Waspada Banjir akhir tahun Geologi Disaster :
Waspada Bencana Banjir Besar Akhir Tahun
Oleh: M. Anwar Siregar
Sumber : Illustrasi Harian Anaslisa
Pemerintah seharusnya sudah mengetahui tanda-tanda datangnya bencana
secara teratur melalui rekaman sejarah siklus bencana dalam tahunan,
puluhan atau bahkan ratusan tahun, karena dengan pengalaman ini, maka
kerusakan infrastruktur fisik dan jumlah korban dapat diminimalisasikan,
salah satu yang perlu diperhatikan adalah bencana banjir tahunan.
Komponen utama dari penyebab dampak bencana banjir yang sering
terjadi dalam tata ruang perkotaan di Indonesia antara lain, berasal
dari kendala oleh pemerintah itu sendiri yaitu “pembuangan” waktu dalam
menetapkan suatu aturan zona hijau. Fakta menyebutkan, penataan dan
perencanaan ruang kota hijau berkelanjutan yang masih tumpang tindih
peraturan pelaksanaannya dan tingkat ketegasan pemerintah dalam
menjalankan peraturan tersebut.
Dari segelintir kasus kejadian bencana seperti gempa dan gunung api
meletus melalui efek banjir lahar dan gerakan tanah akibat banjir dan
penggundulan hutan yang menimbulkan bencana kabut asap, menunjukan
Pemerintah belum optimal memanfaatkan data dan informasi geologi sebagai
dasar pembangunan ketataruangan, seharusnya menjadi fokus utama
pembangunan ketataruangan wilayah yang berketahanan bencana dalam
mereduksi jumlah kehancuran dan kerugian fisik tata ruang lingkungan
dalam meredam trauma bencana di Indonesia karena eskalasi bencana tidak
pernah berhenti. Pemerintah dan masyarakat tidak perlu merenung terus
tetapi mengimplementasikan secepatnya karena bencana maut hadir setiap
saat.
Pembangunan fisik yang berketahanan bencana geologi di Indonesia
perlu terintegrasi satu kelembagaan riset yang menangani bencana
lingkungan, mitigasi dan kegeologian sehingga memudahkan penyampaian
informasi dan komunikasi yang tepat sasaran dan seragam. Bukti itu
dengan banyaknya sektor yang menyampaikan informasi bencana dan kadang
tumpang tindih komunikasi ketika terjadi bencana. Dan Pemerintah perlu
memperhatikan peran masyarakat yang telah mengusulkan berbagai saran
untuk membangunan koordinasi kelembagaan dan jaringan komunikasi karena
hal ini dapat meminimalisasikan kerugian akibat bencana.
Penguatan koordinasi kelembagaan dalam rangka mendukung upaya
mitigasi bencana, menyusun standar konstruksi (buliding code),
peningkatan pelayanan Norma Standar Prosedur Manual (NSPM) pengendalian
bencana serta dikombinasikan pemahaman sosialisasi mitigasi kewaspadaan
masyarakat untuk meminimalisasi kerusakan dan kehancuran akibat bencana.
Namun hal ini belum membumi di Indonesia dan sangat kontras
dibandingkan dengan Jepang dan Amerika Serikat, jangan berkata bahwa
mereka sudah maju pengetahuan dan teknologi tetapi mereka maju karena
pengalaman sejarah bencana yang diimplementasikan dalam budaya siaga
bencana. Bukankah Indonesia sudah “berpengalaman merasakan bencana?”
Membangun sistem jaringan komunikasi tanggap darurat, antar wilayah
yang dirancang berketahanan bencana agar jaringan sistem komunikasi
tidak mengalami kehancuran atau kendala dalam memberi informasi dan
komunikasi penanggulangan bencana. Untuk menghindarkan kebuntuan
komunikasi diperlukan satu pusat pemrosesan data yang dirangkum dari
beberapa ahli di instansi kebumian seperti IAGI, LIPI, BMKG, BPPT,
Bakorsurtanal, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, dipusatkan
pada satu badan riset nasional yaitu Badan Geologi Nasional. Seluruh
staf ahli kebumian dapat memberikan konstribusi informasi pada Badan
Geologi Nasional agar ketimpangan informasi dapat dihindarkan, bertujuan
untuk membantu masyarakat dapat mengantisipasi bencana secepatnya,
terhindar dari isu-isu yang menyesatkan. sebagai refleksi dari kejadian
gempa di inti Kota Meksiko, San Fransisco, Bam, Cristchurch dan Jepang
(Februari dan Maret 2011).
Tata ruang lingkungan kota-kota di Indonesia memerlukan zonasi
rehabilitasi lingkungan tata ruang air dan infrastruktur yaitu melakukan
usaha preventif tata ruang dengan merelokasikan aktifitas yang tinggi
ke daerah yang lebih aman dengan mengembangkan pemetaan mikrozonasi
sesuai dengan karakteristik geologi lingkungan internal dan eksternal
tatanan geologi tektonik dan satuan fisiografis lingkungan geomorfologi
yang menyusun suatu kawasan tata ruang kota yang diidentifikasi aman
bagi keberlanjutan tata ruang air dan rehabilitasi tata guna lahan
sebagai zona relokasi apabila terjadi kerentanan diwilayah yang lain.
Faktor lain yang mendorong semakin tingginya potensi resiko bencana
banjir di kota-kota di Indonesia adalah laju kepadatan penduduk dan
bangunan, yaitu banyak penduduk di kota besar seperti Jakarta dan Medan
bertempat atau sengaja tinggal di kawasan yang rawan/rentan terhadap
bencana seperti tinggal di bantaran sungai.
Yang menyebabkan semakin menambah parah kerusakan tata ruang selain
tersebut diatas karena bencana alam hadir secara beruntun dan menelan
korban yang sia-sia, yaitu pemerintah sangat lambat dalam mengartikulasi
perencanaan pembangunan kota, lebih dipusatkan bagaimana bangsa ini
mencapai target kemajuan ekonomi dengan bukti banyak menghasilkan
pembangunan ekonomi coklat daripada ekonomi hijau, dan adalah bencana
ekologis sebagai bukti tahunan yang meliputi bencana kabut asap dan
banjir bagaikan arisan yang silih berganti datang menyapa kita untuk
membayar upeti berupa nyawa, harta dan infrastruktur fisik yang rusak
serta kebangkrutan ekonomi dengan bonus penambahan jumlah masyarakat
menjadi miskin. Efek lanjutan ini diperparah lagi oleh tingkah laku
etika para elite bangsa lebih mementingkan “ekonomi perut” alias
mengguritanya korupsi. Kemampuan supremasi hukum yang tumpul dalam
membela kepentingan rakyat yang sangat luas berdampak kepada kemurkaan
alam di bumi Indonesia, lihatlah berbagai musibah dalam kurun tiga bulan
ini, habis asap, muncul banjir diselang-seling kegaduhan politik dan
sosial di kehidupan masyarakat Indonesia dan menjadi berita media luar
negeri,
Mewaspadai berbagai jenis bencana alam terutama bencana banjir besar
pada jelang pergantian tahun 2015 seperti siklus tahun lalu saat
penting, sekaligus siaga dalam menghadapi bencana, bukan selama ini
penanggulangan bencana masih ditekan pada ‘saat’ serta ‘setelah (pasca)’
terjadinya bencana. Sementara itu, pada tahap ‘sebelum (pra)’ bencana
yang telah diakomodasikan masih terbatas pada tahapan pencegahan
(prevention), yaitu dengan menghindari pemanfaatan kawasan yang ‘rawan
bencana’ untuk dikembangkan sebagai kawasan budidaya dan pertanian
abadi.
Upaya untuk mewaspadai dan menghindari bencana alam yang berjalan
secara progresif dan membuat lingkungan tidak nyaman bagi manusia yang
mulai menurunkan daya dukung fisik bumi adalah dengan menggunakan segala
sumber daya alam, ruang dan manusia secara efisien, mengembangkan
sumber daya energi baru yang aman terhadap perubahan iklim ekstrim,
moratorium semua lahan dan hutan di Indonesia guna mencegah terjadinya
kebakaran dan bencana kabut asap serta banjir longsor tahunan,
mengefektifkan penanaman pohonan setiap bulan, bukan dalam rangka hari
menanam pohon saja maupun hari lingkungan lainnya untuk mencegah
kerusakan lapisan ozon serta membudayakan penggunaan transportasi umum
berbasis ekologi hijau dengan penggunaan sarana yang efektif tanpa
membuat macet sehingga dapat menurunkan jumlah emisi yang dapat
membahayakan kesehatan, mengurangi ketergantungan pemakaian energi
konvensional.
Seperti itu, perlu peningkatan kapasitas sumber daya manusia dalam
menguatkan diri menghadapi berbagai bencana yang datang secara beruntun
dengan membangun lingkungan yang berkelanjutan yang sadar akan
lingkungan, berpandangan holistis, sadar hukum dan mempunyai komitmen
atau kecintaan terhadap lingkungan. ***
Penulis, Enviromentalist Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang dan Lingkungan, Energi-Geosfer.Diterbitkan Harian ANALISA Medan, 28 November 2015
Flood alert Big End of Year
By: M. Anwar Siregar
Source: Illustrations Daily Anaslisa
The government should already
know the signs of the coming disaster on a regular basis through historical
records disaster cycle in the annual, tens or even hundreds of years, because
with this experience, then the damage to the physical infrastructure and the
number of casualties can be minimized, the one that needs to be considered is
the catastrophic annual flooding.
The main component of the cause
of the impact of the floods that frequently occur in urban spatial planning in
Indonesia, among others, is derived from the constraints of the government
itself that is "disposal" of time in establishing a green zone rules.
The fact, structuring and planning of sustainable green city spaces that are
still overlapping its implementing regulations and firmness levels of
government in implementing the regulation.
From a handful of cases of
disaster events such as earthquakes and volcanoes erupt through the effects of
lava flooding and soil movement due to floods and deforestation, catastrophic
smog, shows the Government has not optimally utilize data and geological
information as a basis for the development of ketataruangan, should be the main
focus of development ketataruangan region disaster resilience in reducing the
amount of physical destruction and loss of spatial environment in reducing the
trauma of the disaster in Indonesia since the escalation of the disaster never
stopped. Government and society need not brood continue but to implement as
soon as possible because of the disaster death is present at all times.
Physical construction of enduring
geological disasters in Indonesia needs to be integrated with research
institutions that deal with environmental disasters, mitigation and kegeologian
so as to facilitate the delivery of information and communication targeted and
uniform. Evidence that the number of sectors that convey information about the
disaster and sometimes overlapping communications when disaster strikes. And
the Government needs to consider the role of the community who have proposed
various suggestions to develop their institutional coordination and
communication networks because it can minimize the losses caused by the
disaster.
Strengthening institutional
coordination in order to support disaster mitigation efforts, setting standards
for construction (buliding code), improvement of services Norma Standard
Procedures Manual (NSPM) disaster control and mitigation combined understanding
of the socialization of public awareness to minimize the damage and destruction
caused by the disaster. However it is not grounded in Indonesia and the stark
contrast in comparison with Japan and the United States, do not say that they
had advanced knowledge and technology but they advanced as the historical
experience of the disaster that is implemented in a culture of preparedness.
Indonesia Is not already "seasoned felt catastrophe?"
Building a system of emergency
response communications network, inter-regional disaster resilience which is
designed so that network communication system did not undergo destruction or
obstacles in giving information and communication disaster management. To avoid
communication deadlock required a processing center to data compiled from
several experts in geoscience agencies like IAGI, LIPI, BMKG, BPPT,
Bakorsurtanal, the Ministry of Energy and Mineral Resources, focused on the
national research body is the National Geological Agency. The entire staff of
experts earth can contribute information to the National Geological Agency so
that discrepancies can be avoided, aims to help people be able to anticipate
the disaster as soon as possible, to avoid misleading issues. as a reflection
of the core earthquakes in Mexico City, San Francisco, Bam, Cristchurch and
Japan (February and March 2011).
Spatial environments cities in
Indonesia require zoning rehabilitation of the spatial environment of water and
infrastructure that perform preventive efforts spatial relocate high activity
to safer areas by developing mapping microzonation according to the geological
characteristics of the internal and external environments order geological and
tectonic units geomorphology physiographic environments that make up a city
planning area identified for sustainable spatial safe water and rehabilitation
of land-use relocation as a zone of vulnerability in the event of another
region.
Another factor driving the higher
the potential risk of flooding in the cities in Indonesia is the rate of
population density and building, that many residents in big cities like Jakarta
and Medan housed or purposely live in an area prone / prone to disasters such
as live along the river ,
Which led to worsened the damage
layout in addition to the above due to natural disasters is present in a row
and claimed vain, that the government is very slow in articulating municipal
planning, more focused how this nation achieve the target of economic progress
with evidence generate a lot of economic development brown rather than green
economy, and is an ecological disaster as proof annual cover catastrophic smog
and flooding like gathering alternating came to greet us to pay tribute in the
form of life, property and physical infrastructure broken and bankrupt economy
with the bonus addition of the number of people to be poor. Aftereffect is
further aggravated by the ethical behavior of the nation's elite are more
concerned with "the economic belly" alias mengguritanya corruption.
The ability of the rule of law that is blunt in defending the interests of the
people are very broad impact to the wrath of nature on Earth Indonesia, take a
look at the various calamities in the next three months, exhausted fumes,
appeared flooding are interspersed noise of political and social life of the
Indonesian people and the news media outside country,
Be aware of the various types of
natural disasters, especially the huge flood in ahead of the turn of the year
2015 as a year ago when the cycle is important, as well as idle in the face of
disaster, not during this disaster still pressed on 'when' and 'after (post)'
disaster. Meanwhile, in the 'before (pre)' disaster has been accommodated is
limited at this stage of prevention (prevention), namely by avoiding the use of
areas 'prone' to be developed as an agricultural area of cultivation
and lasting.
Efforts to be aware of and avoid
the natural disasters that runs progressively and make the environment
uncomfortable for humans began to reduce the carrying capacity of the physical
earth is to use all natural resources, space and human efficiently, develop new
energy resources that are safe to extreme climatic changes , a moratorium on
all land and forests in Indonesia in order to prevent fires and disasters haze
and floods landslides yearly, streamline planting trees every month, not in the
context of the day planting trees alone and the other environment to prevent
damage to the ozone layer as well as cultivate the use of public
transport-based ecology green with the use of an effective tool without jamming
so as to reduce the amount of emissions that can be harmful to health, reducing
dependence on conventional energy consumption.
As it is, needs to increase the
capacity of human resources in strengthening themselves against disasters that
come straight to build environmentally sustainable environmental conscious,
holistic-minded, litigious and have a commitment or devotion to the
environment. ***
Writer, Enviromentalist Geologist, Observer Spatial and
Environmental Issues, Energy-Geosphere.
Published ANALYSIS Medan Daily, 28 November 2015
Published ANALYSIS Medan Daily, 28 November 2015
Komentar
Posting Komentar