Dec 9, 2015

Waspada Banjir akhir tahun Geologi Disaster :

Waspada Bencana Banjir Besar Akhir Tahun

Oleh: M. Anwar Siregar


Sumber : Illustrasi Harian Anaslisa

Pemerintah seharusnya sudah mengetahui tanda-tanda datangnya bencana secara teratur melalui rekaman sejarah siklus bencana dalam tahunan, puluhan atau bahkan ratusan tahun, karena dengan pengalaman ini, maka kerusakan infrastruktur fisik dan jumlah korban dapat diminimalisasikan, salah satu yang perlu diperhatikan adalah bencana banjir tahunan.
Komponen utama dari penyebab dampak bencana banjir yang sering terjadi dalam tata ruang perkotaan di Indonesia antara lain, berasal dari kendala oleh pemerintah itu sendiri yaitu “pembuangan” waktu dalam menetapkan suatu aturan zona hijau. Fakta menyebutkan, penataan dan perencanaan ruang kota hijau berkelanjutan yang masih tumpang tindih peraturan pelaksanaannya dan tingkat ketegasan pemerintah dalam menjalankan peraturan tersebut.
Dari segelintir kasus kejadian bencana seperti gempa dan gunung api meletus melalui efek banjir lahar dan gerakan tanah akibat banjir dan penggundulan hutan yang menimbulkan bencana kabut asap, menunjukan Pemerintah belum optimal memanfaatkan data dan informasi geologi sebagai dasar pembangunan ketataruangan, seharusnya menjadi fokus utama pembangunan ketataruangan wilayah yang berketahanan bencana dalam mereduksi jumlah kehancuran dan kerugian fisik tata ruang lingkungan dalam meredam trauma bencana di Indonesia karena eskalasi bencana tidak pernah berhenti. Pemerintah dan masyarakat tidak perlu merenung terus tetapi mengimplementasikan secepatnya karena bencana maut hadir setiap saat.
Pembangunan fisik yang berketahanan bencana geologi di Indonesia perlu terintegrasi satu kelembagaan riset yang menangani bencana lingkungan, mitigasi dan kegeologian sehingga memudahkan penyampaian informasi dan komunikasi yang tepat sasaran dan seragam. Bukti itu dengan banyaknya sektor yang menyampaikan informasi bencana dan kadang tumpang tindih komunikasi ketika terjadi bencana. Dan Pemerintah perlu memperhatikan peran masyarakat yang telah mengusulkan berbagai saran untuk membangunan koordinasi kelembagaan dan jaringan komunikasi karena hal ini dapat meminimalisasikan kerugian akibat bencana.
Penguatan koordinasi kelembagaan dalam rangka mendukung upaya mitigasi bencana, menyusun standar konstruksi (buliding code), peningkatan pelayanan Norma Standar Prosedur Manual (NSPM) pengendalian bencana serta dikombinasikan pemahaman sosialisasi mitigasi kewaspadaan masyarakat untuk meminimalisasi kerusakan dan kehancuran akibat bencana. Namun hal ini belum membumi di Indonesia dan sangat kontras dibandingkan dengan Jepang dan Amerika Serikat, jangan berkata bahwa mereka sudah maju pengetahuan dan teknologi tetapi mereka maju karena pengalaman sejarah bencana yang diimplementasikan dalam budaya siaga bencana. Bukankah Indonesia sudah “berpengalaman merasakan bencana?”
Membangun sistem jaringan komunikasi tanggap darurat, antar wilayah yang dirancang berketahanan bencana agar jaringan sistem komunikasi tidak mengalami kehancuran atau kendala dalam memberi informasi dan komunikasi penanggulangan bencana. Untuk menghindarkan kebuntuan komunikasi diperlukan satu pusat pemrosesan data yang dirangkum dari beberapa ahli di instansi kebumian seperti IAGI, LIPI, BMKG, BPPT, Bakorsurtanal, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, dipusatkan pada satu badan riset nasional yaitu Badan Geologi Nasional. Seluruh staf ahli kebumian dapat memberikan konstribusi informasi pada Badan Geologi Nasional agar ketimpangan informasi dapat dihindarkan, bertujuan untuk membantu masyarakat dapat mengantisipasi bencana secepatnya, terhindar dari isu-isu yang menyesatkan. sebagai refleksi dari kejadian gempa di inti Kota Meksiko, San Fransisco, Bam, Cristchurch dan Jepang (Februari dan Maret 2011).
Tata ruang lingkungan kota-kota di Indonesia memerlukan zonasi rehabilitasi lingkungan tata ruang air dan infrastruktur yaitu melakukan usaha preventif tata ruang dengan merelokasikan aktifitas yang tinggi ke daerah yang lebih aman dengan mengembangkan pemetaan mikrozonasi sesuai dengan karakteristik geologi lingkungan internal dan eksternal tatanan geologi tektonik dan satuan fisiografis lingkungan geomorfologi yang menyusun suatu kawasan tata ruang kota yang diidentifikasi aman bagi keberlanjutan tata ruang air dan rehabilitasi tata guna lahan sebagai zona relokasi apabila terjadi kerentanan diwilayah yang lain.
Faktor lain yang mendorong semakin tingginya potensi resiko bencana banjir di kota-kota di Indonesia adalah laju kepadatan penduduk dan bangunan, yaitu banyak penduduk di kota besar seperti Jakarta dan Medan bertempat atau sengaja tinggal di kawasan yang rawan/rentan terhadap bencana seperti tinggal di bantaran sungai.
Yang menyebabkan semakin menambah parah kerusakan tata ruang selain tersebut diatas karena bencana alam hadir secara beruntun dan menelan korban yang sia-sia, yaitu pemerintah sangat lambat dalam mengartikulasi perencanaan pembangunan kota, lebih dipusatkan bagaimana bangsa ini mencapai target kemajuan ekonomi dengan bukti banyak menghasilkan pembangunan ekonomi coklat daripada ekonomi hijau, dan adalah bencana ekologis sebagai bukti tahunan yang meliputi bencana kabut asap dan banjir bagaikan arisan yang silih berganti datang menyapa kita untuk membayar upeti berupa nyawa, harta dan infrastruktur fisik yang rusak serta kebangkrutan ekonomi dengan bonus penambahan jumlah masyarakat menjadi miskin. Efek lanjutan ini diperparah lagi oleh tingkah laku etika para elite bangsa lebih mementingkan “ekonomi perut” alias mengguritanya korupsi. Kemampuan supremasi hukum yang tumpul dalam membela kepentingan rakyat yang sangat luas berdampak kepada kemurkaan alam di bumi Indonesia, lihatlah berbagai musibah dalam kurun tiga bulan ini, habis asap, muncul banjir diselang-seling kegaduhan politik dan sosial di kehidupan masyarakat Indonesia dan menjadi berita media luar negeri,
Mewaspadai berbagai jenis bencana alam terutama bencana banjir besar pada jelang pergantian tahun 2015 seperti siklus tahun lalu saat penting, sekaligus siaga dalam menghadapi bencana, bukan selama ini penanggulangan bencana masih ditekan pada ‘saat’ serta ‘setelah (pasca)’ terjadinya bencana. Sementara itu, pada tahap ‘sebelum (pra)’ bencana yang telah diakomodasikan masih terbatas pada tahapan pencegahan (prevention), yaitu dengan menghindari pemanfaatan kawasan yang ‘rawan bencana’ untuk dikembangkan sebagai kawasan budidaya dan pertanian abadi.
Upaya untuk mewaspadai dan menghindari bencana alam yang berjalan secara progresif dan membuat lingkungan tidak nyaman bagi manusia yang mulai menurunkan daya dukung fisik bumi adalah dengan menggunakan segala sumber daya alam, ruang dan manusia secara efisien, mengembangkan sumber daya energi baru yang aman terhadap perubahan iklim ekstrim, moratorium semua lahan dan hutan di Indonesia guna mencegah terjadinya kebakaran dan bencana kabut asap serta banjir longsor tahunan, mengefektifkan penanaman pohonan setiap bulan, bukan dalam rangka hari menanam pohon saja maupun hari lingkungan lainnya untuk mencegah kerusakan lapisan ozon serta membudayakan penggunaan transportasi umum berbasis ekologi hijau dengan penggunaan sarana yang efektif tanpa membuat macet sehingga dapat menurunkan jumlah emisi yang dapat membahayakan kesehatan, mengurangi ketergantungan pemakaian energi konvensional.
Seperti itu, perlu peningkatan kapasitas sumber daya manusia dalam menguatkan diri menghadapi berbagai bencana yang datang secara beruntun dengan membangun lingkungan yang berkelanjutan yang sadar akan lingkungan, berpandangan holistis, sadar hukum dan mempunyai komitmen atau kecintaan terhadap lingkungan. ***
Penulis, Enviromentalist Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang dan Lingkungan, Energi-Geosfer.
Diterbitkan Harian ANALISA Medan, 28 November 2015 



Flood alert Big End of Year
By: M. Anwar Siregar



Source: Illustrations Daily Anaslisa

The government should already know the signs of the coming disaster on a regular basis through historical records disaster cycle in the annual, tens or even hundreds of years, because with this experience, then the damage to the physical infrastructure and the number of casualties can be minimized, the one that needs to be considered is the catastrophic annual flooding.
The main component of the cause of the impact of the floods that frequently occur in urban spatial planning in Indonesia, among others, is derived from the constraints of the government itself that is "disposal" of time in establishing a green zone rules. The fact, structuring and planning of sustainable green city spaces that are still overlapping its implementing regulations and firmness levels of government in implementing the regulation.
From a handful of cases of disaster events such as earthquakes and volcanoes erupt through the effects of lava flooding and soil movement due to floods and deforestation, catastrophic smog, shows the Government has not optimally utilize data and geological information as a basis for the development of ketataruangan, should be the main focus of development ketataruangan region disaster resilience in reducing the amount of physical destruction and loss of spatial environment in reducing the trauma of the disaster in Indonesia since the escalation of the disaster never stopped. Government and society need not brood continue but to implement as soon as possible because of the disaster death is present at all times.
Physical construction of enduring geological disasters in Indonesia needs to be integrated with research institutions that deal with environmental disasters, mitigation and kegeologian so as to facilitate the delivery of information and communication targeted and uniform. Evidence that the number of sectors that convey information about the disaster and sometimes overlapping communications when disaster strikes. And the Government needs to consider the role of the community who have proposed various suggestions to develop their institutional coordination and communication networks because it can minimize the losses caused by the disaster.
Strengthening institutional coordination in order to support disaster mitigation efforts, setting standards for construction (buliding code), improvement of services Norma Standard Procedures Manual (NSPM) disaster control and mitigation combined understanding of the socialization of public awareness to minimize the damage and destruction caused by the disaster. However it is not grounded in Indonesia and the stark contrast in comparison with Japan and the United States, do not say that they had advanced knowledge and technology but they advanced as the historical experience of the disaster that is implemented in a culture of preparedness. Indonesia Is not already "seasoned felt catastrophe?"
Building a system of emergency response communications network, inter-regional disaster resilience which is designed so that network communication system did not undergo destruction or obstacles in giving information and communication disaster management. To avoid communication deadlock required a processing center to data compiled from several experts in geoscience agencies like IAGI, LIPI, BMKG, BPPT, Bakorsurtanal, the Ministry of Energy and Mineral Resources, focused on the national research body is the National Geological Agency. The entire staff of experts earth can contribute information to the National Geological Agency so that discrepancies can be avoided, aims to help people be able to anticipate the disaster as soon as possible, to avoid misleading issues. as a reflection of the core earthquakes in Mexico City, San Francisco, Bam, Cristchurch and Japan (February and March 2011).
Spatial environments cities in Indonesia require zoning rehabilitation of the spatial environment of water and infrastructure that perform preventive efforts spatial relocate high activity to safer areas by developing mapping microzonation according to the geological characteristics of the internal and external environments order geological and tectonic units geomorphology physiographic environments that make up a city planning area identified for sustainable spatial safe water and rehabilitation of land-use relocation as a zone of vulnerability in the event of another region.
Another factor driving the higher the potential risk of flooding in the cities in Indonesia is the rate of population density and building, that many residents in big cities like Jakarta and Medan housed or purposely live in an area prone / prone to disasters such as live along the river ,
Which led to worsened the damage layout in addition to the above due to natural disasters is present in a row and claimed vain, that the government is very slow in articulating municipal planning, more focused how this nation achieve the target of economic progress with evidence generate a lot of economic development brown rather than green economy, and is an ecological disaster as proof annual cover catastrophic smog and flooding like gathering alternating came to greet us to pay tribute in the form of life, property and physical infrastructure broken and bankrupt economy with the bonus addition of the number of people to be poor. Aftereffect is further aggravated by the ethical behavior of the nation's elite are more concerned with "the economic belly" alias mengguritanya corruption. The ability of the rule of law that is blunt in defending the interests of the people are very broad impact to the wrath of nature on Earth Indonesia, take a look at the various calamities in the next three months, exhausted fumes, appeared flooding are interspersed noise of political and social life of the Indonesian people and the news media outside country,
Be aware of the various types of natural disasters, especially the huge flood in ahead of the turn of the year 2015 as a year ago when the cycle is important, as well as idle in the face of disaster, not during this disaster still pressed on 'when' and 'after (post)' disaster. Meanwhile, in the 'before (pre)' disaster has been accommodated is limited at this stage of prevention (prevention), namely by avoiding the use of areas 'prone' to be developed as an agricultural area of ​​cultivation and lasting.
Efforts to be aware of and avoid the natural disasters that runs progressively and make the environment uncomfortable for humans began to reduce the carrying capacity of the physical earth is to use all natural resources, space and human efficiently, develop new energy resources that are safe to extreme climatic changes , a moratorium on all land and forests in Indonesia in order to prevent fires and disasters haze and floods landslides yearly, streamline planting trees every month, not in the context of the day planting trees alone and the other environment to prevent damage to the ozone layer as well as cultivate the use of public transport-based ecology green with the use of an effective tool without jamming so as to reduce the amount of emissions that can be harmful to health, reducing dependence on conventional energy consumption.
As it is, needs to increase the capacity of human resources in strengthening themselves against disasters that come straight to build environmentally sustainable environmental conscious, holistic-minded, litigious and have a commitment or devotion to the environment. ***
Writer, Enviromentalist Geologist, Observer Spatial and Environmental Issues, Energy-Geosphere.
Published ANALYSIS Medan Daily, 28 November 2015

No comments:

Post a Comment

Related Posts :