23 Apr 2015

MEMAHAMI BENCANA LINGKUNGAN DALAM KEHIDUPAN

MEMAHAMI BENCANA LINGKUNGAN DALAM KEHIDUPAN
Oleh M. Anwar Siregar
Secara sederhana, bencana bisa didefinisikan sebagai suatu gangguan serius lingkungan terhadap fungsi-fungsi dalam lingkungan manusia yang menyebabkan kerugian ataupun kehilangan nyawa bagi makhluk hidup terutama bagi manusia serta material maupun penurunan daya dukung lingkungan akibat terbatasnya kemampuan lingkungan dalam mengikuti peningkatan populasi manusia di bumi untuk memulihkan kapasitas sumber daya kehidupan.
Sedangkan Mitigasi adalah bagian dari pengurangan risiko yaitu menjinakan, oleh karenanya, pengolahan manajemen risiko yang komprehensif terhadap ancaman bencana sangat dibutuhkan untuk mengurangi kerugian akibat bencana geologis, bencana klimatologi dan bencana sosial dalam suatu tata ruang lingkungan.
DINAMIKA MANUSIA
Manusia adalah dinamisator lingkungan yang paling kuat. Mengutip buku Guns, Germ and Steel karya Geografer Jared Diamond, bahwa posisi geografis mempengaruhi perilaku dan dinamika sosial masyarakat dalam menciptakan peradaban manusia di muka bumi, memiliki kemampuan logika dalam mengeksplorasi sumber daya alam dengan penyesuaian dengan lingkungan, beradaptasi berbagai perubahan lingkungan dengan daya logis yang diciptakan melalui ilmu pengetahuan dan teknologi yang membentuk peradaban dan budaya mereka.
Dengan peradaban iptek ini manusia menciptakan budaya dan sekaligus juga berhadapan dengan kondisi yang kini mengancam kehidupan mereka melalui berbagai perusakan lingkungan di muka bumi, budaya yang tercipta, tergali dari alam kadang kini diabaikan sehingga menimbulkan permasalahan bencana lingkungan, berbagai kearifan yang mengutamakan unsur-unsur kolektivitas dalam menjaga keserasian alam mulai terkikis, akibat adanya egoisme diri, pembangunan yang ada kadang tidak dilengkapi oleh mekanisme demokratis sehingga mendorong masyarakat mencari tempat hunian di daerah rawan bencana, sehingga hal ini menimbulkan kompleksitas bencana dalam suatu tata ruang sehingga akar permasalahan semakin kompleks.
Dinamika kearifan budaya manusia seharusnya menjadi pengendali konflik tata guna lahan, dapat memfasilitasi kepentingan yang tersembunyi dari keserakahan individu dalam pemanfaatan kondisi lokal untuk keberlanjutan hidup masyarakat yang di daerah rawan bencana, lihat kejadian bencana lingkungan kabut asap dari kebakaran lahan dan hutan untuk perluasan perkebunan, kepentingan ekonomi.
KOMPLEKSITAS BENCANA
Mengkategorikan beberapa model bencana lingkungan sebagai upaya untuk mengurangi tingkat bencana di tengah masyarakat dan lingkungan hidup berdasarkan jenis ancamannya perlu dipahami lebih dulu dan sosialisasi secara berkala antara lain yaitu Pertama, penyebab bencana bisa berasal dari ancaman alam dan berasal dari ancaman buatan manusia. Bila dua jenis kategori ancaman ini bersamaan menyumbangkan bencana akan menimbulkan resiko lost generation dan multi crisis bagi dunia.
Kedua, berdasarkan frekuensi dan resiko bencana dapat diketahui masyarakat melalui kekerapan terjadinya berbagai jenis bencana yang terjadi lebih dari satu jenis bencana, sebagai contoh bencana banjir yang sering terjadi dengan frekuensi lebih dari sekali dalam sebulan yang menghasilkan bencana banjir yang sering terjadi di Indonesia akan menimbulkan dampak resiko yang menjadi lebih besar bagi aktivitas manusia dengan berbagai efek yang mengikutinya, misalnya terputus jalur logistik, jalur transportasi, kendala penerbangan, korban tidak pernah menurun. (Studi kejadian, bencana banjir Jakarta dan beberapa kabupaten di NAD).
Ketiga, dengan frekuensi bencana yang sering terjadi akan diketahui tingkat durasi dampak berdasarkan cepat atau lamanya kejadian yang dirasakan, misalnya gempa bumi, ataupun bencana banjir bandang yang dapat tercatat dalam hitungan beberapa menit atau jam, sedangkan bencana kekeringan bisa dalam hitungan bulan atau tahun. Durasi dampak bencana perlu diingat karena kejadiannya akan sering berulang sehingga perlu budaya SOP mitigasi secara menyeluruh. (Letusan gunung api di beberapa wilayah di Indonesia).
Keempat, dengan mengetahui durasi dampak bencana maka diketahui kapan laju kecepatan bencana terjadi, laju kecepatan terjadinya suatu bencana dapat dihubungkan dengan jarak antara gejala/indikator yang bisa diprediksi. Contoh, khususnya gempa bumi dapat dikategori dalam lingkup yang tidak diprekdisi kapan terjadi namun siklus kejadiannya dapat diperkirakan, namun tsunami terjadi tiba-tiba dan antara jarak lokasi bahaya dengan indikator dalam hitungan menit sebelum kejadian bencana menimpah suatu kawasan (Belajar atau pelajaran dari gempa dan tsunami Aceh dan Mentawai).
Kelima, berdasarkan lingkup ukuran dampak bencana bisa mencakup beberapa luas kewilayahan. Misalnya letusan gunung Sinabung hanya berdampak beberapa wilayah, seperti hembusan awan panas ke Medan dalam ukuran wilayah terbatas, sedang kekeringan bisa mencakup beberapa kota/kabupaten, propinsi atau suatu negara.
Keenam, berdasarkan potensi merusak maka masyarakat perlu membuat kategori perencanaan darurat dalam suatu wilayah, misalnya bencana banjir yang menyebabkan kematian manusia, memberikan kerugian ekonomi yang lebih besar tingkat kepulihan dalam bentuk bulanan. Ketujuh, bencana ada yang dapat diprediksi dan ada tidak dapat diprediksi dan memerlukan suatu kajian penataan ruang karena mencakup aspek luasan dampaknya seperti bencana gempa bumi sulit diprediksi.
BUDAYA SOP
Berdasarkan pemahaman kompleksitas dari bencana, maka komponen-komponen infrastruktur yang terbangun merupakan upaya pemenuhan kegiatan pengurangan resiko bencana. Namun belum diimbangi oleh pengetahuan dan pemahaman serta tindak nyata warga terkait pengurangan resiko bencana belum seimbang dengan prasarana dasar lingkungan permukiman yang telah terbangun.
Bertitik tolak dari berbagai bencana lingkungan yang berlangsung di Indonesia, maka perlu ditingkat budaya SOP mitigasi bencana lingkungan dalam kehidupan masyarakat Indonesia terutama yang paling mendesak adalah peningkatan kesadaran penyelamatan dan pelestarian hutan serta terumbu karang sebagai upaya pengendali minimal mengurangi efek perubahan iklim global yang kini sangat terasa di Indonesia, perlu upaya peningkatan pengetahuan dan pemahaman serta keterampilan pengetahuan lingkungan dalam menghadapi bencana. Kegiatan yang perlu ditingkatkan adalah membudayakan SOP mitigasi komprehensif dari tingkat komunitas dan atau desa/kelurahan untuk menghasilkan daya tahan terhadap bencana.
Sistim SOP mitigasi yang komprehensif tidak akan berjalan dengan baik jika tidak didukung oleh pola koordinasi organisasi yang tertata rapi. BNPB sebagai koordinasi penanggulangan bencana harus memiliki mobilitas yang tinggi dalam bergerak cepat untuk melakukan koordinasi antar lembaga dengan membangun serta menerapkan sistim informasi daerah bahaya dan terdapat potensi terjadinya bencana. Kerjasama antar lembaga riset dan perlu ditingkatkan untuk membangun kapasitas kesiagsiagaan, berupaya meretas rumitnya jalur biroktrasi manajemen pananggulangan bencana di Indonesia.
Pemerintah sekarang, harus memiliki visi kebencanaan yang tegas sesuai Undang-undang yang ada, agar penanganan bencana dalam kehidupan masyarakat maupun pemangku kepentingan tidak menggunakan istilah ”bencana dulu baru belajar kemudian”, budaya pikiran seperti ini seharusnya tidak lagi menjadi landasan/pegangan hidup di negeri yang telah diciptakan sebagai negeri yang bermacam menghadapi bencana dengan berbagai variasi tingkatan bahaya. Agar masyarakat tidak terkaget-kaget, panik dan menyebarkan isu-isu yang tidak bertanggung jawab ketika terjadi bencana, melemparkan tanggung jawab sehingga menimbulkan euforia ketakutan, serta pembiaran kerusakan lingkungan seperti kebakaran hutan sehingga menimbulkan bencana kabut asap antar negara.
Dengan pemahaman visi kebencanaan serta berbagai peraturan penanggulangan bencana dalam kehidupan masyarakat Indonesia, maka niscaya kita akan memiliki serta terbentuk sebuah masyarakat dan lingkungan yang tangguh menghadapi bencana, mandiri serta mampu membangun kapasitas dalam memulihkan diri dengan segera dari berbagai trauma bencana.
M. Anwar Siregar
Enviromental Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer. Tulisan ini sudah dipublikasi di HARIAN ANALISA MEDAN, Januari 2015
http://analisadaily.com/lingkungan/news/memahami-bencana-lingkungan-dalam-kehidupan/97246/2015/01/11

TAHUN 2015 : WASPADA TRIBENCANA GEOLOGIS-KLIMATOLOGIS : Geologi Disaster

TAHUN 2015 : WASPADA TRIBENCANA GEOLOGIS-KLIMATOLOGIS
Oleh M.  Anwar Siregar
Sepanjang tahun 2014, Ibu pertiwi tidak pernah absen berduka cita, dari kehadiran bencana geologis (gempa, gunungapi meletus dan gerakan tanah/longsor) serta bencana klimatologis yang terus hadir silih berganti “arisan bencana” banjir (curah hujan tinggi), angin puting beliung, cuaca iklim ektrim serta gelombang air laut dan kebakaran (kabut asap hutan, perkebunan dan pertambangan, dan terakhir musibah hilangnya pesawat air asia QZ 8501 akibat cuaca ekstrim di langit udara Indonesia.
Dampak dari dua jenis bencana ini sangat mengancam kondisi kewilayahaan Indonesia, ancaman bagi ekosistim lingkungan dan tata ruang wilayah Indonesia, ancaman bagi keberlangsungan umat manusia, mengingat kondisi Indonesia rentang untuk segala jenis bencana, dan perlu upaya untuk meningkatkan kemampuan kualitas dan kapasitas masyarakat dalam mengatasi berbagai ancaman tribencana geologis dan klimatologis di masa mendatang.
KADO AKHIR TAHUN
Rentetan bencana banjir dalam satu dasawarsa ini, lempeng bumi Indonesia terus menggeliat aktif sejak guncangan gempa tektonik dengan diiringi oleh tsunami maut yang terjadi di Pantai Barat Sumatera dengan titik hunjaman berada di patahan Aceh Desember 2004 merupakan peristiwa relaksasi bumi yang belum seimbang, akan terus menimbulkan korban bencana bagi manusia dan tak terhitung nilai harta benda yang menjadi korban.
Perhatian kita selama tahun 2014 tentang bencana menunjukan ada data peningkatan jumlah bencana dan jumlah korban serta kerusakan infrastruktur dan kemampuan kapasitas mitigasi masyarakat belum ada perubahan yang signifikan, tetap saja wilayah yang rawan bencana geologis dan klimatologis di huni walau sudah di peta secara tematik, tetap saja ada masyarakat “menerobos”. Padahal ancaman bencana kebumian itu tetap ada dan dapat terjadi kapan saja. Sebab, hingga sekarang tidak ada satupun manusia, satu Negara di bumi unggul dalam bidang dan budaya teknologi yang mumpuni jika berhadapan langsung dalam daulat bencana alam di muka bumi ini.
Pelajaran berharga untuk ini, lihatlah musibah badai Hasugit di Flipina dan gempa di Tiongkok, ataupun di Amerika Serikat yang memiliki teknologi super power belum mampu mengurangi jumlah korban jiwa dan infrastruktur.
Kita sudah mengetahui, bahwa bumi tempat kita beraktivitas itu memiliki “nyawa”, menggeliat, bergerak melalui suatu yang disebut plate atau “lempeng” karena ada unsur panas di dalam, yang sebagai energi penggerak, jika dari hal ini kita sudah ketahui, maka pengurangan dan penguraian bencana korban dapat di tekan melalui penataan daya dukung lingkungan.
Dalam konsep daya dukung lingkungan untuk mengendalikan bencana seperti yang terjadi sepanjang 2014, kehidupan manusia yang tergantung pada kapasitas pengendalian produksi terutama pemanfaatan sumber-sumber daya alam serta alih fungsi lahan hutan yang berlebihan dapat menjadi ancaman bagi manusia, bahwa kapasitas produksi dan ekosistem dalam penggunaan ditingkat minimum dan integritas ekosistem sangat esensial bagi ketahanan kehidupan manusia. Faktor inilah yang selalu diabaikan dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, terabaikan fungsi integritas sumber daya lingkungan dengan faktor ekonomi, sehingga kapasitas cadangan kadang tidak tercukup, tidak terpenuhi, kadang tidak ada konsep rehabilitasi dan terus berupaya menggali di tempat yang lain tanpa peduli esensi lingkungan tersebut (kasus ini banyak terjadi di Pulau Jawa, Aceh, Riau dan Sumsel serta Kaltim).
Dalam kerangka ekologis bencana alam oleh kejadian tersebut diatas, hal ini banyak dilupakan oleh manusia sehingga sepanjang tahun sering terjadi musibah bencana geologis terutama gerakan tanah dan klimatologis diwakili oleh bencana banjir dan banjir bandang serta kabut asap, dampak kerusakan ekosistem akibat tingkat kegiatan pembangunan atau tingkat ekonomi yang terus mengejar keuntungan sehingga melewati daya dukung lingkungan. Hal itulah yang terjadi dibeberapa kota yang mengalami musibah banjir dan gerakan tanah longsor sebagai bonus bencana akhir tahun.
Kado akhir tahun bencana 2014 itu adalah bencana longsoran maut di Banjarnegara bulan Desember, letusan gunungapi Sinabung Tanah Karo mulai memuncakan erupsi lagi juga bulan Desember dan letusan gunung Gamalama di Ternate akan berlanjut terus serta gempa bumi Halmahera kembali bergoyang dan banjir dibeberapa wilayah Kabupaten di Provinsi Aceh bulan November dan Desember, banjir di Riau akibat kerusakan hutan dan kabut asap pada bulan Oktober-November, lalu disusul bencana angin puting beliung di Jawa Timur, lalu banjir di Jakarta, Cilacap dan Kabupaten Bandung di bulan Desember 2014 dan beberapa daerah lainnya.
WASPADA BENCANA 2015
Gejala bencana tahun 2014 masih akan berlanjut ke tahun 2015, diprediksi dengan diawali rutinitas banjir Jakarta, Semarang dan Bandung di Jawa. Di Sumatera diawali oleh Sumatera Utara di empat wilayah kota yang berlangganan banjir seperti Medan, Madina, Tebing Tinggi dan Labuhan Batu (sudah dimulai di Labura), data diperoleh dari pengamatan fenomena bencana yang sering melanda daerah tersebut selama lima tahun berturut-turut hingga ke bulan Februari sebagai puncak musim hujan dan kualitas daya dukung hutan serta pola tata ruang drainage dan sistem irigasi atau bendungan air serta daerah tangkapan air di daerah tersebut sangat buruk.
Bencana Geologis yang perlu diwaspadai di Sumatera adalah bencana gempa bumi di sekitar pantai barat sumatera, patahan daratan sumatera di Aceh Singkil, Aceh Tenggara dan Liwa. Gunung Sinabung meletus di Tanah Karo, gerakan tanah sepanjang jalinsum di Sumatera Utara di ruas tebing Danau Toba menerus ke Taput dan Tapsel khususnya di Aek Latong kecil, menerus ke Madina serta Sumbar (Sudah terjadi di jalinsum Pasaman Selatan-Pasaman). Bencana klimatologis mengancam Sumatera di wilayah perairan Nias-Selat Mentawai dan Sunda, musibah banjir di Madina, Labuhan Batu sebagian Tapsel. Begitu juga diwilayah Jambi dan Riau karena banyak sungai-sungai yang telah mengalami pengikisan erosi lateral di Hilir dan gundul hutan di Hulu. Bencana kebakaran hutan yang menghasilkan kabut asap dapat menyebabkan jarak pandang semakin pendek, yang membahayakan penerbangan di Sumatera Selatan, Babel, Jambi dan khususnya Riau sebagai sumber utama “jerabu”, angin puting beliung mungkin bisa saja terjadi di beberapa propinsi di Sumatera dan Jawa.
Curah hujan yang tinggi akan banyak terjadi di awal tahun, seperti pada tahun-tahun sebelumnya dampak perubahan iklim ekstrim sering tidak dapat diprediksikan secara tepat kapan datangnya karena kualitas lingkungan saat ini telah mengalami deforestasi dan degradasi yang semakin parah disebabkan alih fungsi lahan hutan yang produktif, kerusakan prasarana infrastruktur bendungan dan daerah resapan air yang belum di rehabilitasi secara optimal yang akan memperbesarkan peluang terjadinya bencana banjir kiriman.
TANTANGAN 2015
Isu mengenai bencana alam kebumian perlu terus disosialisasikan agar terbentuk masyarakat yang tangguh menghadapi bermacam bencana di wilayah Indonesia, penting untuk diingatkan tentang kebencanaan dikemukakan agar kita diingatkan terus menerus untuk selalu waspada dan  mengantisipasi ancaman bencana kebumian di Indonesia. Karena bumi Indonesia berada di daerah rawan gempa bumi, vulkanik, longsor, angin puting beliung, badai tropis dan lain-lain, posisi Indonesia berada dalam jalur pertemuan tiga lempeng aktif bergerak, dan semua jenis bencana itu akan hadir dengan tiba-tiba, memerlukan suatu konsep fundamental budaya masyarakat dalam memandang tantangan bencana.
Ke depan, perlu diimplementasikan konsep daya dukung lingkungan dengan kapasitas masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim ekstrim, peningkatan kualitas lingkungan hidup dimungkinkan apabila pola dan tingkat kegiatan produksi dan konsumsi sesuai dengan kapasitas sumber daya alam dan preferensi masyarakat untuk mengurangi secara berlebihan penggunaan sumber daya alam dan lingkungan dalam usaha mengurangi resiko bencana kebumian menjadi perilaku dan kebiasaan keseharian, antara daya dukung sumber daya lingkungan dengan integritas fundamental diri sangat dibutuhkan masyarakat untuk menghadapi tantangan bencana 2015, untuk meredam trauma psikologis bencana di daerah rawan bencana.
M. Anwar Siregar


Enviromental Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer. Tulisan ini sudah dipublikasi di HARIAN ANALISA MEDAN, Januari 2015
http://analisadaily.com/opini/news/tahun-2015-waspada-tribencana-geologis-klimatologis/98209/2015/01/14 

17 Mar 2015

Waspadai Tanah Longsor Aek Latong : Geologi Disaster

Waspadai Tanah Longsor Aek Latong

Oleh: M. Anwar Siregar.

Gambar : Foto menunjukan longsoran di sekitar 100 meter dari Telaga Maut ALS, foto tahun 2013 (Sumber : Dok Foto Penulis)

Longsoran yang sering terjadi merupakan implikasi dari berbagai parameter geologis yang sedang bekerja di wilayah Aek Latong dan berkorelasi langsung dengan segment Patahan Semangko di lembah tektonik Sarulla. 
Hasil pengamatan langsung penulis dilapangan menemukan berbagai ancaman bencana gerakan tanah dalam dua tahun mendatang di beberapa titik jalur Aek Latong baru, yang akan memutuskan jalur logistik antar propinsi. 
Banyak data lapangan yang pernah penulis ajukan dalam konsultansi saran lingkungan untuk pembangunan jalur baru Aek Latong pada tahun 2011 lalu sebagai pengganti jalan Aek Latong lama, tidak dimanfaatkan sebagai rujukan informasi mitigasi geologi jalan dan jembatan maupun pola tata ruang ekologi untuk menekan dampak kerusakan longsoran terhadap tata guna lahan sebagai investasi masa depan tata ruang Sipirok.
Penulis temukan ada 11 titik elemen rekonstruksi gejala longsoran mematikan dan sudah mulai dengan longsoran kecil yang terjadi dalam dua minggu berturut-turut di Desa Bulu Payung, yang nyaris membawa korban lagi bus ALS. Lokasi longsoran ini merupakan gambaran masa depan bencana gerakan tanah yang terjadi berikutnya.
Data ini bukan untuk menakutkan pengguna jalan di wilayah tersebut tetapi bahan antisipasi agar siap menghadapi segala kemungkinan karena penulis mendata wilayah tersebut dari berbagai aspek parameter geologis, teknik rekayasa (geologi teknik sipil), geohidrologi, seismik batuan, geologi foto udara dan pengukuran deformasi fisik dengan GPS serta pengalaman penulis mengamati berbagai jenis bencana geologi.
Geologis Longsoran
Daerah gerakan tanah di Kecamatan Sipirok sudah penulis petakan sejak tahun 2010 sebelum pembangunan Aek Latong Baru dan termasuk juga dalam rapat konsultansi saran untuk kondisi lingkungan dari sudut aspek geologi Aek Latong baru. Geologis longsoran gerakan tanah di Sipirok diamati melalui beberapa parameter geologi yang pernah penulis usulkan dalam rapat-rapat konsultansi pembangunan jalan baru Aek Latong yang sekarang, karena ditemukan titik longsoran yang akan terjadi di masa mendatang dan ternyata terjadi di lokasi yang sama sekarang, yaitu track 33 dan 31 dari arah Desa Buluh Payung ke Sipirok
Faktor geologis masih bertransformasi di wilayah Sipirok untuk membentuk deformasi tatanan geologis yang semakin rumit khususnya di Aek Latong, termasuk daerah dengan tingkat kerentanan gerakan tanah yang sangat tinggi dengan meliputi 60 persen luas wilayahnya berada dalam ancaman gerakan tanah tinggi disebabkan oleh beberapa elemen faktor geologis yang sudah terpetakan tetapi masih belum juga di jadikan dasar informasi untuk investasi pembangunan jalan, jembatan dan tata ruang hijau maupun prasana fisik lainnya antara lain di kondisikan pertama, Faktor Topografi Sipirok
Daerah longsoran Aek Latong itu sudah sesuai dengan data Peta Kerentanan Gerakan Tanah (KGT) Sipirok yang dipetakan oleh tim penulis dengan zona kerentanan gerakan tanah tinggi dan tidak akan pernah berhenti. Tipe gerakan tanah di Aek Latong meliputi gerakan tanah rayapan dan longsoran di Desa Purba Tua terdapat dua titik, satu diantaranya masuk morfologi atau topografi terjal dan merupakan titik pertemuan langsung zona patahan lembah Sarulla, Titik longsoran 3-5 berada di jalur dinding penahan longsoran yang telah retak dan akan membesar bersama dengan waktu berlalu, berjarak 125 meter ke arah masuk Aek Latong Baru. Titik 6-7 berada di track 31 dan 33 arah keluar ke Taput, keduanya berjarak 20-50 meter, dan 8-9 berada di Telaga Maut ALS, keduanya berjarak 100 meter serta dua titik gerakan tanah bulanan berjarak 200 meter dari Telaga Maut ke Desa Bulu Payung.
Kedua, faktor geohidrologi. Data Peta Geohidrologi Regional yang penulis telah kompilasikan dalam bentuk peta Hidrogeologi Tapanuli Selatan diketahui bahwa wilayah Sipirok memiliki sumber daya air dengan produktivitas tinggi, dengan susunan litologi batuan yang mudah meluluskan air, mudah terjadi rembesan air tanpa terbendung atau aquifer pembawa air yang tak tertekan, serta curah hujan yang sangat tinggi.
Geologis air sangat berperan dalam memproses kehancuran kekuatan material tanah dan batuan, air berfungsi sebagai “oli” untuk melincin jalannya kehancuran, membantu material lepas, mendorong material bergeser lalu membuka kekuatan luar di sisi tebing maupun badan jalan sehingga akan terbentuk berbagai jenis gerakan tanah.
Ketiga, faktor seismik gempa. Faktor yang sangat menentukan untuk pengkajian resiko gempa untuk desain pembangunan sarana fisik dan aktivitas manusia (transportasi) di wilayah Aek Latong. Peta Satuan Formasi Batuan Sipirok menujukkan bahwa daerah ini tersusun oleh satuan yang belum padat dan Peta Pedologis juga menunjukan bahwa susunan material tanah yang menyusun pondasi jalan dan dinding penahan longsoran Jalan Aek Latong Baru itu merupakan sisa tanah pelapukan batuan vulkanik Nabirong dan Sibual-Buali dan Toba Purba yang ditujukan dengan tidak ditemukan batuan yang sangat keras. Percepatan puncak dasar batuan di Aek Latong sekitarnya berlangsung 100 tahun, menunjukkan batuan terus mengalami penghancuran dengan gempa a-seismik berlangsung kontinu sepanjang tahun dengan ditemukan zona hancuran di titik 31 dan 33 serta 100 meter dari Telaga Maut ALS.
Keempat, faktor stratigrafi batuan dan elastic rebound lanslides. Faktor ini disebabkan adanya zona hancuran batuan yang berulang dan memerlukan pijakan yang stabil maka akan mendorong wilayah yang stabil tertekan. Bekas gerakan tanah lama memerlukan “selimut” untuk mengobati luka sehingga mendorong adanya mobilisasi penekanan pada ruas patahan disegmen Renun Toru khususnya di patahan lokal Aek Latong. Penjalaran seismik akan menggoyang kekuatan tanah menjadi “bubur”, akibatnya akan ada selalu daerah sembulan, penurunan, penghancuran dan peregangan di Aek Latong sekitarnya. 
Kelima Faktor Ekologi gerakan tanah, jika diamati sepanjang jalan Aek Latong tanpa bukit-bukit seperti gersang sehingga air mudah sekali muncul kepermukaan sehingga dinding penahan longsor justrunya mudah retak dan hal ini sudah pernah penulis usulkan berupa saran peredam seismik dan sabuk hijau terutama tanaman yang pengakaran kuat.
Rekonstruksi Longsoran
Jika direkonstruksi gejala alam longsoran di masa mendatang, akan ada beberapa zona yang akan menjadi “PR” rumit, mulai dari Selatan disekitar Desa Purba Tua ke arah masuk Aek Latong Lama dan Baru terdapat zona hancuran, satu terjadi penurunan tajam di Aek Latong Lama, satu gejala longsoran ada diperbukitan tinggi Aek Latong baru, membentuk lembah dengan huruf “V”. 


Gambar : Papan Informasi gerakan tanah di Aek latong Baru, informasi tentang kerentanan gerakan tanah yang sering berlangsung di Aek Latong (Sumber : Dok Foto Penulis, 2013)


Daerah ini perlu faktor ekologis untuk di tanam di dinding Barat Aek Latong baru dan elastic rebound seismik untuk menangkal guncangan berganda di kearah punggung bukit Timur ke Timurlaut Aek Latong Baru. Zona longsoran berikutnya yang diperkirakan terjadi di sebelah Baratdaya sekitar Telaga Maut Latong, terdapat dua zona patahan saling menekan, satu struktur meninggi  menyebabkan longsoran sepanjang 50 meter, kedalaman 85 meter dengan pergeseran dan ketinggian datum yang berbeda mencapai 2o dan sebelah Timurlaut terjadi penurunan yang menekan dinding lembah Sarulla dan Gn. Tapulon Anjing.
Gejala turun naik permukaan akibat dampak ayunan seismik dengan membentuk sudut anggular tajam 100 meter ke dalam, membentur dinding perbukitan terjal yang telah mengalami pensesaran dengan ciri terjadinya longsoran sisi tebing barat ke arah Taput di Desa Bulu Payung pada bekas tubuh gunung Hella Toba. Daerah ini perlu peredam seismik dengan bantalan karet pada daerah bekas longsoran bukan sistim bronjong karena merupakan daerah gerakan tanah silih berganti setiap tahun. 
Dana pembangunan Rp 66 milyar itu sepertinya sia-sia membangun Aek Latong baru karena upaya pencegahan longsor dengan brojong belum mampu mengatasi kerusakan badan jalan karena mengingat energi seismik terfokus pada tiga zona hancuran yaitu di Utara, Timur dan Baratdaya Aek Latong.
(Penulis adalah Enviromental Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer) Dipublikasi HARIAN ANALISA MEDAN, Tgl 28 Desember 2014

http://analisadaily.com/lingkungan/news/waspadai-tanah-longsor-aek-latong/93648/2014/12/28

Memahami Longsor Banjarnegar : Geologi Disaster

Sumber ilustrasi : Analisa daily

Memahami Longsor Banjarnegara di Zona Rawan Vulkanik

Oleh: M. Anwar Siregar
Longsoran yang terjadi baru-baru ini di wilayah Kabupaten Banjarnegara, merupakan implikasi dari berbagai parameter geologis yang sedang bekerja di wilayah daerah rawan gempa dan vulkanik, Kabupaten Banjarnegara sangat dekat dengan zona patahan sesar opak serta dikontrol juga oleh zona busur vulkanik di era geologi kuarter, karena bahan rombakan serta batuannya belum kompak sehingga sering terjadi longsoran dahsyat berulang kembali setelah tahun 1955, 1972, 2000, dan 2007 lalu, seperti juga yang terjadi longsoran di Desa Bulu Payung (Tapsel) dan Sibabangun (Tapteng, November 2014) adalah akibat perpindahan material dampak dari beberapa aktivitas tekanan dalam bumi dan berkorelasi langsung dengan segment Patahan Semangko di lembah tektonik Sarulla-Toru, serta diatas permukaan akibat tekanan gangguan oleh manusia melalui pembangunan infrastruktur fisik.
Tanah longsor adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, runtuhan dan rombakan tanah atau material campuran yang bergerak ke bawah atau keluar lereng. Proses terjadinya tanah longsor dapat diterangkan sebagai sistim kerja faktor geologis air, yaitu air yang meresap kedalam tanah akan menambah bobot tanah, berfungsi juga sebagai pelumas “oil”, jika air tersebut menembus sampai tanah kedap air yang berperan sebagai media bidang glincir, maka tanah menjadi licin dan tanah pelapukan diatasnya akan bergerak mengikuti lereng dan keluar lereng oleh gaya tarik bumi (gravitasi).
Daerah dengan kerentanan gerakan tanah yang berulang perlu suatu tindakan pemahaman sistim investasi rehabilitasi lahan dalam jangka tertentu, gerakan tanah yang sering berulang di Banjanegara merupakan gambaran siklus puluhan tahun, karena sebelumnya sudah pernah terjadi bencana dahsyat gerakan tanah di lokasi yang hampir sama, begitu juga halnya dengan kondisi geologi gerakan tanah di Aek Latong, Sumut.
Banjir Bandang VS Gertan
Banjir bandang selalu membawa serta lumpur yang pekat dan material rombakan seperti batu-batuan dan pepohonan, komponen yang mematikan dari banjir bandang bukan disebabkan oleh arus air melainkan material rombakan seperti lumpur, potongan kayu yang menimbun lokasi pemukiman, pertanian dan infrastruktur.
Jadi, apa hubungan banjir dengan gerakan tanah (gertan/longsoran), ini adalah sebuah pertanyaan didalam benak masyarakat? Dalam istilah geologi, banjir bandang disebut debris slide atau debris avalache atau longsor, banjir bandang yang menyebabkan terjadinya perubahan kondisi geologi tanah bukan disebabkan oleh curah hujan. Memang jika kita perhatikan, bahwa curah hujan dapat saja mempercepatkan gerakan tanah namun jika di daerah itu kondisi geologinya stabil, jauh dari zona patahan bumi serta lajur magmatik gunungapi maka tidak akan menyebabkan atau sebagai pemicu gerakan tanah walau hujan deras lebih dari tiga jam secara terus menerus.
Faktor utama yang mendasar sebagai penentu terjadinya longsoran dahsyat dalam radius 200 meter di daerah Banjarnegara, Aek Latong dan Sibabangun serta Aceh Singkil adalah kondisi geologi daerah tersebut. Prakondisi geologi yang menjadi penyebab terjadinya longsoran adalah derajad kekompakan dan derajad kohesif batuan dan tanah dari suatu daerah. Daerah seperti Banjarnegara merupakan tanah hasil berbagai erupsi gunungapi yang ada disekitarnya seperti Gunung Merapi, Gunung Slamet, Gunung Pengamun-amun dan Perbukitan Gendol serta Tinggian Dieng, sehingga daerah disekitar Banjarnegara merupakan daerah terpusat pengumpulan bahan hasil rombakan yang lunak dari gunung api berubah seperti “bubur”, bahan yang lunak ini dikenal sebagai lempung yang mengembang (expansive clay), sering menyebabkan longsor dalam radius sepanjang lebih 200 meter dari puncak bukit ke daratan rendah atau kaki perbukitan.
Sebaliknya, jika tanah dan massa batuan di suatu daerah yang massif atau padat, kompak dan kohesif serta walaupun lahan bukitnya telah mengalami penggundulan dan curah hujan sangat tinggi, tidak akan terjadi longsor, yang terjadi adalah aliran permukaan tanah bergerak dengan kecepatan tinggi dan menimbulkan banjir di hilir tetapi bukan longsor. Longsor terjadi jika kondisi geologi daerah itu memang rawan atau rentan bagi terjadinya longsor (susceptibele to landslide).
Bandingkan juga hal ini dengan kondisi geologi Aek Latong dan Sibabangun, kedua daerah ini memang rawan bencana gerakan tanah karena berada dalam radius patahan gempa, jalur magmatik gunungapi dan kemiringan tanah topografinya sangat curam dan berusia geologi kuarter (berusia masih muda) (disari sebagian dari Diklat Mitigasi Bencana Gerakan Tanah, ESDM 2011).
Topografi Rawan Longsor
Geodinamika suatu daerah pegunungan, seperti kejadian longsoran di Banjarnegara ataupun Aek Latong, longsoran dibagian kaki perbukitan dapat dipicu oleh berbagai kegiatan di puncak perbukitan/pegunungan dan bergantung pada kesetimbangan tata air bawah tanah dengan naik/turunnya atau maju mundurnya permukaan air bawah tanah yang menjadi jenuh ke bidang glinciran, akan memicu longsoran ke kaki perbukitan.
Dari berbagai gambar yang dimunculkan oleh berbagai media Nasional tentang longsoran di Banjarnegara itu nampak seperti telah dijelaskan didepan, tipologi gerakan tanah diawali oleh terjadinya gangguan di puncak bukit oleh aktivitas manusia, kondisi alam yang bersifat statis seperti karakteristik topografi dengan derajat kemiringan lebih dari 20 derajat hingga 45 derajat, lapisan tanah tebal akibat mengalami proses-proses pelepasan kekuatan material telah mengalami pelapukan. Sehingga kandungan air meningkat tajam ketika curah air hujan meresap ke dalam tanah atau ke sungai serta dapat mengganggu kesetimbangan dan kestabilan lereng sepanjang kaki perbukitan, meresap ke bidang gelinciran atau bidang patahan yang membentuk retakan seperti tapal kuda pada bagian atas tebing sehingga akumulasi air membentuk retakan-retakan kecil sebelum bergabung menjadi satu kesatuan yang besar untuk membuat gerakan tanah yang luas seperti kita lihat pada bencana longsoran Banjarnegara.
Selain itu, faktor penyebab terjadinya longsoran adalah pemotongan tebing (cliff cut) untuk jalan raya, adanya sedimentasi pada lapisan tanah tebal dan memberikan beban tambahan pada lereng akibat oleh pembangunan infrastruktur seperti perumahan di perbukitan atau pada daerah bergelombang/lereng topografi menengah < 35 derajat selain peranan air pada aliran massa tanah, massa tanah yang kering juga dapat bergerak mengalir (flows) ke arah lembah, kadang bergerak sedang dan bergerak lambat untuk bersama secara mantap membentuk bidang longsoran dengan kecepatan 1-5 m/tahun 1-5 m/bulan. kenampakan lapangan adalah deretan pohon pinus menjadi miring dan sebagian rebah, sebagian badan jalan ikut terbawa longsor, retak dan terbelah.
Fenomena kejadian inilah yang menimpa longsoran tanah dengan model gerakan tanah rayapan yang senantiasa bergerak meskipun perlahan, lambat dalam kecepatan 1-5 meter per tahun di Banjarnegara.
Mitigasi Longsor
Zona longsoran yang terjadi di Desa Karangkobar Kabupaten Banjarnegara merupakan Zona Kerentanan Gerakan Tanah Tinggi, Daerah Karangkobar hingga Merawu di Banjarnegara dialasi oleh batuan yang sebenarnya bergerak. Secara geologi daerah itu terdesak dari bawah ke arah selatan. Karena batuan alas ini berupa lempung dan napal, semuanya seakan-akan teremas-remas. Sejumlah bukti geologi, menyebutkan terjadi penerobosan magma dan rombakan yang berakhir ke kali Merawu sehingga dapat memperpendek umur Waduk Mrica atau waduk bendungan PLTA Panglima Jenderal Sudirman yang ada di wilayah Karangkobar.
Peta Zona Kerentanan Gerakan Tanah (PZKGT) sangat penting menjadi basis utama mitigasi dalam pengembangan wilayah untuk tata ruang desa, kota dan kabupaten, basis bagi perencanaan konstruksi jalan, jembatan, bendungan, pemukiman dan lain-lain dengan melakukan sosialisasi peta KGT kepada masyarakat luas terutama pada masyarakat yang bermukim di daerah rawan longsor untuk mengendalikan kerusakan lingkungan dan pengurangan jumlah kerugian dan korban jiwa. ***
Penulis adalah Enviromental Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer. Dimuat Di HARIAN ANALISA MEDAN Tgl 18 Desember 2014

5 Mar 2015

IRONI TIONGKOK DI DAERAH RAWAN GEMPA

IRONI TIONGKOK DI DAERAH RAWAN GEMPA
Oleh M. Anwar Siregar
Gempa berkekuatan 6,3 SR mengguncang Tiongkok Barat Daya, Minggu (3/8), telah menewaskan 367 orang dan mencederai sekitar 1.400 lainnya. Daerah terparah berada di  wilayah pegunungan terpencil di provinsi Yunnan, yang berada di ujung kaki patahan Longmen Shan, menyebabkan sejumlah bangunan ambruk, termasuk sekolah-sekolah. Sumber United State Geology Survei (USGS) menyatakan gempa tercatat pada kedalaman dangkal kurang lebih 10 km. Media pemerintah Tiongkok melaporkan gempa sangat kuat dirasakan di Yunan, maupun di provinsi tetangga, Guizhou dan Sichuan, semua kota tersebut terletak di daerah patahan gempa aktif.
Yang menimbulkan pertanyaan bagi penulis dan juga sebagaian masyarakat dunia adalah kenapa Tiongkok yang terkenal dengan kemampuan membangun arsitektur gedung bertingkat tinggi dan tercepat dimuka bumi tidak berdaya menghadapi ancaman bencana gempa bumi?
 Gambar : Patahan Longmen Shan, (sumber : dari berbagai sumber)
DAERAH RAWAN GEMPA
Bencana geologis seperti gempa bumi selalu memiliki siklus, bahwa alam sebenarnya telah memberikan tanda-tanda untuk dipelajari manusia, untuk meminimalisasi bencana gempa, bahwa gempa diwilayah Pegunungan Yunan merupakan wilayah yang di lintasi Patahan Longmen Shan yang memiliki karakteristik zona patahan yang membentang lebih dari 240 km di sepanjang dasar Gunung Longmen Shan, Bagian depan gunung memiliki lereng yang luar biasa curam, mulai ketinggian 600 meter di sekitar lembah dan hingga 6.500 meter di bagian depan pegunungan Longmen Shan, telah berulangkali mengalami pendesakan sehingga membentuk rangkaian pegunungan lipatan yang diperlihatkan dibeberapa puncak menjulang tinggi mencapai 4.000 meter lebih, dan merupakan rangkaian pegunungan Sirkum Pasifik muda yang tidak terpisah dengan pembentukan Pegunungan Himalaya dan Plateau Tibet.
Dari beberapa gambar citra foto satelit dan literatur sejarah geologi gempa di Patahan Longmen Shan. Penyebab utama terjadinya gempa kuat dalam kurun empat belas tahun di Propinsi Yunan atau hanya beda satu tahun dari gempa Sichuan April 2013 lalu, di kondisikan oleh faktor struktur deformasi kerak geologi di patahan Longmen Shan antara lain : Pertama, energi keseimbangan belum stabil, desakan lempeng India ke utara terhadap lempeng Eurasia itu menyebabkan banyak ditemukan pelipatan kulit bumi, selain itu di kawasan ini menyimpan energi kegempaan relatif rendah, sehingga kita dapat mengetahui dalam relatif singkat akan terjadi gempa kuat yang meremukan kerak bumi, ditemukan banyak zona robekan, longsoran berdimensi panjang dan energi stress di perbatasan pertemuan lempeng setiap terlepas.
Kedua, Dinamika medan stress diperbatasan lempeng dampak dari tekanan patahan di ujung barat daya patahan Longmen Shan di Propinsi Sinchuan telah mengalami pelentingan naik akibat dari momen transfer tekanan energi gempa terdahulu, dikondisikan oleh terbelahnya beberapa ruas blok batuan yang sebelumnya stabil dan sebagai penumpuk/pijakan keseimbangan telah mengalami gangguan dinamika sehingga menjadi aktif dengan sumber kedalaman gempa sangat dangkal. Gempa-gempa tremor dengan momen magnitude Mv 5 saja sudah bisa menghancurkan bangunan diatasnya.
Ketiga, jejak pelentingan gempa kuat yang pernah terjadi di Sichuan pada tahun 2008 dan 2013 memicu terjadinya pematahan baru pada kerak bumi sehingga mengantarkan kecepatan rambat gelombang puncak batuan dasar semakin cepat melaju ke permukaan, menjalar ke berbagai arah zona batuan sedimen yang tidak homegen ke arah timur kota Sichuan dan membentuk rekahan sepanjang 250 km dengan lebar 36 km (sumber Badan Geologi Tiongkok dan USGS, 2013), jejak rekahan atau robekan ini telah melenting sejauh 400 cm dari lokasi semula, sehingga gempa di Yunan itu akibat energi transfer di ujung patahan Longmen Shan.
Akibat pelentingan permukaan dari jejak gempa terdahulu itu menyebabkan gempa kuat masih terjadi di Propinsi Yunan dan Sichuan dengan intensitas maksimun mencapai 9 MMI, yang menghasilkan percepatan tanah mencapai 115 % G atau setara denga 1 G = 9,81 m/det2. Yang terakhir adalah beberapa zona pergerakan membentuk pegunungan lipatan muda dengan dimensi pendek disebabkan oleh terbatasnya “ruang pendesakan” dan berakhir pada tertahannya mekanisme gerakan disepanjang bidang patahan, yang seharusnya memiliki gerak bebas sesuai dengan kecepatan pergeserannya menyebabkan patahan mengalami penguncian, terlihat pada pendesakan blok batuan di patahan gempa Sichuan di timur ke arahan barat daya Yunan, patahan terkunci memiliki batas-batas kemampuan menahan beban, jika melampaui kemampuan daya tahan akan menghasilkan pelentingan dan tersalurkan energi seismik gempa kepermukaan (Sumber USGS dan berbagai sumber).
IRONI SEJARAH BERULANG
Jangan pernah melupakan sejarah kehidupan dimasa lalu, karena itu merupakan cermin kehidupan masa depan, dan catatan sejarah gempa yang pernah berlangsung harus diambil sebagai pelajaran untuk menata tata ruang dan infrastruktur fisik yang lebih baik dan berguna untuk mengurangi jumlah korban dan materi. Bahwa gempa datang kadang tidak pasti, oleh karena itu, yang terdekat menjadi prioritas untuk pembangunan bagi kepentingan rakyat. Di Indonesia, hal ini tidak berlaku, yang ada bagaimana suatu tata ruang di bangun dengan indah tanpa memperhatikan kaidah bahaya lingkungan yang mengancam tata ruang, setiap ada sepersil tata lahan kosong akan berubah menjadi “zona hutan beton”.
Ironisnya, jika kita memperhatikan sejarah gempa Tiongkok dan Indonesia ada kesamaan, bedanya Tiongkok sudah memulai pencatatan sejarah dimulai dari tahun 140 dengan membuat alat pertama yang dapat meramalkan gempa bumi di Tiongkok dan seluruh dunia serta dinamakan “seismograf” yang terbuat dari perunggu (baca literatur seismograf zaman Dinasti Han Timur Tiongkok yang dibuat oleh ilmuwan Zhang Heng). Namun kenyataan sekarang korban gempa terus berlangsung tapi kenapa Tiongkok sepertinya kedodoran dalam menghadapi bencana gempa?
Sejarah gempa yang tercatat di patahan Longmen Shan antara lain : gempa Shaan-xi tahun 1558 yang berada di lembah Sungai Wei dengan 60 persen populasi tewas atau 890.000 orang meninggal di beberapa kabupaten seperti Henan, Shaanxi, Hebei dan Anhui. Lalu gempa Thangsan tahun 1976 dekat Hebei, kekuatan 7.8 SR. Gempa Diexi tahun 1933 dengan kekuatan 7.5 SR menewaskan 9.300 orang. Gempa Yunan tahun 1970, menewaskan 15 ribu orang dengan kekuatan 7.7 SR lalu tahun 1972 terjadi gempa lagi dengan Mw 7.1 dengan korban 1.400 jiwa.
Rentetan gempa yang menelan korban banyak tidak diimbangi oleh kehebatan China dalam membangun konstruksi tercepat di muka bumi, terutama penataan ruang berbasis gempa lokal karena terjadi gempa dahsyat Sinchuan tahun 2008, menewaskan 70.000 jiwa dan kekuatan mencapai 7.9 SR dan gempa 2013, kekuatan mencapai 6.6 SR. Selanjut gempa Yunan tahun 2012, kekuatan gempa 6.0 dan gempa tahun 2014, 6.3 SR telah menyebabkan korban 647 jiwa. Ironiskan jika kita bandingkan pencapaian ekonomi dan militer China yang ingin jadi Adidaya?
Jika kita melihat buku sejarah gempa China harusnya dapat menekan jumlah korban dan bisa mengulang prestasi gempa Thangsan yang sempat menyelamatkan manusia pada tahun 1960-an serta prestasi atau ambisi China yang mencatat rekor sebagai negara tercepat dalam membangun gedung bertingkat tinggi sebuah hotel 30 lantai seluas 55.7784 meter persegi hanya dalam waktu 15 hari  atau 360 jam serta tak satu pun para pekerja mengalami cedera.
Tetapi jika menghadapi badai alam Tiongkok seperti tak berdaya, lihat saja gempa-gempa dalam kurun enam tahun sejak gempa Sinchuan ke gempa Yunan, jumlah korban konon telah mencapai ratusan ribu jiwa, sepertinya tidak ada arti kemajuan yang dicapai oleh China jika tidak mampu menata bangunan-bangunan berstruktur kecil di lokasi pemukiman dan industri serta upaya menghemat energi dari sisi pembangunan gedung-gedung yang ada di China saat ini jika daerah tempat aktivitas manusia hidup mengalami “killing field” dari natural disaster yang di perlihatkan oleh gempa bumi mematikan yang merangkum blok-blok batuan sebagai “tata kelola kehidupan” yang telah remuk.
M. Anwar Siregar
Enviromental Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer. Tulisan ini sudah di Publikasi oleh HARIAN ANALISA MEDAN 2014

Populer

Laut Indonesia darurat sampah

  LAUT INDONESIA DARURAT SAMPAH Oleh M. Anwar Siregar   Laut Indonesia banyak menyediakan banyak hal, bagi manusia terutama makanan ...