Sep 21, 2015

Revolusi Mental Manusia Terhadap Lingkungan

Revolusi Mental Manusia Terhadap Lingkungan

Oleh: M. Anwar Siregar
Bencana alam yang melanda wilayah Indonesia seperti gempa bumi, tsunami, gunung api meletus, tanah longsor, banjir, angin puting beliung, kabut asap serta kekeringan telah banyak menimbulkan kerugian dan jumlah korban yang banyak. Selain itu, banyak aktivitas kegiatan sosial maupun ekonomi masyarakat mengalami penundaan akibat bencana banjir.
Rentetan bencana tersebut harus merupakan suatu peringatan, bahwa dalam pengelolaan alam kita mungkin ada yang salah arah dalam suatu perencanaan pembangunan tata ruang dan ekonomi, sehingga perlu upaya meminimalisasikan kerugian baik jiwa maupun material dengan melakukan revolusi mental terhadap lingkungan.
(Analisa/said harahap) PANTAI LAMPUK: Panorama sunset  sinar matahari menjelang terbenam melapisi permukaan air Pantai Lampuuk Lhoknga Aceh Besar, Sabtu (21/2). Pantai Lampuuk yang berada di Barat Aceh digenagi air laut jernih dari Samudra Hindia pasir putih memanjakan kita berjalan ditepi pantai,bentuknya melengkung ke bagian dalam bibir pantai.
Mental Manusia
Tragedi kemanusian akibat bencana tsunami di Aceh, Nias, Pangadaran dan di Jepang seharusnya menjadi bahan introspeksi dan kritikan untuk pembangunan tata ruang dan refleksi atas politik terhadap bumi yang selama ini kita lakukan. Ekonomi yang digaungkan selama ini sebenarnya merupakan ekonomi perusak alam, manusia harus mulai belajar menahan diri agar tetap bisa bertahan hidup di muka bumi dengan menata ulang mental diri manusia.
Beberapa penyebab kerusakan lingkungan antara lain dapat dilihat dari aktivitas manusia, fenomena banjir dan tanah longsor adalah suatu fenomena alam yang bisa terjadi secara terpisah, tetapi seringkali juga berlangsung bersamaan di suatu daerah. Sesungguhnya faktor curah hujan hanya merupakan pemicu saja, akan tetapi banjir dan tanah longsor justru terjadi karena faktor erosi permukaan tanah khususnya di wilayah hulu daerah aliran sungai (DAS), di mana faktor human activities berpotensi besar dalam memperparah tingkat erosi tersebut sehingga lingkungan mengalami gangguan keseimbangan, sehingga terjadi kerusakan lingkungan.
Sensitifitas mental diri manusia, menujukkan semakin rendahnya kesadaran masyarakat serta kurang sensitifnya pemerintah daerah dalam mengawasi pembangunan tata ruang kehutanan, pertanian dan pertambangan yang berdampak pada peningkatan erosi dan meluasnya lahan-lahan kritis akibat penebangan pohon-pohon muda dan berkurangnya daerah resapan air hujan. Sensitifitas mental diri itu tergambar juga oleh etika investasi pembangunan fisik di daerah yang telah diidentifkasi sebagai kawasan bencana, tetap melanjutkan pembangunan dan tidak mempedulikan aspek yang terjadi, kerena berprinsip keuntungan lebih dulu kerugian baru dipikirkan belakangan.
Proses deformasi mental fisik bumi, sesungguhnya merupakan suatu proses alamiah yang berlangsung dipermukaan bumi karena bumi sesungguhnya “hidup” karena bumi terus menerus bergerak yang diperlihatkan oleh pergerakan lempeng-lempeng bumi yang saling menjauh, saling mendekat, dan saling bersisian dan mengalami perubahan bentuk meskipun tidak dipengaruhi oleh campur tangan manusia. Bumi memiliki kuasa dan hak-haknya untuk berevolusi, sesuatu yang sulit dihindari oleh manusia dan karenanya harus diterima sebagai suatu kesadaran mental dalam mendiami bumi.
Mentalitas konsumtif ekonomi politik, kegagalan mental manusia menjaga keharmonisasi hubungan dengan alam akibat rasionalitas ekonomi politik yang membudaya dalam bentuk kehidupan konsumtif tanpa mempertimbangkan dampak yang diakibatkan oleh konsumsi itu sendiri bagi kelangsungan generasi berikutnya. Contoh kejadian pembangunan investasi gedung di sekitar bantaran sungai.
Begitu juga oleh aktivitas mental demokrasi, aktivitas produksi oleh manusia yang membuat ironis dari mekanisme sebuah demokrasi yang diagung-agungkan dan dibungkus oleh ekonomi kapitalisme-liberalisme, di mana keuntungan ekonomi hanya menjangkau segelintir manusia saja, sedangkan sebagian besar manusia yang lain harus menanggung dampak akibat kerusakan alam seperti bencana akibat dorongan libido ekonomi manusia yang mengkomoditikasikan segala hal apapun yang ada di alam semesta, termasuk kehidupan di angkasa raya, serta melahirkan bencana budaya, yakni kecenderungan untuk semakin serakah dan egois dengan menjadikan teknologi adalah pemecah utama.
Teknologi cenderung di konsumsi bukan dalam kerangka membangun dukungan bagi kelestarian alam, teknologi yang ada sekarang cenderung digunakan untuk kekerasan, sedangkan untuk penyelamatan lingkungan tidak terlalu dipikirkan. Contoh dana anggaran teknologi persenjataan nuklir yang jumlahnya ratusan triliun, sedangkan penciptaan teknologi bencana alam seperti gempa baru terpikirkan jika sudah mengancam kehidupan manusia.
Etika Kebijakan
Masalah-masalah lingkungan sebaiknya dipertimbangkan secara seksama dalam perancangan dan pelaksanaan kegiatan dalam mencegah bencana lingkungan, kerusakan dan kehancuran akibat bencana beruntun harus dijadikan renungan untuk mengubah perilaku politik yang merusak bumi dengan mewujudkan demokrasi lingkungan yang beretika dan hormat serta selaras dengan alam, sebuah tatanan yang diusulkan oleh masyarakat dunia bagi green politics agar terjadi komunikasi otentik antara manusia (human) dan alam (nonhuman-world) dalam rangka mewujudkan kelangsungan hidup manusia dan lingkungan.
Hal seperti ini seharusnya menjadi pembelajaran etika mental kebijakan manusia terhadap lingkungan, pembelajaran bagi manusia untuk kelangsungan umat manusia yang sangat berharga dengan segala peristiwa bencana yang terjadi di muka bumi. Manusia dengan kelebihan logika harus mampu menangkap tanda-tanda alam sebagai PR, sebagai bentuk proteksi dan adaptasi dari perubahan alam. Kadang mental kesombongan manusialah yang memperburuk dampak dari siklus alami yang telah lama berlangsung di bumi, seperti dikemukan diatas bahwa bumi adalah makhluk hidup yang terus melakukan evolusi.
Manusia memang memiliki hak hidup, berkembang dan membentuk tatanan demokratis di muka bumi, tetapi bumi juga memiliki hak terus eksis dan berevolusi sesuai dengan hukum alam. Karena itu, manusia harus menghormati yang dituangkan dalam bentuk kebijakan hukum politik pelestarian lingkungan harus benar-benar ditegakkan jika tidak ingin terjadi bencana kemanusiaan yang lebih dahsyat dan upaya untuk mengendalikan kerusakan lingkungan bumi.
Revolusi mental manusia terhadap lingkungan perlu ditingkatkan dengan mempertahankan norma dan budaya kearifan lokal yang diwariskan oleh nenek moyang. Nenek moyang bangsa Indonesia dari zaman dulu berhasil membaca sinyal alam dari fenomena alam yang teratur dan berulang kali terjadi bencana, dalam bentuk falsafah hidup dan melahirkan pemikiran nilai-nilai kearifan lokal lalu diimplementasikan dalam bentuk budaya tata ruang kehidupan untuk pengurangan bencana lingkungan. Sangat mendesak bagi generasi sekarang untuk memahami kekuatan dari alam dengan melakukan revolusi mental terhadap politik dan ekonomi lingkungan.
Karena itu, etika kebijakan perencanaan pembangunan ketaruangan lingkungan tidak boleh mengabaikan siklus alam, dan mengarahkan tata ruang lingkungan dengan pengembangan berbagai potensi sumber daya alam yang seimbang, menciptakan lahan pertanian yang produktif dengan menekan laju spasial bagi perluasan daerah pemukiman ke kawasan hutan.
Revolusi kebijakan lingkungan sudah saatnya dipertegas, dengan menekan penghancuran kawasan hutan, pemanasan global disebabkan oleh banyaknya gas rumah kaca terperangkap di atmosfer perlu suatu aksi green politics yang lebih luas, kebijakan penggunaan bahan bakar nabati perlu ditindak lanjuti bukan pada hari tertentu, tetapi secara komprehensif.
Paradigma ini membutuhkan perubahan nilai sikap dan mental dari setiap anggota masyarakat termasuk pengambil kebijakan, pelaku kegiatan bisnis dan masyarakat luas untuk menekan kerusakan lingkngan dan mencapai tujuan prinsip pembangunan berkelanjutan yaitu memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan (Brundland, 1987), karena bumi adalah satu-satunya tempat kehidupan manusia yang ideal.
(penulis adalah geologist, pemerhati masalah tata ruang lingkungan dan energi geosfer)

No comments:

Post a Comment

Related Posts :