15 Sep 2014

Kebakaran Petaka Hutan Tiap Tahun



PEMBAKARAN HUTAN SUMATERA, PETAKA TIAP TAHUN
Oleh : M. Anwar Siregar

Ketika terjadi isu kabut tebal di Pulau Sumatera dan Kalimantan yang biasanya berdampak pada kehidupan manusia, berimbas juga pada negera tetangga. Pembakaran hutan-hutan di Riau dan Sumatera secara umum menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Semua orang baik yang mengetahui seluk beluk pengelolaan dan kebijakan hutan maupun tidak, lagsung menuding perusahaan yang memanfaatkan bahan baku atau perusahaan perkebunan sebagai biang keladinya. Biasanya kalangan pers pun tak ingin ketinggalan mencari informasi dengan memanfaatkan hasil pemantauan satelit NOAA generasi 11 dalam mengetahui penyebaran titik-titik api.
Penyebab kebakaran hutan-hutan di Sumatera dan Kalimantan ada beberpa penyebab antara lain yaitu adanya pembakaran hutan untuk perluasan lahan perkebunan, pembakaran huta dipinggir kota sebagai dampak perluasan dan perkembangan kota ke daerah batas. Sebagian industri masih menggunakan teknologi konvesiaonal, seperti menggunakan teknologi BBM yang belum ditingkatkan efek emisi buangan (polutan), terdapat ladang-ladang (sumur) minyak yang memancarkan api setiap hari serta disebabkan oleh musim kemarau yang telah melanda beberapa daerah di Sumatera di bulan Agustus ini hingga membuat asap menyebar ke Malaysia.
Selain kebakaran huta di Sumatera, juga terjadi penggundulan hutan-hutan yang dipicu oleh perkembangan dan pesatnya kemajuan industri terutama dalam pengadaan kertas dan bahan bangunan terutama permintaan kayu. Diiringi dengan peningkatan jumlah penduduk di kota-kota besar di Riau, dan Pulau Sumatera.
EFEK PEMBAKARAN HUTAN
Pembakaran hutan sumatera dan Kalimantan diakhir abad 20 hingga abad 21 dalam kurun 30 tahun terakhir telah menimbulkan kehancuran ekosistim hutan dan beberapa jenis hutan tropis, putusnya ratai makanan, hilangnya beberapa keanekaragaman hayati fauna dan flora, terjadinya longsoran tanah, terjadinya perubaha iklim, naiknya suhu udara di Bumi, panas permukaa air laut meningkat tajam, mencairnya es di kutub selatan dengan implikasi semakin menipisnya lapisan ozon dapat menimbulkan berbagai macam penyakit bagi manusia yang kian hari semakin “bandel”. Hutan Pulau Sumatera yang seharusnya berfungsi sebagai penyimbang alam yang ada di muka Bumi.
Turut andil dalam menghancurkan hutan dan menyebabkan terbakarnya hutan-hutan tropis di Indonesia adalah perusahaan-perusahaan industri kerta dan Pulp, industri perkayuan (furniture), yang banyak diseludupkan ke luar negeri. Dalam setiap tahun dapat menghancurkan dan menggunduli hutan lebih 15.000 hektar per bulan atau bisa mencapai 80.000 hektar dalam setahun di Sumatera. Belum lagi kalau digabung dengan Kalimantan dan Papua bisa mencapai 200.000 per tahun
Sudah terbakar dan “botak”, diperparah lagi selama 15 tahun terakhir ini daerah di Pulau Sumatera telah sering mengalami “langganan” banjir secara gratis tetapi dibayar dengan nyawa dan harta benda, terutama di Propinsi Riau Daratan seperti di Kampar, Rokan Hulu, Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, Kuangsing siling berganti untuk mendapatkan “hadiah” banjir karena ulah mereka yang tidak disiplin dalam menegakkan peraturan pemerintah. Penulis mengatahui ini karena pernah kerja di Indragiri Hulu, Rokan Hulu dan Pelalawan. Mudah disogok dan menyeludupkan kayu-kayu secara berlebihan. Akibatnya kita sudah ketahui banjir dan kebakaran adalah bahaya yang terbesar khusus di Propinsi Riau atau kedua setelah gempa bumi di Indonesia sepanjang tahun.
HOT SPOT
  Sudah berapa kali Riau mengalami asap yang berimbas ke kota Provinsi tetangganya setiap tahun dan menimbulkan gangguan lingkungan terutama gangguan kesehatan manusia, merepotkan is kantong manusia untuk pembengkahan biaya hidup, terutama lagi kebutuhan listrik akibat pemadaman untuk menghindari kebakaran seperti kerusakan alat elektronik, jadwa penerbanga juga mengalami gangguan karena jarak pandangan semakin dekat, ada mencapai 50 meter dan harus mengubah jadwal demi menjaga keselamatan. Menimbulkan banyak kerugian ekonomi terutama dalam mengejar target proyek pembangunan fisik disebabkan berkabutnya atmosfir Bumi yang berakhir dengan tertundanya pembangunan.
Asap atau kabut di udara atmosfir Sumatera “gergelap ria” ditimbulkan oleh banyaknya titik-titik api atau hot spot, yang disebabkan oleh aktivitas manusia dalam usaha perluasan dan pembukaan lahan perkebunan dengan cara membakar alang-alang liar, kayu-kayu kecil dan meninggalkan sisa-sisa api yag belum padam dan kering yang setiap saat tersulup lagi oleh panas matahari. Selain sikap manusia yang membakar lahan tersebut adalah “orang malas” dan juga tak pernah belajar dari kejadian bencana yang lewat.
Dalam satu bulan, areal hutan di Riau dan Sumatera dapat mengalami pembakaran oleh ulah manusia mencapai 15.000 hektar dan tersebar hampir merata diseluruh Kabupaten dalam satu Provinsi. Yang menghasilkan jumlah titik-titik apai di atas 5 lokasi titik api yang besar. Dan titik api ini biasanya banyak berlangsung di Provinsi Riau Daratan, aka bertambah bila digabung dengan Propinsi lainnya di Pulau Sumatera. Dan implikasinya adalah kita kembali pada kehidupan gelap gulita seperti dimasa silam sebelum ditemukan sumber energi listrik untuk penerangan lampu. Dan kalau negara tetangga kena “getahnya” itu disebabkan karena “cukongnya” bermukim disana harus merasakan “sakit” dan Encik dan Puan jangan “marahlah” sama kami.
SUMBER PETAKA
Kebakaran hutan Sumatera yang setiap tahun dapat menghasilkan kabut tebal dan merugikan aspek kehidupan manusia, “pelajaran” yang lalu tetap saja terulang kembali. Karena kebakaran hutan-hutan di Sumatera sudah sering terjadi, dimulai dari kebakaran terbesar ketika musim kemarau tahun 1981,1982, 1989 ketika gencar pembangunan industri dan penemuan sumur minyak yang baru oleh perusahaan asing perminyakan. Disusul tahun 1993-1995, 1998 dengan terbuka luas aset pembukaan laha perkebunan dan penggundulan huta untuk industri pulp yang ada di beberapa Propinsi di Sumatera. Pada tahun 2000 hingga 2005 ini, masih disebakan juga oleh penyimpangan iklim, ulah si jago merah di hutan Sumatera semakin bertambah bila daerah itu lagi-lagi ditemukan ladang-ladang minyak dan gas bumi seperti di daerah Cekungan Tapanuli dan Sumatera Selatan dan Jambi serta Bengkulu. Penyebaran kabut dapat bergerak cepat untuk menutupi langit Sumatera dan Kalimantan karena pembakaran berlangsung lama. Hasilnya, kita sudah ketahui, negara tetangga juga mengalaminya.
Faktor kebakaran hutan juga ditimbulkan oleh manusia hampir 85 persen, selain manusia, musim kemarau panjang melanda beberapa daerah dapat memicu kecepatan api menjalar ke wilayah-wilayah yang kering, untuk menghasilkan titik-titik api yang baru dan sumber-sumber polutan seperti yang terjadi di wilayah Riau, Kalimantan Timur dan Sumatera Barat dan Sumatera Utara, kebakaran itu menjalar cepat juga dapat diakibatkan adanya sebaran lapisan batubara dan gambut.
SILIH BERGANTI
Seperti kita ketahui, bahwa beberapa Propinsi di Sumatera khususnya Riau dan Kalimantan Timur memiliki jumlah lapisan batubara yang besar (penghasil batubara dan gambut terbesar di Indonesia selain Sumatera Barat) sering mengalami kebakaran sepanjang tahun dan areal perkebunan berdekatan langsung dengan sumber-sumber energi tersebut diatas.
Asap kabut memang merupakan sumber petaka yang masih sama, dan menimbulkan gangguan seperti “biasa”. Yang dibakar cuma kayu dan alang-alang liar ternyata tidak sengaja kena juga lapisan permukaan batubara dan gambut muda. Jadi, efek petaka kabut yang sering terjadi sepajang tahun, tidak pernah terpadamkan oleh guyuran air hujan. Karena semua pembakaran ini bermuara kepada kepentingan bisnis, berlangsung juga sepanjang tahun.
Dan Sumatera memang identik dengan lagganan bencana. Setelah gempa bumi dan gunungapi meletus yang terjadi beberapa bulan yang lalu, kemudian giliran banjir melanda beberapa kota di Sumatera khususnya Riau, Sumatera Utara, Aceh dan Jambi pada tahun 2003 dan 2005. Banjir di Sumatera bukan “barang baru” terjadi, tetapi dimulai dengan berakhirnya musim kemarau yang berlangsung dari tahun 1982,1983, 1987, 1991 yang menimbulkan kebakaran luar biasa ternyata berdampak pada banjir Sumatera tahun 1992. Ketika itu menjalar ke beberapa Propinsi Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu dan Riau. Banjir terjadi akibat gundulnya hutan-hutan Sumatera pada tahun 1992 sebanyak 1,3 juta hektar.
Antara keduanya, “ada kerjasama”, musim “kabut” dan musm “air bah” datang berganti sepanjang tahun. Banjir di Riau berasal dari meluapnya sungai Kampar dan Sungai Indragiri akibat tidak adanya reboisasi di sepanjang daerah aliran sungai (DAS), tidang seimbangnya neraca air di daerah aliran sungai. Selain morfologi rendah di daerah sungai mengalami penggundulan karena banyak penduduk bermukim, membuat peresapan air lebih lambat karena vegetasi dan jenis tanah umumnya ditutpi oleh lempeng dan gambut yang memiliki daya serap rendah. Begitu juga banjir yang terjadi di Bahorok pada tahun 2003, dan Aceh 2005.
PENGAWASAN
Untuk memantau dan melokalisasi kebakaran hutan dapat diterapakan teknologi penginderan jarak jauh secara multi bertingkat, dimulai dengan analisis data satelit, resolusi rendah dan disusul resolusi tinggi (melalui data satelit NOAA AVHRR, SPOT/LANDSAT) dan diakhiri analisis data foto udara (geologi citra foto) dan penarikan infra merah lewat pesawat terbang (Indroyono Soesilo, BPPT-GIS).
Penerapan teknologi penginderaan jauh multi tingkat, disamping mampu melokalisasi sumber api, lokasi banjir dan pemetaan daerah banjir, juga akan digunakan untuk inventarisasi luas daerah yang terbakar, maupun yang rusak akibat deforestasi. Harus dilakukan secara berkesinambungan. Karena kebakaran hutan Sumatera sudah merupakan “acara musiman” dengan mengalokasi waktu rekam data satelit NOAA, LANDSAT dan kebakaran hutan dapat dideteksi sedini mungkin dan upaya pemadaman dapat dilakukan sebelum si jago merah menjalar semakin luas.
Sekarang musim kabut itu melanda lagi negeri jiran hingga membuat Meneteri Lingkungan Malaysia mengadakan rapat dengan koleganya, Menteri Kehutanan RI, karena indeks PSI (Polutan Standar Indexs) telah mencapai 340-450, sudah sat membahayakan kesehatan, padahal semua tahun bahwa kebakaran hutan di Sumatera adalah andil warga negara Malaysia yang menjadi cukong kayu illegal.
Sekarang saatnya Indonesia harus memanfaatkan data satelit untuk melestarikan kelangsungan hidup umat di Bumi, dipakai untuk memantau, mengawasi kebakaran hutan, dan ilegal logging serta melestarikan hutan-hutan tropis dan Bumi untuk generasi mendatang.

M. Anwar Siregar
Geolog, Pemerhati Masalah Lingkungan dan Geosfer, Diterbitkan Harian "SUMATERA" Medan

Pembakaran Hutan Indonesia Sumber Polutan Asteg : Geologi Lingkungan



PEMBAKARAN HUTAN INDONESIA, SUMBER POLUTAN DI ASIA TENGGARA
Oleh M. Anwar Siregar

Gambar : Kabut asap yang melintas ke negara tetangga (revisi artikel) 
(Sumber gambar : website Visibleearth.nasa.gov.)

Pembakaran lahan didalam hutan suatu fenomena yang baru tidak lepas untuk pencapaian ekonomi, pembakaran hutan di Indonesia secara umum menimbulkan dampak terhadap lingkungan dan masalah pelik lainnya yang diawali oleh motif menimimalisasikan biaya produksi, siapapun orang yang melakukannya, perusakan dan pembakaran hutan semuanya bermaksud agar biaya dapat ditekan serendah-rendahnya oleh dorongan rasionalitas.
Pertanyaan selama ini dilontarka masyarakat awam siapa yang melakukan dan siapa yang bersalah dalam pembakaran hutan-hutan di Sumatera, Kalimantan yang menyebabkan asap berkumpul di Asia Tenggara.
Penyebab kebakaran hutan-hutan di sumatera dan kalimantan ada beberapa penyebabnya : akumulasi pembakaran sampah masyarakat kota, adanya pembakaran lahan untuk pembukaan perkebunan oleh masyarakat desa ataupun juga karena musim kemarau, adanya pembukaan lahan yang luas oleh perusahaan besar. Selain itu di daerah yang memiliki SDA minyak yang dapat mudah terbakar dan juga pipa-pipa gas yang mengalami kebocoran yang mempercepat proses peledakan kebakaran ditambah dengan kecepatan angin yang rata-rata kencang.
TITIK API
Sudah beberapa kali Sumatera dan Kalimantan mengalami asap tebal ini, ketika tahun 1997 lalu merupakan kejadian yang terparah berlangsung, dan sekarang di Kalimantan berlangsung lagi. Imbasnya, mencapai negara tetangga dan membuat titik pandang penerbangan agak terganggu dan selain itu membuat masyarakat mengalami gangguan pernapasan dan kesehatan lainnya seperti yang kita lihat sekarang sudah banyak memakai masker pernafasan.
Asap tebal dapat dilihat kejadiannya setiap tahun bila kita melintasi jalan lintas sumatera tengah dan lintas timur seperti penulis saksikan langsung dari Padang menuju ke Indragiri Hulu untuk ke Sumatera Utara, setiap perbukitan aka tampak daerah-daerah mengalami kebakaran hutan.
Kebakaran hutan ini, akan terlihat dari pinggir jalan raya lintas sumatera. Titik-titik api di daerah kebakaran hutan ini umumnya diperuntukkan perluasan perkebunan dan juga cara praktis pengambilan pohon yang lebar dan sangat besar dengan api cukup menjilati kulit bagian luar dari pohoin-pohon raksasa ini untuk digubnakan salah satu perusahaan industri kertas yang ada di Riau, di Jambi dan Porsea Tapanuli Utara. Ini penulis saksikan langsung denga banyaknya truk-truk tronton melebihi tonase yang ditentukan untuk jalan raya dan memperparah jalan lintas tengah dan lintas timur sumatera menjadi rusak, bergelombang membentuk undakan atau gunung kecil dipinggir dan tengah badan jalan.
Titik api atau hot spot adalah disebabkan oleh aktivitas oleh manusia dan meninggalkan sisa-sisa api yang belum padam dan kering yang setiap saat dapat tersulutkan oleh panas matahari. Cara praktis mereka gunakan adalah dengan membakar alang liar ini akan bergerak cepat dengan dibantu oleh musim kemarau dan angin kencang mempercepat lekas terbakarnya alang tersebut atau juga satu lahan berikutnya terimbaskan tanpa adanya pengawasan. Selain itu, tidak terdapatnya pengontrolan oleh pihak pembakar dan sulitnya daerah yang terbakar untuk dipadamkan serta lambatnya aparat terkait dalam usaha kehutanan.
Menurut hasil pengamatan satelit NOAAdi Sumatera dan Kalimantan mudah mengalami pembakaran yang ditimbulkan oleh banyaknya perusahaan-perusahaan perkebunan besar dan terdapatnya industri pulp yang ada di Sumatera Utara, Jambi dan Riau membuat kawasan ini sangat diperlukan hasil-hasil hutannya, berupa kayu-kayu gelondongan. Dari hasil perluasan ini, penyebaran titik api banyak tidak diketahui oleh mereka, karena tidak adanya pengontrolan oleh pihak pembakar maka daerah yang kaya SDA terutama minyak dan gas bumi akan mudah terinjeksi kebakaran seperti di Riau, Kalimantan Timur dan Jambi, semua daerah tersebut memiliki ladang minyak yang terus menerus menyemburkan asap setiap hari.
Titik-titik api ini, sangat membahayakan kesehatan bila telah melewati angka 15-30 PSI (Poluta standart index) dianggap sangat tidak sehat karena pencemaran udara dari asap kebakaran dan diperparah oleh sumber-sumber polutan pabrik-pabrik yang ada di Pulau Sumatera dan Kalimantan belum banyak menggunakan peraturan ketat terhadap lingkungan.
PEMBAKARAN HUTAN
Kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia pada saat ini terdapat 99 % oleh ulah manusia. Dari data yang dikumpulkan oleh Bappedalwil melalui satelit NOAA, timbulnya jumlah titik api yang begitu banyak terdapat di 204 titik api (100 diantaranya di Riau), data terakhir ini hasil pantauan satelit NOAA bulan Juni bersama dengan beberapa daerah yang mengalami musim kemarau. Umumnya titik api ini tersebar pada perusahaan perkebunan dan perambatan huta bagi perusahaan industri pulp.
Oleh negara tetangga Siangapura, mencatat 200 titik api di Sumatera melalui gambar-gambar satelit di daratan wilayah Pulau Sumatera. Titik-titik api itu berasal dari pembakaran hutan dan lahan, yang menyebarkan asap sampai juga ke negara tetangga Malaysia dan sebagian Thailand.
Kebakaran yang terjadi di Sumatera da Kalimantan oleh ulah manusia ini ada beberapa hal (selain sudah disebutkan diatas) yaitu puntung rokok 35 %, kecerobohan 25 %, konversi lahan 13 %, peladangan berpindah 10 %, pertanian baru 7 %, kecemburuan sosial (menebang hutan untuk meningkatkan pendapatan atau sebaliknya mengambil untuk membangun rumah atau juga diperdagangkan sebagai hasil olahan meubel) sebesar 6 % dan kegiatan transmigrasi sebesar 3 %.
Kebakaran terbesar yang melanda Sumatera dan Indonesia yang terjadi tahun 1982, 1983,1987,1991,1994,1997,1998 dan 2000, sekarang di Kalimantan Barat tahun 2001 disebabkan oleh penyimpangan iklim, kemarau yang panjang, iklim ekstrem yang dipengaruhi oleh El Nino. Ditambah lagi dengan sumber energi kayu dan batubara serta gambut menyebabkan polutan udara Sumatera dan Kalimantan jadi berkabut dan terimbaskan pada daerah sekitarnya, seperti negara-negara tetangga tadi.
Angin kencang juga salah satu penyebabnya terjadi kendala kabut asap di Sumatera dan Kalimantan, penyebaran dari angin kencang ini terus melaju ke negara tetangga tanpa hambatan dan mengganggu penerbangan di udara Asia Tenggara.
Sumber-sumber dari kebakaran hutan sumatera dan Kalimantan membuat beberapa negara Asia Tenggara harus bersiap-siap memakai masker (topeng penutup), apalagi musim kemarau berlangsung sudah di mulai dari Propinsi Sumatera Utara, menyusul Jambi, Lampung, karena adanya titik api yang berlanjut dari kejadian tahun 2000 di temukan BMG (badan meteorologi geofisika) melalui satelit NOAA. Kualitas udara ini telah melewati batas polusi dan mencapai angka 399 pada akhir bukan juni ini.
PENERBANGAN AN DAN PENGAWASAN
Selain itu, unsur yang memperparah huta adalah penyeludupan hutan bisa mencapai 800.000 kubik ke Malaysia adalah salah satu contoh bagaimaa parahnya penggundulan hutan di Sumatera dan sebesar 400.000 lainnya dari Kalimantan yang dibakar bersatu menjadikan kawasan ini sebagai pusat polutan udar (asap tebal) di Asia Tenggara. Ditambahkan lagi, bertambahnya industri-industri besar yang ada di kedua Pulau besar Indonesia ini menambah parah perambatan hutan, penggundulan dan pembakaran hutan-hutan tropis hanya agar industri tetap hidup tanpa mempedulikan dampaknya terhadap lingkungan yang seharusnya berfungsi sebagai pelindung manusia dalam menjaring sinar ultra violet da juga agar kesegaran bumi tetap terjaga.
Namun menghancurkannya ekosistim hutan, punahnya beberapa binatag langka yang dilindungi karena habitat mereka tidak ada lagi serta kotornya udara dan air dan juga karena daerah-daerah tropis sekitar khatulistiwa merupakan daerah tempat banyaknya badai tropis. Dimana badai tropis ini akan membawa polutan-polutan/kabut asap pembakaran hutan menuju kawasan tertentu terutama wilayah tenggara apabila El Nino lagi mengubah iklus dari musim hujan ke musim kemarau yang berkepanjangan dan angin kencang melanda Philipina dan Asia Tenggara serta naiknya permukaan air laut semakin hancur kondisi atmosfir udara Asia Tenggara. Akibatnya, banyak urusan bisnis dan perjalanan menjadi terganggu karena harus mengundurkan jadwal penerbangan demi keselamatan jiwa. Penerbangan batal disebabkan titik pandangan penerbangan bisa mencapai 100-200 meter dan sekalian juga kita belajar dari kejadian kecelakaan penerbangan akibat asap kabut di daerah Deli Serdang.
Diperlukan pengawasan ketat dari Pemerintah agar penyeludupan kayu keluar negeri (salah satunya, pasti ke Malaysia yang memang membutuhkan kayu-kayu tropis untuk mendingkrak devisa mereka serta mengelak dengan seribu macam alasan selain negara seperti Singapura, Jepang dan Korea) agar dapat dikendalikan selain juga mengawasi dan memberikan penyuluhan bagi masyarakat tempatan agar mempunyai rasa tanggung jawab terhadap keberadaan dan kelestarian hutan bagi generasi yang akan datang.

Diterbitkan Harian Surat Kabar “ANALISA” Medan,

15 Jul 2014

Membumikan Mitigasi Hijau Bumi : Geologi Lingkungan


MEMBUMIKAN MITIGASI HIJAU DI BUMI
Oleh M. Anwar Siregar
Sudah selayaknya semua merenungkan sejenak untuk melihat secara jernih persoalan-persoalan yang ada, bagaimana masa depan tata ruang jika tidak melakukan tindakan mitigasi tata ruang hijau terhadap bumi bagi generasi dalam menghadapi tantangan bencana di masa mendatang, bahwa banyaknya terjadi bencana alam adalah salah satu penyebab dari krisis ekologi hijau, krisis etika lingkungan, krisis moral pemanfaatan sumber daya alam dalam pembangunan.
Membumikan mitgasi dalam pembangunan tata ruang hijau harus memahami berbagai elemen kehidupan lingkungan. Prinsip etika lingkungan hidup dan pemerataan pembangunan ekonomi dan sosial harus dimulai dipakai sebagai dasar pertimbangan utama yang sejajar sebagai parameter yang penting dalam melakukan pengendalian kebencanaan tata ruang khususnya pengendalian ruang-ruang hijau sebagai upaya mencegah kerusakan yang lebih global dipermukaan bumi.
ETIKA LINGKUNGAN
Sonny Keraf [2003], dalam bukunya Etika Lingkungan, menyebutkan 9 prinsip etika lingkungan sebagai upaya yang harus dilakukan oleh semua komponen manusia Indonesia dalam membangun dan membumikan pembangunan hijau di Indonesia, meliputi : 1. Hormat terhadap alam. 2. Bertanggungjawab kepada alam. 3. Solidaritas kosmis. 4. Tidak merugikan. 5. Peduli kepada alam. 6. Hidup selaras dengan alam. 7. Keadilan. 8. Demokrasi. 9. Integritas moral.
Semua prinsip etika tersebut harus dipahami dalam perencanaan pembangunan fisik, agar daya dukung dan keseimbangan ekologis lingkungan di bumi tetap terjaga untuk memberikan rasa aman dan harmonisasi dalam aktivitas kehidupan manusia dalam lingkungan kota yang sedang berkembang, menekan multikrisis dimensi lingkungan global dengan tetap memperhatikan dan tidak mengabaikan kepentingan dan kearifan budaya masyarakat lokal sehingga keseimbangan ekosistim akan menghasilkan esensi dari keberlanjutan pembangunan [sustainable development] terutama faktor manajemen pembangunan sumber daya alam sebagai yang utama dengan pertimbangan lingkungan,                                         
Artinya, bagaimana memanfaatkan sumberdaya yang sesuai dengan memperhatikan daya dukung lingkungan untuk di rumuskan dalam pembangunan fisik di permukaan bumi karena berbagai kasus lingkungan yang akhir-akhir ini telah menimbulkan berbagai bencana beruntun dan menimbulkan kerugian yang luar biasa baik oleh faktor alam maupun juga oleh faktor manusia.
Selain etika lingkungan, meminjam istilah Eko Budihardjo, dalam bukunya Kota Yang Berkelanjutan untuk pembangunan ada 7 prinsip plus dua tambahan yang perlu dihayati oleh berbagai kalangan antara lain, Pertama, aspek environment atau ekology yang merupakan faktor penting tetapi sering terabaikan dalam perencanaan dan pembangunan kota. Kedua, aspek emplyoment atau economy, harus memperhatikan semua ruang yang ada dalam kota sehingga tidak terjadi penggusuran terhadap masyarakat marginal. Ketiga, engagement atau partisipasi, paradigama dalam pembangunan yang memperioritaskan keikutsertaan berbagai elemen untuk menujukan sinergis dan dinamika yang kompak. Keempat, equity atau persamaan hak, kesetaraan dan keadilan, yang berkaitan dengan penggunaan sumber-sumber daya kota, dapat dimanfaatkan secara posistif oleh segala lapisan masyarakat kota.
Kelima, energy conservation terhadap penggunaan infrastruktur transportasi. Keenam, etika membangun, memahami fungsi daya dukung lingkungan terhadap pembangunan fisik. Ketujuh, estetika atau keindahan serta tambahan untuk pengendalian kerusakan lingkungan yaitu enforcement atau penegakan hukum yang semakin terabaikan dalam menegakan aturan tata ruang serta enjoyment atau kenikmatan dan kenyamanan dalam lingkungan sekitarnya.
Faktor alam, sesungguhnya tak bisa dihindarkan, akan tetapi apabila kita memiliki kesadaran budaya atas kepentingan hidup kolektif baik untuk hari ini dan masa depan bagi generasi kita maka bencana alam tak akan membawa banyak kerugian. Kerugian itu justru paling banyak diakibatkan oleh manusia dari kecerobohan dan keserakahan manusia sendiri. Alam bukan merupakan sesuatu hal yang misterius. Alam telah terbukti menjadi sahabat sejati yang tidak pernah berbohong jika manusia bersahabat dan mengakrabinya. Alam akan selalu memberikan penanda tentang apa yang akan terjadi. Kita telah menganiaya alam dan alam telah memberikan respons seperti sekarang.
POLITIK BUMI
Pembangunan ‘environmental justice’ merupakan suatu landasan moral sekaligus landasan epistemologis dalam menyusun metode pembangunan sosial yang berkelanjutan jika ingin membumikan mitigasi hijau di bumi, bukan hanya sekedar pembangunan ekonomi. Pembangunan sosial memiliki karakter yang mengintegrasikan seluruh aktivitas produktif manusia dengan pelembagaan sistem nilai dan norma yang mengutamakan distribusi keadilan khususnya bagi kesejahteraan warga masyarakat dengan harmonisasi lingkungan alam.
Hal ini dapat tercapai apabila perumusan kebijakan pembangunan yang mengutamakan keseimbangan pemanfaatan sumber daya alam dengan keuntungan, mempertimbangkan aspek distribusi kesejahteraan untuk meminimalisasi jurang perbedaan ekonomi dan sosial yang terlalu dalam (jauh) agar ada kondisi harmonisasi pemanfaatan hasil sumber daya alam. Tetapi, karena kita telah banyak meninggalkan pengetahuan lokal tentang alam, isyarat alam itu kurang atau bahkan tidak ditangkap. Seandainya kita masih mengakrabi pengetahuan tradisional tentang cuaca laut, mungkin korban dapat diminimalkan serta mengakomodasi bentuk-bentuk kearifan budaya lokal bangsa yang menyebar merata di Nusantara dalam berekonomi dan beraktivitas lainnya dalam kaitannya dengan eksploitasi alam.
Politik Lingkungan harus meletakan pondasi kuat dalam membangun mitigasi hijau untuk membatasi emisi CO2 sebagai syarat utama dalam pembangunan di berbagai negara di dunia khususnya Indonesia yang merupakan paru-paru utama dunia harus berperan kuat untuk mendorong negara-negara maju seperti Amerika Serikat meratifikasi protokol Kyoto bersama negara berkembang dalam membatasi emisi CO2.
Pembangunan politik terhadap lingkungan bumi harus memuat kebijakan keadilan terhadap kemampuan daya dukung ekologi bumi, memuat unsur keadilan sebagai berikut : 1. Keadilan Distributif untuk menjaga keseimbangan pengelolaan sumber-sumber daya lingkungan dari berbagai eksploitasi dan langkah-langkah perlindungan yang aman dari dampak bencana eksploitasi pembangunan ekonomi misalnya pencemaran alam oleh aktivitas limbah industri, aktivitas kegiatan pertambangan yang sering memberikan beban bagi lingkungan yang tidak dikehendaki oleh masyarakat sehingga menjadi beban yang harus ditanggung oleh warga masyarakat sekitarnya.
2. Kebijakan regulasi merupakan kebijakan politik terhadap aspek transparansi peraturan-peraturan kebijakan lingkungan yang tidak boleh bertentangan dengan isu-isu lingkungan keadilan prosedural dan terutama akses masyarakat dalam mendapatkan informasi dalam pengambilan keputusan yang memiliki dampak pada lingkungan. 3. Keadilan Korektif, upaya menerapkan aturan legal formal melalui legislasi, aturan dan regulasi atau proses hukum yang memungkinkan upaya-upaya untuk mendapatkan keadilan formal sebagai dampak lingkungan, misalnya melalui perwujudan kompensasi bagi warga masyarakat yang dirugikan dan hukuman bagi mereka yang terbukti melakukan kerusakan lingkungan alam. (sumber : politik bumi dalam pembangunan lingkungan).
4. Keadilan Sosial, mengupayakan keadilan pembangunan bagi semua segenap sosial masyarakat yang difokuskan pada upaya pembangunan kesejahteraan dengan memberikan pengertian dan pengetahuan tentang kemampuan daya dukung sumber daya alam melalui mekanisme keadilan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan perencanaan tata ruang kota yang berkelanjutan oleh berbagai kepentingan ekonomi dan bisnis untuk menghindari eksploitasi secara berlebih-lebihan, penerapan kajian dampak lingkungan, penerapan pertambangan dan ekonomi ramah lingkungan untuk di distribusikan dalam memberikan berbagai peluang dan akses kesempatan hidup bukan saja hanya mempertimbangkan keselarasan antara manusia dengan alam tetapi sekaligus keselarasan didalam berhubungan aktivitas produktif memanfaatkan sumber daya alam sebagai tanggung jawab sosial bagi kesejahteraan masyarakat, yang diakomodasi melalui sistem demokrasi yang menghargai nilai-nilai budaya yang bersifat multikultur.
M. Anwar Siregar
Enviroment-Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer, Tulisan ini sudah dipblikasi pada HARIAN ANALISA MEDAN, Bulan April 2014

23 Jun 2014

Relevankah Hari Lingkungan

MASIHKAH RELEVAN HARI RAYA LINGKUNGAN?
Oleh : M. Anwar Siregar
Berbagai kasus kejadian bencana lingkungan dimasa lalu hingga ke masa sekarang, sudah harus dijadikan pembelajaran agar pemerintah lebih optimal menyampaikan data dan informasi bencana ketataruangan lingkungan. Pemerintah wajib terus memberikan pemahaman edukasi bencana lingkungan bukan saja pada hari-hari peringatan lingkungan seperti Hari Air, Hari Bumi, Hari Hutan, Hari Lingkungan dan Hari Tata Ruang sejak dini kepada masyarakat, agar dapat mereduksi efek kerugian dan jumlah kehancuran fisik akibat bencana lingkungan.
Pemerintah belum optimal memanfaatkan data dan informasi geologi spatial sebagai dasar pembangunan fisik, seharusnya menjadi fokus utama pembangunan ketataruangan wilayah yang berketahanan bencana,meredam trauma psikologis bencana di Indonesia karena eskalasi bencana lingkungan tidak pernah berhenti. Pemerintah dan masyarakat tidak perlu merenung terus tetapi mengimplementasikan secepatnya karena bencana maut hadir setiap saat.
KESADARAN SEMU
Rakyat Indonesia perlu ditanamkan kesadaran tentang pentingnya siaga bencana lingkungan terutama bencana lingkungan yang disebabkan oleh bencana oleh banjir, longsor dan angin puting beliung yang sering terjadi di Indonesia, bahwa Indonesia berada di daerah rawan bencana alam dan merupakan ancaman konstan yang dapat hadir dan menghancurkan setiap saat bukan dalam arti teoritis dalam sehari, tetapi dalam implementasi yang lebih luas, memahami dalam arti yang arif dan beretika lingkungan disertai gerakan moral berbagai komponen, bukan kesadaran semu yang tergambarkan dalam acara seremonial, habis mengikuti acara lantas kembali ke sikap semula, tidak malas mengikuti aturan yang sudah dibuat, misalnya membuang puntung rokok sembarang saja tidak merasa bersalah, itu baru contoh kecil.
Bila dianologikan lebih luas, maka lihatlah di hutan-hutan Indonesia, menganggap kebakaran dan kebanjiran itu hal biasa, reboisasi setengah hati karena kesadaran komoditas yang lebih utama atau pencapaian finasial ekonomi yang lebih berbicara, berakhir konflik kepentingan dan bencana kesengsaraan rakyat. Keduanya selaras dan tak terpisahkan sehingga penurunan kualitas sumber daya manusia dan sumber daya finansial.
Akibat rendahnya tingkat kesadaran dalam memahami bencana lingkungan, maka kita sering mendengar suara nyanyian duka yang sahdu mengiris kalbu, di timur kita bertemu korban bencana banjir, lalu di barat kita bersua kesedihan bencana kematian tsunami dahsyat lalu di utara bumi Indonesia kita lihat bencana kekotoran alam akibat kebakaran hutan dan sumber daya hayati dan di selatan terjadi suara gemuruh di dalam perut gunung yang memancarkan hawa panas kemarahan sehingga Bumi Pertiwi menangis tiada henti.
Apakah pemerintah harus bertindak atau masyarakat yang malas? Jika melihat fakta dilapangan, Pemerintah sangat lamban sedangkan masyarakat sekarang tidak mengharapkan pemerintah karena sudah mengetahui kinerja birokrasi, masyarakat lebih peka dibanding pemerintah sehingga berinisiatif bergerak mengusahakan evakuasi tanpa harus menunggu bantuan. Contoh sederhana, bila terjadi gempa masyarakat langsung berlari ke daratan tinggi, sedang informasi baru tiba setengah jam.
SEPERTI MANUSIA
Bumi, jika di gambar dari sudut karikatur, akan nampak seperti manusia nenek tua yang penuh dengan perban akibat luka-luka yang ditanggungnya, mulai dari kepala hingga ke kaki, akibat penghancuran dan penembakan unsur radioaktif nuklir, baik ke dalam tubuh bumi maupun ke luar angkasa, namun kenapa manusia belum sadar akibat dampak yang ditimbulkan sedang manusia itu telah diberi akal sehat untuk memahami kondisi “sakit” yang ditanggung Bumi?
Seperti manusia yang sudah tua dan membungkuk serta duduk di atas kursi roda karena dia telah kehilangan sumber daya-tenaga yang habis terkuras ketika di masa muda atau masih segar terus memfosir tenaga tanpa ada istirahat sejenak, menganggap hal ini akan kembali ke wujud semula, dampak dari keegoisan masa muda yang tidak menganggap perawatan [reklamasi-reboisasi-diverfisikasi] tidak terlalu penting, kenapa manusia masih serakah hanya untuk mengejar pencapaian kekayaan ekonomi tanpa memperhitungkan segala  hal yang akan terjadi di masa mendatang sedangkan manusia tahu bahwa dia telah diajarkan atau belajar serta memahami lingkungan?
Seperti manusia, Bumi juga adalah makhluk yang diciptakan Allah demi keselarasan alam semesta, jika Bumi diganggu atau disakiti, maka bumi juga seperti makhluk lainnya akan melampiaskan kemurkaannya, seperti manusia, Bumi juga bersujud di hadapan Sang Khalik, menjaga hukum-hukum alam yang telah ditentukan oleh Maha Pencipta, namun kenapa masih ada pelanggaran etika moral dan hukum demi lingkungan?
Seperti manusia, Bumi juga membutuhkan waktu untuk memulihkan diri, membutuhkan bernapas agar kondisi selalu sehat, tidak merusak dirinya dengan penghancuran tenaga, jika tidak menemukan keseimbangan maka lingkungan di Bumi akan mengalami gangguan keseimbangan yang berakhir pada kerugian serta penderitaan hidup yang panjang, dan mungkin saja berakhir dengan malapetaka kiamat kecil tanpa menunggu kiamat besar dari Sang Pencipta. Namun kenyataan yang terjadi sampai ke detik ini, masih juga ada perbedaan pandangan hidup, baik politik, hukum dan kehormatan demi mengejar sebagai yang terunggul, menghancurkan kondisi lingkungan dengan berbagai macam cara yang telah terbukti membuat bumi murka dan diambang lamunankah?
MASIHKAH RELEVAN?
Hari hutan selalu dirayakan bulan Maret, hari Bumi di bulan April, dan hari Lingkungan di Bulan Juni setiap tahun sekali dengan acara seremonial. Namun pembalakan, penggundulan dan pembakaran hutan serta penghancuran maupun pemborosan sumber daya energi yang tidak dapat diperbaharui terus berlangsung sehingga lapisan geosfer bumi setiap hari masih mengalami kerusakan dan ini banyak berlangsung diwilayah Indonesia dalam kurun waktu 20 tahun terakhir telah menimbulkan bencana baru, yaitu sebagai negeri penghasil polutan nomor tiga di dunia. Indonesia dikenal juga sebagai negeri bencana, tidak salah jika menambahkan predikat bencana lagi yakni negeri bencana penghasil bencana kabut asap “terbaik” di Asia Tenggara, sedang upaya meregulasi pemakaian sumber-sumber daya hijau belum optimal sebagai salah satu upaya untuk mencegah kerusakan kondisi bumi. Jadi masihkah relevan perayaan hari Lingkungan itu jika dimana-mana masih berlangsung penghancuran kondisi lingkungan Bumi?
Bahwa kita sudah mengatahui bersama, hutan merupakan sumber daya terbatas, bahwa tanah di Taman Hutan itu memiliki karakteristik umum adalah tanah pembawa air, tumbuh-tumbuhannya merupakan tumbuhan keseimbangan daya serap udara dan memiliki kemampuan keseimbangan penataan pola dan distribusi air yang teratur bagi berbagai makhluk hidup didalamnya, berfungsi sebagai penjaga keseimbangan alam, sebagai paru-paru bumi tetapi kenapa masih ada penghancuran hutan bumi? Masih pentingkah acara seremonial itu?     
HARUS SADAR SEKARANG
Peristiwa bencana lingkungan tidak mungkin dihindari, tetapi yang dapat kita lakukan adalah memperkecil terjadinya korban jiwa, harta maupun lingkungan. Banyaknya korban jiwa maupun harta benda dalam peristiwa bencana lingkungan yang selama ini terjadi di Indonesia, lebih sering disebabkan kurangnya kesadaran dan pemahaman pemerintah maupun masyarakat terhadap potensi kerentanan bencana serta upaya mitigasinya di daerah rawan bencana.
Dengan tingkat pemahaman bencana lingkungan geologi dan hidrometeorologi, maka Indonesia dapat menekan angka jumlah korban di dalam negeri serta mengurangi efeknya terhadap dunia global maupun dapat juga menekan biaya rehabilitasi dan rekonstruksi lingkungan di daerah rawan bencana. Implementasi hari raya lingkungan harus benar-benar dibumikan dalam kehidupan masyarakat, agar masyarakat mengerti daerah-daerah yang mana lebih baik dikembangkan untuk sarana aktivitas kehidupan dalam ruang dan waktu, sehingga masyarakat telah membentuk zona ketahanan bencana yang berbasis masyarakat.
M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan-Energi Geosfer, Tulisan ini sudah dipublikasi di Harian ANALISA MEDAN, JUNI 2014

http://analisadaily.com/lingkungan/news/masih-relevankah-perayaan-hari-lingkungan/36306/2014/06/08 

Meminimalisasi Bencana banjir Kota Berbasis Geologis Air : Geologi Mitigasi

MEMINIMALISASI BENCANA BANJIR KOTA BERBASIS GEOLOGIS AIR
Oleh M. Anwar Siregar
Membangun kota berbasis banjir memerlukan perencanaan lahan, dan merupakan masalah klasik di perkotaan yang semakin kompleks, karena menyangkut berbagai aspek antara lain urbanisasi, lingkungan dan sosial masyarakat serta inkonsistensi dalam menegakkan kebijakan penataan ruang khusus lahan RTH, sehingga menimbulkan semrawutan dengan terbentuknya model tata ruang “lawan” yaitu tata ruang kumuh, terbentuknya kawasan pedagang kaki lima dan berakhir dengan kerumitan sistim drainase kota, sistim transportasi dan sistim kesehatan lingkungan.
BERBASIS EKOLOGI LAHAN DAS
Membangun kota berbasis geologis air dapat diupayakan salah satunya antara lain dengan belajar penataan ekologi lahan banjir model Ekologi RTH Belanda di daerah lahan DAS. Perkembangan pesat pembangunan sekarang dengan diiringi pertambahan penduduk disekitar bantaran sungai membawa dampak penurunan fungsi bantaran sungai di DAS secara alamiah sebagai retarding pond, sebagai stabilitas morfologi dan sebagai komponen retensi hidroulis yang dikenal sebagai retensi tebing, dasar sungai, alur sungai serta erosi sedimentasi dan banjir yang tidak akan dapat diminimalisir oleh sungai sendiri karena telah mengalami penurunan kualitas lingkungan sehingga ancaman bencana banjir dan longsoran selalu akan hadir setiap saat.
Model ekologi RTH di kota besar di Belanda memanfaatkan kelebihan dan kelimpahan air dengan memperbanyak daerah lahan hijau yang sempit sebagai keseimbangan dengan laju peningkatan bangunan disekitar bantaran DAS [daerah aliran sungai] sebagai daerah tangkapan air, daerah resapan, lalu disulap menjadi daerah space eco-tourisme, maka pendangkalan dan penurunan kekuatan tanah di DAS dapat diminimalisasi dampaknya bagi keberlanjutan tata ruang air di daerah kawasan padat, setiap bangunan harus menyediakan daerah resapan, baik di hulu maupun di hilir terutama daerah bantaran DAS dan pantai/laut sesuai dengan kondisi tatanan geologi topografinya.
Setiap lokasi bangunan pemerintahan, pemukiman dan kuliner serta lahan parkir harus menyisipkan ruang terbuka hijau apabila pembangunan itu di bangun di sekitar daerah ”kumpulan air”, daerah kumpulan air itu lalu di tata jenis tumbuhan yang sesuai dengan karakter pengakaran tanah di sekitar sungai, berfungsi sebagai penahan longsor alamiah dengan kombinasi penahan longsoran beton. Prinsipnya, harus ada RTH dalam RTH, atau berlapis-lapis, berguna untuk menyerap air jika kemampuan kapasitas sungai telah melebihi kapasitas debit. Model berlapis ini akan terdapat daerah rawa-rawa hijau, daerah sumur resapan berjarak 30-50 meter dari DAS, lalu sisipan jalan untuk pedestarian akan terdapat sumur biopori.
Refleksi pertahanan banjir bagi kota dalam ancaman penenggelaman akibat banjir bandang adalah pertahanan model serangan tsunami, dibuat berlapis-lapis dalam tata ruang, yang paling utama adalah pembangunan kawasan hijau di daerah sempit dan kumuh. Namun hal ini semakin berkurang, kalau kita identifikasi setiap kota yang berlangganan banjir hanya memiliki sekitar 12-15 persen daerah resapan hijau.
BERBASIS SEJUTA SUMUR RESAPAN
Idealnya, kota-kota di Indonesia memiliki daerah sejuta sumur resapan, ataupun minimal 30 persen sesuai UU No. 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang dan Kota, sehingga curah hujan yang tinggi di kota besar dapat terserap dan mengendalikan sebagian banjir, sebagian gerakan geologis air menuju sumber-sumber penampungan air seperti Kanal dan Situ atau Danau air alamiah.
Kota dengan karakter geologi yang terbentuk oleh berbagai cekungan sungai, berada dipinggiran pembenturan lempeng [kota pantai berbatas dengan laut, yang kaya sumber air permukaan, topografi rendah dengan sejajar atau di bawah permukaan air laut] dan geomorfologi kawasan rendah perlu mengembangkan sejuta sumur resapan dengan melakukan kajian dan identifikasi geologis air sungai yang melingkupi kota-kota besar di Indonesia. Kita akan selalu menemukan fakta geohidrologis, berupa sungai yang membelah bawah permukaan kota besar, data informasinya selalu diabaikan sehingga daerah hijau yang berada diatas permukaan sering ’dihabisi’ walau lebarnya hanya 15 meter dengan panjang 100 meter sering berdiri bangunan beton.
Tidak mengherankan, banjir tahunan melanda Jakarta. Sebab, telah diidentifikasi bahwa Jakarta di lewati lebih 10 sungai, Medan di lewati 7 sungai besar, Semarang di lewati 6 sungai, Bandung, Manado dan Jambi dibelah 4 sungai besar, semua kota tersebut sebagian daratannya berhadapan langsung dengan batimetri/topografi laut atau pantai, sehingga limpasan air sungai hanya terserap di daratan sekitar 20-30 persen jika tatanan drainase buruk, kanal terbatas, ekologi DAS di bawah 12 persen, selebihnya mengalir menjadi limpasan air bandang sehingga menjadi masalah klasik tahunan yang sangat merugikan segala aktivitas kota dan manusia.
Sumur resapan merupakan salah satu solusi yang dapat mengurangi tingkat kebencanaan banjir dan sumur resapan bisa dibuat pada tiap bangunan yang telah terbangun, pemerintah wajib mensosialisasikan bagi pembangunan gedung baru, harus menyediakan sumur resapan minimal terdapat dua lokasi. Sumur resapan dapat sebagai bagian dari izin mendirikan bangunan baru di lokasi pemukiman dengan membuat taman sumur resapan dan sumur biopori. Air yang berlebihan ketika curah hujan tinggi dapat ditampung dan mengalir ke sumber-sumber air bawah permukaan atau cekungan air tanah [CAT], limpasan air dapat diminimalisasi menjadi nilai ekonomis sekaligus mengisi CAT yang tingkat produktivitasnya rendah dan dipergunakan sebagai cadangan air berkelanjutan.
BERBASIS KANAL BANJIR
Salah satu aspek pembangunan fisik kota yang selalu dilupakan atau diabaikan adalah fakta hidrologis dan manajemen air yang sangat berkaitan dengan terjadinya banjir di perkotaan dan erat hubungannya dengan kesatuan wilayah [CAT] dengan DAS. Dengan memahami sistim DAS yang merupakan sebidang lahan dalam menampung air hujan dan mengalir ke satu titik oulet maka perlu pengembangan jaringan kanal banjir dengan memperhatikan batas topologi hamparan wilayah aliran air yang sama di satu punggung bukit, apakah di sungai, danau atau laut sebagai daerah tangkapan air.
Kota yang memiliki keterbatasan lahan dan topografi rendah dapat membangun kanal-kanal banjir di perbatasan, karena umumnya bencana banjir datang dari daerah pinggiran punggung perbukitan sesuai karakteristik DAS, hal ini perlu dilakukan karena derasnya pembangunan fisik tidak sebanding dengan penyediaan tata guna lahan di kota baik dalam bentuk lahan rehabilitasi maupun lahan peruntukan fisik, setiap bulan selalu ada laju pembangunan gedung sebanyak 3- 4 gedung dalam jarak radius maksimal 200 meter, dan menyerap ruang ekologi hijau mencapai 400 meter. Setiap satu gedung telah mengurangi daerah resapan sekitar 8-10 persen dari luas persil yang ada di sekitar bangunan fisik diperkotaan. Ini salah satu penyebab banjir di kota besar di Indonesia.
BERBASIS DRAINASE BIOPORI
Buruknya sistim drainase berdampak pada kerugian, gambaran ini masih ada hubungan dengan sistim pengelolaan air dengan manejemen tata ruang kota. Dari beberapa literatur menyebutkan 80 persen atau 350 kota dari total 485 kota di Indonesia di bangun disekitar sumber-sumber air seperti sekitar DAS, danau, tepi pantai dan sungai besar yang tidak memperhatikan kualitas habitat sungai.
Solusi lainnya untuk mencegah banjir dengan nilai ekonomis adalah membuat drainase model baru yang selaras dan berhubungan dengan sumber-sumber air. Model drainase yang ada sekarang umumnya dibuat dalam bentuk drainase biasa dan tumpah tindih dengan drainase limbah dan air hujan, serta cukup untuk menampung air seperti kita lihat sekarang namun tidak menyerap dan menyimpan air.
Model drainase biopori yang penulis maksudkan adalah drainase yang dapat berfungsi menyerap, menyimpan dan mengalirkan air di bawah permukaan secara alamiah melalui sistim biopori yang di buat di dalam drainase dengan memperhitungkan kapasitas dan debit drainase ke lokasi sumber air bersih serta memperhatikan jenis stratigrafi tanah drainase agar penyerapan air lebih cepat ke sumber batuan induk aquifer melalui proses geologis airi dan hidrogeologis akan disalurkan secara merata dibawah permukaan bumi.
Model drainase biopori masih jarang dibuat di kota besar Indonesia, Medan bisa menjadi ujung tombak untuk memulai pembangunannya. Pasti bisa.
M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer, 
Tulisan ini sudah dipublikasi di HARIAN ANALISA MEDAN

Populer

Laut Indonesia darurat sampah

  LAUT INDONESIA DARURAT SAMPAH Oleh M. Anwar Siregar   Laut Indonesia banyak menyediakan banyak hal, bagi manusia terutama makanan ...