29 Okt 2014

Tantangan Alam Urbanisasi dan RTH

TANTANGAN ALAM SUMUT 2014 : URBANISASI DAN RTH BANJIR
Oleh : M. Anwar Siregar
Salah satu renungan untuk menekan kerugian akibat kebijakan pembangunan di Sumut untuk tahun 2014 adalah bencana banjir dan gerakan tanah yang silih berganti, menunjukkan bahwa bencana alam terjadi tidak semata-mata dipengaruhi oleh faktor alam, tetapi juga oleh faktor kegiatan manusia yang mengabaikan faktor menjaga keseimbangan keserasian lingkungan, yaitu urbanisasi dan penghancuran ruang terbuka hijau yang merupakan penyumbang utama kerusakan lingkungan. 

Sumber Ilustrasi gambar :  http://analisadaily.com/opini/news/
URBANISASI
Eskalasi urbanisasi ke pusat-pusat pertumbuhan kota besar di Sumut kini menambah keruwetan masalah kependudukan dan penataan ruang wilayah hijau yang berdampak pada perkembangan fisik ruang kota di Sumut. Perkembangan urbanisasi di Indonesia dan Sumut khususnya dapat diamati dari tiga aspek, pertama, jumlah penduduk yang tinggal di kawsan perkotaan meningkat secara eksponensial. Kedua, sebaran penduduk yang tidak merata antar pulau di Indonesia secara umum, sedang di Sumut lebih fokus atau terkonsentrasi di wilayah pantai timur serta ketiga, laju urbanisasi umumnya di kota-kota metropolitan seperti Mebidang, Jabodetabek serta Gerbangkertasula merupakan magnet utama dengan peningkatan fraksi penduduk perkotaan di Indonesia meningkat dari 17,4 persen pada tahun 1970 meningkat menjadi 22,3 persen pada tahun 1980. Pada tahun 1990 ada peningkatan penduduk menjadi 30,9 persen dan tahun 2002 menjadi 43,99 persen dan pada akhir tahun 2010 meningkat menjadi 52,03 persen. Artinya dalam waktu 40 tahun urbanisasi telah melipatgandakan penduduk perkotaan tiga kali lebih besar (disari dari berbagai sumber).
Urbanisasi dipandang sebagai pilihan rasional masyarakat untuk meningkatkan taraf hidupnya, dengan kata lain, upaya untuk menjadikan hidupnya lebih layak dan sejahtera. Tetapi disatu sisi lain, ketika kota-kota bertransformasi menjadi lebih modern, secara bersamaan kualitas lingkungan perkotaan ikut menurun secara signifikan. Hal inilah mendorong terjadinya penyimpangan tata ruang sehingga mendesak ke tata ruang hijau di beberapa kota yang sedang berkembang modern di Sumut, yang menimbulkan bencana banjir musiman dalam skala bahaya sedang, sedang kondisi penurunan dan merosotnya kualitas sumber daya air dapat dilihat gambaran pelajaran banjir di Jakarta, Semarang dan Bandung.
Faktor yang menyebabkan penurunan kualitas lingkungan diperkotaan terutama hilangnya luasan daerah ekologi hijau, peningkatan jumlah transportasi menyebabkan kemacetan akut, hilangnya sumber daya hayati bagi peresapan air sehingga banjir akan berulang dan semakin parah seperti kejadian banjir tahun 2013, akibat laju pesat pembangunan fisik terjadi penurunan permukaan tanah oleh pemompaan air secara berlebihan berdampak pada keterbatasan dan ketersedian air yang layak minum dan terbentuknya "tata ruang kumuh di sungai" di pusat perkotaan hingga menuju ke daerah pinggiran. Terbentuknya tata ruang kumuh di luar dari rencana awal pembangunan tata ruang dapat dilacak dari kemampuan sumber daya pendatang yang masih berpola pikir perdesaan yang tercermin dari tingginya pengangguran dan kemampuan dalam mendapat penghidupan layak di daerah perkotaan
KEBERLANJUTAN RUANG HIJAU
Dengan melihat beberapa faktor geologis dan geografis kota di Sumut terutama ibukota Propinsi yaitu Medan yang bertumpuk pada kajian geohazard dan georisk dengan memanfaatkan sistim informasi data penginderaan jauh sebagai aspek dari pertimbangan penyusunan peta spasial ruang daerah banjir, dan manajemen sistim alam atau geologi lingkungan yaitu manajemen sumber daya alam untuk mendukung pembangunan ekonomi dan sosial berkelanjutan yang berkaitan dengan sumber daya air untuk dijadikan  sebagai sumber daya terbarukan dan upaya menimalisasi dampak dari pengambilan dan penggunaan sumber daya alam tak terbarukan yang memperhatikan tata ruang hijau berbasis mitigasi bencana banjir yang meliputi aspek hidrometeorgeologi, penyebaran penduduk di kawasan padat, dan garis patahan lempeng bumi di kawasan tengah Propinsi Sumatera Utara.
Dalam kaitan ini, maka perlu dipikirkan ruang-ruang hijau terbuka dan ruang publik untuk pusat perekonomian, ruang hijau atau taman lokasi pemukiman, taman daerah perkantoran, taman sanggahan bencana di kawasan industri, serta publik space khusu yang bukan sekedar ruang hijau terbuka untuk peningkatan pendapatan sumber daya ekonomi pembangunan maupun keperluan peningkatan ekonomi masyarakat tetapi sebagai ruang penyelamatan, taman dan jalur evakuasi, depot bencana serta ruang hijau  abadi untuk berbagai keperluan sandang-pangan, harus dijaga ketat dan ditindak secara tegas dengan partisipasi masyarakat yang sadar untuk kepentingan mereka.
Keberlanjutan ruang terbuka hijau di wilayah daerah yang telah diidentifikasi sebagai daerah rawan banjir memerlukan konsep kota hijau berbasis banjir maka ada dua tahapan diperlukan. Tahap jangka pendek yaitu kawasan perlinduangan hijau dan air yaitu DAS atau sungai-sungai yang membelah tata ruang Medan, dan kota satelitnya yang telah kehilangan ekologi hijau dan memerlukan reboisasi dengan membongkar kawasan kumuh sesuai aturan UU tata ruang dan UU pengairan harus terdapat kawasan lindung hijau sejauh 50 meter dari kiri dan kanan bantaran dan DAS sungai. Kawasan budidaya (yang ini di Medan tidak ada dan terkikis oleh kemajuan pembangunan fisik), kawasan hutan konservasi pantai berupa hutan mangrove.
Sedangkan tahapan jangka penjang diperlukan adalah pertama, manajemen penataan sistim kelembagaan pengelolaan DAS untuk mengontrol aktifitas sosial dan pembengunan fisik oleh masyarakat agar dapat melaksanakan perencanaan dan mengimplementasikan yang berkaitan dengan pengelolaan DAS.
Kedua, pengembangan hutan di kawasan DAS bagian hulu untuk meningkatkan fungsi hutan dalam hal pengendalian banjir. Ketiga, mengupayakan pemerataan pembangunan antar wilayah dalam kota untuk mengurangi konsentrasi penyebaran penduduk di perkotaan agar dapat mencegah berkurangnya daerah rawa dan daerah taman kota serta keempat, menyusun strategi penyuluhan lingkungan bagi masyarakat terdidik untuk menjadikan kawasan hijau sebagai ekonomi produktivitas melalui konsep pertanian abadi dengan sumber dana dan fasilitasi manajemen dari Pemko Medan dengan melakukan pendataan lahan tidur sebagai sumber ekonomi daerah agar dapat dijadikan fungsi ekologis air, fungsi perluasan taman dan areal perkebunan produktif melalui instansi terkait.
TANTANGAN BANJIR
Hukum geologi lingkungan menyebutkan bahwa kejadian bencana-bencana masa lalu merupakan gambaran ke masa kini dan merupakan introspeksi gambaran ke masa mendatang, bahwa kejadian bencana alam yang sering terjadi sekarang dapat di tekan jika belajar dari sejarah bencana yang pernah terjadi, sebagai contoh gempa tsunami, terekam dari jejak pengangkatan pulau-pulau karang, sehingga upaya menimalisasi luasan kerusakan tata ruang dapat diketahui, berapa luas lahan yang akan hancur dan dimanakah perlu diletakan suatu pusat distribusi dan aktivitas kehidupan manusia.
Begitu juga gambaran tentang bencana banjir dan gerakan tanah, semua elemen kejadian bencana sebenarnya ada sumber pelajarannya, namun manusia sekarang alpa, masalaha klasik terletak pada bagaimana mengupayakan keselarasan ruang hijau dengan kekuatan ekonomi dalam tata ruang di kota besar Sumut yang berlangganan banjir seperti Medan, Tebing Tinggi, Rantau Parapat serta kota sedang berkembang seperti Sibuhuan dan Gunung Tua serta Panyabungan. Sebuah tantangan 2014 untuk menekan bencana banjir dan sekali disertai batu Sinabung atau mungkin giliran Sibual-buali yang menyertai pemikiran para perencana pembangunan di tahun 2014.

M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer. Tulisan ini sudah di Publikasi di Harian ANALISA MEDAN Tahun 2013

Agenda Coklat vs Agenda Hijau : Geologi Lingkungan

AGENDA COKLAT VS AGENDA HIJAU
Oleh M. Anwar Siregar
Untuk menelaah mengapa terjadi penghancuran di permukaan dan diatas bumi oleh seluruh bangsa di dunia ada beberapa penyebab yang penting perlu diperhatikan antara lain : kemampuan daya dukung lingkungan dalam pemakaian sumber-sumber bahan bakar fosil yang tidak dapat diperbaharui sebagai agen utama dalam memperparah kondisi geosfer, penghancuran sumber daya hutan yang terbatas dan kemampuan recoveri lahan dalam memberi keberlanjutan sumber daya kehidupan bagi manusia dan makhluk lainnya. Serta kebijakan faktor ekonomi global dalam mengejar manfaat ekonomi sematanya dalam memenuhi kebutuhan masyarakat secara sosial sehingga untuk memulihkan daya dukung lingkungan dalam era pembangunan modern dimasa sekarang di Indonesia semakin susah untuk mencapai keseimbangan lingkungan.
Kondisi daya dukung lingkungan yang semakin menurun di beberapa wilayah di Indonesia kini telah memasuki diambang bencana universal, Pemerintah saat ini menghadapi dilemma sosial akibat peningkatan laju penduduk yang semakin bertambah sedang dilain pihak terbatasnya tata guna lahan rehabilitasi untuk segala aktivitas kehidupan manusia. Perbandingan antara jumlah penduduk Indonesia saat ini dengan daya dukung sumber daya alam untuk kebutuhan hidup sudah tidak ideal lagi, dalam arti akibat besarnya kepadatan jumlah penduduk tidak lagi memungkinkan peningkatan produktivitas lahan per kapita untuk menjamin kesejahteraan minimal masyarakat. Perlu program lingkungan untuk menekan aspek laju kerusakan lingkungan.
EFEK GLOBAL COKLAT
Alam telah menyediakan sumber-sumber energi untuk menunjang kehidupan dimuka bumi, sumber energi yang paling utama adalah bahan bakar fosil atau BBM, hampir seluruh dunia menggunakan BBM konvensional untuk memenuhi kebutuhan energi sehari-hari, manusia harus mengolah sumber-sumber energi menjadi bahan bakar dan energi listrik ini dalam kondisi terkendali di era sekarang, namun pemaksaan masih nampak kuat dalam pemenuhan kebutuhan energi yang berlebihan sehingga kita telah merasakan terganggunya keseimbangan lingkungan Bumi, yaitu penipisan lapisan ozon, hujan asam dan pemanasan global yang merupakan efek global coklat sangat membahayakan kelangsungan kehidupan di Bumi.
Efek konsumsi bahan bakar fosil secara global yang terus meningkat membawa dua akibat terhadap lingkungan hidup manusia yaitu penurunan tingkah taraf hidup manusia dan menyebabkan kondisi lingkungan yang tidak layak dihuni dengan berbagai efek yang telah kita ketahui. Salah satu konstribusi bagi kenaikan efek rumah kaca bagi Indonesia adalah CO2, mayoritas 83 persen bangsa Indonesia menggunakan BBM, yang terbesar dalam pemakaian ini, lalu bahan bakar dari Batubara dan bahan bakar gas cair alam, pengguna terbesar bahan bakar ini adalah kendaraan, lalu pabrik industri dan PLN.
Penyumbang perubahan kondisi iklim, cuaca, suhu dan lingkungan geobiosfer Bumi dapat dilihat dari aktivitas manusia melalui kelompok polutan kimia, biologi dan fisika sebagai faktor pencemaran udara melalui tebaran debu-debu organik dan polutan gas dari cerobong rumah tangga dan pabrik industri dan polutan kendaraan di kota-kota besar dunia dengan mencapai 150 ton polutan asam yang mudah menguap, 500 ton subtansi nitrogen, 400 ton komponen belerang/sulfur serta 1500 ton mineral-mineral organik lainnya serta pembakaran hutan yang menghasilkan Smog, seperti sering berlangsung di kawasan hutan Indonesia.
Eksploitasi hutan yang berlebihan secara illegal tanpa diikuti reboisasi juga dapat berakibat keruskan lingkungan, banjir dan tanah longsor serta menambah keturunan efek coklat global terutama di Indonesia yang sedang berjuang keras dalam mengurangi efek CO2 sebesar 45 persen sebelum tahun 2025. Pembangunan industri dengan penerapan teknologi maju yang tidak disertai wawasan lingkungan berpotensi terhadap lingkungan hidup seperti pencemaran udara dan pencemaran tanah akibat limbah yang tidak diolah. Hutan memberikan banyak manfaat dengan fungsinya antara lain sebagai pemasok oksigen, paru-paru dunia, penyeimbang lingkungan disamping dapat menghasilkan devisa. Sekarang kondisi hutan di dunia kini semakin berkurang.
Salah satu peristiwa yang selalu menjadi bahan pembicaraan dunia internasional terhadap injeksi coklat di angkasa dan terbesar di Asia Tenggara adalah peristiwa kabut asap, di mana pembakaran hutan itu telah memberikan sumbangan polutan di atmosfer mencapai 3 milyar ton, perusakan hutan dan perizinan perkebunan merupakan aktivitas yang paling menonjol dalam memberikan tatanan perubahan iklim global di Asia Tenggara.
Perlu strategi pembangunan berwawasan lingkungan, dalam mengendalikan aspek kerusakan lapisan udara, Pemerintahan di Indonesia harus memastikan daerahnya memiliki agenda pengendalian kerusakan geosfer yang disebabkan oleh unsur-unsur polutan (coklat), yang kini semakin parah dengan banyaknya jenis kendaraan yang masih menggunakan bahan bakar konvensional mengandung timbal serta industri masih menggunakan bahan bakar batu bara, program agenda coklat dapat memanfaatkan energi alam yang lebih baik seperti panas bumi, gas cair alam, bahan bakar biofuel dan nabati untuk dijadikan isu-isu strategis pembangunan, isu ini penting dalam menjaga keberlangsungan sumber daya lainnya yaitu sumber daya laut yang berbasis ekonomi biru dan ekonomi hijau.
BENCANA HIJAU
Salah satu andil penyebab bencana hijau, adalah banyaknya hutan dikorbankan menjadi kawasan peruntukan lahan kelapa sawit. Hutan yang dibuka dengan pengusulan secara langsung sudah sebanyak 6,2 juta hektar. Sementara hutan yang dibuka secara kolektif dan transaksional antara tahun 2009 hingga 2013 mencapai 12,35 juta hektar (Sumber Walhi Riau).
Banyaknya pengeluaran izin di kawasan hutan yang berdasarkan kajian lingkungan kurang memadai, namun dalam penerapan kaidah lingkungan untuk mengendalikan bencana hijau terutama dalam praktik industri di hutan-hutan Indonesia dan perkebunan masih jauh dari sikap tanggung jawab mengikuti standart SOP dan standart pelayanan minimun. Menimbulkan problematika lingkungan hutan, penurunan kualitas hutan karena berbagai faktor yang bersifat kompleks, konfigurasi hutan tropis di Indonesia telah mengalami penurunan signifikan dengan luasan hutan yang rusak di dalam suatu kawasan hutan telah mencapai 59,62 juta hektar, luasan hutan rusak di luar kawasan hutan mencapai 42,11 juta hektar (sumber Badan Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan, 2000).
Pemerintahan di Sumut memerlukan agenda hijau untuk mengendalikan bencana banjir di masa mendatang. Eksplorasi kehancuran hutan itu salah satu penyebab kondisi anomali cuaca, banjir sekarang merupakan kelanjutan banjir pada semester pertama tahun 2013 yang telah berlangsung sebelumnya di Medan, Madina, Palas serta Labuhan Batu.
AGENDA HIJAU
Tindakan-tindakan pelestarian RTH untuk mencegah bencana ekologi hijau perlu diidentifikasi sampai pada tingkat yang dapat diterima dengan mempertimbangkan berbagai aspek kebijakan, hukum dan kelembagaan serta alternatif dalam pengendalian dampak lingkungan akibat laju pembangunan fisik oleh analisis kerentanan dari berbagai jenis proyek yang dapat mengokupasi ruang hijau terbuka sehingga dapat mencegah bencana banjir, meminimalisasi rasio kekurangan daerah tata ruang air serta langkah-langkah pelestarian lingkungan. Faktanya, bencana banjir di Sumatera Utara semester kedua sekarang sedang berlangsung di Kabupeten Langkat, Sergai, Tebing Tinggi, Deli Serdang dan Batubara akibat berbagai perusakan kawasan hutan di pinggiran kota, berbagai penghancuran habitat lahan hijau di wilayah perkotaan, semakin menurun daya tahan fisik tata ruang kota, yang tercermin dari semakin menurunnya permukaan tanah, degradasi kekuatan fisik tata ruang air baik secara kuantitas dan kualitas diberbagai areal pemukiman dan infrastruktur fisik kawasan kantor dan jalan jembatan serta kemampuan daya serap oksigen tanah hutan alam semakin berkurang karena hutan Sumut diidentifikasi telah berkurang sekitar menjadi 11 juta hektar sehingga mengakibatkan terjadinya penumpukan polutan di udara yang menimbulkan hujan asam.
Untuk memastikan hal ini masih akan terjadi musibah banjir tahunan, Anda dapat melihat dari udara bagaimana morfologi “hutan yang botak” di sepanjang pesisir barat Tapanuli dan tinggian Tanah Karo hingga menurun ke daratan morfologi rendah di pesisir pantai timur Langkat-Sergai.
M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer. Tulisan ini sudah di Publikasi di HARIAN ANALISA MEDAN JULI 2014

http://analisadaily.com/lingkungan/news/agenda-coklat-vs-hijau/51402/2014/08/03 

28 Okt 2014

Tak Berdaya Hutanku



AKU TAK BERDAYA KARENA LINGKUNGAN HUTANKU
Oleh M. Anwar Siregar

Pembunuhan gajah akhir-akhir ini telah menimbulkan dilema bagi masyarakat, betapa tidak, hal ini disebabkan salah satunya harus melindungi gajah yang semakin langka, tetapi dilain waktu, gajah menimbulkan masalah bagi masyarakat terutama bagi petani harus melindungi kebun mereka. Karena gajah-gajah yang liar ini banyak berkeliaran di ladang-ladang dan persawahan yang bersentuhan dengan hutan dan alang-alang liar. Akibatnya, menimbulkan malapetaka hasil pertanian yang seharusnya sudah panen pada saatnya. Namun, justrunya terbalik karena ulah si gajah liar ini memperondakan dan merusak apa saja yang sudah ditanam, kadang-kadang menghancur gubuk dan tempat tinggal petani dan membahayakan keselamatan jiwa.
Si Gajah mana mau tahu! Karena mereka juga kehilangan habitat akibat ulat si manusia itu juga, yang membabat habis hutan sepanjang tahun hampir 1,4 juta hektar. Jadi bagaimana kami bisa hidup kalau kau manusia seenaknya membakar, membabat, entah apalagi kalian lakukan untuk memenuhi isi otak dan perutmu itu, ini pasti kata yang akan diucapkan si Gajah bila ia pandai bicara seperti manusia, tetapi tanpa bicara pun mereka sudah menunjukan bagaimana sebenarnya mereka “unjuk bicara” dengan menghancurkan peladangan manusia yang katanya berakal.
HEWAN PUNAH
Tak kala populasi manusia bertambah dan masyarakat mulai modern, menurunnya produktivitas tanah, penggundulan hutanm pengembangan wilayah pantai dan gangguan lingkungan seperti hujan asam mempercepat kepunahan species tumbuhan dan binatang.
Jutaan tumbuha, binatang dan berbagai jasad renik (jenis organisma) di dunia dewasa ini merupakan produk evolusi alamiah yang berlangsung tanpa putus 3,5 milyar tahun. Selama jangka itu, tumbuhan dan hewan cenderung menghasilkan keturunan lebih daripada yang dapat ditopang oleh lingkungan sehuingga makhluk hidup yang sifat pembawaannya (genetik) memungkinkan dia dapat berkembang biak dengan hasil yang bisa bertahan hidup. Perubahan lingkungan telah berulang kali, dan species mampu menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan sehingga ada banyak sekali bentuk kehidupan yang benar-benar dapat menyesuaikan diri dengan kondisi mereka hadapi.
Sejak zaman Darwin, ahli biologi telah mengetahui bahwa species menjadi langka sebelum punah dan bahwa kalau sudah langka species mudah punah. Hutan tropis sangat ini mengalami penggundulan demi mengejar keuntungan ekonomi tanpa memperhitungkan waktu reklamasi hutan, selain itu, juga terdapatnya penundaan aliran dana dalam melakukan penghijauan kembali.
Kenyataan, banyak mengalami tantangan, juga disebabka meningkatnya pertumbuhan manusia menuntut disediakannya bahan makanan berupa daging, sepertidiketahui manusia termasuk golongan makhluk hidup pemakan tumbuhan dan daging (carnivora), maka konsumsi daging harus tersedia di meja maka mereka. Tentu, untuk memenuhinya harus buru dan bunuh binatang itu, atau juga ambil kulit binatang langka itu buat dipamerkan dan meningkatkan presetise pribadi seperti yang banyak kita saksikan dilayar televisi oleh para selebritis yang gemar berpakaian wah!
Itu salah satu yang menyebabkan hewan-hewan langka ini menghilang dikehidupan manusia modern bersama dengan berkembangnya bumi melalui periode-periode geologi yang berlangsung di bumi sejak ratusan tahun.
HUTAN HANCUR DAN TERBAKAR
Ditingkat lainnya dari keanekaragaman, ekosistim hutan yang utuh akan memainkan peranan penting dalam mempertahankan kondisi-kondisi yang menopang kehidupan di Bumi. Hutan alam terdapat berbagai jenis spesies memberikan sumbangan penting ditempat-tempat tertentu. Hutan alam dapat mencegah derasnya aliran air di wilayah punggung pembatas antar daerah aliran sungai, dapat membersihkan udara kota dari zat pencemar dan partikel kecil, mengindari terjadinya banjir ganas, juga dapat mempertahankan populasi burung dan serangga pemangsa yang dapat mengendalikan hama-hama tanaman.
Tetapi kenyataan sekarang ini, hutan alamiah telah mengalami penghancuran yang luar biasa. Setiap tahun ada saja kebakaran hutan di Sumatera, Kalimantan dan juga di daerah lainnya, penggundulan hutan tanpa memperhitungka efek yang terjadi kelak. Padahal hutan juga berjasa penting dalam penyediaan makana dan menjaga species-species langka akibat yang ditimbulkan oleh kemajuan teknologi modern.
Banyaknya hewan langka mengalami kepunahan akibat penggundulan dan pembakaran hutan demi kepentinga manusia membuat binatang ini tak berdaya dabn nyaris tak mengancam kehidupan manusia karena ulat manusia itu juga karena menghancurkan “rumah” mereka. Seperti baru-baru ini terjadi di daerah Kabupaten Kampar-Riau, dalam tiap bulan ada satu gajah liar terkena “pelor”, walau gajah ini termasuk binatang yang dilindungi. Namun, seperti kita ketahui, di Propinsi Riau terdapat banyak industri kertas dan pergergajian kayu, maka jangan heran lagi bila hutan-hutan di sana banyak mengalami penggundulan lebih 10 hektar setiap tahun demi mengisi “perut bubur” pabrik kertas di sana.
Seperti sudah disebutkan diatas, bahwa tangan manusia yang paling “berjasa” dalam menyebabkan bencana alam ini. Dalam tingkatan ini, manusia secara langsung telah menghancurkan mata rantai makanannya sendiri, karena didalam hutan itu banyak terdapat sumber-sumber hayati bagi makhluk hidup seperti manusia. Seperti kita ketahui bahwa jenjang yang menuju munculnya tumbuhan biji, akar umbi dan buah yang dapat di makan berasal dari hutan, dengan adanya perubahan (evolusi) telah mengubah dunia kehidupan dengan menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan manusia dan binatang menyusui dapat hidup menikmati hasil dari jenjang pertumbuhan rantai makanan.
AIR HITAM
Banyak sekali air dipermukaan tanah meresap pelan-pelan ke dalam tanah melalui pori-pori dan lapisan geologi yang disebut akifer atau lapisan pembawa air. Beberapa diantaranya mengandung air berusia ribuan tahun dan sedikit memperoleh tambahan tiap tahun dari curah hujan, sama dengan persedian minyak, air didalam “akifer fosil” ini pada dasarnya tidak dapat diperbaharui jika disadap, pada suatu saat akan kosong. Biarpun dapat diisi kembali, air tanah sering dipompa dengan kecepatan tinggi yang melebihi penambahan sehingga permukaan air tanah menurun dan cadangan air untuk masa depan habis, pemompaan air yag berlebihan ini akan mengakibat air akan menjadi asin untuk dipakai dan menjadi kering sama sekali.
Berbeda dengan batubara, minyak bumi, kayu sebagian besar sumber daya penting lainnya, air biasanya dibutuhkan dalam jumlah yang sangat besar sehingga sulit untuk dapat diperdagangkan antar negara. Apabila air mengalami pengotoran melampaui batas kualitas air akan menyebabkan kelestariannya akan hilang. Air itu akan mengancam segala macam sumber hayarti da menyebabkan kekurangan, wabah penyakit, bagi manusa akan terjangkit dehidrasi.’
Tiap air yang tercemar/tertekan polusi biasanya dibuang begitu saja tanpa dinetralisasi terlebih dahulu akan menyebabkan air yang terdapat disekitar sungai maupun sumur pompa air mengalami dekominasi kimia sintesis, seperti limbah-limbah beracun rumah tangga yang dibuang seenaknya ke sungai.
Kotornya air di dunia ini, diakibatkan meningkatnya pembangunan industri, dimaa industri itu lebih banyak disekitar hilir yang pada akhirnya lebih banyak membuang limbah ke sungai tanpa dijernihkan terlebih dahulu. Industri pulp dan kertas serta industri baja adalah salah satu faktor penyebabnya manusia banyak mengalami berbagai penyakit dan membuat makhluk hidup tak berdaya karena mereka ini telah kehilanga sumber yang vital bagi kelangsungan hidupnya.
Hancurnya tanah akibat penambangan galian yang tertunda reklamasinya, juga salah satu unsur penyebab kotornya air, air menjadi hitam karena hasil pembakaran tambang seperti tambang batubara akan meresap ke dalam pori-pori tanah. Dimana secara geologis, biasanya air berada dibawah hasil-hasil tambang, bila mengalami peretakan didalam terowongan tambang akan menghasilkan difusi antara air dan hasil tambang. Selanjutnya aka menyebar cepat ke daerah resevoir yang ada dibawah permukaan bumi.
Peningkatan sumber-sumber energi dunia yang semakin tinggi sehingga mengantarkan kondisi lingkungan juga semakin buruk. Hal ini disebabkan peningkatan zat-zat kimia da emisi gas kendaraan ke udara dari tahun ke tahun tidak pernah turun, secara langsung menimbulkan efek-efek kimia yang lepas ke udara akan menghasilkan hujan asam.
Akibat hujan asam ini, hancurnya hutan tropis yang ada di Asia, misalnya di Indonesia. Dimana pembakaran huta tropis telah mencapai angka di atas 1,4 juta hektar, hasil pembakaran beberapa poluta CO2 di udara akan berubah menjadi asam CO2 adalah salah satu unsur proses dari zat kimia yang menimbulkan hujan asam.
Tekanan yang ditimbulkan dari hujan asam adalah hancurnya habitat yang bermukim di hutan-hutan tropis, seperti hutan tropis Amozon, Kalimantan dan Sumatera dimana banyak terdapat binatang langka seperti Orang Utan, Harimau, Badak, Kera dan lain-lain. Penghancuran ini pada akhirnya akan menimbulkan malapetaka bagi kehidupan bagi manusia itu sendiri. Betapa tidak, dengan kotornya udara maka implikasinya adalah pemberosan biaya umbangan untuk kesehatan, pembersihan lingkungan, melakukan reboisasi dengan dana yang besar, hilang seribu ekosistim dan margasatwa yang sangat penting bagi manusia itu sendiri dan juga dapat dimanfaatkan untuk ilmu pengetahuan terutama di bidang kedokteran.
PENUTUP
Mawas diri dalam mengeksplorasi hutan-hutan terutama bagi kepentingan dan kemaslahatan umat di muka Bumi, bukan hanya mementingkan keuntungan pribadi dan perusahaan, tetapi mengamati dan mengawasi segala aspek yang terdapat didalam hutan-huta tropis, basah dan hutan hujan yang berguna dalam menjaga keseimbangan lingkunga di Bumi.
Selamat hari Bumi, semoga Bumi senantiasa segar dan segar awet muda he.. hee


M. Anwar Siregar
Geologist, Pemerhati Masalah Lingkungan dan Geosfer. Tulisan ini sudah dipublikasi di HARIAN ANALISA

15 Sep 2014

Kebakaran Petaka Hutan Tiap Tahun



PEMBAKARAN HUTAN SUMATERA, PETAKA TIAP TAHUN
Oleh : M. Anwar Siregar

Ketika terjadi isu kabut tebal di Pulau Sumatera dan Kalimantan yang biasanya berdampak pada kehidupan manusia, berimbas juga pada negera tetangga. Pembakaran hutan-hutan di Riau dan Sumatera secara umum menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Semua orang baik yang mengetahui seluk beluk pengelolaan dan kebijakan hutan maupun tidak, lagsung menuding perusahaan yang memanfaatkan bahan baku atau perusahaan perkebunan sebagai biang keladinya. Biasanya kalangan pers pun tak ingin ketinggalan mencari informasi dengan memanfaatkan hasil pemantauan satelit NOAA generasi 11 dalam mengetahui penyebaran titik-titik api.
Penyebab kebakaran hutan-hutan di Sumatera dan Kalimantan ada beberpa penyebab antara lain yaitu adanya pembakaran hutan untuk perluasan lahan perkebunan, pembakaran huta dipinggir kota sebagai dampak perluasan dan perkembangan kota ke daerah batas. Sebagian industri masih menggunakan teknologi konvesiaonal, seperti menggunakan teknologi BBM yang belum ditingkatkan efek emisi buangan (polutan), terdapat ladang-ladang (sumur) minyak yang memancarkan api setiap hari serta disebabkan oleh musim kemarau yang telah melanda beberapa daerah di Sumatera di bulan Agustus ini hingga membuat asap menyebar ke Malaysia.
Selain kebakaran huta di Sumatera, juga terjadi penggundulan hutan-hutan yang dipicu oleh perkembangan dan pesatnya kemajuan industri terutama dalam pengadaan kertas dan bahan bangunan terutama permintaan kayu. Diiringi dengan peningkatan jumlah penduduk di kota-kota besar di Riau, dan Pulau Sumatera.
EFEK PEMBAKARAN HUTAN
Pembakaran hutan sumatera dan Kalimantan diakhir abad 20 hingga abad 21 dalam kurun 30 tahun terakhir telah menimbulkan kehancuran ekosistim hutan dan beberapa jenis hutan tropis, putusnya ratai makanan, hilangnya beberapa keanekaragaman hayati fauna dan flora, terjadinya longsoran tanah, terjadinya perubaha iklim, naiknya suhu udara di Bumi, panas permukaa air laut meningkat tajam, mencairnya es di kutub selatan dengan implikasi semakin menipisnya lapisan ozon dapat menimbulkan berbagai macam penyakit bagi manusia yang kian hari semakin “bandel”. Hutan Pulau Sumatera yang seharusnya berfungsi sebagai penyimbang alam yang ada di muka Bumi.
Turut andil dalam menghancurkan hutan dan menyebabkan terbakarnya hutan-hutan tropis di Indonesia adalah perusahaan-perusahaan industri kerta dan Pulp, industri perkayuan (furniture), yang banyak diseludupkan ke luar negeri. Dalam setiap tahun dapat menghancurkan dan menggunduli hutan lebih 15.000 hektar per bulan atau bisa mencapai 80.000 hektar dalam setahun di Sumatera. Belum lagi kalau digabung dengan Kalimantan dan Papua bisa mencapai 200.000 per tahun
Sudah terbakar dan “botak”, diperparah lagi selama 15 tahun terakhir ini daerah di Pulau Sumatera telah sering mengalami “langganan” banjir secara gratis tetapi dibayar dengan nyawa dan harta benda, terutama di Propinsi Riau Daratan seperti di Kampar, Rokan Hulu, Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, Kuangsing siling berganti untuk mendapatkan “hadiah” banjir karena ulah mereka yang tidak disiplin dalam menegakkan peraturan pemerintah. Penulis mengatahui ini karena pernah kerja di Indragiri Hulu, Rokan Hulu dan Pelalawan. Mudah disogok dan menyeludupkan kayu-kayu secara berlebihan. Akibatnya kita sudah ketahui banjir dan kebakaran adalah bahaya yang terbesar khusus di Propinsi Riau atau kedua setelah gempa bumi di Indonesia sepanjang tahun.
HOT SPOT
  Sudah berapa kali Riau mengalami asap yang berimbas ke kota Provinsi tetangganya setiap tahun dan menimbulkan gangguan lingkungan terutama gangguan kesehatan manusia, merepotkan is kantong manusia untuk pembengkahan biaya hidup, terutama lagi kebutuhan listrik akibat pemadaman untuk menghindari kebakaran seperti kerusakan alat elektronik, jadwa penerbanga juga mengalami gangguan karena jarak pandangan semakin dekat, ada mencapai 50 meter dan harus mengubah jadwal demi menjaga keselamatan. Menimbulkan banyak kerugian ekonomi terutama dalam mengejar target proyek pembangunan fisik disebabkan berkabutnya atmosfir Bumi yang berakhir dengan tertundanya pembangunan.
Asap atau kabut di udara atmosfir Sumatera “gergelap ria” ditimbulkan oleh banyaknya titik-titik api atau hot spot, yang disebabkan oleh aktivitas manusia dalam usaha perluasan dan pembukaan lahan perkebunan dengan cara membakar alang-alang liar, kayu-kayu kecil dan meninggalkan sisa-sisa api yag belum padam dan kering yang setiap saat tersulup lagi oleh panas matahari. Selain sikap manusia yang membakar lahan tersebut adalah “orang malas” dan juga tak pernah belajar dari kejadian bencana yang lewat.
Dalam satu bulan, areal hutan di Riau dan Sumatera dapat mengalami pembakaran oleh ulah manusia mencapai 15.000 hektar dan tersebar hampir merata diseluruh Kabupaten dalam satu Provinsi. Yang menghasilkan jumlah titik-titik apai di atas 5 lokasi titik api yang besar. Dan titik api ini biasanya banyak berlangsung di Provinsi Riau Daratan, aka bertambah bila digabung dengan Propinsi lainnya di Pulau Sumatera. Dan implikasinya adalah kita kembali pada kehidupan gelap gulita seperti dimasa silam sebelum ditemukan sumber energi listrik untuk penerangan lampu. Dan kalau negara tetangga kena “getahnya” itu disebabkan karena “cukongnya” bermukim disana harus merasakan “sakit” dan Encik dan Puan jangan “marahlah” sama kami.
SUMBER PETAKA
Kebakaran hutan Sumatera yang setiap tahun dapat menghasilkan kabut tebal dan merugikan aspek kehidupan manusia, “pelajaran” yang lalu tetap saja terulang kembali. Karena kebakaran hutan-hutan di Sumatera sudah sering terjadi, dimulai dari kebakaran terbesar ketika musim kemarau tahun 1981,1982, 1989 ketika gencar pembangunan industri dan penemuan sumur minyak yang baru oleh perusahaan asing perminyakan. Disusul tahun 1993-1995, 1998 dengan terbuka luas aset pembukaan laha perkebunan dan penggundulan huta untuk industri pulp yang ada di beberapa Propinsi di Sumatera. Pada tahun 2000 hingga 2005 ini, masih disebakan juga oleh penyimpangan iklim, ulah si jago merah di hutan Sumatera semakin bertambah bila daerah itu lagi-lagi ditemukan ladang-ladang minyak dan gas bumi seperti di daerah Cekungan Tapanuli dan Sumatera Selatan dan Jambi serta Bengkulu. Penyebaran kabut dapat bergerak cepat untuk menutupi langit Sumatera dan Kalimantan karena pembakaran berlangsung lama. Hasilnya, kita sudah ketahui, negara tetangga juga mengalaminya.
Faktor kebakaran hutan juga ditimbulkan oleh manusia hampir 85 persen, selain manusia, musim kemarau panjang melanda beberapa daerah dapat memicu kecepatan api menjalar ke wilayah-wilayah yang kering, untuk menghasilkan titik-titik api yang baru dan sumber-sumber polutan seperti yang terjadi di wilayah Riau, Kalimantan Timur dan Sumatera Barat dan Sumatera Utara, kebakaran itu menjalar cepat juga dapat diakibatkan adanya sebaran lapisan batubara dan gambut.
SILIH BERGANTI
Seperti kita ketahui, bahwa beberapa Propinsi di Sumatera khususnya Riau dan Kalimantan Timur memiliki jumlah lapisan batubara yang besar (penghasil batubara dan gambut terbesar di Indonesia selain Sumatera Barat) sering mengalami kebakaran sepanjang tahun dan areal perkebunan berdekatan langsung dengan sumber-sumber energi tersebut diatas.
Asap kabut memang merupakan sumber petaka yang masih sama, dan menimbulkan gangguan seperti “biasa”. Yang dibakar cuma kayu dan alang-alang liar ternyata tidak sengaja kena juga lapisan permukaan batubara dan gambut muda. Jadi, efek petaka kabut yang sering terjadi sepajang tahun, tidak pernah terpadamkan oleh guyuran air hujan. Karena semua pembakaran ini bermuara kepada kepentingan bisnis, berlangsung juga sepanjang tahun.
Dan Sumatera memang identik dengan lagganan bencana. Setelah gempa bumi dan gunungapi meletus yang terjadi beberapa bulan yang lalu, kemudian giliran banjir melanda beberapa kota di Sumatera khususnya Riau, Sumatera Utara, Aceh dan Jambi pada tahun 2003 dan 2005. Banjir di Sumatera bukan “barang baru” terjadi, tetapi dimulai dengan berakhirnya musim kemarau yang berlangsung dari tahun 1982,1983, 1987, 1991 yang menimbulkan kebakaran luar biasa ternyata berdampak pada banjir Sumatera tahun 1992. Ketika itu menjalar ke beberapa Propinsi Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu dan Riau. Banjir terjadi akibat gundulnya hutan-hutan Sumatera pada tahun 1992 sebanyak 1,3 juta hektar.
Antara keduanya, “ada kerjasama”, musim “kabut” dan musm “air bah” datang berganti sepanjang tahun. Banjir di Riau berasal dari meluapnya sungai Kampar dan Sungai Indragiri akibat tidak adanya reboisasi di sepanjang daerah aliran sungai (DAS), tidang seimbangnya neraca air di daerah aliran sungai. Selain morfologi rendah di daerah sungai mengalami penggundulan karena banyak penduduk bermukim, membuat peresapan air lebih lambat karena vegetasi dan jenis tanah umumnya ditutpi oleh lempeng dan gambut yang memiliki daya serap rendah. Begitu juga banjir yang terjadi di Bahorok pada tahun 2003, dan Aceh 2005.
PENGAWASAN
Untuk memantau dan melokalisasi kebakaran hutan dapat diterapakan teknologi penginderan jarak jauh secara multi bertingkat, dimulai dengan analisis data satelit, resolusi rendah dan disusul resolusi tinggi (melalui data satelit NOAA AVHRR, SPOT/LANDSAT) dan diakhiri analisis data foto udara (geologi citra foto) dan penarikan infra merah lewat pesawat terbang (Indroyono Soesilo, BPPT-GIS).
Penerapan teknologi penginderaan jauh multi tingkat, disamping mampu melokalisasi sumber api, lokasi banjir dan pemetaan daerah banjir, juga akan digunakan untuk inventarisasi luas daerah yang terbakar, maupun yang rusak akibat deforestasi. Harus dilakukan secara berkesinambungan. Karena kebakaran hutan Sumatera sudah merupakan “acara musiman” dengan mengalokasi waktu rekam data satelit NOAA, LANDSAT dan kebakaran hutan dapat dideteksi sedini mungkin dan upaya pemadaman dapat dilakukan sebelum si jago merah menjalar semakin luas.
Sekarang musim kabut itu melanda lagi negeri jiran hingga membuat Meneteri Lingkungan Malaysia mengadakan rapat dengan koleganya, Menteri Kehutanan RI, karena indeks PSI (Polutan Standar Indexs) telah mencapai 340-450, sudah sat membahayakan kesehatan, padahal semua tahun bahwa kebakaran hutan di Sumatera adalah andil warga negara Malaysia yang menjadi cukong kayu illegal.
Sekarang saatnya Indonesia harus memanfaatkan data satelit untuk melestarikan kelangsungan hidup umat di Bumi, dipakai untuk memantau, mengawasi kebakaran hutan, dan ilegal logging serta melestarikan hutan-hutan tropis dan Bumi untuk generasi mendatang.

M. Anwar Siregar
Geolog, Pemerhati Masalah Lingkungan dan Geosfer, Diterbitkan Harian "SUMATERA" Medan

Pembakaran Hutan Indonesia Sumber Polutan Asteg : Geologi Lingkungan



PEMBAKARAN HUTAN INDONESIA, SUMBER POLUTAN DI ASIA TENGGARA
Oleh M. Anwar Siregar

Gambar : Kabut asap yang melintas ke negara tetangga (revisi artikel) 
(Sumber gambar : website Visibleearth.nasa.gov.)

Pembakaran lahan didalam hutan suatu fenomena yang baru tidak lepas untuk pencapaian ekonomi, pembakaran hutan di Indonesia secara umum menimbulkan dampak terhadap lingkungan dan masalah pelik lainnya yang diawali oleh motif menimimalisasikan biaya produksi, siapapun orang yang melakukannya, perusakan dan pembakaran hutan semuanya bermaksud agar biaya dapat ditekan serendah-rendahnya oleh dorongan rasionalitas.
Pertanyaan selama ini dilontarka masyarakat awam siapa yang melakukan dan siapa yang bersalah dalam pembakaran hutan-hutan di Sumatera, Kalimantan yang menyebabkan asap berkumpul di Asia Tenggara.
Penyebab kebakaran hutan-hutan di sumatera dan kalimantan ada beberapa penyebabnya : akumulasi pembakaran sampah masyarakat kota, adanya pembakaran lahan untuk pembukaan perkebunan oleh masyarakat desa ataupun juga karena musim kemarau, adanya pembukaan lahan yang luas oleh perusahaan besar. Selain itu di daerah yang memiliki SDA minyak yang dapat mudah terbakar dan juga pipa-pipa gas yang mengalami kebocoran yang mempercepat proses peledakan kebakaran ditambah dengan kecepatan angin yang rata-rata kencang.
TITIK API
Sudah beberapa kali Sumatera dan Kalimantan mengalami asap tebal ini, ketika tahun 1997 lalu merupakan kejadian yang terparah berlangsung, dan sekarang di Kalimantan berlangsung lagi. Imbasnya, mencapai negara tetangga dan membuat titik pandang penerbangan agak terganggu dan selain itu membuat masyarakat mengalami gangguan pernapasan dan kesehatan lainnya seperti yang kita lihat sekarang sudah banyak memakai masker pernafasan.
Asap tebal dapat dilihat kejadiannya setiap tahun bila kita melintasi jalan lintas sumatera tengah dan lintas timur seperti penulis saksikan langsung dari Padang menuju ke Indragiri Hulu untuk ke Sumatera Utara, setiap perbukitan aka tampak daerah-daerah mengalami kebakaran hutan.
Kebakaran hutan ini, akan terlihat dari pinggir jalan raya lintas sumatera. Titik-titik api di daerah kebakaran hutan ini umumnya diperuntukkan perluasan perkebunan dan juga cara praktis pengambilan pohon yang lebar dan sangat besar dengan api cukup menjilati kulit bagian luar dari pohoin-pohon raksasa ini untuk digubnakan salah satu perusahaan industri kertas yang ada di Riau, di Jambi dan Porsea Tapanuli Utara. Ini penulis saksikan langsung denga banyaknya truk-truk tronton melebihi tonase yang ditentukan untuk jalan raya dan memperparah jalan lintas tengah dan lintas timur sumatera menjadi rusak, bergelombang membentuk undakan atau gunung kecil dipinggir dan tengah badan jalan.
Titik api atau hot spot adalah disebabkan oleh aktivitas oleh manusia dan meninggalkan sisa-sisa api yang belum padam dan kering yang setiap saat dapat tersulutkan oleh panas matahari. Cara praktis mereka gunakan adalah dengan membakar alang liar ini akan bergerak cepat dengan dibantu oleh musim kemarau dan angin kencang mempercepat lekas terbakarnya alang tersebut atau juga satu lahan berikutnya terimbaskan tanpa adanya pengawasan. Selain itu, tidak terdapatnya pengontrolan oleh pihak pembakar dan sulitnya daerah yang terbakar untuk dipadamkan serta lambatnya aparat terkait dalam usaha kehutanan.
Menurut hasil pengamatan satelit NOAAdi Sumatera dan Kalimantan mudah mengalami pembakaran yang ditimbulkan oleh banyaknya perusahaan-perusahaan perkebunan besar dan terdapatnya industri pulp yang ada di Sumatera Utara, Jambi dan Riau membuat kawasan ini sangat diperlukan hasil-hasil hutannya, berupa kayu-kayu gelondongan. Dari hasil perluasan ini, penyebaran titik api banyak tidak diketahui oleh mereka, karena tidak adanya pengontrolan oleh pihak pembakar maka daerah yang kaya SDA terutama minyak dan gas bumi akan mudah terinjeksi kebakaran seperti di Riau, Kalimantan Timur dan Jambi, semua daerah tersebut memiliki ladang minyak yang terus menerus menyemburkan asap setiap hari.
Titik-titik api ini, sangat membahayakan kesehatan bila telah melewati angka 15-30 PSI (Poluta standart index) dianggap sangat tidak sehat karena pencemaran udara dari asap kebakaran dan diperparah oleh sumber-sumber polutan pabrik-pabrik yang ada di Pulau Sumatera dan Kalimantan belum banyak menggunakan peraturan ketat terhadap lingkungan.
PEMBAKARAN HUTAN
Kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia pada saat ini terdapat 99 % oleh ulah manusia. Dari data yang dikumpulkan oleh Bappedalwil melalui satelit NOAA, timbulnya jumlah titik api yang begitu banyak terdapat di 204 titik api (100 diantaranya di Riau), data terakhir ini hasil pantauan satelit NOAA bulan Juni bersama dengan beberapa daerah yang mengalami musim kemarau. Umumnya titik api ini tersebar pada perusahaan perkebunan dan perambatan huta bagi perusahaan industri pulp.
Oleh negara tetangga Siangapura, mencatat 200 titik api di Sumatera melalui gambar-gambar satelit di daratan wilayah Pulau Sumatera. Titik-titik api itu berasal dari pembakaran hutan dan lahan, yang menyebarkan asap sampai juga ke negara tetangga Malaysia dan sebagian Thailand.
Kebakaran yang terjadi di Sumatera da Kalimantan oleh ulah manusia ini ada beberapa hal (selain sudah disebutkan diatas) yaitu puntung rokok 35 %, kecerobohan 25 %, konversi lahan 13 %, peladangan berpindah 10 %, pertanian baru 7 %, kecemburuan sosial (menebang hutan untuk meningkatkan pendapatan atau sebaliknya mengambil untuk membangun rumah atau juga diperdagangkan sebagai hasil olahan meubel) sebesar 6 % dan kegiatan transmigrasi sebesar 3 %.
Kebakaran terbesar yang melanda Sumatera dan Indonesia yang terjadi tahun 1982, 1983,1987,1991,1994,1997,1998 dan 2000, sekarang di Kalimantan Barat tahun 2001 disebabkan oleh penyimpangan iklim, kemarau yang panjang, iklim ekstrem yang dipengaruhi oleh El Nino. Ditambah lagi dengan sumber energi kayu dan batubara serta gambut menyebabkan polutan udara Sumatera dan Kalimantan jadi berkabut dan terimbaskan pada daerah sekitarnya, seperti negara-negara tetangga tadi.
Angin kencang juga salah satu penyebabnya terjadi kendala kabut asap di Sumatera dan Kalimantan, penyebaran dari angin kencang ini terus melaju ke negara tetangga tanpa hambatan dan mengganggu penerbangan di udara Asia Tenggara.
Sumber-sumber dari kebakaran hutan sumatera dan Kalimantan membuat beberapa negara Asia Tenggara harus bersiap-siap memakai masker (topeng penutup), apalagi musim kemarau berlangsung sudah di mulai dari Propinsi Sumatera Utara, menyusul Jambi, Lampung, karena adanya titik api yang berlanjut dari kejadian tahun 2000 di temukan BMG (badan meteorologi geofisika) melalui satelit NOAA. Kualitas udara ini telah melewati batas polusi dan mencapai angka 399 pada akhir bukan juni ini.
PENERBANGAN AN DAN PENGAWASAN
Selain itu, unsur yang memperparah huta adalah penyeludupan hutan bisa mencapai 800.000 kubik ke Malaysia adalah salah satu contoh bagaimaa parahnya penggundulan hutan di Sumatera dan sebesar 400.000 lainnya dari Kalimantan yang dibakar bersatu menjadikan kawasan ini sebagai pusat polutan udar (asap tebal) di Asia Tenggara. Ditambahkan lagi, bertambahnya industri-industri besar yang ada di kedua Pulau besar Indonesia ini menambah parah perambatan hutan, penggundulan dan pembakaran hutan-hutan tropis hanya agar industri tetap hidup tanpa mempedulikan dampaknya terhadap lingkungan yang seharusnya berfungsi sebagai pelindung manusia dalam menjaring sinar ultra violet da juga agar kesegaran bumi tetap terjaga.
Namun menghancurkannya ekosistim hutan, punahnya beberapa binatag langka yang dilindungi karena habitat mereka tidak ada lagi serta kotornya udara dan air dan juga karena daerah-daerah tropis sekitar khatulistiwa merupakan daerah tempat banyaknya badai tropis. Dimana badai tropis ini akan membawa polutan-polutan/kabut asap pembakaran hutan menuju kawasan tertentu terutama wilayah tenggara apabila El Nino lagi mengubah iklus dari musim hujan ke musim kemarau yang berkepanjangan dan angin kencang melanda Philipina dan Asia Tenggara serta naiknya permukaan air laut semakin hancur kondisi atmosfir udara Asia Tenggara. Akibatnya, banyak urusan bisnis dan perjalanan menjadi terganggu karena harus mengundurkan jadwal penerbangan demi keselamatan jiwa. Penerbangan batal disebabkan titik pandangan penerbangan bisa mencapai 100-200 meter dan sekalian juga kita belajar dari kejadian kecelakaan penerbangan akibat asap kabut di daerah Deli Serdang.
Diperlukan pengawasan ketat dari Pemerintah agar penyeludupan kayu keluar negeri (salah satunya, pasti ke Malaysia yang memang membutuhkan kayu-kayu tropis untuk mendingkrak devisa mereka serta mengelak dengan seribu macam alasan selain negara seperti Singapura, Jepang dan Korea) agar dapat dikendalikan selain juga mengawasi dan memberikan penyuluhan bagi masyarakat tempatan agar mempunyai rasa tanggung jawab terhadap keberadaan dan kelestarian hutan bagi generasi yang akan datang.

Diterbitkan Harian Surat Kabar “ANALISA” Medan,

Populer

Laut Indonesia darurat sampah

  LAUT INDONESIA DARURAT SAMPAH Oleh M. Anwar Siregar   Laut Indonesia banyak menyediakan banyak hal, bagi manusia terutama makanan ...