8 Jul 2015

DEMAM BATU MULIA

IRONI PEMIMPIN NEGERI KABUT ASAP

Sumber Ilustrasi :http://analisadaily.com/opini/news/ironi-pemimpin-negeri-kabut-asap/112187/2015/02/28

IRONI PEMIMPIN NEGERI KABUT ASAP
Oleh M. Anwar Siregar
Petaka kabut asap berulang kembali, 100 hektar lahan terbakar lagi di Riau awal tahun ini dan pembelajaran kabut asap ternyata manis di bibir, ucapan para pemimpin yang seringkali menyebutkan kata-kata ”kabut asap ini yang jangan berulang kembali”, atau kejadian bencana kabut asap harus diambil hikmahnya agar tidak berdampak lebih luas, dan sejumlah kata-kata manis dari para pemimpin di Propinsi kabut asap seperti Kaltim, Kalteng, Jambi, Sumsel dan Riau sebagai pemimpin pembakaran kabut asap, tidak mengherankan bencana kabut ini sebenarnya lebih difokuskan pada “fundamental” yang lembek, karena semua Propinsi tersebut sangat kaya dengan sumber daya alam dan bersentuhan langsung dengan berbagai aspek ekonomi yang ada di kawasan hutan sebagai sumber peningkatan taraf hidup ekonomi dan kehidupan bagi semua makhluk di muka bumi, hancur lebur dan berasap dimana-mana.
PIDANA TUMPUL
Jumlah hot spot di Sumatera dan Kalimantan terus meningkat sehingga indeks standar polutan (PSI) telah dalam angka membahayakan dibeberapa kota di Sumatera dan Kalimantan dan imbasnya sebetar lagi negara tetangga mengalami “kiriman asap” pahit, dampak dari pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh pelaku usaha industri pekebunan, pertambangan, perambah dan pembukaan lahan bisa menjadi sumber utama penyebab bencana kabut asap, yang menghancurkan dan mengancam manusia dan keberlangsungan mata rantai kehidupan serta harus dimasukan kedalam kejahatan luar biasa yang patut ditangani secara khusus.
Tragisnya, walau sudah ditangani secara khusus hingga Presiden turun langsung ke lapangan namun bencana kabut asap masih tetap berulang, penyebabnya apa? Karena tumpulnya hukum pidana lingkungan, semua aturan mengenai lingkungan hidup sudah diatur dalam UU No 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (UU PPLH).
Hukum lingkungan sampai sekarang belum memberikan efek jera pidana bagi pelaku perusakan lingkungan terutama bencana kabut asap, dimana ketentuan dalam UU-PPLH ancaman pidana termuat dalam pasal 97-pasal 120 yang aturan pidana dan denda itu belum memberikan keadilan. Akibatnya bukan sedikit perkara pencemaran lingkungan oleh kabut asap berakhir dengan vonis bebas bagi pelaku, akibat ketidakpahaman penyelidik hukum dan hakim dalam memberi vonis tuntutan hukum serta implikasi yang ditimbulkan bagi makhluk hidup di bumi.
IRONI PEMIMPIN ASAP
Riau merupakan daerah yang paling sering membuat “ulah” kabut asap, disebabkan fundemental para pemimpinnya juga berulah, terlihat dari beberapa periode pergantian pemimpin gubernur/kab/kota di Riau, semua tidak mampu mengatasi ulah pelaku pembangkangan kabut asap dan mereka juga membuat semakin ironis Negeri Lancang Kuning itu dengan melakukan tindakan pidana di bidang kehutanan dan pemanfaatan alih fungsi lahan hijau yang melibatkan dana suap ratusan milyar.
Setiap kali terjadi bencana kabut asap melanda Riau dan Propinsi tetangganya maka kabut asap akan selalu menjadi situasi darurat di negeri jiran. Uniknya, yang melakukan tindakan pembakaran yang menimbulkan kabut asap antar lintas negara itu justrunya pelaku bisnis yang menguasai hutan-hutan di Riau dan Kaltim berasal dari Negara yang terkena imbas kabut asap yaitu Singapura dan Malaysia, perusahaan dan pelaku pembakaran dari kedua Negara ini belum cukup melakukan pembakaran juga melakukan penyeludupan kayu-kayu muda yang segar ke negara mereka dan juga terlibat penyuapan bagi pemimpin Riau melalui pihak ketiga untuk mengubah tata ruang hutan menjadi lahan pembukaan perkebunan yang maha luas.
Ironis itu semakin nampak jelas ketika Gubernur yang non aktif saat ini, Annas Maamun tidak mampu mengatasi predikat Riau sebagai negeri kabut asap selama masa memerintah singkat kekuasaan sejak tahun 2013-2014, Riau tetap mengalami pembakaran lahan yang memuncak pada tahun 2013, Lebih parah lagi, ketika bencana kabut asap 2013 dan 2014 para pemimpin dari negeri kabut asap banyak tidak hadir rapat untuk melaporkan kejadian yang dialami Riau, Kaltim, Sumsel dan Jambi kepada Presiden sehingga mengundang reaksi keras presiden mengingat pentingnya seorang Gubernur khususnya Riau melapor langsung kepada Presiden ketika iru sesuai dengan sistim birokrasi kepemerintahan di Indonesia.
Yang dilakukan para pemimpin negeri kabut asap sejak tahun 2010 hingga ke tahun era presiden Joko Widodo, itu tindakan yang berlawanan, seakan tidak belajar dari pengalaman saat kebakaran dan lahan mengakibatkan bencana kabut asap nasional pada tahun 2013-2014. Bahkan, saat itu beberapa para pemimpin negeri kabut asap tidak mampu mengatasinya dan malah terlibat bencana suap, dan kabut asap itu mencapai Siangpura dan Malaysia yang memaksa mantan Presiden SBY meminta maaf. “Kerja gubernur dan bupati/wali kota, dari dimensi pencegahan, sangat kurang sehingga ini terjadi lagi,” kata Presiden. Dan bukti ucapan itu masih berulang kembali, dengan ditemukan sejumlah hot spot baru oleh satelit NOAA di daratan Pulau Sumatera pada tahun 2015.
Mantan Presiden mengaku telah menerima sekitar 9.000 berita mengenai kondisi bencana kabut asap dan kebakaran lahan di hutan Riau, Sumsel, Jambi lewat berbagai media sosial, Presiden mengatakan banyak menerima pesan yang mayoritas berisi kemarahan warga Riau terhadap buruknya kinerja para pemimpin mereka dalam penanganan kebakaran lahan dan hutan yang mengakibatkan bencana asap berulang, memang untuk tahun 2014 kebakaran yang menyebabkan kabut asap sekarang ini di ambil alih oleh Propinsi Sumsel. Tetap saja Riau sebagai negeri penghasil kabut asap, kemampuan mengatasi kabut asap justrunya terlibat skandal suap milyaran rupiah akibat dari permainan alih fungsi lahan sehingga mengundang reaksi keras presiden, yang terlihat kurang puas. Dan sekarang Presiden Jokowi melanjut rasa dampak tersebut.
MENGAPA MAAF
Kalau mau jujur sebenarnya para pemimpin jiran harus lebih tegas dalam mengawasi perusahaan dari negara mereka yang berinvestasi di Indonesia, dan harus memahami sejujur, bahwa bencana kabut asap jangan dijadikan komoditas popularitas dan lantas mencak-mencak menuding Indonesia tidak becus mengurus hutan-hutannya dan juga lautnya. hanya karena baru masuk kabut asap sehari sudah langsung memberikan reaksi yang berlebihan, yang terlihat dari komentar mereka di berbagai surat kabar negeri itu.
Mengutip beberapa sumber, beberapa waktu lalu media Singapura sering memberitakan kejelekan Indonesia jika terjadi kabut asap yang telah mengotori udara Singapura akibat kebakaran hutan di Riau selama puluhan tahun dan sebagai pembawa bencana kabut asap dan menganggap pemerintah Indonesia tidak serius menyelesaikan bencana kabut asap, sebaiknya berkaca saja, sumbangsih alam Singapura untuk kesegaran udara atmosfir Asia Tenggara berapa persenkah?
Salah jika Indonesia yang minta maaf, karena selama ini hutan Indonesia telah memberikan kesegaran udara bersih bagi Singapura, dan begitu juga Malaysia, hanya karena kena kabut asap beberapa hari mendadak mencak-mencak, apa tidak tahu bahwa 40 persen kawasan hutan dan perkebunan telah dikuasai oleh mereka, tidak secara langsung mereka lah perusak lingkungan.
Ini menimbulkan ironi, kenapa Indonesia yang harus meminta maaf, bukankah selama ini mereka menikmati hidup sehat dari udara laut Indonesia yang menyumbangkan oksigen bersih sebesar 90 persen bagi masyarakat Asia Tenggara. Ironisnya, sampai sekarang ini, penulis tidak melihat efek tindakan penghukuman bagi pelaku pembakaran lahan dan hutan di Riau yang dilakukan warga negara oleh kedua negara jiran itu ternyata tidak memberikan efek jera walau denda yang diberikan mencapai jutaan dollar. Kebakaran dan kabut asap tetap hadir setiap tahun.
Dan harus jadi pembelajaran bagi para pemimpin propinsi kabut asap agar tidak mudah teriming kasus suap, tidak gampang memberikan izin begitu saja jika pada akhir hanya membangkitkan kemarahan rakyat akibat adanya pembakaran lahan menimbulkan kabut asap setiap tahun .
M. Anwar Siregar
Enviromental Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang dan Lingkungan, Energi Geosfer. Tulisan ini sudah dipublikasi di HARIAN ANALISA MEDAN 2015 http://analisadaily.com/opini/news/ironi-pemimpin-negeri-kabut-asap/112187/2015/02/28

25 Jun 2015

RUANG ANGKASA, TEMPAT PENIMBUN SAMPAH TEKNOLOGI : Geologi Disaster

RUANG ANGKASA, TEMPAT PENIMBUN SAMPAH TEKNOLOGI
Oleh : M. Anwar Siregar

Sampah ternyata bukan saja ada di Bumi, yang selama ini menjadi masalah manusia terhadap lingkungan, kerena terbatasnya lahan untuk lokasi pembuangan/penimbunan sampah, seperti pembuangan sampah nuklir, yang dilakukan Perancis dengan membawa sampahnya ke Negara Pasifik. Selanjutnya di Jepang di daur ulang, yang banyak mengundang protes warga Jepang.
Bukan itu saja, di Jakarta, masalah yang dihadapi bukan masalah limbah nuklir melainkan bagaimana mencari lokasi tempat pembuangan barang besi rongsokan becak hasil razia yang dilakukan oleh Dinas Keamanan dan Ketertiban DKI, yang dampaknya banyak mendapat kritikan pedas. Penyebabnya barang rongsokan tersebut dibuang ke laut, tentu saja reaksi dri berbagai pakar lingkungan terutama ahli ekologi kelautan.
Masalah tentang sampah bukan saja terbatas pada Bumi, tetapi juga kini melanda ruang angkas. Ini dapat dibuktikan dengan adanya perlombaan pembuatan satelit pada era globalisasi yang nyaris tanpa batas. Buktinya : ada 6 ton benda tak berguna melayang diatas kepala kita, perjalanan ruang angkasa mulai tak aman, mungkin Bulan akan dijadikan tempat penimbunan sampah yang baru.
Masalah sampah kini juga menjadi urusan NASA, Lembaga Penerbangan Angkasa Luar Amerika Serikat, tentu bukan sembarangan sampah antarisa, yang belakangan ini makin terasa mengganggu keamanan lalu lintas penerbangan ruang angkasa.
Menurut data yang ada pada komando pertahanan ruang angkasa Amerika Utara (NORAD), sekarang ini paling tidak terdapat lebih 4000 potong “sampah” yang beredar mengintari Bumi. Berat total benda tak berguna itu mencapai sekitar 6 ton, dua per tiga diantaranya  berada di orbit geostasioner, sekitar 35.000 kilometer dari permukaan Bumi. Sisanya beredar di orbit lebih rendah, dari 190 kilometer sampai 483 km di atas kepala kita. Sebagian besar sampah angkas itu terdiri dari satelit yang sudah tidak berfungsi, dan sisa pelbagai benda yang diluncurkan dari permukaan Bumi. Tetapi juga ada mur, baut, tabung oksigen bahkan patahan panel tenaga surya.
Benda-benda dalam orbit Bumi rendah itu beredar tanpa kendali, sampai keausan yang lambat oleh pergeseran molekular, plus daya tarik bumi, membuat ia kembali memasuki atmosfer dengan kecepatan 18.000 mil per jam. Dengan kecepatan yang demikian tinggi. Benda-benda itu terbakar. Demikian juga nasib yang menimpa satelit pertama buatan manusia, Sputnik I, yang hangus ketika kembali memasuki Bumi tiga bulan setelah peluncuran yang bersejarah, 4 Oktober 1957.
Sejak itu, tidak kurang dari 9.700 barang buatan manusia berjatuhan dari orbit. Tetapi, jumlah yang berhasil menembus atmosfir dan mendarat di permukaan Bumi tidak pernah di catat. Berbagai kepingan jatuh di belasan negeri, termasuk didalamnya adalah Zambia, Finlandia dan Nepal. Pada tahun 1961, Fidel Castro, presiden Kuba pernah murka, karena sekeping benda yang melesat dari angkasa dan menewaskan seekor lembu Kuba.
Lebih dari ancaman langsung terhadap jiwa penduduk Bumi, sampah ruang angkasa itu paling merepotkan ditengah padatnya arus lalu lintas antariksa belakangan ini, Ruang  angkasa demikian ramainya sehingga benda-benda yang diluncurkan manusia hanya mengambil jarak sekitar 50 km.
Kini ilmuwan-ilmuwan yang bekerja di NASA menerbitkan berbagai gagasan yang ada di otak mereka, untuk berpikir tentang cara mengirim regu-regu astronout yang berkeliaran di ruang angkasa, lepas dari pesawat induknya, dan harus bekerja sebagai tukang “pemungut sampah” antariksa yang banyak bertebaran itu. Sampah itu digandeng bagaikan kereta barang, lalu dengan roket tertentu di campahkan ke laut, atau “lubang sampah khusus” di ruang angkasa sana. Salah satu situs yang layak untuk dijadikan penimbun sampah ruang angkasa itu adalah Bulan.
Jika hal tersebut terjadi dan dilaksanakan, Bulan dijadikan tempat pembuangan sampah, maka kita pun beranggapan Bulan pun, ternyata tak lagi se “suci” dulu, karena dipermukaannya nanti terdapat beberapa onderdil bekas, peralatan kamera seharga $ 5 juta. Tepai hal itu terjadi agar pencemaran Bulan jangan mengkwatirkan kita. Siapa tahu, suatu saat nanti manusia bisa hidup di Bulan dan tak perlu lagi repot-repot membuang sampah yang ada.


Diterbit Majalah ‘SAINTEK ITM” MEDAN Edisi APRIL 1994. Dipublikasi kembali.

3 Jun 2015

PENTINGNYA DATA BG, BIG DAN BMKG SEGALA INVESTASI


DATA GEOLOGI UNTUK INVESTASI RESIKO : Geologi Mitigasi

DATA GEOLOGI UNTUK INVESTASI RESIKO
Oleh M. Anwar Siregar
Peran data geologi sangat diperlukan dalam pengendalian dampak pemanfaatan ruang dan investasi pembangunan fisik dan non fisik menjadi sangat penting. Mengingat intensitas beberapa ancaman bencana di beberapa daerah di Indonesia dalam beberapa tahun terakhirnya mengalami musibah banjir, longsor, gempa, dan letusan gunungapi semakin tajam, menimbulkan resiko bencana investasi yang luas. Tersedianya data geologi fisik dan data geospasial yang memadai merupakan syarat mutlak untuk mengurangi resiko invenstasi di Indonesia
PELAJARAN INVESTASI
Dengan kejadian gempa bumi dan tsunami di Aceh, Mentawai, Yogyakarta, Bengkulu serta Maluku, serta bencana gerakan tanah di beberapa daerah maka kita diingatkan pentingnya informasi Geologi dalam tata ruang daerah. Selama ini infoermasi geologi belum banyak digunakan dalam perencanaan ruang sehingga apabila terjadi bencana seperti gempa bumi dan longsoran tanah atau letusan gunungapi tidak mudah diprediksi, kita selalu dituntut untuk selalu waspada dan menyesuaikan penataan ruang, pelajaran paling aktual adalah bencana gerakan tanah di Banjanegara.
Mengingat wilayah bencana di Indonesia terangkum nyaris setiap wilayah tata ruang daerah kota, kabupaten terdapat enam hingga tujuh jenis bencana yang mengancam investasi kehidupan. Untuk itu, perlu memanfaatkan dalam menyusun tata ruang melalui informasi geologi dengan memetakan kawasan rawan bencana geologi agar pembangunan pemukiman, sentra bisnis dan infrastruktur lainnya akan jauh lebih aman apabila dalam perencanaannya sudah memasukan informasi geologi sebagai jaminan investasi, penting agar pelaku bisnis dan masyarakat tidak perlu panik apabila terjadi bencana alam geologi karena sudah memperkirakan jalur-jalur potensial yang terkena dampak bencana, sudah memperkirakan biaya anggaran rekonstruksi pembangunan pabrik dan biaya sosial bagi kerusakan lingkungan
INVESTASI RESIKO
Data geologi untuk investasi mempunyai peranan yang sangat besar dan penting dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan pada sektor investasi yang membutuhkan dana besar di daerah rawan bencana seperti kondisi geologi kebencanaan di Indonesia, misalnya inventasi sumber daya pertambangan, energi, dan konstruksi jaringan transportasi laut dan darat nasional.
Hal ini perlu ditekan karena data geologi dalam investasi pertambangan, potensi energi serta konstruksi disetiap daerah berbeda dan mengandung resiko kebangkrutan investasi, maka untuk mengelola hal ini agar tidak menimbulkan kebencanaan geologi dan efek konflik sosial perlu peran data geologi pemetaan permukaan dan bawah permukaan rinci dan detail untuk memahami karakteristik kondisi geologi tata guna lahan, drainase, erosi, abrasi, kestabilan lereng, struktur batuan gempa, lalu dituangkan dalam bentuk peta-peta digital, selanjutnya diimplementasi lapangan bagi para perencana pembangunan di sektor energi dan sumber daya mineral.
Banyak pemerintah daerah yang rawan bencana belum menyusun peta-peta geologi, mengabaikan peta rawan bencana yang sudah disiapkan. Peta tersebut telah disiapkan oleh para pakar yang diarahkan untuk mereduksi jumlah korban yang berjatuhan. Pengabaikan peta ini jelas berimplikasi pada banyaknya korban jiwa yang jatuh akibat bencana alam, contoh peta gerakan tanah di Banjarnegara dan peta tata ruang akibat bencana tsunami, hingga banyak menimbulkan kebangkrutan investasi.
TANGGUH INVESTASI
Sampai saat ini, masih banyak pihak, menganggap informasi data geologi untuk tata ruang lingkungan sumber daya mineral masih terasa asing, disini peran kementerian energi sumber daya mineral khususnya Badan Geologi untuk memperkenalkan dan memasyarakatkan informasi geologi tata ruang sumber daya mineral dan lingkungan kepada pihak pelaku bisnis, perencana penataan ruang pemerintah dan perusahaan konstruksi sipil untuk pembangunan konstruksi sipil berat dengan kawasan industri agar dapat menggunakan peta geologi, peta gunungapi dan sebaran rawan gunungapi, peta tata guna lahan, peta zona kerentanan gerakan tanah, peta sebaran sesar aktif dan sebaran pusat gempa bumi atau seismotektonik merusak di Indonesia.
Perlu sinergi bagi pelaku usaha pertambangan, konstruksi dan tata ruang lingkungan untuk melakukan sharing informasi geologi, khusus bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak di pertambangan untuk kegiatan lapangan agar dapat melibatkan Badan Geologi untuk analisis segala kebutuhan informasi geologi lapangan secara mendalam untuk dimanfaatkan secara utuh, berkelanjutan dan berguna untuk semua pihak berkepentingan.
Data geologi bagi pelaku usaha dalam negeri masih banyak belum menggunakan dari sumber yang valid, umumnya sudah langsung melakukan eksplorasi sehingga menimbulkan konflik lingkungan, tidak terdapatnya analisis amdal khusus bidang geologi. Izin eksplorasi dianggap sebagai surat sakti sehingga mereka secepatnya melakukan “pembantaian” lingkungan.
Beda dengan pihak luar negeri yang banyak menggunakan hasil penelitian dari Badan Geologi. Pihak luar mengumpulkan data-data, peta-peta sebaran bahan pertambangan dan daerah rawan bencana lingkungan dan penataan ruang industri sebelum pembangunan konstruksi lebih dulu berkonsultansi ke data geologi yang ada telah dibuat berbagai tahapan penelitian sehingga mereka banyak eksis dalam usaha investasi raksasa di Indonesia.
M. Anwar Siregar
Enviromental Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer. 
Blog paluemasgeolog.

18 Mei 2015

BANJIR SUMATERA, DEFORESTASI TATA RUANG HUTAN : Geologi Lingkungan

BANJIR SUMATERA, DEFORESTASI TATA RUANG HUTAN
Oleh : M. Anwar Siregar
Pembangunan saat ini, lebih memfokuskan pada pembangunan pencapaian ekonomi, terlihat dari eskalasi pemanfaatan lahan-lahan sempit dengan bentuk bangunan vertikal sehingga memunculkan tekanan yang kuat untuk menekan fungsi ruang hijau yang semakin terbatas, akibat sulitnya mendapatkan tanah dan tata guna lahan yang lebih luas (horizontal) yang berdampak pada semakin berkurangnya ekologi hijau.
Konsistensi dalam mempertahankan aturan Tata Ruang menjadi terlupakan sehingga apa yang diharapkan dalam mempertahankan rencana tata ruang detail wilayah berubah menjadi bencana universal, walau sedikit saja mengalami perubahan dalam tata ruang ekologis hutan dapat menimbulkan dampak perubahan cuaca atau iklim maka kerak bumi akan bereaksi memberikan musibah bencana, salah satunya bencana banjir Langkat. Simalungun di Sumatera Utara, dan di Aceh Taminga, langganan bencana paling banyak bermunculan di wilayah Indonesia.
DEFORESTASI HUTAN
Manusia telah banyak berhasil mengatur kehidupannya dengan melakukan pengendalian tata ruang hutan dengan pengaturan fungsi lahan agar ada keseimbangan antara tanah, air dan udara dalam kearifan lokal sebelum era industri modern. Namun ketika di era sekarang, mulai terkikis oleh ego keserakahan dengan melupakan eksistensi ketiga sumber daya keseimbangan bagi manusia itu menjadi malapetaka. Salah satunya adalah perubahan signifikan fungsi tata ruang hutan berdampak pada gangguan iklim, siklus hidrologis dan terputusnya rantai makanan serta ilmu pengetahuan.
Hutan merupakan suatu sistim lingkungan yang membentuk tatanan ekosistem yang tidak boleh terputus bagi kehidupan di muka bumi, eksploitasi harus terbatas dan harus ada batas daya regenerasi agar menjadi sumber daya yang diperbaharui menjadi sumber daya lestari bagi makhluk hidup. Jadi, sistim di hutan berfungsi sebagai faktor produksi, konsumsi, dan sarana pelayanan bagi kehidupan manusia tidak boleh mengalami gangguan parah agar tidak terhambatnya pemberi kehidupan.
Laju kebakaran hutan di  Sumatera terancam oleh laju deforestasi yang tidak terkendali akibat laju peruntukan pembukaan kebun kelapa sawit mencapai 90 persen di Sumatera plus Kalimantan dan Papua dengan mengorbankan fungsi tata ruang hutan menjadi tersisa 10 persen di luar area non hutan yang meningkatkan perubahan iklim global.
Laju kebakaran hutan Indonesia akibat deforestasi mencapai 6.02 hektar per tahun pada tahun 2000-2012, sehingga Indonesia menjadi negara penghasil gas emisi terbesar di dunia, setiap tahun hutan hancur mencapai 0.84 juta hektar (Sumber Nature Climate Change). Dari gambaran data tersebut, bisa kita bayangkan bagaimana hancurnya tata ruang hutan di Sumatera sehingga tidak mengherankan kenapa setiap tahun terjadi banjir bandang di kota-kota besar di Pulau Sumatera.
DARURAT IKLIM
Sebagaimana disebutkan oleh laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2007 bahwa pulau-pulau kecil yang ada di Samudera Indonesia sangat rentan mengalami penurunan dan dapat terjadi penenggelaman akibat dampak perubahan iklim ekstrim dan efek dari laju kerusakan tata ruang hutan di Pulau Sumatera, pulau-pulau itu mudah terjadi abrasi dan kehilangan ketinggian permukaan tanah dan lahan yang berpotensi ekonomis wisata disebabkan terjadinya kenaikan air permukaan laut, kehancuran hutan mangrove dan laju kerusakan terumbu karang dapat mempercepat kerusakan daratan pantai akibat hantaman gelombang geologis air ombak sehingga terjadi kelembaban tanah dan menurunkan daya tahan tanah pulau-pulau berakhir pada longsoran tebing pulau berdampak gelombang tsunami.
Perubahan tata ruang hutan sedikit saja sudah mengalami gangguan kerusakan ekologi dapat mengubah kondisi atmosfir terhadap kekuatan tanah dalam mencegah banjir, terkait dengan proses yang ada di alam seperti efek gas rumah kaca dan gas rumah kaca. Salah satunya disebabkan oleh pembakaran hutan di Sumatera berdampak pencemaran udara, pembakaran ini menghasilkan gas oksida belerang dan oksida nitrogen dan bereaksi menjadi asam sulfat dan asam nitrat dan jatuh ke bumi menjadi hujan asam, yang dapat menyebabkan kerusakan pohon-pohon hijau di kawasan hutan.
Hal ini juga salah satu penyebab terjadinya kenaikan suhu permukaan bumi, kenaikan suhu permukaan bumi menimbulkan reaksi pada kulit bumi (lempeng) untuk menstimuluskan keseimbangan dengan memberikan manusia hadiah bencana. Sebab, naiknya kadar gas rumah kaca (GRK) akibat polutan pembakaran hutan  seperti CO2, CH4, dan N2O menaikkan intesitas efek rumah kaca (ERK) sehingga permukaan bumi akan naik dan menimbulkan pemanasan global dan darurat iklim  global yaitu perubahan curah hujan di daerah pegunungan ke daratan rendah seperti yang kita lihat di beberapa provinsi di Indonesia, yang teraktual untuk Sumatera Utara ada di Batubara, Tapteng, Madina,Langkat, dan Simalungun.
Pertambahan volume curah air hujan berdampak juga pada ketinggian air pada sungai-sungai besar yang umumnya membelah tata ruang kota besar di Indonesia, sekitar 45 persen sungai-sungai besar banyak membelah kota besar seperti Medan, Jakarta, Semarang termasuk wilayah di Tapanuli TengahRohul dan Rengat (Riau), serta Aceh dan laju erosi lateral pantai mengancam kota Sibolga, Lampung dan Padang karena ada garis pantai mundur sejauh minimal 1 meter dengan kenaikan air permukaan laut 25-140 cm serta garis pantai mundur menjadi 25-140 cm.
Perlu aktualisasi tata ruang hutan dengan menekan penghancurannya.
GANGGUAN HIDROLOGIS
Selain ganguan iklim, Banjir yang terjadi di Sumatera itu tidak terlepas juga dari gangguan siklus hidrologis akibat intervensi manusia pada kehancuran tata ruang hutan karena cakupan luas hutan mencapai jutaan hektar mengalami penggundulan, pembakaran dan alih fungsi peruntukan sehingga potensi daya serap infiltrasi air ke dalam tanah mengalami kelulusan air, melaju cepat ke permukaan tanah tanpa terbendung oleh pengakaran pohon di kawasan kota dan tebing bukit berbuah efek domino yaitu banjir bandang, gerakan tanah menahun dan hilangnya flora dan fauna yang dilindungi serta kerusakan infrastruktur dan korban jiwa.
Gangguan hidrologis untuk daratan sangat berperan penyebab utama banjir dibeberapa kota di Sumatera akibat intervensi manusia dalam mengubah daerah tutupan lahan dari daerah hijau menjadi daerah perkotaan yang dapat kita lihat jelas di sekitar hulu DAS yang membentuk kawasan bangunan sehingga hutan ataupun lahan kosong itu sebenarnya sudah ditetapkan sebagai daerah fungsi resapan air, mempengaruhi siklus geohidrologis, terutama ketika hujan menuju kepermukaan, fungsi infiltrasi berkurang dan proses intersepsi tidak bekerja sesuai fungsinya,  sehingga jumlah limpasan air tidak tertampung oleh kapasitas debit sungai mengakibatkan banjir, (kasus ini dapat dilihat sepanjang sungai Sibabangun, Indragiri serta Kampar dan Batanghari).
EFEK BANJIR TAHUNAN
Sudah 20 tahun terakhir ini, Sumatera silih bergantian atau arisan bencana antara kebakaran hutan, kabut asap dengan banjir disertai bonus longsoran yang mematikan, melanda daratan di beberapa provinsi. Ironisnya, daerah penghasil sawit terbesar di Indonesia mampu juga menghasilkan bencana emisi iklim global, menghasilkan banjir musiman dan kehancuran ekologis.
Lihat kasus musibah banjir di Aceh, Riau dan Jambi, dan Sumut di semua lini tata ruang hutan akan terdapat perubahan peruntukkan menjadi pembukaan hunian, lahan perkebunan. Pembakaran hutan sepertinya sudah biasa, ternasuk juga menghabisi habitat hutan lindung di kawasan Taman NasionalLauser, Taman Bahorok terdapat sungai besar yang membelah setengah keempat Provinsi ini menjadi rawan banjir.
Ternyata bencana banjir tahunan itu belum cukup memberikan efek penghasil bencana seperti sudah disebutkan didepan, masih ada efek lainnya yaitu menurunnya ketahanan sebagian penduduk menjadi miskin, akibat dampak kehilangan tempat tinggal karena kehancuran dan kebatilan sebagian manusia sertamemutuskan kembali ke daerah yang terlanda bencana. Maka Pengaturan tata ruang hutan dan RTH semakin sulit terlaksana dengan baik dan amanah UU Tata Ruang tinggal pepesan kosong.
M. Anwar Siregar
Enviromental Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer. Dipublikasi Di HARIAN ANALISA MEDAN, Januari 2015. Boleh Copi Paste, tapi tulis sumbernya.

23 Apr 2015

TATA RUANG GUNUNGAPI DALAM PERSPEKTIF ISLAM : Geologi Mitigasi

TATA RUANG GUNUNGAPI DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Oleh : M. Anwar Siregar
Pembangunan tata ruang gunung api di Indonesia merupakan sebuah kebutuhan yang mendesak, mengingat beberapa kearifan lokal telah ditinggalkan oleh masyarakat akibat arus deras modernisasi sehingga data informasi geologi sebagai dasar pembangunan fisik serta pemanfaatan informasi geospasial tematik sudah harus dijadikan fokus utama dalam mereduksi sejumlah kehancuran fisik di sekitar daerah rawan bencana letusan gunung api serta meredam trauma bencana gunung api di Indonesia, mengingat lagi bahwa 60 persen tata ruang kota besar sedang berada dalam lingkungan ancaman bencana gunungapi. Dengan kata lainnya, kita harus menata ruang di sekitar gunung api agar dapat hidup harmonis dengan kemajuan pembangunan.
REFLEKSI BENCANA
Kehancuran beberapa tata ruang kota yang berada dalam radius ancaman gunung api di Indonesia dapat diminimalkan melalui aspek penataan ruang wilayah yang berketahanan bencana, yang dikaji dari pemetaan karakteristik geologis dan pemanfaatan semua data-data kerentanan tanah dan informasi geologis kegempaan lokal yang tinggi (local seismic zonatian map)serta percepatan kekuatan batuan dalam menghadapi perubahan deformasi fisik bumi.
Refleksi dari sejarah kebencanaan tata ruang gunung api di Indonesia sudah harus benar-benar dijadikan pelajaran. Bahwa letusan gunung api di berbagai daerah merupakan peringatan untuk menata ulang kembali tata ruang yang telah mengalami gangguan ekologis dampak dari manusia yang memandang dan memahami lingkungan atau alam itu sebagai realitas yang terjadi sendiri. Pola pikiran seperti ini harus dirubah.
Refleksi dari bencana lingkungan di gunung api, manusia Indonesia bercermin dari budaya kearifan lokal yang telah teruji secara empirik, dan telah menjadikan masukan besar bagi pengetahuan dalam penanggulangan bencana alam, refleksi tersebut dapat dilihat dari beberapa literatur kearifan lokal tentang kejadian bencana alam gempa, tsunami dan penataan ruang lingkungan hutan di kaki gunung api, sehingga manusia yang menganggap dirinya sebagai makrokosmos yang membungkus manusia sebagai yang lebih besar dari alam harus tetap bercermin dari budaya tersebut bahwa sumber bencana alam khsusunya di kaki gunung api adalah manusia sesungguhnya.
Kitab Al Quran surat QA Al Hadid, 22-24 mengayatakan sebagai berikut : Tiada suatu pun bencana yang menimpa di Bumi atau pada dirimu sendiri, melainkan sudah ada “Kitab” (catatan) sebelum kami (Tuhan) mewujudkannya. Sungguh bagi Allah, Yang demikian itu mudah”. Lihat sumber utamanya di dalam suatu penataan ruang wilayah baik dari sudut penataan vertikal maupun dalam penataan horizontal, yang sudah tertata dengan baik oleh alam hancur akibat keserakahan manusia.
TATA RUANG GUNUNGAPI
Dalam perencanaan tata ruang wilayah akan dibagi beberapa sistimatika karakteristik bentang alamnya, khususnya gunung api di bagi beberapa kawasan rawan bencana (KRB) dan zona aman bencana letusan gunung api, setiap kawasan atau zona tersebut harus dipatuhi. Kajian ini dibagi dua pandangan yaitu dari Perspektif Islam dan Perspektif Geologi Tata Ruang Lingkungan. Dilihat dari perspektif Islam bahwa manusia wajib menjaga lingkungan, menjaga keseimbangan alam, tidak menghancurkan, manusia diwajibkan untuk memahami bahwa lingkungan Bumi itu sebenarnya memiliki “nyawa”. Dalam perspektif geologi tata ruang gunung api, harus memperhitungkan fakta ekologis yang memiliki keragaman secara horizontal dan secara vertikal.
Keragaman secara horizontal terkait dengan perbedaan bentang alam/bentuk lahan, tubuh tanah dan litologi yang skalanya dapat dibagi dari tingkat terkecil. Sedang keragaman vertikal terkait dengan iklim, vegetasi, fauna dan manusia yang beraktivitas di suatu wilayah, misalnya disekitar kaki pegunungan. Pada sisi lainnya, wilayah juga dapat dibagi atas berbagai satuan lahan berdasarkan kesamaan karakteristik horizontalnya dan isinya yang merupakan satuan input secara vertikal.
Ambil contoh, pola tata ruang lahan Gunungapi di Jawa Tengah dan Sumatera Utara yang diwakili oleh Gunung Merapi dan Gunung Sinabung, dalam pandangan Islam bahwa kedua daerah tata ruang gunungapi di wilayah ini telah mengalami perubahan baik dalam lajur horizontal dan vertikal, bencana yang terjadi sudah dapat diprediksi karena mulai nampak jelas bahwa kedua gunung api ini telah mengalami gangguan termo fisik secara horizontal dengan penataan dan pemanfaatan lahan khususnya di gunung api Sinabung melampaui batas daya dukung, karena banyak pihak mengabaikan fakta bahwa letusan yang terjadi bukan karena bencana alam tetapi gangguan termo fisik disekitar gunung api oleh penghancuran manusia.
Jika dilihat secara geologis melalui tahapan skala waktu geologi, wilayah ini sudah tidak sesuai peruntukan fisik lahan, disebabkan akan ada perulangan.periode tertentu bahwa kejadian masalah lalu akan selalu berulang, dan bumi menurut beberapa surat dalam al Quran menyebutkan bahwa Bumi merupakan makhluk yang hidup, dan gunung api itu bagian dari bumi selalu bergerak dinamis mengikuti perkembangan hukum alam.
Misalnya, dari sudut pembagian wilayah Iptek manusia maupun dalam pengetahuan lingkungan Islam keduanya ada hubungan keterkaitan bencana yang terjadi yaitu jika berdasar karakteristik fisiografis atas satuan geomorfologi dalam bentuk karakteristik lahan, tanah dan vegestasi dalam skala tertentu melalui proses pembentukan dan tahapan perkembangan dalam skala waktu bumi/geologi maka daerah tersebut memang telah mengalami deformasi fisik lahan yang dilakukan oleh manusia dengan membangun bangunan permukiman pada daerah rawan bencana, yang belum disesuaikan dengan standar building code pada daerah rawan bencana gunung api, mencetak daerah persawahan dan perkebunan pada daerah gunung api yang tidak aktif pada kemungkinan akan meletus melalui proses dan tahapan waktu geologi (Studi kasus gunung api Sinabung yang naik kelas), mengabaikan peruntukan di Rencana Tata Ruang Wilayah sering terjadi benturan penggunaan dan pemanfaatan kepentingan ekonomi maupun pemodal, telah berulangkali terjadi, namun pembelajaran masih dilupakan untuk diantisipasi, (sudi kejadian lihat bencana gunung api Sinabung, gunung api Lokon serta gunung Merapi).
Dengan demikian satuan fisiografi tata ruang gunung api meliputi aspek bentuk lahan yang digunakan untuk pertanian daerah ekologi hijau, sabuk bencana, sumber daya berkelanjutan serta proses tahapan geologi (deformasi) dalam perkembangan suatu wilayah. Sedang dalam aspek Islam, proses dan siklus bumi, menjaga keseimbangan dan pemanfaatan ruang dalam suatu lingkungan di Bumi.
LINGKUNGAN ISLAM
Sejak dulu, gunung api sudah dipahami masyarakat sebagai mitos kekuatan alam, sumber daya bagi kehidupan dengan berbagai ritual sesembahan bagi roh yang menghuni gunungapi. Melihat kenyataan tersebut, mestinya tata guna lahan yang berada di kaki pegunungan dijadikan sebagai keseimbangan alam tanpa gangguan fisik berat serta konservasi lahan abadi untuk segala sumber daya kehidupan dengan berbasis ramah lingkungan lestari, firman Allah SWT : “Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah membuat kerusakan di muka bumi”, mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (QS. 2 : 11). Keingkaran mereka disebabkan karena keserakahan mereka dan mengingkari petunjuk Allah SWT dalam mengelola bumi ini. Sehingga terjadilah bencana alam dan kerusakan di bumi karena ulah tangan manusia.
Bertitik tolak dari kondisi ini, coba bayangkan, jika kita mengalami beban berat tekanan akibat sakit karena bagian tubuh terus mengalami gangguan seperti ditusuk beratus ratus benda tajam menghujam ke dalam tubuh tanpa ada keseimbangan/perbaikan? Seperti itulah yang terjadi di tata ruang gunung api Sinabung. Pola geologi tata ruang lingkungan di Sinabung kini telah banyak berubah, apa yang telah ditata untuk ekologi hijau seperti pertanian dan wisata kini telah mengalami penghancuran, hutan konservasi dan hutan lindung dalam radius 2 km tergerus oleh gedung beton serta penempatan tata ruang hunian telah mengganggu aktivitas “urat nadi” keseimbangan di kaki di Sinabung.
Sinabung telah memberikan pelajaran, bahwa lingkungan di gunung api merupakan sumber penghidupan, jika kemudian ada bencana berulang dalam relatif singkat di gunung api yang sama merupakan wujud adanya keingkaran manusia telah merusak lingkungan gunung api di bumi.
M. Anwar Siregar

Enviromentalist Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer,  Di Publikasi di Harian ANALISA MEDAN, 2014

Populer

Laut Indonesia darurat sampah

  LAUT INDONESIA DARURAT SAMPAH Oleh M. Anwar Siregar   Laut Indonesia banyak menyediakan banyak hal, bagi manusia terutama makanan ...