang ada di alam seperti efek gas rumah kaca dan gas rumah kaca. Salah satunya disebabkan oleh pembakaran hutan di Sumatera berdampak pencemaran udara, pembakaran ini mengha­silkan gas oksida belerang dan oksida nitrogen dan bereaksi menjadi asam sulfat dan asam nitrat dan jatuh ke bumi menjadi hujan asam, yang dapat menyebabkan kerusakan pohon-pohon hijau di kawasan hutan.
Hal ini juga salah satu penyebab terjadinya kenaikan suhu permukaan bumi, kenaikan suhu permukaan bumi menimbul­kan reaksi pada kulit bumi (lempeng) untuk menstimu­luskan keseimbangan dengan memberikan manu­sia hadiah bencana. Sebab, naiknya kadar gas rumah kaca (GRK) akibat polutan pembakaran hutan  seperti CO2, CH4, dan N2O menaikkan intensitas efek rumah kaca (ERK) sehingga permukaan bumi akan naik dan menimbulkan pemanasan global dan darurat iklim  global yaitu perubahan curah hujan di daerah pegunungan ke daratan rendah seperti yang kita lihat di beberapa provinsi di Indonesia, yang teraktual untuk Sumatera Utara ada di Batubara, Tapteng dan Madina,
Pertambahan volume curah air hujan ber­dampak juga pada ketinggian air pada sungai-sungai besar yang umumnya membe­lah tata ruang kota besar di Indonesia, sekitar 45 persen sungai-sungai besar banyak membelah kota besar seperti Medan, Jakarta, Semarang termasuk wilayah di Tapanuli Tengah, Rohul dan Rengat (Riau), serta Aceh dan laju erosi lateral pantai mengancam kota Sibolga, Lampung dan Padang karena ada garis pantai mundur sejauh minimal 1 meter dengan kenaikan air permukaan laut 25-140 cm serta garis pantai mundur menjadi 25-140 cm.
Perlu aktualisasi tata ruang hutan dengan menekan penghan­curannya.
Gangguan Hidrologis
Selain ganguan iklim, banjir yang terjadi di Sumatera itu tidak terlepas juga dari gangguan siklus hidrologis akibat intervensi manusia pada kehancuran tata ruang hutan karena cakupan luas hutan mencapai jutaan hektar mengalami peng­gun­dulan, pembakaran dan alih fungsi peruntukan sehingga potensi daya serap infiltrasi air ke dalam tanah mengalami kelulusan air, melaju cepat ke permukaan tanah tanpa ter­bendung oleh pengakaran pohon di kawasan kota dan tebing bukit berbuah efek domino yaitu banjir bandang, gerakan tanah menahun dan hilangnya flora dan fauna yang dilindungi serta kerusakan infrastruktur dan korban jiwa.
Gangguan hidrologis untuk daratan sangat berperan penye­bab utama banjir di beberapa kota di Sumatera akibat intervensi manusia dalam mengubah daerah tutupan lahan dari daerah hijau menjadi daerah perkotaan yang dapat kita lihat jelas di sekitar hulu DAS yang membentuk kawasan bangunan sehingga hutan ataupun lahan kosong itu sebenarnya sudah ditetapkan sebagai daerah fungsi resapan air, mempengaruhi siklus geo­hidrologis, terutama ketika hujan menuju kepermuka­an, fungsi infiltrasi berkurang dan proses intersepsi tidak bekerja sesuai fungsinya,  sehingga jumlah limpasan air tidak tertampung oleh kapasitas debit sungai mengakibatkan banjir, (kasus ini dapat dilihat sepanjang sungai Sibabangun, Indragiri serta Kampar dan Batanghari).
Effek Banjir Tahunan
Sudah 20 tahun terakhir ini, Sumatera silih bergantian atau arisan bencana antara kebakaran hutan, kabut asap dengan banjir disertai bonus longsoran yang mematikan, melanda daratan di beberapa provinsi. Ironisnya, daerah penghasil sawit terbesar di Indonesia mampu juga menghasilkan bencana emisi iklim global, menghasilkan banjir musiman dan kehan­curan ekologis.
Lihat kasus musibah banjir di Aceh, Riau dan Jambi, di semua lini tata ruang hutan akan terdapat perubahan per­untukkan menjadi pembukaan hunian, lahan perkebunan. Pembakaran hutan sepertinya sudah biasa, termasuk juga menghabisi habitat hutan lindung di kawasan Taman Nasional Lauser, Talang Mamak dan Jambi di sekitar sungai besar yang membelah setengah ketiga Provinsi ini menjadi rawan bencana.
Ternyata bencana banjir tahunan itu belum cukup memberikan efek penghasil bencana seperti sudah disebutkan didepan, masih ada efek lainnya yaitu menurunnya ketahanan sebagian penduduk menjadi miskin, akibat dampak kehilangan tempat tinggal karena kehancuran dan kebatilan sebagian manusia serta memutuskan kembali ke daerah yang terlanda bencana. Maka pengaturan tata ruang hutan dan RTH semakin sulit terlaksana dengan baik dan amanah UU Tata Ruang tinggal pepesan kosong. ***
Penulis adalah Enviromental Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer.

 http://analisadaily.com/opini/news/bencana-banjir-sumatera-darurat-tata-ruang-hutan/100837/2015/01/22

 

No comments:

Post a Comment

Related Posts :