13 Sep 2012

FENOMENA ALAM DI DAERAH KHATUSLITIWA : Geologi Disaster

FENOMENA ALAM DI DAERAH KHATUSLITIWA 
Oleh M. Anwar Siregar

Indonesia yang terletak pada daerah khatulistiwa tiap tahun mengalami berbagai macam fenomena alam seperti badai tropis, banjir yang hebat serta fenomena alam lain yang banyak mengambil korban jiwa serta material yang tak terhitung nilainya. 
Didalam benak masyarakat awam pasti tertancap suatu pertanyaan mengenai fenomena alam yang terjadi di daerah khatulistiwa, misalnya bagaimana sebenarnya kejadian fenomena alam itu? Dimana badai tropis lahir Serta dimana badai tropis itu membesar? Dan juga apakah itu hujan salah musim yang terjadi sekali di Indonesia? Badai tropis atau dikenal dengan julukan El Lena lahir di Selatan Pulau Timor dan Nusa Tenggara Timur. Tanda-tandanya melalui citra penginderaan jauh, satelit NOAA yang di peroleh BMG (Badan Meteorologi Geofisika), gejala kehadirannya dapat diketahui melalui pengukuran dari kenaikan suhu permukaan air laut, selama kurang lebih sebulan yaitu di Samudera Indonesia, Laut Maluku dan Teluk Australia. 
Badai Lena bertekanan 980 milibar, kemudian bergerak ke arah Barat, disebelah Selatan Pulau Jawa. Badai ini kemudian menyatu dengan badai tropis lainnya yang masih muda di Australia, menghasilkan badai yang menghebat bila berada diposisi antara 17-18 derajat lintang selatan dan 129-130 derajat bujur timur, mengarah ke Baratdaya. Lena bergerak lagi ke arah timur. Biasanya Badai tropis muncul pada bulan Desember dan jalurnya dari Baratdaya ke daratan Australia karena disebabkan suhu muka air laut di Selatan dingi. Sementara itu tekanan udara yang tinggi di Utara dari daratan Asia di Selatan
PUSAT BADAI TROPIS 
Ada empat kawasan utama tempat lahirnya badai tropis yaitu Timur Tengah dan Asia Selatan, Amerika Tengah dan Amerika Utara, Australia dan Oceani serta kawasan Afrika Tenggara dekat Madagaskar. Masyarakat di daerah itu mempunyai nama tersendiri untuk fenomena alam itu, badai tropis yang terjadi di Asia diberi nama typhoon, orang Australia menjulukinya Willy-willy. Badai di Atlantik biasa disebut Hurricane. Nama yang terakhir ini lalu menjadi nama yang berlaku umum bagi badai atau siklon tropis. 

BADAI TROPIS 
Badai tropis, demikian disebut, karena lahirnya dikawasan tropis dekat khatulistiwa antara lima derajat LU dan lima derajat LS. Kawasan itu masih dipengaruhi oleh efek Carolis atau efek perputaran rotasi bumi, yang mengakibatkan perpindahan udara. Badai tropis mempunyai kecepatan antara 35 hingga 61 kno. Diatas itu, badai tropis berubah nama menjadi siklon atau typhoon. 
Siklon tropis ini setahun dapat terjadi sampai 80 kali. Kerugian akibat terjanganya dapat mencapai 25 milyar dollar AS per tahun. Menurut hukum Ferrel, angin yang bergerak dibelahan Utara jika mencapai khatulistiwa oleh karena gaya Carolis akan memblok ke kanan, sebaliknya, angin yang bertiup dibelahan Selatan menuju khatulistiwa akan dibelokan ke kiri. 
Badai ini terlihat dari satelit geostasioner berbentuk seperti spiral. Jadi di sebelah selatan khatulistiwa akan searah jarum jam, sedangkan di Utara berlawanan. Semua badai tropis lahir dari depresi di permukaan air laut di kawasan berdiameter 200-400 kilometer, yang suhunya harus melewati 27 derajat Celcius. Suhu yang tinggi pada luasan yang cukup akan mensuplai udara diatasnya dengan uap air yang banyak, kadangkala badai tropis bisa juga terjadi pada suhu permukaan air laut 23-24 derajat Celcius, asalkan udara di lintang yang lebih tinggi suhunya lebih dingin. 
Kondisi itu mengakibatkan keadaan tidak stabil pada kolom udara atau tekanan rendah permukaan laut, seringkali terjadi anti siklon (tekanan tinggi yang dikelilingi tekanan rendah) dibagian atas. Langkah selanjutnya, tidak terjadi atau hanya sedikit pergerakan angin arah vertikal atas bawah. Badai tropis yang lahir di selatan khatulistiwa tidak pernah melewati khatulistiwa ke Utara. 
Sebaliknya, badai tropis yang lahir di Utara khatulistiwa tidak pernah mencapai khatulistiwa menuju Selatan. Jadi badai tropis lahir dikwasan tropis tetapi membesar di luar kawasan tropis, biasanya pada garis lintang antara 6-20 derajat. 

UMUR BADAI TROPIS 
Umur badai tropis bervariasi mulai dari hanya beberapa jam hingga tiga minggu. Kebanyakan badai tropis hanya berumur lima sampai sepeluh hari. Kelahiran badai tropis dimulai ketika angin mencapai kecepatan antara 65-87 kilometer per jam. Jika sudah besar biasa menghasilkan angin berkecapatan 118 kilometer per jam meliputi kawasan berdiameter hingga 100 kilometer. Bayangkan, badai tropis besar mampu memindahkan masa udara lebih dari 3.500.000.000 ton per jam. Hujan lebat dan angin kencang yang terjadidi pantai utara Pulau Jawa adalah akibat angin besar akses dari badai Lena. Badai tropis umumnya adalah gerakan awan penuh air yang besar. Hujan lebat biasanya jatuh pada kawasan pesisir sepanjang 500-600 kilometer.
Gambar : Fenomena badai tropis di sekitar Jantung Australia dan Indonesia
(Sumber : Mapblog)
 
BANDELNYA EL NINO, MEMANASNYA PERMUKAAN AIR LAUT 
El Nino, hanyalah julukan bagi sebuah fenomena alam yaitu memanasnya permukaan air laut di Samudera Pasifik yang kadang muncul pada bulan Desember dekat Peru dan Ekuador di Amerika Selatan. Gejala ini kemudian berkembang menjadi arus panas yang menjalar sepanjang khatulistiwa mendekati Indonesia, sampai ke sebelah Timur Pulau Irian. Ulah El Nino itu mengakibatkan munculnya berpuluh-puluh kali musim kemarau kering dan panjang, yang tercatat sejak tahun 1500-an di bilahan Baratdaya Pasifik. 
Kekeringan yang tergolong parah dilamai Indonesia dan Australia pada tahun 1982-1983. El Nino terjadi karena suhu laut diwilayah Pasifik Tengah dan Timur naik, akibatnya di kawasan itu turun banyak hujan dan badai, lebih dari itu angin dan awan bergerak ke kawasan tersebut, berakibat yang ditinggalkan mengalami musim kemarau. 
Gejala El Nino memang terjadi setiap tahun, biasanya selama tiga, empat sampai enem bulan, El Nino sudah dimulai sekitar bulanNovember dan Desember, yang berkaitan erat dengan perputaran bumi dan sistim arus laut. Pada saat El Nino merajalela, bukan hanya bagian Barat Pasifik yang terkena dampaknya tetapi juga di sebalah Timurnya. 
Jika Indonesia dan Australia mengalami musim kemarau yang kering, sebaliknya Peru dan Ekuador mendapat hujan yang sangat lebat sehingga menyebabkan banjir yang hebat. Pada saat itu datang segerombolan badai mengamuk di California, Amerika Serikat atau juga bersamaan dengan munculnya topan Betty dan carry yang melanda belahan Timur Philipina. Topan itu mengakibatkan gelombang udara bergerak ke arah Barat melewati Cina Selatansampai Bangladesh. 
Hal itu pula mengakibatkan terjadinya banjir besar merenggut ratusan jiwa di Bangladesh. Fenomena alam yang meluas ini memang menganut hukum sebab akibat. Para ahli meteorologi dan geofisika berkeyakinan bah wa El Nino akrab hubungannya dengan pola perpindahan udara di daerah tropis Samudera Pasifik.
Mereka menjelaskan perubahan arah angin yang menyebabkan perubahan suhu dan sirkulasi di Samudera ini kemudian mengalami gangguan pergerakan udara dan arus samudera. Perubahan ini tidak lain dari posisinya di 23,5 derajat lintang selatan yang bergeser kearah Utara dan intensitas pemanasan meningkat. Pendek kata, selama sebagian belahan bumi ini dilanda kekeringan sebagian bumi lain kebanjiran. Kedua musibah itu adalah bencana alam yang tak bisa dipastikan kemunculannya.

FENOMENA HUJAN SALAH MUSIM
 “hujan salah musim” didaerah Indonesia bisa disebabkan olek faktor terjadinya gangguan permanen yaitu adanya lembah atau palung tekanan udara di Selatan Jawa yang menerobos jantung Benua Australia. Karena gangguan permanen, artinya tak perlu dicemaskan berlama-lama, karena akhirnya akan hilang sendiri. Implikasinya yang ditimbulkannya yang justru diperhitungkan serius. 
ENSO El Nino Seoul Ossilation tengah mengalami desingtegrasi, akibatnya akan terjadi arus balik penumpukan energi di kawasan Indonesia.
 Gambar 25 : Fenomena Angin dan Badai di Khatulistiwa Indonesia

(sumber dari berbagai sumber)
PALUNG SELATAN 
Palung selatan lahir sebagai akibat pergerakan ke Timur rangkaian sistim tekanan tinggi dan tekanan rendah udara sub tropik belahan Bumi Selatan. Formasinya yang berorientasi paralel garis lintang, tidak jarang jika intensitas hujan dukup dalam, ujung dari ekornya menggapai Ekuador. Jika kebetulan eksistensinya sefase dengan perengganan dingin (cold-front) di belahan Utara Bumi, intensitasnya biasanya meningkat. Pergerakan udara yang terperangkap palung selatan, cirinya menjadi sinklinal dan sifatnya konveksi atau meningkat. 
Akibatnya udara di dalam dan sekitarnya mengalami destabilitasi. Ini identik dengan cuaca jelek. Pada hasil rekaman cuaca, keberadaan palung ini ditandai oleh bentangan awan putih yang tebal, dan menyerupai lengan biola atau sirip ikan hiu. Tahun ini, selain frekuensinya cukup rapat, sering pulamenerobos jantung Benua Australia sehingga ekornya leluasa melibas Sumatera Selatan dan jawa. 
Mengapa palung selatang bisa leluasa menerobos jantung Benua Australia? Penyebabnya adalah tekanan udara di Benua Australia terus turun dengan dratisnya sejak bulan April 1992 lalu, yang sebelumnya bergerak naik. Implikasinya, ossilasi selatan loyo, ENSO terpaksa kehilangan salah satu tenaga pembangkitnya dan berangsur beralih rupa menjadi El Nino. 
Samudera Hindia sejak pasca monsum musim panas tahun 1991 memiliki cadangan energi yang sangat besar. Limpahannya sangat menjamin keberadaan awan tebal dan cuaca buruk di atas Pulau Sumatera, para ahli sulit menerapkan apakah medan awan ini bagian dari sistim palung monsum panas atau bukan, sebab bipolarisasi tekanan udara antara Teluk Persia dan Australia sebagai ciri utama hadirnya sistim monsum tidak jelas wujudnya. 
Penyebab lain dari terjadinya tekanan rendah adalah keterlambatan laju pemerosotan ossilasi selatan dan besar variasi yang ada sampai menimbulkan depresiasi. Yang sebab musabahnya tidak diketahui, dimana ossilasi selatan berbalik haluan ditengah jalan menimbulkan fase puncak (peak fhase) ketika intensifikasi pemanasan terjadi di Pasifik Tengah dan bukan fase dewasa, tak kala intensifikasi itu terjadi di Pasifik Timur (Pantai Peru da Equador) yang menyebabkan kebanjiran hebat (musim hujan lebat) dan musim kemarau di Indonesia dan Australia.

Diterbitkan oleh Tabloid “SAINTEK ITM” Medan Edisi Maret 1997.
M. Anwar Siregar Geolog, pemerhati Masalah Lingkungan dan Geosfer

TSUNAMI DAHSYAT ANCAM JAKARTA : Geologi Gempa

TSUNAMI DAHSYAT ANCAM JAKARTA 
Oleh : M. ANWAR SIREGAR 
Eskalasi gempa bumi masih terus berlangsung disegala penjuru permukaan bumi Nusantara, akibat giatnya gaya geologi endogen terus menerus membangun dan mendorong kegiatan blok batuan dengan adanya pemekaran di Samudera Hindia. 
Menggerakan lempeng-lempeng dunia yang ada disekitar wilayah Indonesia untuk terus melakukan tekanan dan penghancuran kerak bumi yang berakhir dengan rentetan gempa-gempa besar mengancam wilayah yang dianggap aman dari ancaman tsunami seperti kota Jakarta melalui strategis gempa berskala sedang hingga puncak tahapan satu telah dimulai dari Aceh-Nikobar menuju Yogya lalu sebagian Jateng dan Jabar kemudian wilayah Lampung dan Banten di Selat Sunda. 
Jakarta diperkirakan masuk tahapan kedua, bersiaplah. Peristiwa gempa besar yang terjadi di Pantai Barat Sumatera pada tahun 2004-2005 telah memberikan efek tekanan yang kuat terhadap Blok Patahan Jawa, karena arah gempa dan penyaluran energi seismic telah mendesak dan menyalurkan energi ke ruas-ruas patahan yang sudah lama tidak menghasilkan fenomena kegempaan besar di Selat Sunda. 
Terjadinya gempa bumi merusak dan disertai tsunami di Jawa dalam waktu dua hari, dari tanggal 17 Juli 2006 dengan tiga kali gelombang gempa cukup kuat dengan jarak episentrum cukup dekat ke daratan Jawa sekitar 100-150 km dengan kekuatan 6,8 Skala Richter (SR) dengan kedalaman 30 km. 
Sebenarnya adalah akibat dari kumpulan energi yang tertekan pada kejadian gempa Yoyakarta tanggal 27 Mei 2006, lalu menekan blok-blok batuan yang belum stabil dari berbagai rak tekanan, tegangan dan regangan dengan melalui jalur patahan kea rah Timurlaut, menuju kearah Jawa Barat dengan terjadi lagi gempa kedua yaitu tanggal 19 juli 2006 di Selat Sunda akibat belum stabilnya pergerakan lempeng dari akumulasi gempa Yogya dan Jawa Tengah serta Jawa Barat di Selatan Jawa. 
Kondisi geologi didaerah Jawa dan Sumatera merupakan zona pertemuan dua Lempeng Benua Indo-Australia dan Eurasia pada kedalaman lebih 30 km, yang diikuti tsunami karena focus gempa sangat dangkal dengan intensitas 6,8 SR (7,2 SR menurut USGS) sudah termasuk gempa kuat, pola sesar di zona subduksi ini adalah gerakan sesar naik dan mengalami deformasi keretakan besar dapat mencapai 100 km hingga 1000 km, untuk mengguncang wilayah yang luas. Gaya tekan menekan dalam blok batuan dipinggir perbatasan antara dua lempeng Benua itu dapat menyebabkan gempa, karena Bumi tidak membesar, maka diperlukan “ruang” yang cukup agar lempeng bias tetap aman ditempat dengan cara bergerak mendesak atau “mengusir” lempeng kecil seperti Lempeng Sunda. 
Selama “kelakuan” ini berlangsung, maka tidak ada wilayah yang aman atau luput dari ancaman gempa bumi. Sebagai bukti untuk menegaskan hal tersebut dapat dilihat dari bencana di Kota Agadir hanya berkekuatan sedang 5.8 SR, kota yang dianggap aman dari bencana gempa bias hancur. Begitu juga kota Meksiko akibat durasi kegempaan yang tinggi di Pantai Barat Amerika, kota Meksiko daerah aman dengan zonasi kegempaan III, seperti kota Jakarta ternyata hancur oleh kegempaan besar dengan kekuatan 8.0 Skala Richter. 
ANCAMAN TSUNAMI 
Mewaspadai fenomena kegempaan strategis yang dapat menghancurkan kota Jakarta yang meliputi areal yang sangat luas, dapat dilihat dari posisi geografis kota Jakarta yang berada di batas pertemuan konvergen antar lempeng-lempeng dunia yang saling bertumbukan. Yang merupakan sumber ancaman utama bagi kota Jakarta, baik dalam wujud gempa tektonik didaratan melalui keaktifan sesar-sesar Jawa dan tsunami dilautan melalui Pantai Barat dan gempa super vulkanik di Selat Sunda serta kegempaan yang terus menerus di Selatan Jawa. 
Yang mesti diwaspadai bagi kota Jakarta dan Lampung adalah sumber gempa yang terjadi di Lautan. Karena umumnya gempa di Indonesia selalu terjadi di Samudera Hindia yang selalu mengancam wilayah disekitarnya, rata-rata kedalaman gempa sekitar 40 km dibawah permukaan laut dengan efek goncangan dapat mencapai kawasanradius 100-300 km dengan intensitas kekuatan gempa diatas 6,5 SR. Telah diketahui juga, bahwa Laut Jawa tidak aman bagi tata ruang wilayah Jakarta, karena disekitar Kepulauan Seribu dapat dilihat adanya gejala patahan yang berbentuk garis lurus dengan patahan bercabang, dapat berfungsi sebagai sarana jalan bagi tsunami ke daratan pantai Utara Jakarta. 
Bila arah gempa menerus kearah Laut Jawa dari Selat Sunda, gejalannya telah dimulai pada gempa tanggal 19 Juli 2006 di Ujungkulon dengan kekuatan gempa 6,2 SR. Melihat arah kejadian gempa tanggal 19 Juli 2006, yang menyerong kearah Baratlaut dari arah Timurlaut ke Selat Sunda, dengan efek perambatan gelombang mencapai 200 kilometer ke daratan Jabotateka dengan kekuatan gempa antara 6-7 SR dengan posisi pusat gempa pada titik 6,54o Lintang Selatan dan 105,2o Bujur Timur, dengan episentrum di Selatan Ujungkulon di Selat Sunda (Sumber BMG), sudah termasuk gempa dangkal dengan kedalaman 48 km, dengan jarak ke kota Jakarta hanya sekitar 192 km, sangat dekat dan sepertinya ancaman tsunami sedang “mengincar” kota Jakarta, ini tidak jauh beda dengan kota Meksiko melalui durasi kegempaan yang terus menerus di Pantai Barat Amerika dan penumbukan antar lempeng benua dan penggerakan Lempeng Juan de Fuca dan Patahan San Andreas yang terus mengalami gangguan akibat gerak Lempeng Pasifik-Carolina di Amerika Serikat. 
Bila Terjadi lagi gempa disekitar Selat Sunda, dapat dipastikan akan menghasilkan gempa yang lebih besar, gempa yang terjadi dalam kurun 2 bulan ini dimulai dari gempa Yogya hingga ke Selat Sunda adalah awal dari gempa berskala lebih besar, dan kini telah mendesak kea rah Selatan di Selat Sunda diantara dua pulau besar Indonesia. Dapat menghasilkan gempa strategis bagi kawasan Propinsi Banten dan DKI Jakarta.
Strategis tsunami di Selat Sunda ke Jawa Barat bagian Tenggara melalui berbagaitekanan terhadap dua lempeng di bumi Indonesia (Sumber Dongeng Geologi)

GEMPA SELAT SUNDA 
Bahwa subduksi dapat menyebabkan gempa bumi bisa saja segera diikuti oleh gempa lainnya yang berlokasi dekat dalam patahan regional, yang kini baru saja terjadi di Selatan Jawa dengan tiga kali gelombang yang cukup kuat dan dua hari kemudian terjadi lagi gempa di Selat Sunda yang dapat menekan kestabilan dapur magma gunung berapi super Krakatau yang telah berumur 123 tahun dapat menghasilkan gempa bumi strategis pada kawasan subduksi dengan ketebalan lempeng yang sangat tipis dan daerah yang sering mengalami gempa adalah daerah kerentanan geologis yang tinggi. 
Kondisi gempa seperti ini sedang mengancam wilayah Jakarta hingga Baratl Laut Jawa, yang harus diwaspadai Jakarta, Sumatera Selatan serta Banten dan Lampung. Doprediksi gempa di Selat Sunda dapat mencapai kekuatan diatas 8.0 SR dengan pola sesar geser vertikal dan disertai tsunami dahsyat. Faktor kondisi strategis geologi seperti ini dapat saja terjadi yaitu : Pertama, belum stabilnya kondisi batuan dari gempa-gempa terdahulu dalam kurun 2 tahun terakhir di Pantai Barat Sumatera hingga ke Selatan Blok Patahan Jawa, efek gempa besar telah dimulai tahapan I di Aceh-Nikobar dan telah mendesak Lempeng Daratan Sumatera dan memicu 11 dari 21 lembah tektonik dengan konsentrasi pada patahan besar Sumatera pada segmen di Patahan Renun-Toru-Toba-Sumpur dengan adanya gempa di wilayah Tapanuli serta pada segmen di Patahan Semangko dan Selat Sunda yang embujur sepanjang Pulau Sumatera dengan terjadinya gempa berskala sedang di Lampung dan Bengkulu selama dua bulan terakhir ini. 
Kedua, penekanan Lempeng Samudera terhadap Lempeng Jawa dapat menambah tekanan energi gempa yang berada di sesar aktif Jawa akibat aktivitas dua lempeng di ujung Sumatera di Selat Sunda yang saling menumbuk dengan menimbulkan patahan naik di ujung Lempeng Eurasia, dapat menggangu dapur magma gunungapi Krakatau yang dapat menyebabkan instabilitas pada kawasan subduksi yang berjarak dekat. Dan jarak sesar di Jawa seperti Sesar Opak, Sesar Cimandiri dan Sesar Baribis antara 40-60 km. 
Ketiga, gempa tsunami masih berlangsung di wilayah Indonesia di Selat Sunda, dengan berbalik gerak tekanan energi seismik menuju ke Utara Laut Jawa dapat membangkitkan energi gempa terdahulu terutama pada patahan di Selat Sunda, hal ini dapat diketahui oleh pola pergerakan sesar geser naik di 2 (dua) ujung pulau, merupakan kelanjutan dari gempa disebelah Selatan Jawa dengan model penunjaman lempeng, dari Barat Lempeng Sumatera kearah Tenggara Selat Sunda menuju Selatan Pulau Jawa ke Timur arah Bali selanjutnya menuju NTT dan NTB, lalu berbalik arah lagi kearah Timur yang datang dari Lempeng Samudera Pasifik ke arah Lempeng Eurasia untuk melakukan tekanan lebih instensif di Selat Sunda, guna menekan blok batuan di wilayah Lampung dan Banten. 
Dengan mengalami deformasi patahan akan terus bergerak menimbulkan getaran gempa karena terus mencari keseimbangan baru. Syarat gempa tsunamis di Selat Sunda sudah memenuhi ketentuan gempa strategis karena adanya patahan hingga 4.000 m dengan palung dalam dengan kedalaman 6.500 meter serta pola sesar naik, fokus gempa dangkal dan magnitudo yang besar, terjadi dislokasi (perubahan arah pergerakan) di dasar laut, cukup untuk ”mengincar” Jakarta, lewat Tangerang dan Laut Jawa. 
Dipastikan Propinsi Banten belum mempersiapkan sistem peringatan dini dan memudahkan gelombang tsunami semakin jauh kedalam wilayah Jakarta. Dan diwilayah Jakarta itu banyak ditemukan kanal-kanal banjir yang berhubungan langsung dengan ke Teluk Jakarta, akan ada jalan tol bagi tsunami ke daerah dalam Jakarta.  
SIAPKAH JAKARTA 
Jakarta sudah harus mempersiapkan sistem pembangunan tata ruang wilayah yang berbasis kegempaan lokal dalam mengantisipasi kerawanan bencana gempa. Wilayah Jakarta termasuk kategori zonasi III bencana, bukan berarti aman terhadap bencana maut gempa dan terutama gempa tsunamis dari berbagai arah yang melingkupi daratan Jakarta yang terbuka dari arah Laut Jawa. Sudah siapkah Jakarta menghadapi ancaman bencana maut? 
Diterbitkan oleh Surat Kabar Harian ”WASPADA” Medan, tanggal 22 Juli 2006

PELAJARAN DARI GEMPA BUMI YOGYA : Geologi Gempa

PELAJARAN DARI GEMPA BUMI YOGYA 
Oleh : M. ANWAR SIREGAR
Kerentanan geologis dari tubuh bumi Indonesia sangat embutuhkan perhatian ekstra dalam usaha mengendalikan jumlah korban-korban bencana, serta diperlukan kesadaran masyarakat untuk memahami jenis-jenis bencana yang ada dalam satu wilayah di daerah masing-masing karena siklus geologi masih terus berlangsung. Seperti yang sudah disepakati oleh ahli Geologi Asia Pasifik salah satu daerah di Sumatera akan mengalami bencana dahsyat baik dalam wujud gempa bumi tektonik di daratan maupun di lautan. Daerah ini berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Disini Pemerintah Pusat dan Daerah wajib membangun kota dengan bertumpukan informasi geologi yang dianggap perlu sebelum pembangunan fisik dimulai agar efek traumatic bencana tidak terus menerus menjalar ke daerah yang lain. Perlu diketahui juga di wilayah Indonesia tidak aman dari berbagai ancaman alam. Sekali lagi ditegaskan, perlunya informasi geologi untuk pembangunan agar dapat mengurangi jumlah kehancuran bangunan dan manusia. Pembangunan yang berbasis kerentanan geologis sangat diperlu di era globalisasi sekarang ini.
PERLUNYA SABUK HIJAU 
Untuk pembangunan kawasan hunian di Nias, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Padang, Bengkulu, Lampung, Liwa, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Bali, NTB, NTT, Kepulauan Maluku, Manado, dan Minahasa, Palu dan Irjabar sebaiknya berkoordinasi dengan dinas ESDM dan Bappeda guna mendapatkan data-data geologi detail ruang wilayah, penentuan zonasi wilayah yang layak atau tidak untuk dibangun. Sebab, hamper 70 persen bangunan di Indonesia dibangun didaerah bahaya dan banyak menelan korban. Selain gempa, gerakan tanah (longsoran) termasuk bencana alam yang banyak terjadi di Indonesia karena tanah di Indonesia umumnya jenis tanah lempung yang berkarakteristik mudah lepas. 
Untuk pembangunan kawasan bisnis pada daerah pantai sekarang ini, sudah harus diwajibkan adanya kawasan penyangga (buffer zone) yang berfungsi sebagai “sabuk hijau” yang ditanami mangrove untuk kawasan pantai berawa, memiliki serabut akar yang kuat dan mampu meredam dan memecahkan gelombang (break water). Penegakan hukum lingkungan dan perizinan bangunan sebaiknya diperketat lagi agar hutan dan terumbu karang tidak mengalami penghancuran yang lebih parah. Terbukti Aceh dan Nias hampir hancur karena tidak adanya pengaman bencana. 
Dan sekarang berlanjut dengan musibah banjir dan bencana longsor akibat dari kebandelan kita yang menghancurkan ekologi bumi yang berfungsi sebagai keseimbangan ekosistim. Ini sudah harus dijadikan pelajaran yang berharga dalam merencanakan pembangunan infrastruktur dan pemanfaatan hasil alam. Salah satunya adalah tidak melakukan penghancuran kawasan hijau terutama hutan mangrove disekitar pantai dalam mengantisipasi bencana yang lebih dari kehancuran Aceh dan Nias. Hutan mangrove (hutan bakau) dapat digunakan sebagai pengaman bencana, karena kemampuan akar yang rapat dapat meredam 50 % energi gelombang, lebar jalur mangrove dapat sekitar 200 meter dari pantai dengan ketingginya sekitar 10-15 meter. Hutan mangrove di Indonesia sangat ini sama dengan terumbu karang mengalami tahap penghancuran fisik dan pertumbuhannya karena pembangunan hotel menjorok ke laut. Jarak atau lebar untuk pembangunan fisik yang ideal ke pantai minimal 5 kilometer sebagai daerah sanggahan yang tidak boleh di huni. Dan berfungsi sebagai media jalan bagi penduduk ke daerah amandari tsunami. 
Yang perlu diwaspadai adalah terumbu karang. Terumbu Karang dapat menceritakan sejarah gempa bumi dan naik turunnya pulau karena gempa dan pergerakan lempeng. Pemantauan sejarah gempa di pantai dapat dilihat dari bentuk karang-karang laut yang disebut mikroatol yang tumbuh di perairan dangkal seperti pantai. Tetapi kenyataan yang terjadi sekarang, terumbu karang di Indonesia justrunya telah mengalami kehancuran akibat bisnis penjualan karang untuk keindahan taman di suatu kimpleks perumahan elite tertentu.
Seharusnya terumbu karang di Indonesia dapat memberikan aset yang berharga bagi keterlindungan dan meredam (pemecah gelombang) dari pembunuh alamiah seperti tsunamis ke daratan. Terumbu karang juga dapat memberi keterlindungan tanah-tanah di dekat pantai dari kekuatan erosi laut. Terumbu Karang memang akan mati bila dasar laut tempatnya berpijak terangkat ke atas permukaan air. Namun bila masih ada bagian dibawah air, maka karang yang terendam itu akan tumbuh . Bila permukaan air laut turun hingga meredam seluruh karang karena proses geologis dan tektonis, maka bagian atas koral tumbuh lagi.
KERENTANAN GEOLOGIS 
Pelajaran dari gempa tsunami di Aceh dan Nias telah mengingatkan kita untuk mempersiapkan segalanya, karena bencana sebenarnya sudah sering berlangsung di Indonesia ternyata kita masih lamban. Akibatnya banyak korban, kehancuran ekologi, kehancuran infrastruktur dan menambah beban keuangan untuk pembangaunan serta menumpukkan beban utang Negara menyebabkan jurang kemiskinan semakin tinggi dan berakhir dengan kemerosotan sumber daya manusia. 
Sekarang Yogyakarta mengalami bencana, bukan karena kedahsyatan tsunami, melainkan kelemahan bangunan dan kekuatan tanah tempat berpijaknya bangunan itu, mengalami amplifikasi seismik karena jenis tanah umumnya dari lapisan tanah lempung dan skiss yang mudah rapuh. Padahal sudah ada data-data geologis daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah yang detail dari hasil penelitian dan pemetaan kerentanan geologis, bahwa di daerah ini ada zona batuan yang mengalami penguncian, kalau di Sumatera gerak lempeng daratan terdorong dari Selatan kea rah Utara hingga ke batas Aceh-Sumatera Utara, maka di Jawa berarah dari Barat- Baratdaya ke Timur-Timurlaut di Jawa Timur, akibatnya Yogyakarta yang ada di wilayah ini mengalami pendesakan, seperti yang dialami Aceh terutama di daerah Tapak Tuan dan Kutacane, dan arah pusat gempa ada dilautan dengan pusat kedalaman gempa sekitar 33 km dan termasuk gempa dangkal yang sangat merusak.
MENINGKATKAN SDM 
Pemerintah harus mendorong semangat pemuda untuk meningkatkan SDM dibidang penelitian, dengan meningkatkan anggaran pendidikan dan kesejahteraan para peniliti agar mau terjun ke bidang pekerjaan yang “kering” karena untuk bidang penelitian kebumian masih rendah terutama di bidang disiplin ilmu geologi dan geofisika. 
Lulusan sarjana di dua bidang ini di Indonesia sekitar 90 persen hanya mau bekerja di bidang yang berkaitan dengan pertambangan dan perminyakan pada perusahaan perminyakan yang banyak menyebar di wilayah tanah air, karena suatu bidang “basah” yang menjanjikan kehidupan mewah karena pendapatan yang melimpah. Sedangkan penelitian tentang gempa bumi dan gunung berapi yang berisiko tinggi menjadi lapangan yang gersang. Sangat berbanding terbalik dengan bencana yang terjadi sekarang dan menyebabkan negeri ini makin tertinggal jauh dengan Negara-negara tetangganya.

Diterbitkan oleh Surat Kabar Harian “WASPADA” Medan, Tanggal 5 Juni 2006

TITIK LEMAH BUMI INDONESIA : Geologi Gempa

TITIK LEMAH BUMI INDONESIA 
Oleh : M. ANWAR SIREGAR



Gambar 16 : Peta sebaran lempeng tektonik di dunia yang mengepung dan mengubah kondisi geologis wilayah Indonesia setiap tahun dengan zona subduksi dan konvergensi
 
Bumi Indonesia sejak awal pembentukannya telah mengalami aktivitas pergerakan lempeng yang terus menerus sepanjang tahun dan menghadirikan fenomena kegempaan serta perluasan Samudera Hindia. Hal itu mengubah terus menerus posisi letak geologis Indonesia terhadap pembentukan bumi dalam menuju keseimbangan pergerakan lempeng-lempeng di permukaan bumi. 
Bumi Indonesia juga sebagai pusat aktivitas segala yang berhubungan kegempaan, tsunami dan kegunungapian. Anomaly negative dan anomlai positif (penurunan dan pengangkatan permukaan Pulau), pemekaranan lantai/dasar samudera, pusat-pusat subduksi gempa besar dunia berada di kawasan laut dan daratan Indonesia. 
Dan Indonesia juga merupakan sebuah laboratorium yang sangat dinamis dalam mempelajari dinamika bencana dimuka bumi. Dan diramalkan suatu kelak Indonesia akan menghasilkan fenomena gempa benumi strategis yang meliputi kawasan ribuan kilometer. Sekarang ini, Bumi Indonesia semakin terkoyak setelah terjadinya gempa besar di awal abad 21 yang mampu merenggut korban jiwa mencapai 200.000 jiwa di Aceh dan termasuk gempa tsunami terbesar tercatat dalam sejarah manusia modern. 
Gejala-gejala gempa kuat kini mulai terasakan kearah Selatan menuju Mentawai, Jawa, dan NTT serta Papua dan Irjabar dalam kurun enam bulan terakhir ini termasuk pada hari sabtu, 27 Mei 2006 terjadi gempa yang cukup kuatdirasakan didua Propinsi di Pulau Jawa yaitu Yoyakarta dan Jawa Tengah yang menewaskan ribuan orang dan merusak ratusan ribu rumah penduduk, sekolah, mesjid, perkantoran dll. 
BLOK BATUAN RAPUH 
Indonesia dikatakan sebagai Negara yang rawan gwmpa dan sebagai kawasan titik lemah bola bumi adalah disebabkan oleh karena kerapuhan struktur blok batuannya, akibat dari pembenturan lempeng-lempeng raksasa yang ada disekitar wilayah Indonesia. Ini bias terlihat dari struktur kerah bumi Indonesia yang merupaka struktur lapisan blok batuan yang sangat rapuh dengan ketebalan antara 40-120 kilometer dan mdah mengalami pematahan oleh aktivitas lempeng yang selalu bergerak mendesak Lempeng Sunda dan Lempeng Sahul. 
Dengan struktur blok batuan yang tipis dapat mengakibatkan terjadinya deformasi (perubahan bentuk) yang mudah mengalami penghancuran akibatnya adanya pembentukan batuan yang lebih mudah untuk menggantikan batuan yang lebih tua. Batuan yang lebih muda belum mengalami pemadatan karena terus menerus mengalami gangguan oleh pergerakan beberapa lempeng dalam menuju proses keseimbangan yang tetap. 
Akibat pergerakan lempeng-lempeng di kawasan bumi Indonesia, blok batuan mengalami tarikan dan tekanan yang menimbulkan ketegangan di antara blok batuan diperbatasan lempeng antara dua lempeng maupun pemisahan lempeng yang dapat menyebabkan terobeknya perut bumi Indonesia dalam bentuk akumulasi energi. Pelepasan energi dapat berlangsung dalam hitungan waktu tertentu, bias oleh peristiwa jangka 5,10, 50,100-200 tahun kemudian. Yang kemudian dirasakan sebagai gempa yang merusak. 
ZONA RAWAN TABRAKAN 
Bagai sabuk penyalur raksasa, wilayah Indonesia di anggap lebar dan merupakan tempat pertemuaan dan persinggungan lempeng-lempeng besar dan kecil, karena bumi tidak membesar maka pergerakan lempeng di wilayah Indonesia akan saling bertabrakan. Dan akan membentuk zona subduksi yang banyak ditemukan di sepanjang Pantai Barat Sumatera, Laut Jawa, Laut Flores, Kepulauan Maluku dan Irjabar, dan berdampingan dengan zona lingkaran api atau rangkaian gunung berapi. 
Kerawanan tabrakan antar lempeng di wilayah Indonesia akan mengakibatkan perubahan-perubahan geologis yang terjadi dan dapat menimbulkan bencana hebat bagi Indonesia dan Negara-negara yang ada disekitarnya. Hal ini dikondisikan oleh faktor geografis dimana negara-negara tersebut berada dalam tatanan geologis yang sama atau berdekatan dengan zona subduksi sebagai pusat dan sumber gempa yang terjadi.
Perubahan geologis yang dapat terjadi di wilayah Indonesia akibat “perkelahian” lempeng adalah : Pertama, pinggiran lempeng dapat saling bergeser dalam serangkaian kejutan, yang menyebabkan terjadinya gempa bumi. Seperti terjadi pada Lempeng Carolina (Amerika Utara) dengan Lempeng Pasifik di Selatan Kawasan Indonesia Timur, maupun antara Lempeng Eurasia dengan Lempeng Indo-Australia, serta Lempeng Pasifik dengan Lempeng Eurasia. Terdapat 15 lebih zona subduksi besar, tidak jauh dari lokasi ini terdapat rangkaian gunung berapi aktif (berada dipinggir Lempeng Pasifik). Perubahan geologi yang dialami pada wilayah Kepulauan Nias, Kepulauan Simeulue, Kepulauan Maluku dan Irian Jaya Barat dan Papua dengan adanya pengangkatan dan penurunan pulau-pulau vulkanik. 
Kedua, Satu lempengan yang dapat dipaksa ke bawah yang lain atau saling menekan dengan menumbukan bagian pinggiran lempeng. Gerakan ini dapat juga menyebabkan terjadinya gempa bumi di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia. Kawasan yang teraktif mengalami perubahan geologis adalah Kawasan Pantai Barat Sumatera yang “dikerjakan” oleh aktivitas Lempeng Indo-Australia berhadapan dengan Lempeng Eurasia. Bencana di sepanjang patahan regional Pantai Barat Sumatera ini menyebabkan daratan Aceh hingga Flores telah bergeser sejauh 2-4 cm per tahun untuk mendekati Benua Asia. 
Ketiga, lempeng dapat bertabrakan sedemikian rupa sehingga pinggiran lempeng membentuk kericut dan terdorong ke atas yang menyebabkan letusan dan gempa serta pembentukan pegunungan baru dalam wilayah yang sempit. Lempeng itu mencair dan menciptakan magma naik melalui gunung-gunung yang terbentuk di daerah pertemuan lempeng karena Lempeng Pasifik memiliki ketebalan sangat tipis 40-120 km yang maju akan dihancurkan karena ketebalan Lempeng Eurasia relative berat dan tebal. Di daerah ini akan terbentuk rangkaian pegunungan atau busur-busur kepulauan seperti Pulau di sekitar Kepulauan Maluku, Pulau-pulau vulkanik di Asia Pasifik hingga ke Hawaii dan Pulau-pulau di Jepang. 
ZONA KEGEMPAAN BESAR 
Akibat pergerakan lempeng-lempeng besar dari Lempeng Indo-Australia, Lempeng Carolina-Pasifik-Philipina dan Lempeng Eurasia maka di wilayah perairan Laut Pasifik, laut Sulawesi dan Samudera Indonesia akan ditemukan lokasi pembangkit aktivitas vulkanik dan tektonik yaitu zona subduksi sebagai pusat dan sumber gempa bumi. Sehingga tidaklah mengherankan bahwa Indonesia merupakan daerah titik lemah bumi yang sering mengalami gempa dan banyak ditemukan gunung berapi yang masih aktifbaik didaratan maupun dibawah permukaan laut. 
Zona kegempaan besar di Indonesia dimulai dari jalur pertemuan konvergen antara Lempeng Sunda dari Palung Nikobar, Burma Utara sampai dimana Benua Australia dan Indonesia Timur saling bersentuhan pada paparan Lempeng Sahul. Dan menerus ke Kepulauan Maluku, Sulawesi hingga Lempeng Fhilipina dan Pasifik. Zona-zona subduksi kegempaan besar itu terdapat di utara Aceh, di Kepulauan Nias dengan Pulau Banyak (Simeulue), Pulau-pulau di Mentawai, Pulau Enggano dengan Samudera Hindia, Selat Sunda di sekitar Gunungapi Krakatau, sepanjang perairan laut Samudera Indonesia di sekitar Pulau Jawa menerus ke Selat Bali dan Nusa Tenggara Barat dan Timur, di Laut Timor Leste, melingkar ke Kepulauan Tanzibar, menerus ke Kepulauan Banda Neira, Ambon dan halmeheira hingga ke Palung Laut Dalam di Fhilipina Selatan. 
Dengan memperhatikan geografis subduksi Indonesia, diharapkan Pemerintah Daerah dapat mempersiapkan pembangunan ke ruangan wilayah yang berbasis kegempaan lokal dan setiap perencana pembangunan infrastruktur harus berlandaskan informasi kerentanan geologis dalam mempersiapkan mitigasi sedini mungkin untuk menghindari kemungkinan jatuhnya korban yang besar.
Tulisan ini sudah pernah diterbitkan HARIAN WASPADA MEDAN

Medan Belum Siap Menghadapi Bencana Dahsyat : Geologi Disaster

MEDAN BELUM SIAP MENGHADAPI BENCANA DAHSYAT 
Oleh M. Anwar Siregar 

Medan sebagai ibukota Propinsi Sumatera Utara, memiliki kompleksitas penataan ruang pemukiman, tata ruang hijau semakin terbatas dan penataan arus lalu lintas dan transportasi massal yang tidak efektif, peningkatan jumlah penduduk, eskalasi urbanisasi, serta potensi bencana dimasa depan seperti banjir tiap tahun, ancaman degradasi air bersih dan potensi gempa strategis setiap saat datang “menghantui” kota Medan. 
Selain itu, Medan dari segi efisiensi waktu telah mulai menurunkan produktivitas kinerja masyarakat dan industri serta investasi akibat kemacetan lalu lintas yang luar biasa, memiliki sumber bahaya kerentanan (vulnerability) sosial yang tinggi, yaitu kerapatan dan kecepatan pembangunan sarana fisik berbanding dengan laju kepadatan penduduk dengan luas tata ruang yang ada dan terbatas sehingga dapat mengganggu keseimbangan kestabilan daya dukung geoteknis tanah dan lingkungan. 
FAKTOR FISIK 
Dengan jumlah penduduk mendekati 5 juta jiwa, kota Medan terpadat ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya, Medan berpotensi mengalami ledakan sosial dalam 20 tahun mendatang. Dari perspektif geologi gempa, diperkirakan dimasa 20 tahun ke depan ada tiga patahan kritis gempa di Sumatera Utara dapat memberikan ancaman bagi kerentanan dan kerawanan geologis yang tinggi bagi kehidupan di kota Medan yang telah padat jumlah penduduk. 
Banyak faktor geologi gempa yang dapat mempengaruhi ketahanan tata ruang kota Medan terhadap ancaman bencana dan bahwa Medan harus di”reformasi” tata ruangnya agar menjadi kota yang layak dihuni dan nyaman untuk hidup beraktivitas yakni, pertama, faktor struktur tata ruang hijau kota Medan tidak mengikuti aturan tegas tentang zonasi lingkungan hijau, banyak daerah sempadan sungai atau daerah aliran sungai (DAS), membentuk “tata ruang kumuh”, pengambilan air dikawasan hijau yang merupakan bagian dari tata ruang air atau cekungan air tanah (CAT), pembangunan gedung dan hotel yang menjorok 2-3 meter ke dalam sungai, lebar sungai dipersempit sehingga ancaman banjir tiap tahun yang melanda kota Medan bersumber dari salah satu dampak tersebut. 
Selan itu, ancaman terjadinya kekeringan air disebabkan oleh laju kecepatan pembangunan fisik tidak dibarengi oleh peningkatan penataan daerah tangkapan air bersih berupa zona pembangunan ekologi berkelanjutan, penurunan permukaan tanah telah mendekati permukaan air laut di Utara Medan oleh peningkatan pembangunan infrastruktur fisik berat didaerah hijau. Kedua, Faktor struktur tektonik stratigrafi dan geoteknis fisik peletakan/posisi bangunan di Medan berada di daerah rawan bencana geologi, umumnya tidak dirancang tahan gempa, sangat berpengaruh terhadap kekuatan dan pergeseran tanah dan batuan, yaitu terdapat suatu proses geologi tata ruang Kuarter yang masih terus mengalami perubahan lingkungan oleh geodinamika tektonik dan vulkanik kegempaan di Nias, daerah limpasan banjir bandang dan erupsi vulkanik di Gunung Sinabung dan Sibayak berasal dari Tanah Karo, zona penekanan alur seismik kegempaan di patahan menyilang di Langkat dan berada dalam radius ancaman gempa patahan di daratan Aceh di perbatasan Sumatera Utara dan Aceh sejauh 200-400 km.
Faktor ketiga, Medan rentan mengalami kerusakan fisik akibat empat golongan utama gempa, yakni 1. Terjadi ground shaking, adalah gerakan tanah akibat gempa yang merupakan unsur utama penyebab keruntuhan struktur bangunan. 2. Likuafaksi, adalah kehilangan strength pada pasir yang jenuh air akibat pembebanan siklik. Kondisi ini menyebabkan penurunan dan pergerakan lateral dari pondasi, banyak bangunan di Medan dibangun di lokasi yang telah diidentifikasi berpotensi mengalami likuafaksi tanahnya terdiri dari tanah alluvial dan vulkanik. 3. Bila terjadi gempa kuat dalam radius 100 kilometer ke dalam Medan akan membangkitkan “sesar-sesar tidur” menjadi bidang patahan (fault rupteure) yang aktif, dapat mengganggu kekuatan pondasi bangunan yang tidak dirancang tahan gempa oleh pergerakan seismik dalam lajur gerak horizontal dan vertikal disekitar patahan Danau Toba dan patahan ordi (Karo-Langkat-Simalungun). 4. Terbentuknya pola landslide bawah permukaan sebagai akibat dari pergerakan terjadinya gempa, karena tanah di kota Medan adalah tanah yang bersifat “lembek” maka dipastikan struktur pondasi bangunan dan struktur geologi bawah permukaan akan ada mengalami “gangguan kekuatan” menyebabkan gerakan tanah dan likuafaksi yang luas. 
GEMPA BAWAH PERMUKAAN 
Bencana setiap saat hadir ”mengancam tata ruang Medan”. Penataan ruang Medan sangat mendesak untuk di integrasi ke dalam tata ruang multi bencana alam, karena ada kecenderungan bahwa perencana dan pengambilan keputusan seringkali mengabaikan faktor bencana geologi bawah permukaan pada pemanfaatan ruang sehingga menjadi akar permasalahan penataan ruang di kemudian hari. Tidak ada sinkronisasi dalam penataan ruang bawah permukaan dengan ruang atas permukaan dalam kajian geologi struktur seismik kegempaan lokal yang meliputi beberapa aspek keteknikan geologi antara lain : Pertama, aspek kajian teknis pembuatan peta geologi tata ruang kota bawah tanah untuk infrastruktur berat tidak disesuaikan dengan kondisi geologi tektonik dan stratigrafi yang berguna untuk mengetahui arah lintasan sesar-sesar yang tidak aktif dalam mengantisipasi kerentanan pondasi bangunan bawah dan pondasi bangunan atas terhadap gaya tekan beban maksimun pondasi bangunan. Medan belum memiliki peta rancang pembangunan infrastruktur fisik bawah permukaan, dan selama ini lebih banyak peta tata ruang fisik diatas permukaan. 
Kedua, aspek pengaturan kajian zonasi geologi terhadap peta tata ruang permukaan, banyak bangunan diletakkan di daerah hijau yang berpotensi menghasilkan bencana pada faktor geologi gempa yaitu ground shaking. Peta tersebut berfungsi sebagai arahan untuk pengendalian pemanfaatan lahan dalam mereduksi potensi bencana. 
Ketiga, aspek tingkat percepatan akselarasi seismik dalam data peta kerentanan geologis tinggi belum mencantum berbagai permodelan tingkat kecepatan rambat goyang gempa mencapai permukaan dari berbagai jenis tanah dan batuan terhadap bangunan yang telah terbangunkan. Jenis tanah Medan memiliki tingkat perambatan gelombang yang sangat tinggi dengan akselarasi tambahan energi goyang menjadi 4-5 kali lebih besar jika sudah mencapai permukaan, dapat menghancurkan bangunan terutama di inti kota yang terdiri tanah yang tidak padat. Kejadian ini dapat direfleksikan dari gempa strategis Meksiko dari pusat gempa di Pantai Barat Amerika dengan pembandingan kekuatan gempa di megatrush Nias-Aceh ataupun Andaman-Nikobar di Lempeng Burma. 
ANCAMAN BENCANA 
Sebagian masyarakat menyebutkan Medan sebagai kota “sumpet” dan memiliki tingkat kerentanan tinggi yaitu asumsi pertama, menyebutkan Medan tidak memiliki pedoman pengendalian bahaya bencana untuk pencegahan bencana banjir setiap tahun. Kanal Banjir tidaka berfungsi dan tidak sesuai pemetaan lokasi yang komprehensif sehingga tetap menimbulkan banjir. Bagaimana kalau terjadi gempa? Dipastikan akan terjadi sejumlah miskomunikasi karena mengurus banjir dan kemacetan saja sudah “cari kambing hitam”.Faktanya, kejadian banjir awal tahun 2011 tersebar di enam Kecamatan.
Gambar : Banjir dikecamatan Medan Kota, selain hujan deras, drainage sangat buruk serta penataan ruang terbuka sangat terbatas (sumber : Dokumen Foto penulis, 2011).

Asumsi kedua, Medan calon kota tenggelam, derasnya arus urbanisasi dan pembangunan yang terus menerus terbangunkan sehingga terjadi penggalian tanah di lokasi daerah tangkapan air bersih di hulu dan hilir dan zona daerah hijau sebagai zona sanggahan di kawasan Deli Serdang dan Tanah Karo sebagai daerah sabuk hijau untuk tangkapan air bersih berkelanjutan. Buktinya, banyak kawasan rawa-rawa sebagai daerah resapan air menjadi daerah hunian dan kawasan industri. 
Asumsi ketiga, menyebutkan Medan tidak memiliki tata ruang tahan gempa yang mumpuni sehingga dianggap sebagai “kota ladang pembantaian” jika terjadi bencana gempa dan tsunami strategis di Selat Malaka karena sampai saat ini kota Medan belum memiliki daerah pengaman untuk segala jenis bencana geologi dan klimatologis. Siapkah Medan menghadapi ancaman bencana di masa mendatang? 
Jika berlandaskan pada kejadian banjir beberapa hari lalu, sudah sangat membahayakan, bagaimana kalau terjadi gempa strategis melalui alur Patahan Mergui dan Patahan Sagaing di Burma atau desakan kuat Lempeng Indo-Australia di jalur subduksi Andaman-Nikobar yang membangkitkan/memicu kembali tekanan yang mengakibatkan pemecahan sekian kali bagi Lempengan Burma sejauh 150 km dari pecahan yang telah terjadi seluas 200.000 km persegi akibat gempa Aceh-Andaman 2004, untuk menghasilkan tsunami dahsyat di busur belakang (back arc basin) di Pantai Timur Sumatera dengan Selat Malaka sebagai jalan tol yang sempit? Keniscayaan asumsi masyarakat akan terbukti. 

M. Anwar Siregar, Geolog, Pemerhati Masalah Lingkungan dan Geosfer Diterbitkan Harian “ANALISA” MEDAN, TGL 24 Februari 2011

30 Agu 2012

LAUT INDONESIA BUKAN TONG SAMPAH BERACUN : Geologi Lingkungan

LAUT INDONESIA BUKAN TONG SAMPAH BERACUN 
oleh : M. Anwar Siregar 

Gambar : Lautan sampah dibuang seenaknya, sadarlah, laut sangat berguna bagi kehidupan manusia dan makhluk lainnya. (Sumber gambar : dari berbagai sumber)

Dalam bulan Juni ada momentum yang dapat diingatkan bagi bangsa dalam pembangunannya bila ingin disebut bangsa unggul teknologi maritim dan hidup dari sumber daya kelautan yaitu hari lingkungan Bumi dan hari Laut, keduanya mempunyai hubungan erat bagi keberlanjutan sumber daya ekonomi pembangunan. Efek pembuangan sampah limbah radioaktif ke lingkungan lautan telah menimbulkan kecemasan bagi masyarakat dunia khususnya Indonesia, terutama tempat pembuangannya di lautan Negara berkembang dan miskin.
Salah satunya di Laut Indonesia. Indonesia yang memiliki ribuan pulau mencapai 17.840 pulau dengan luas laut 3,1 juta kilometer persegi dengan garis pantai sepanjang 95.181 kilometer atau keempat terpanjang setelah Amerika Serikat, Kanada, dan Rusia, paling banyak diincar Negara maju untuk dikirimkan sampah berupa limbah bahan bakar dan beracun dan berbahaya (B3) karena terlindung oleh ribuan pulau dan memungkinkan para penyeludup mudah membuangnya. Laut Indonesia sepertinya memang mau dijadikan tong sampah beracun. 
LAUTAN LIMBAH DI INDONESIA
Belum adanya kemajuan dalam pengelolaan pembuangan sampah yang permanen bagi limbah beracun dan sampah radioaktif telah mengakibatkan terjadinya penumpukan sumber-sumber bencana baru ke lingkungan, pembongkaran dan penguburan reaktor nuklir komersil yang sudah pensiun tidak mungkin dilakukan kalau belum ada tempat-tempat yang aman untuk menyimpan sisa-sisa bahan radioaktif. Dan ini memungkinkan negara-negar maju mengincar luasnya lautan Indonesia. 
Lautan sampah beracun di Laut Indonesia disebabkan longgarnya pengamanan dan pengawasan laut di perbatasan sehingga memudahkan negara-negara lain membuang drum-drum yang berisi B3 berupa seng, racun kimia, timah dan besi-besi tua dan berbagai jenis kerangka besi tua berkarat dari berbagai model transportasi dalam jumlah besar tanpa izin kementerian lingkungan hidup Indonesia yang melanggar peraturan/ketentuan konvensi BASIL, yang mengatur perpindahan limbah B3 antar negara maju. 
Limbah-limbah beracun yang mencemari lautan Indonesia antara lain : Dari Australia, laut Indonesia mendapat kiriman berupa bahan non ferrous, timah bekas sebanyak 2.417 ton, butiran logam non besi, bahan zinc untuk campuran pupuk, timah baterai sebanyak 23.500 ton, sisa aki bekas sebanyak 105 ton, dan lead waste scrap mencapai 1000 ton sejak tahun 1997-2008 bercampur dengan tumpahan minyak dan sampah plastik masih ada dan terendapkan disebagian pulau terpencil terutama di dekat perairan Laut Flores hingga ke tahun sekarang. Dari Singapura, B3 di lautan Indonesia terutama di laut Cina Selatan dan Selat Malaka di Kepulauan Riau berupa barang produk hasil elektronik yang rusak, aki mobil bekas, pembuat kulkas dalam jumlah hampir mendekati 1 juta ton sejak tahun 2000-2007. Dan mobil bekas yang tidak layak pakai sempat dibuang tidak teratur sejak akhir 1990-an sampai tahun 2011 yang sering luput dari pengawasan berwenang RI. 
Dari negara-negara Eropa berupa sisa aki bekas berbagai jenis, zinc sebanyak 1000 ton sejak tahun 1996-2005 dan insinerator atau pembuat limbah yang banyak mengandung unsur beracun dari bahan bakar yaitu dioksin dan furan sejak tahun 2002-2006, dan dari Amerika Serikat menjual peralatan pemati tumbuhan pelapis permukaan tanah yaitu insinerator ke negara-negara anggota OPEC sejak tahun 1990-2004. Dan masih bertumpuk dibeberapa di laut pelabuhan di Indonesia. 
Laut Indonesia selain Laut Pasifik dimungkinkan sebagai lokasi pembuangan Sampah B3 ataupun limbah radioaktif nuklir dari negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Perancis, Australia dan Singapura disebabkan kondisi palung-palung laut dalam yang berdekatan dengan zona subduksi gempa di wilayah Indonesia, memudahkan drum-drum ditelan atau menyusup ke dalam bumi secara alamiah di dalam bumi. Laut Indonesia yang menjadi incaran pembuangan limbah B3 disekitar selatan Pulau Jawa, pantai Barat Sumatera, Utara Teluk Biak, Samudera Pasifik Papua, Laut Sulawesi, Selat Malaka dan Samudera Indonesia dekat Nusa Tenggara dan Laut Timor. Sebagian wilayah ini memang secara kasatmata daerah ideal karena terdapat zona subduksi bagi negara “pembuang” namun bahaya bencana geologis dan klimatologis bagi Indonesia. 
EKSPLOITASI KEHANCURAN
Pembuangan sampah dilautan berupa B3 dan sampah barang-barang yang tidak terpakai dapat mengakibatkan hilangnya ekosistim di lautan. Eksploitasi kehancuran lautan mulai memuncak sejak perang dingin antara Blok Barat diwakili Amerika Serikat dan Blok Timur (komunis) diwakili oleh Uni Soviet/Rusia dalam uji coba rudal nukilir di lautan Pasifik. 
Dampak kehancuran akibat eksploitasi limbah beracun nuklir dari uji coba peluru kendali berhulu nuklir di lautan berdampak bagi kehidupan bumi terhadap terumbu karang dan pola keseimbangan hayati dilautan sehingga terjadi ketidakseimbangan pemasokan/persediaan sumber rantai makanan bagi manusia terutama sumber tangkapan ikan dengan permintaan ikan-ikan laut dunia. 
Terumbu karang Indonesia yang terbentang dari Aceh hingga ke Papua mengalami penghancuran paling tragis dari salah satu ekosistim laut itu menyediakan 12 persen dari tangkapan ikan global per tahun dari total luas terumbu karang Indonesia mencapai 18 persen atau 75.000 km2 terumbu karang dunia. Kondisi penghancuran dilautan sangat berbahaya bagi pulau-pulau di Indonesia dan ekosistim laut dunia, sebab limbah beracun dan sisa radioaktif nuklir yang dibuang ke laut terutama di lautan Indonesia akan memicu kondisi ketidakstabilan lempeng di zona subduksi diseluruh laut Indonesia yang telah disebutkan diatas karena percepatan peledakan dapat mempercepat penguraian kondisi daya tahan kekuatan batuan yang menyusun blok kerak bumi dapat mempercepat daya rekat menjadi robek dan melemahkan serta menghasilkan pelebaran daya retak mencapai ratusan kilometer dari zona patahan atau pertumbukan antar lempeng. 
Ledakan efek nuklir dilautan salah satu juga penyebabnya karena batuan juga mengandung unsur-unsur radioaktif sehingga akan ada arus panas yang memuai disekitar zona patahan yang lemah dibumi dan terpendam di lautan, menimbulkan keradioaktifan ganda dari unsur kimia radioaktif di dasar laut yang rentan bagi makhluk laut. Pendek kata, perubahan salinitas lautan dari efek B3 dan tekanan radioaktivitas nuklir dapat membahayakan segala unsur kehidupan bagi semua ekosistim lautan. 
Proses pembuangan sampah nuklir di lautan Indonesia memang lebih banyak dilakukan disekitar zona penekukan untuk memudahkan terlumatkan sampah B3 dan limbah nuklir oleh proses gravitasi pergerakan lempeng seperti ban berjalan, dimana B3 dan sampah-sampah lainnya akan masuk secara alamiah oleh proses pendaur ulang kondisi tubuh kerak bumi. Namun hal ini justrunya sangat berbahaya karena akan ada proses peledakan antar radioaktif yang disebabkan gangguan termodinamika unsur-unsur kimia yang bercampur sehingga menimbulkan keretakan kekuatan batuan yang berakhir pada gempa bumi yang luas.
Efek sampingan dari peledakan ini adalah mempercepat peningkatan suhu global, peningkatan penguraian lapisan gunung es sehingga meningkatkan tinggi permukaan air laut, serta dapat menimbulkan efek ekstrim bagi lapisan ozon di geosfer, berbahaya bagi kota besar di Indonesia seperti Medan, Makassar, Manado, Sibolga, Semarang dan Jakarta karena ketinggian topografi mencapai 25 meter dari permukaan air laut.
PENGAWASAN KRI 
Peningkatan suhu global yang dipicu oleh peningkatan pemakaian dan pembuangan zat kimia beracun ke lautan telah memberikan perubahan iklim dan cuaca secara ekstrim terutama di lautan Indonesia, dapat meningkatkan penenggelaman pulau-pulau kecil di tengah lautan di daerah teritorial perbatasan yang kaya kandungan minyak dan gas bumi serta keanekaragaman sumber-sumber daya hayati (biodiversity). 
Dilaut Indonesia terdapat 15 ribu jenis spesies makhluk hidup dan 25 persen ikan dunia tinggal di perairan teritorial Indonesia. Diperlukan peningkatan teknologi pengawasan kelautan bagi bangsa Indonesia dalam mengawasi segala tindak kejahatan lingkungan di Lautan Indonesia. Pemerintah wajib memperioritaskan pembangunan lingkungan kelautan Indonesia di perbatasan agar luas lautan dengan ribuan pulau tidak dijadikan “markas sementara” ataupun juga “pelabuhan tikus” untuk menyeludupkan B3 dan penangkapan ikan secara ilegal. 
Rakyat sudah bosan melihat kondisi lingkungan laut Indonesia dijadikan “tong sampah beracun” harus ada tindakan untuk peremajaan peralatan kapal perang RI dilautan, maka semboyan nenek moyang tidak tinggal slogan. Maka kita dapat berjaya dilautan “ Yalesveva Jayamahe”. Sekali lagi, Laut Indonesia bukan tempat tong sampah beracun.

M. Anwar Siregar Geolog,
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer,
Tulisan ini sudah dipublikasi di Harian "ANALISA" MEDAN TGK 24 Juni 2012

29 Agu 2012

GEOHAZARD-RISK DAERAH RAWAN LINGKUNGAN SUMUT : Geologi Lingkungan

GEOHAZARD-RISK DAERAH RAWAN LINGKUNGAN SUMUT 
Oleh M Anwar Siregar
Sumut yang merupakan daerah rawan banjir seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, harus memahami geohazard bagi para perencana pembangunan di daerah rawan Sumut.Banjir melanda Kabupaten Madina memerlukan kajian geohazard risk, bahwa kejadian bencana yang menghancurkan beberapa infrastruktur jalan-jembatan serta perumahan belum dikaji dari sudut geohazar risk, karena banjir beberapa waktu lalu itu bukan pertama kali terjadi di Madina, tetapi sudah berulangkali. 
Begitu juga yang terjadi di Nisel, Medan, Sergai, Tanjung Balai, Tapanuli Selatan dan Sibolga bukan dampak dari perubahan lingkungan cuaca ektrim baik di darat maupun di lautan. Maka di sini penting pemahaman geohazard bagi para perencana pembangunan di daerah rawan Sumut. Pemahaman potensi seluruh ancaman bahaya kebumian yang menimbulkan bencana dan georisk adalah analisis resiko kerentanan kegiatan pembangunan fisik yang telah diidentifikasi penempatan keruangan dan aktivitas ekonomi-sosial masyarakat pada suatu lingkungan geologi yang tidak mampu mendukung beban-beban pikul terhadap tanah di atasnya.
Pola investasi prasarana dan sarana yang tidak bertumpuk pada kajian geologi dapat juga menyebabkan bencana, sangat penting diterapkan dalam pembangunan tata ruang daerah yang rawan banjir, gempa bumi dan gerakan tanah. 
EKOLOGI GEOHAZARD-RISK 
Banjir di berbagai Kota di Sumatera Utara tak dapat melepaskan diri dari bencana ekologi lingkungan akibat tidak mengkaji aspek bahaya dan analisis risiko kondisi lingkungan geologi terutama dalam pembangunan ekologi lingkungan yang berkelanjutan. Sebab, efek yang sudah dirasakan sekarang adalah bencana banjir karena perubahan lingkungan, kerusakan ekologi hutan oleh pembalakan hutan secara signifikan telah melewati batas toleransi dari kemampuan sumber daya hutan yang terbatas. 
Dalam pembangunan ekologi lingkungan berkelanjutan, maka kajian geohazard-risk untuk ekologis lingkungan dibagi beberapa zonasi fungsi ekologis, yang semuanya berperanan penting dalam mencegah bencana lingkungan geologi terutama bencana banjir, gempa dan gerakan tanah yang merupakan penyakit "datang bulan", dari pengalaman penulis membagi zonasi geologi-ekologis dalam pembangunan berkelanjutan terdiri dari lima bagian besar yaitu : 1. Ekologi industri yang mencakup sumber daya pertambangan berkelanjutan, yang harus memperhitungkan kemampuan cadangan sumber daya dan aspek-aspek kerusakan tanah terhadap daya tahan erosi air yang dapat menyebabkan efek sampingan seperti gerakan tanah, kerusakan fungsi tata air oleh limbah dan serangan banjir didaerah kantong-kantong pertambangan. Penataan ruang pertambangan sudah harus bertumpuk kajian georisk agar tidak menimbulkan konflik. 
2. Ekologi energi yang bersumber kepada kemampuan sebuah kota dalam pembangunan berkelanjutan, memberikan pemenuhan akan sumber energi listrik industri dan transportasi, serta penerangan dan penggunaan energi-energi alternatif yang bisa diterima ke lingkungan agar tidak menimbulkan dampak kesehatan dan perubahan lingkungan ektrim karena memiliki sumbangan emisi carbon yang tinggi berdampak pada hujan asam dan merusak pola siklus musim tanam, kerusakan pohon dan tata air. 
3. Ekologi Ruang Air yang dapat diartikan dalam suatu tata ruang air yang berperanan besar bagi kehidupan dari ancaman bencana. Tata ruang ekologi air penting untuk digunakan dalam pembangunan karena semakin terancam kondisi keruangannya akibat pembangunan fisik yang tidak sesuai dengan perencanaan tata ruang detail wilayah atau kota. Ekologi tata ruang air memerlukan kajian ekologi ruang hijau terbuka pada setiap sektor kegiatan lokal dan utama pada peta tata ruang detail wilayah kota. 4. Ekologi Hijau Terbuka yang sangat ini masih setengah hati diimplementasikan dalam bentuk ruang hijau terbuka, ekologi hijau terbuka lebih difokuskan kepada zonasi pencegahan dan peminimalisasi eksterior segala bentuk bangunan pada daerah yang tata ruangnya telah mengalami kebencanaan geologi dan klimatologi. 
5. Mitigasi Ekologi sebenarnya adalah bagian dari keterikatan dari keempat zonasi ekologi yang berhubungan erat satu sama lain. Mitigasi ekologi dapat diimplementasi dalam bentuk pembangunan sarana pada areal yang telah diidentifikasi kekuatan tanahnya, struktur geologi, proses-proses geologi dan kondisi tata ruang jauh dari ancaman bencana, mitigasi ekologi dapat juga dalam bentuk taman evakuasi, RTH di DAS, sistim-sistim pertahanan bencana banjir dan banjir raksasa (tsunami). 
KAJIAN GEOHAZARD-RISK 
Pentingnya kajian geohazard dan georisk dalam pembangunan fisik lingkungan geologi dalam wilayah kota di Sumatera Utara karena kondisi tatanan geologinya telah diidentifikasi mengandung potensi bahaya geologi (geo-hazard) yang sewaktu-waktu dapat berkembang menjadi bencana (disaster). Contohnya kota di sekitar gunung api. Sinabung di Tanah Karo, Sorik Merapi di Madina dan Sibual-buali di Tapanuli Selatan, pembangunan fisik tidak berlandaskan pada kajian mitigasi kerentanan bahaya gunungapi dapat menimbulkan ancaman bahaya yang sangat besar, yaitu banjir lahar dingin, banjir bandang akibat hilang daerah ekologi hijau akibat erupsi gunung api, pelajaran dari ini adalah lahar gunung Merapi di Yogyakarta yang sampai sekarang masih berlangsung. 
Sedangkan analisis risiko adalah kerusakan tata ruang ekologi, kerugian investasi, kerugian sumber daya dan psikologis serta kondisi lingkungan dimasa mendatang. Analisis georisk dalam pembangunan tata ruang fisik perkotaan di Sumut digunakan untuk mengetahui tingkat risiko bahaya yang terkandung di dalamnya dalam suatu proyek perencanaan pembangunan maupun rekonstruksi suatu perkotaan, contohnya Nias, Dairi, Kabanjahe, Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, Humbahas dan Tobasa, bahwa wilayah tersebut terkandung resiko bahaya gempa dan gunung api karena pengembangan kawasan itu berada pada bahaya lingkungan geologi yaitu berada dalam zona radius patahan gempa dan erupsi gunung api, gerakan tanah dengan curah hujan yang tinggi dengan efek sampingan berupa banjir dan banjir bandang. 
Fokus kajian utama geohazard-risk dalam penataan lingkungan di Sumatera Utara adalah menghindari ancaman dan bencana lingkungan geologi di perkotaan dengan peningkatan atau penguatan kesadaran masyarakat terhadap kerentanan bencana lingkungan di perkotaan. Fokus kajian kedua dari bahaya bencana geologi yaitu berasal dari hasil interaksi dari ancaman bahaya geologi (geo-hazard) yaitu pemicu gempa megatrush di Nias dan pada segment Renun-Toru-Angkola yang dapat menimbulkan korban jiwa dan harta serta kerusakan infrastruktur meliputi Tapsel, Taput, Tobasa, Tanah Karo, Langkat, Humbahas, Dairi, Deli Serdang, dan Simalungun serta kerentanan (vulnerability) yaitu kekuatan bangunan dan kekuatan tanah yang pada hakekatnya terjadi karena tidak terkelolanya resiko pembangunan fisik yang tinggi pada daerah yang telah diidentifikasi kerawanannya, contoh kota yang teridentifikasi kerawanannya antara lain, Nias (gempa-tsunami dan gerakan tanah), Tapanuli Tengah, Sibolga, Medan, Tebing Tinggi dan Pantai Timur Sergai berada pada posisi kiriman banjir serta strategis tsunami. 
Kajian bahaya bencana geologi ketiga, yaitu: sumber daya geologi (geo-resources), dan lingkungan geologi (geo-environment). Ketiga aspek tersebut belum mendasari pembangunan fisik di Sumatera Utara yang berketahanan bencana, pemanfaatan informasi geologi didasari oleh kajian sains geologi (geo-science) yang diaplikasi dalam pengendalian kerusakan lingkungan perkotaan di Sumatera Utara. Diidentifikasi Dairi, Nias, Pakpak Barat, Tanah Karo, Tobasa, Humbahas dan Tapanuli Selatan adalah fakta yang paling rentan mengalami penghancuran segala sumber daya dan lingkungan geologi apabila kajian ancaman, bahaya dan kerentanan yang menimbulkan bencana bila terjadi lagi. Wilayah ini terdapat pusat gempa besar samudera, ruas terkunci segmen patahan daratan sumatera serta bahaya gerakan tanah dengan curah hujan yang tinggi. 
INVESTASI BENCANA 
Fokus kajian dan analisis geohazard-risk bagi investor sangat penting dalam menghindarkan kebangkrutan investasi, data kajian bahaya, analisis faktor resiko-resiko dan bencana geologi yang terkandung dalam suatu tata ruang penting bagi investor untuk mempersiapkan dana proyek geoteknik bangunan, rekonstrusi dan rehabilitasi fisik, sehingga investor telah mendapatkan gambaran mengenai daerah tersebut sehingga tidak ragu melakukan investasi. 
Di luar negeri data geologi sangat penting bagi suatu investor dari Amerika Serikat, Italia, Jepang, Jerman, Belanda dan Norwegia, membutuhkan peta detail kajian geohazard risk yang terangkum dari berbagai jenis peta-peta spasial, peta kerentanan geologis, peta gerakan tanah, peta zona sesar, peta erupsi gunung api, peta RTRW, RTH, peta sebaran sumber daya geologi dan peta geohidrologi. Semua kota di Sumatera Utara dikategori masih rawan ancaman bencana atau bisa juga daerah investasi (mengumpul, menanam) bencana di wilayahnya masing-masing.

(Penulis adalah pemerhati tata ruang lingkungan dan geosfer. Tulisan ini sudah dipublikasi tanggal 25 Maret 2012 pada Harian "ANALISA" MEDAN

Populer

Laut Indonesia darurat sampah

  LAUT INDONESIA DARURAT SAMPAH Oleh M. Anwar Siregar   Laut Indonesia banyak menyediakan banyak hal, bagi manusia terutama makanan ...