Dec 15, 2015

Kabut Asap Bodoh



BENCANA KABUT ASAP KEBODOHAN SDM
Oleh M. Anwar Siregar

Isu bencana kabut asap ada kecenderungan belakangan ini semakin kuat mengarah pada digunakannya isu lingkungan hidup sebagai salah satu alat politik dalam interaksi ekonomi dan bisnis global. Oleh karena itu, fenomena WTO (World Trade Organization) dengan seluruh kekuasaannya yang demikian absolute melindungi kepentingan negara-negara maju di Utara telah dan akan membawa dampak yang mengerikan bagi lingkungan hidup. Kecenderungan negara-negara maju seperti Amerika, Kanada dan Jepang serta Norwegia dan Finlandia dengan menekan negara berkembang itu tanpa jelas terhadap Indonesia dalam pengadaan industri kertas dan kelapa sawit, Negara maju tidak menginginkan Indonesia menghentikan pembangunan industri PULP (bubur kertas) dan industri minyak kelapa sawit, Indonesia dianggap tidak memenuhi standart lingkungan di Eropa.
BENCANA ASAP
Apa hubungan bencana asap dengan kebodohan sumber daya manusia? Bencana asap mampu meruntuhkan produktivitas industri dengan terkendalanya peran transportasi logistik. Meningkatnya biaya-biaya ekonomi yang tak terduga, bencana asap mampu membuat pukulan berganda, terjadinya penurunan kesehatan makhluk dan bumi serta sekaligus juga memberikan efek penurunan ekonomi lokal dan berdampak juga pada efek krisis ekonomi global.
Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki luas hutan dan luas perkebunan sawit terluas di dunia itu mau tak mau merupakan negara yang ikut andil memberikan sumbangan bencana krisis iklim global, dengan memperparah penghancuran hutan-hutan tropis dan hutan konservasi dengan tidak memperkuat komitmen aturan kebijakan yang telah dibuat ikut tercebur oleh kondisi sistim arus kapitalisme globalisasi.
Keuntungan-keuntungan ekonomi hanya dapat dinikmati oleh segelitir pelaku ekonomi dan pemegang kekuasaan, sedang bencana lebih banyak dialami oleh berbagai lapisan masyarakat global, dapat dilihat dari kejadian bencana kabut asap saat ini bukan rakyat Indonesia saja yang mengalami bencana kabut asap tetapi juga negara tetangga di Asia Tenggara dan sebentar lagi juga akan melintas kabut asap itu ke wilayah Australia Utara dengan  terjadi dampak pembakaran dan terbakarnya hutan-hutan Indonesia diwilayah Tengah dan Timur, hanya demi karena mengejar keuntungan ekonomi. Selain itu sistim kebijakan ekonomi pembangunan tidak berpihak kepada masyarakat akar rumput yang ada disekitar industri perkebunan dan juga merampas hak rakyat, studi kasus ini dapat dilihat didaerah penghasil sumber kabut asap seperti Riau, Jambi, Sumsel dan Kalimantan serta menyusul Papua dan Papua Barat dengan ditemukannya berbagai lokasi titik hot spot di kedua provinsi tersebut.
Gambar : Dampak Kabut Asap, jalanan sepi, Medan bagaikan masuk senja
padahal masih pagi, difoto Fly Over Amplas (Dokurnen Penulis, 23 Okt)
Laporan Panel Perubahan Iklim Antar Pemerintah atau Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), memberikan bukti dampak perubahan iklim semakin parah di kawasan Asia Tenggara dan sebagian Pasifik akibat bencana asap kapitalisme (dibakar demi pengejaran keuntungan perusahaan), telah meningkatkan temperatur bumi mendekati 0,85 derajat Celcius hingga ke tahun 2012, serta peningkatan kenaikan air laut hingga 20 sentimeter sejak era tahun 1990 ke era sekarang, sejak kebakaran hutan Indonesia di mulai secara frontal pada tahun 1990 ke tahun sekarang.
Bertitik tolak dari data tersebut, bencana kebakaran yang menimbulkan kabut asap di Indonesia telah berperan meningkatkan keasaman di geosfer dengan kimia efek gas rumah kaca yang dihasilkan oleh pembakaran hutan dan lahan antara lain karbon dioksida, metan, nitrous oksida dan florin. Gas-gas emisi inilah yang mengakibatkan timbulnya berbagai penyakit terhadap manusia dan berefek kepada sumber daya manusia Indonesia mengalami kemunduran akibat tidak adanya pembatasan dan penekanan serta pengendalian perizinan konsesi lahan perkebunan dan pertambangan yang tidak berbasis pembangunan ekologi hijau.
Revolusi industri sawit dan hutan yang mengandung bahan tambang seperti batubara, gambut serta migas itu telah menyumbang jumlah emisi gas karbon hingga mendekati 40 persen yang berdampak pada bencana darurat kabut asap di Asia Tenggara dan mengubah perubahan iklim regional. Dampak pasaran bebas juga berandil memberikan peluang Indonesia yang berambisi sebagai negara terbesar dalam penghasil industri sawit dunia oleh dorongan ekonomi kapitalisme.
KAPITALISME ASAP
Konsekuensinya Indonesia pun ikut menceburkan diri dalam sistem neo-liberalisme global. Ini kemudian membuat kebijakan pemerintah Indonesia pada sektor ekonomi perkebunan dan pertambangan yang cenderung dan bahkan selalu membela kepentingan para kapitalis dengan terlihat egoisme yang sering menguntung pihak asing dibanding bangsa sendiri untuk izin perkebunan, konsesi lahan melebihi batas toleransi dengan merampas tanah ulayat rakyat serta izin kontrak karya pertambangan (KK) atau kini izin usaha pertambangan khusus (IUPK) seperti Freeport yang banyak menghancurkan tanah dan hutan rakyat Papua sehingga kebijakan pemerintah sesungguhnya menjadi bagian integral dari kepentingan kapitalis global yang dipaksakan, misalnya nampak bahwa kuasa para pemilik modal (kapitalis) dengan legalitas usaha (eksplorasi atau eksploitasi), dari Pemerintah yakni izin usaha kontrak bagi hasil/production sharing contract (PSC) memperoleh otoritas penguasa dan kedaulatan atas sumberdaya alam seperti migas maupun sumber daya hutan. Studi kasus, lihat saja di Riau, Aceh, Kaltim, Kaltara, Natuna, dan Papua.
Ini menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia telah lama menganut sistem ekonomi neoliberal dibandingkan ekonomi kerakyatan yang telah menjadi tradisi para pemimpin bangsa di masa lalu setelah era Presdiden Soekarno-Hatta dalam berbagai kebijakannya. Orientasi keuntungan dan manfaat untuk pihak asing yang menjadi paradigma korporasi menjadikan manajemen korporasi buta akan hal-hal lain yang menyangkut kelestarian hutan dan lingkungan, peningkatan taraf hidup rakyat, bahkan hingga bencana ekologi, bencana kabut asap, banjir dan gerakan tanah. Peningkatan produksi dan konsumsi untuk memenuhi tuntutan konsumsi yang tak pernah berhenti (insatiable) bagi dan dari negara-negara industri maju. Ini yang membawa akibat kerusakan ekologi pada level lokal, regional dan global. Sumber-sumber produksi diambil dari alam bangsa Indonesia sering tak bertanggungjawab, tidak mempertimbangkan akibat dan proses regenerasi atau seberapa cepat pembaruan atas sumber-sumber alam hijau itu terjadi.
Jika tidak mendukung sistim neoliberalisme itu, mana mungkin Indonesia mengalami musibah bencana ekologis seperti di era sekarang yang sudah berlangsung hampir 20 tahun yang berdampak juga pada kebodohan sumber daya manusia dengan segala tumpukan utangt-utang luar negeri.
BODOH SDM
”Asap lintas negara telah mengganggu wilayah kami selama puluhan tahun. Sehingga, perlu adanya aksi efektif dan nyata secapatnya di sumber terjadinya api, termasuk pencegahan, investigasi, dan penegakan hukum terhadap perusahaan yang terbukti bertanggung jawab atas kabut asap” tulis Media MEWR dari Singapura.
Itu adalah gambaran bagaimana parahnya kabut asap yang berlangsung setiap tahun di Asia Tenggara, dengan ditemukan sejumlah titik panas yang mengganas di Utara Kalimantan dan Sulawesi dipastikan akan terekspor emisi gelap itu ke Pasifik sehingga menghasilkan efek bencana kebodohan dan yang terparah sudah pasti Indonesia yang paling rugi.
Gambar 2 : Kabut asap menyelimuti Kota Padangsidimpuan, bagaikan sudah malam pekat,
lokasi pusat kota 24 Oktober 2015 (Dokumen Foto Penulis) 
Sudah banyak korban meninggal dan mereka adalah penerus bangsa ini yang masih melanjutkan sekolah mereka, menjadi korban akibat kebijakan yang dibuat. Kabut asap ini telah memberikan pukulan telak bagi dunia pendidikan dengan merosotnya tingkat pembelajaran siswa, tidak terpenuhinya target kurikulum mata pelajaran dibeberapa kota-kota yang terdampak kabut asap sehingga memaksa status darurat kabut asap dan ujungnya para pelajar/SDM Indonesia itu terpaksa ”dirumahkan”, belajar sendiri dalam jangka cukup lama. Karena terlalu banyak ”cuti”, tertinggal jauh dalam mengejar pengembangan IPTEK dari negara lain. Indeks SDM Indonesia kembali terpuruk akibat ketertinggalan ini, kejadian ini pernah berlangsung di era 90-an hingga ke era tahun lalu. Terlempar dari peringkat 90 ke urutan 115 dari 180 negara anggota PBB.
Mungkinkah ini salah satu tujuan kapitalisme untuk melakukan pembodohan SDM Indonesia? Apakah tidak terpikirkan oleh Jokowi-JK? Jawabnya kabut asap dimana-mana.
M. Anwar Siregar
Enviromental Geologist. Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer,

No comments:

Post a Comment

Related Posts :