1 Okt 2015

Keberlanjutan Air dan Hutan Danau Toba

Keberlanjutan Air dan Hutan Danau Toba

 Oleh M. Anwar Siregar

Kondisi fisik dari suatu lingkungan disekitar kota-kota di lingkar Danau Toba telah banyak mengubah tata lingkungan hutan bagi Danau Toba akibat dampak kemajuan pembangunan fisik dengan laju kerusakan tata kelola hutan berubah fungsi akibat pembangunan infrastruktur fisik di pinggiran Danau terbersar di Indonesia ini, penyebabnya akibat dinamika laju pembangunan yang dibentuk oleh tiga unsur perubahan yaitu pepohonan dan organisme di dalamnya, struktur (kondisi sosial) dan manusia (dikutip dari Grey, 1996).

(Analisa/said harahap) KALDERA TOBA: Danau Toba danau kaldera terbesar di dunia yang terletak di Sumatera Utara, merupakan kaldera vulkano tektonik (kawah gunung raksasa), kaldera terbentuk oleh proses amblasan pasca erupsi supervolcano gunung api Toba Purba 74.000 tahun yang lalu.
 
RUANG terbuka merupakan daerah yang dibatasi untuk pembangunan fisik, baik dalam tata ruang kota seperti RTH maupun dalam RTH abadi, ruang terbuka hijau merupakan ruang khusus untuk tujuan pengendalian kerusakan lingkungan, ruang hijau biasanya banyak ditemukan dalam bentuk jalur jalan, tepian air waduk, danau DAS atau bantaran sungai, bantaran rel kerata api, saluran/jejaring listrik tegangan tinggi, atau bisa dalam bentuk taman hijau, misalnya taman lingkungan kota, taman pertanian dan pertamanan kota, taman hutan pohon, taman hutan konservasi dan taman hijau resapan air seperti taman pohon lingkaran danau, sungai-sungai dan teluk, taman hijau tidak boleh dibiarkan mengalami krisis lingkungan, terutama penggundulan dan pembabatan pohon-pohon muda seperti yang terjadi dan dialami di sekitar Danau Toba.
Keberlanjutan Air
Menanam berbagai jenis pohon adalah bentuk kesadaran dan tindakan nyata yang dapat dilakukan kalangan masyarakat secara global, yang selalu diadakan secara serentak di seluruh dunia dalam memperingati hari lingkungan, hari hutan, hari pohon dan hari habitat serta hari bumi, bertujuan utama adalah menjaga keseimbangan iklim, cuaca dan pemanasan global berkelanjutan.
Menanam pohon juga merupakan bagian dari keberlanjutan menjaga lapisan ozon dari kerusakan yang lebih parah, secara sederhana dan dapat dilakukan dengan semangat menjaga kesehatan diri dari bencana lingkungan, yaitu dapat dilakukan dari kegiatan sehari-hari mulai berangkat dan pulang bekerja (penghematan BBM, penghematan biaya imbangan kesehatan untuk mencegah pencemaran udara, melestarikan kesehatan infrastruktur dari beban kerusakan kendaran dengan mengurangi penggunaan transportasi kendaraan, bersepeda, berjalan kaki, melakukan gerakan hijau di sepanjang koridor jalan (secara luas).
Menanam pohon di sekitar Danau Toba sangat penting untuk keberlanjutan sungai-sungai yang membelah 13 kabupaten di Sumatera, sangat bergantung dengan kehadiran jumlah pohon-pohon yang muda guna menyerap dan menyimpan air, tatanan geologis air Danau Toba merupakan salah keunikan yang dimiliki Danau Toba sehingga memungkinkan Danau Toba dimasukan ke dalam Taman Bumi ke GGN UNESCO.
Eksploitasi Hutan Toba
Gerakan nyata pelestarian lingkungan di hutan Danau Toba sangat penting dalam rangka mengendalikan penurunan permukaan air Danau Toba selain berfungsi menekan kerusakan lapisan ozon dalam skala global. Eksploitasi hutan di wilayah daerah lingkar tebing Danau Toba yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air selama ini telah berubah mengancam ekositem keseimbangan air di Danau Toba. Hasil penelitian yang sudah dilakukan oleh berbagai pihak menunjukan sisa vegetasi hutan tinggal 12 persen dari total 356.800 hektar areal hutan di kawasan Danau Toba (data BLH Sumut, 2014).
Sementara eksploitasi ruang-ruang budidaya bagi kebutuhan industri serta kegiatan wisata infrastruktur fisik walau pembangunan berskala kecil bisa juga turut menekan kerusakan dan ketidakseimbangan hutan terutama laju penebangan pohon-pohon untuk industri pabrik bubur kertas di sekitar Danau Vulkanik terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara. Kerentanan ekosistem Danau Toba sangat mengkhawatirkan, sebab dapat menyebabkan perubahan iklim pemanasan global semakin rentan bagi makhluk dan juga bagi keberlajutan pasokan sumber daya energi di Sumatera Utara, karena air di Danau Toba dapat berfungsi sebagai pasokan energi listrik bagi PLTA Asahan.
Ketidakseimbangan itu dapat dilihat dari izin terhadap perusahaan Toba Pulp Lestari dengan konsesi lahan hutan seluas 188.055 hektar yang tersebar di 13 kabupaten, 8 di antaranya daerah lingkar Danau Toba yaitu Samosir, Karo, Dairi, Humbahas, Pakpak Barat, Simalungun, Tapanuli Utara dan Toba Samosir yang mencapai sekitar 78.558 hektar serta merupakan sumber daerah resapan air. Jadi tersisa 12 persen vegetasi hutannya.
Kondisi inilah menyebabkan kenapa setiap tahun krisis listrik dialami Sumut, karena akibat terjadinya gangguan ketidakseimbangan air lingkungan di Hutan Lingkar Danau Toba, yang salah satunya pasokan air terganggu dampak dari berkurangnya dan hilangnya pohon-pohon di hutan Danau Toba yang dapat menyerap air sehingga ratusan sungai di kawasan Danau Toba mengalami kekeringan jika musim kemarau dan tak mampu menyerap luapan banjir jika terjadi musim hujan.
Sebuah areal hutan industri yang diperuntukkan bagi budidaya hutan pinus, selama belasan tahun yang hadir hidup di sekitar Kabupaten lingkar Danau Toba, dan sebelum tahun 1984 ketika itu belum ada gangguan eksploitasi besar-besaran terhadap pohon-pohon muda di Hutan Danau Toba, air Danau Toba tetap jernih dan stabil dalam memasokan pembangkit listrik, namun dengan hadir izin PT Inti Indo Rayon (atau TPL sekarang), selama belasan atau puluhan tahun pola eksploitasi itu telah mengubah kondisi fisik hutan-hutan di 13 Kabupaten, dampak dengan hilangnya pohon di area hutan lindung, hutan konservasi dan hutan budidaya pertanian hanya untuk memenuhi kebutuhan ruang dapur untuk industri pulp kertas dan ruang bagi pemukiman fisik yang menambah semakin kompleksnya tata ruang air di lingkar Danau Toba.
Memerlukan moratorimu ataupun peninjauan ulang izin konsesi lahan yang membabat habis hutan-hutan yang ada di 13 Kabupaten, tindakan ini perlu dilakukan karena disebabkan rehabilitasi dan reboisasi tidak seimbang dengan laju pengambilan pohon-pohon di lingkar 8 kabupaten di Sekitar Danau Toba, dengan terbukti telah mengalami kelangkahan air, serta musibah longsoran tanah di Tapanuli Utara dan Humbahas.
Moratorium Geopark Toba
Dirasa sudah sangat mendesak bagi keberlanjutan hutan-hutan dan air serta pasokan energi dari Danau Toba. Karena itu perlu moratorium hutan yang lebih tegas, mengingat pada zaman mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum terlaksana. Hal ini penting untuk menyelamatkan Danau Toba sebagai warisan dunia untuk pengetahuan dan lingkungan, mengingat pengurangan kawasan hutan sebagai akibat pertumbuhan permintaan industri pulp kertas dan pertumbuhan penduduk untuk ruang pemukiman serta pengembangan investasi harus ada pembatasan dan pengendalian secara ketat di kabupaten sekitar lingkaran Danau Toba.
Oleh karena itu perlu kita giatkan pengendalian izin pemanfaatan ruang-ruang hijau dan ruang air agar kawasan hutan pohon dan air di Danau Toba tetap memberikan konstribusi sebagai paru-paru dunia selain memberikan sumber devisa sebagai ikon pariwisata Indonesia. Jadi yang harus dilakukan antara lain meningkatkan kualitas kawasan hutan dan tutupan yang mengalami penggundulan melalui berbagai program hijau, seperti reboisasi atau penanam sejuta pohon, menciptakan lahan pertanian budidaya abadi dan menetapkan kawasan hijau di sekitar lingkar Danau Toba sebagai zona ekologi hijau abadi atau RTH abadi dengan melalui peraturan UU yang mengikat dan tidak boleh dilanggar. Kawasan di luar Danau Toba harus sebagai zona penyangga kehidupan yang bisa dialihkan menjadi Areal Penggunaan Lain (APL) yang bertutupan hutan untuk mencegah bencana ekologi dan geologis di sekitar Danau Toba.
Perlu juga zonasi pengendalian pemanfaatan ruang fisik, biarkan Danau Toba tetap alamiah dengan tetap mengikuti perkembangan peradaban modern. Zonasi map regulation diperlukan karena mengingat kawasan Danau Toba telah ditetapkan oleh pemerintah pusat sebagai salah satu Kawasan Strategis Nasional yaitu Kawasan Strategis Pariwisata Nasional, salah satu usulan yang diinginkan adalah menjadi satu Geopark Bumi ke dua di Indonesia, untuk mengikuti jejak Geopark Bumi Kaldera Gunung Batur sebagai taman bumi pertama di Indonesia.

Danau Toba memang pantas dimasukan ke dalam Global Geopark Network (GGN) UNESCO kerana memiliki keunikan periode geologi dan terbentuk oleh letusan supervolcanoes Toba Purba melalui periode geologi yang berbeda.
(Penulis adalah Enviromental Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer)


http://analisadaily.com/lingkungan/news/keberlanjutan-air-dan-hutan-danau-toba/140144/2015/06/07

Geowisata Bahari Pulau Tello-Nias


GEOWISATA BAHARI PULAU TELLO-NIAS
Oleh M. Anwar Siregar

Siapa yang tidak kenal Pulau Nias? Semua tahu pulau ini merupakan daerah yang memiliki potensi geologi wisata bahari yang mengagumkan namun belum tergalikan dengan baik, sehingga banyak masyarakat luar belum banyak mengatahui keindahan alam yang melingkupi Pulau Nias, antara lain Pulau-pulau Batu/Tello, Pulau Tanah Masa, Pulau Bala dan Pulau Pini.
Penulis berkesempatan mengunjungi Pulau-pulau Batu dengan ibukota Kecamatan Kelurahan Pasar Tello, yang masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Nias Selatan dengan 101 pulau.
GEOLOGI PULAU TELLO
Keindahan dan Pesona Pulau-pulau Batu dapat dikembangkan sebagai geologi wisata bahari, karena daerah ini memiliki potensi pantai pasir putih yang halus, mengingatkan kita pada pantai di Teluk Dalam, terutama pantai Sorake dan Lagundri yang dikenal sebagai wisata surfing/selancar air laut kelas dunia. Jika dilihat dari luas bentangan pantai pasir putih, memang pantai di Pulau-pulau Batu tidaklah seberapa luas dan panjang namun keindahannya masih sangat alamiah, sejuk jauh dari kesan jorok, dan angin pantai dan rimbunnya pohon-pohon kelapa sangat menyejukan mengiringi langkah anda untuk betah berjam-jam menikmati dari kejauhan gelombang ombak yang berada dalam wilayah administrasi Tanah Masa dan Tanah Bala, wilayah geologi Tello memang dikontrol oleh banyaknya batu-batu karang yang terproses oleh sejarah pembentukan pulau-pulau vulkanik disepanjang Pantai Barat Sumatera.
Proses pembentukan Pulau-pulau Batu berhubungan dengan struktur geologi Antiklin Tanah Masa, patahan turun aktif Simundong Tanah Masa dan proses pembentukan koral/terumbu karang oleh proses pengangkatan dan penurunan akibat tumbukan lempeng Indo-Australia ke batas Lempeng Sumatera di sebelah Baratlaut Selat Nias dan proses pelentingan akibat regangan ketika terjadi tumbukan lempeng di Utara Pulau Nias atau sekitar Pulau Pini

Foto 1; Sebagian terlihat jejak struktur geologi antiklin Pulau Tello yang ditujukan oleh kemiringan perlapisan batuan naik dan sebagian tenggelam didasar laut.
(Dok Foto Penulis)


Foto 2 : Rangkaian pulau-pulau Tello dengan kenampakan geologi terumbu karang sebagian pulau terpisah akibat penurunan dan mengalami pencananggan air laut.
(Dok. Foto Penulis)
Batas kontak sesar turun terdapat dikeliling Pulau Tello, yang dalam sejarah tektonik telah berulangkali mengalami pengangkatan dan penurunan batimetri/topografi laut termasuk pada kejadian gempa Aceh 2004 dan gempa Nias 2005.
Lajur akresi prisma merupakan batas tumbukan lempeng terletak menghadap samudera yang menyebabkan daerah Pulau-pulau Batu mengalami pergeseran 1-2m, P. Tanahmasa, Pulau Tanah Bala dan Pulau Pini mengalami pengangkatan 0.5 cm, sangat rawan bencana akibat gempa tsunami, sehingga dapat mempengaruhi tinggian gelombang ombak disekitar karang-karang batu dan bagian lajur Cekungan Busur Depan Sumatera

Foto 3 : Pulau Karst Tello sebagai geowisata tentang proses pembentukan pulau batu karang, jejak pengangkatan dan pencananggan air laut masih ada dan terdapat gua karang yang terpisah dari pulau utama yaitu Tello akibat pengangkatan oleh gempa Nias di masa abad 18-19, mengalami penurunan 0.5m pada gempa Nias 2005.(Dok Foto penulis)
POTENSI GEOLOGI KELAUTAN
Potensi wisata bahari yang dapat dijual dan dipromosi antara lain : wisata pantai disepanjang keliling Pulau Tello. Pulau Sibaranum dan Pulau Pono, serta P. Simuk dengan hamparan pasir putih alamiah dengan kebeningan air laut. P. Sibaranum idealnya sebagai daerah khusus pantai dengan minimun hunian agar keasriannya tetap terjaga, sebagian pulau ini sudah dibuat fasilitas tambatan kapal perahu mesin dan juga berfungsi sebagai tanggul gelombang besar. Sedang P. Pono sebagai lokasi pemancingan dan budidaya ikan karena air laut sangat bening. P. Simuk dapat melihat jejak pengangkatan koral dan pergeseran lempeng menyebabkan garis pantai bertambah panjang.
Foto 4 : Sebagian Pulau Sibaranun, wisata bahari yang belum “terjual”. Keindahannya terlihat pada hamparan pasir dan air laut yang bening.(Dok Foto Penulis)

Potensi geologi wisata gua dan struktur antiklin Tello, Anda dapat menikmati deburan ombak menghantam sisa-sisa struktur antiklin yang memperlihatkan kondisi geologi masa lalu Pulau ini terbentuk beserta keunikan pohon kelapa yang tumbuh disisi tebing dengan cara melingkar serta tumbuh alamiah disekitar gua yang belum dibuat sarana infrastrukturnya, dari lokasi ini kita dapat melihat berbgai jenis tumbuhan laut, bunga dan sisa bangkai tumbuhan yang membusuk serta dapat meneruskan jalan pulang apabila air laut belum pasang maka dengan jelas anda akan melihat jejak-jejak terumbu karang yang tersembul dan fosil laut yang masih ada dan tercetak pada satuan batu gamping koral oleh pengangkatan akibat gempa disebelah barat daya Pulau Tello.
 

Foto 5 : Gua Tello, yang terbentuk oleh evaporosif batuan karbonat dengan air laut.(Dok Foto penulis)

Foto 6 : Keunikan tumbuhan yang ada di Pulau Tello, terletak sekitar mulut gua, dalam gambar terlihat lingkaran batang pohon kelapa yang tumbuh tepat disisi tebing terjal (Dok Foto Penulis)
Ombak laut Pulau Tello memang tidak sehebat ombak pantai Soreake, namun potensi ini menurut penulis dapat dikembang, yaitu surfing khusus bagi pemula, tinggi gelombang rata-rata 75 cm dari maksimal 1 meter dengan mencapai panjang rentangan ombak 50-75 meter sebelum terhempas ke sebagian daratan karang yang mengalami pengangkatan akibat gempa Nias 2005, Anda mau relaksasi dari tur Pulau Tello dapat santai memancing bebas ikan dibeberapa tempat, agar mantap dianjurkan sekitar jam 5 sore, dipinggir pantai air laut tanpa bening dan warna-warni ikan akan tampak jelas menakjubkan, di pulau ini juga ada cafe karoake yang menghibur Anda sambil menikmati hijaunya pulau diseberang Tello.
Foto 7 : Deburan ombak sekitar karang Antiklin Tello dengan kenampakan Pulau Pono (Dok Foto Penulis)

INFRASTRUKTUR FISIK
Sarana yang tersedia sudah memadai namun masih harus ditingkatkan yaitu pelayaran rutin melalui Pelabuhan Laut dari Sibolga maupun dari Teluk Dalam serta Gunung Sitoli ke Tello, Kapal besar berbobot 100 ton seperti milik PELNI maupun Perintis sudah dapat bersandar di pelabuhan utama Tello yang telah dilengkapi sistim peringatan dini tsunami.
Selain itu, salah satu pulau di seberang Pulau Tello juga telah di bangun Bandara Udara dengan panjang landas pacu mencapai 250 meter dengan penerbangan  dua kali seminggu dari bandara Pinang Sori  dan Padang-Sumatera Barat. Pemerintah Nias Selatan harus mampu menjual “dagangan wisata kecil ini” menjadi komoditas unggulan.
Foto 8 : Terlihat Dermaga Tello berkapasitas bobot lebih 50 ton dengan panjang 100 meter lebih, disini Anda bisa menikmati panorama keindahan laut dengan sekeling pulau-pulau kecil yang mengintari Pulau Besar Tello (Dok Foto Penulis)

Foto 9 : Penulis bersama anak memandang kejauhan pulau Siguntuan dan Sigata, lokasi tempat penulis adalah sekitar 25 meter dari mulut gua pantai Tello yang mengalami pengangkatan oleh gempa Aceh-Nias 2004-2005.(Dok. Foto Penulis)

M. Anwar Siregar
Geolog, Penggemar Adventure Geologi dan Kelautan, Diterbitkan Tanggal 12 Mei 2013








21 Sep 2015

Bencana Banjir Sumatera, Darurat Tata Ruang Hutan

Bencana Banjir Sumatera, Darurat Tata Ruang Hutan

Oleh: M. Anwar Siregar.   

Pembangunan saat ini, lebih memfokus­kan pada pem­bangunan pencapaian ekonomi, terlihat dari eskalasi peman­faatan lahan-lahan sempit dengan bentuk bangu-nan verti­kal se­hingga memunculkan tekanan yang kuat untuk menekan fungsi ruang hijau yang se­makin terbatas, akibat sulitnya mendapat­kan tanah dan tata guna lahan yang lebih luas (hori­zontal) yang berdampak pada semakin berkurangnya ekologi hijau.
Konsistensi dalam mempertahankan atu­ran Tata Ruang menjadi terlupakan se­hing­ga apa yang diharapkan dalam memper­tahankan rencana tata ruang detail wilayah berubah menjadi bencana universal, walau sedikit saja mengalami perubahan dalam tata ruang ekologis hutan dapat menimbulkan dampak perubahan cuaca atau iklim maka kerak bumi akan bereaksi memberikan musibah bencana, salah satunya bencana banjir, langganan ben­cana paling banyak bermunculan di wilayah Indonesia selain letusan vulkanik, gempa bumi dan longsoran tanah kini terjadi di Aceh, Tapanuli Tengah dan Riau serta Jambi.
Darurat Hutan
Manusia telah banyak berhasil mengatur kehi­dupannya dengan melakukan pengenda­lian tata ruang hutan dengan pengaturan fung­si lahan agar ada keseimbangan antara tanah, air dan udara dalam kearifan lokal sebelum era industri modern. Namun ketika di era seka­­rang, mulai terkikis oleh ego keserakahan dengan melupakan eksistensi ketiga sumber daya keseimbangan bagi manusia itu menjadi mala­petaka. Salah satunya adalah perubahan signifikan fungsi tata ruang hutan berdampak pada gangguan iklim, siklus hidrologis dan terpu­­tusnya rantai makanan serta ilmu penge­tahuan.
Hutan merupakan suatu sistim lingkungan yang membentuk tatanan ekosistem yang tidak boleh terputus bagi kehidupan di muka bumi, eksploitasi harus terbatas dan harus ada batas daya regenerasi agar menjadi sumber daya yang diperbaharui menjadi sumber daya lestari bagi makhluk hidup. Jadi, sistim di hutan berfungsi sebagai faktor produksi, konsumsi, dan sarana pelayanan bagi kehidupan manusia tidak boleh meng­alami gangguan parah agar tidak terham­batnya pemberi kehidupan.
Laju kebakaran hutan di  Sumatera teran­cam oleh laju deforestasi yang tidak terkendali akibat laju peruntukan pembukaan kebun kelapa sawit mencapai 90 persen di Sumatera plus Kalimantan dan Papua dengan mengor­bankan fungsi tata ruang hutan menjadi tersisa 10 persen di luar area non hutan yang me­ningkatkan perubahan iklim global.
Laju kebakaran hutan Indonesia akibat defo­restasi mencapai 6.02 hektar per tahun pada tahun 2000-2012, sehingga Indonesia menjadi negara penghasil gas emisi terbesar di dunia, setiap tahun hutan hancur mencapai 0.84 juta hektar (Sumber Nature Climate Change). Dari gambaran data tersebut, bisa kita bayangkan bagaimana hancurnya tata ruang hutan di Sumatera sehingga tidak mengherankan kenapa setiap tahun terjadi banjir bandang di kota-kota besar di Pulau Sumatera.
Darurat Iklim
Sebagaimana disebutkan oleh laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2007 bahwa pulau-pulau kecil yang ada di Samudera Indonesia sangat rentan mengalami penurunan dan dapat terjadi penenggelaman akibat dampak perubahan iklim ekstrim dan efek dari laju kerusakan tata ruang hutan di Pulau Sumatera, pulau-pulau itu mudah terjadi abrasi dan kehilangan ketinggian permukaan tanah dan lahan yang berpotensi ekonomis wisata disebabkan terja­dinya kenaikan air permukaan laut, kehan­curan hutan mangrove dan laju kerusakan terumbu karang dapat memper­cepat kerusa­kan daratan pantai akibat hantaman gelom­bang geologis air ombak sehingga terjadi kelem­baban tanah dan menurunkan daya tahan tanah pulau-pulau berakhir pada longsoran tebing pulau berdampak gelom­bang tsunami.
Perubahan tata ruang hutan sedikit saja sudah mengalami gangguan kerusakan ekologi dapat mengubah kondisi atmosfir terhadap kekuatan tanah dalam mencegah banjir, terkait dengan proses yang ada di alam seperti efek gas rumah kaca dan gas rumah kaca. Salah satunya disebabkan oleh pembakaran hutan di Sumatera berdampak pencemaran udara, pembakaran ini mengha­silkan gas oksida belerang dan oksida nitrogen dan bereaksi menjadi asam sulfat dan asam nitrat dan jatuh ke bumi menjadi hujan asam, yang dapat menyebabkan kerusakan pohon-pohon hijau di kawasan hutan.
Hal ini juga salah satu penyebab terjadinya kenaikan suhu permukaan bumi, kenaikan suhu permukaan bumi menimbul­kan reaksi pada kulit bumi (lempeng) untuk menstimu­luskan keseimbangan dengan memberikan manu­sia hadiah bencana. Sebab, naiknya kadar gas rumah kaca (GRK) akibat polutan pembakaran hutan  seperti CO2, CH4, dan N2O menaikkan intensitas efek rumah kaca (ERK) sehingga permukaan bumi akan naik dan menimbulkan pemanasan global dan darurat iklim  global yaitu perubahan curah hujan di daerah pegunungan ke daratan rendah seperti yang kita lihat di beberapa provinsi di Indonesia, yang teraktual untuk Sumatera Utara ada di Batubara, Tapteng dan Madina,
Pertambahan volume curah air hujan ber­dampak juga pada ketinggian air pada sungai-sungai besar yang umumnya membe­lah tata ruang kota besar di Indonesia, sekitar 45 persen sungai-sungai besar banyak membelah kota besar seperti Medan, Jakarta, Semarang termasuk wilayah di Tapanuli Tengah, Rohul dan Rengat (Riau), serta Aceh dan laju erosi lateral pantai mengancam kota Sibolga, Lampung dan Padang karena ada garis pantai mundur sejauh minimal 1 meter dengan kenaikan air permukaan laut 25-140 cm serta garis pantai mundur menjadi 25-140 cm.
Perlu aktualisasi tata ruang hutan dengan menekan penghan­curannya.
Gangguan Hidrologis
Selain ganguan iklim, banjir yang terjadi di Sumatera itu tidak terlepas juga dari gangguan siklus hidrologis akibat intervensi manusia pada kehancuran tata ruang hutan karena cakupan luas hutan mencapai jutaan hektar mengalami peng­gun­dulan, pembakaran dan alih fungsi peruntukan sehingga potensi daya serap infiltrasi air ke dalam tanah mengalami kelulusan air, melaju cepat ke permukaan tanah tanpa ter­bendung oleh pengakaran pohon di kawasan kota dan tebing bukit berbuah efek domino yaitu banjir bandang, gerakan tanah menahun dan hilangnya flora dan fauna yang dilindungi serta kerusakan infrastruktur dan korban jiwa.
Gangguan hidrologis untuk daratan sangat berperan penye­bab utama banjir di beberapa kota di Sumatera akibat intervensi manusia dalam mengubah daerah tutupan lahan dari daerah hijau menjadi daerah perkotaan yang dapat kita lihat jelas di sekitar hulu DAS yang membentuk kawasan bangunan sehingga hutan ataupun lahan kosong itu sebenarnya sudah ditetapkan sebagai daerah fungsi resapan air, mempengaruhi siklus geo­hidrologis, terutama ketika hujan menuju kepermuka­an, fungsi infiltrasi berkurang dan proses intersepsi tidak bekerja sesuai fungsinya,  sehingga jumlah limpasan air tidak tertampung oleh kapasitas debit sungai mengakibatkan banjir, (kasus ini dapat dilihat sepanjang sungai Sibabangun, Indragiri serta Kampar dan Batanghari).
Effek Banjir Tahunan
Sudah 20 tahun terakhir ini, Sumatera silih bergantian atau arisan bencana antara kebakaran hutan, kabut asap dengan banjir disertai bonus longsoran yang mematikan, melanda daratan di beberapa provinsi. Ironisnya, daerah penghasil sawit terbesar di Indonesia mampu juga menghasilkan bencana emisi iklim global, menghasilkan banjir musiman dan kehan­curan ekologis.
Lihat kasus musibah banjir di Aceh, Riau dan Jambi, di semua lini tata ruang hutan akan terdapat perubahan per­untukkan menjadi pembukaan hunian, lahan perkebunan. Pembakaran hutan sepertinya sudah biasa, termasuk juga menghabisi habitat hutan lindung di kawasan Taman Nasional Lauser, Talang Mamak dan Jambi di sekitar sungai besar yang membelah setengah ketiga Provinsi ini menjadi rawan bencana.
Ternyata bencana banjir tahunan itu belum cukup memberikan efek penghasil bencana seperti sudah disebutkan didepan, masih ada efek lainnya yaitu menurunnya ketahanan sebagian penduduk menjadi miskin, akibat dampak kehilangan tempat tinggal karena kehancuran dan kebatilan sebagian manusia serta memutuskan kembali ke daerah yang terlanda bencana. Maka pengaturan tata ruang hutan dan RTH semakin sulit terlaksana dengan baik dan amanah UU Tata Ruang tinggal pepesan kosong. ***
Penulis adalah Enviromental Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer.

 http://analisadaily.com/opini/news/bencana-banjir-sumatera-darurat-tata-ruang-hutan/100837/2015/01/22

 

Batu Mulia Sebagai PAD dalam Menjaga Lingkungan

Batu Mulia Sebagai PAD dalam Menjaga Lingkungan

Oleh: M. Anwar Siregar
Deman batu akik atau juga batu mulia harus menjadi pusat perhatian bagi perencana ekonomi pembangunan daerah untuk menjadikan hal ini sebagai peringatan, bahwa sumber-sumber PAD masih banyak untuk kesejahteraan rakyat, harus disingkapi sebagai renungan untuk memahami bahwa batu mulia walau masuk kategori bahan tambang golongan C namun dapat memberikan sumbangan pembangunan sangat besar. Sebab, batuan ini seringkali diseludupkan sejak tahun 1970-an hingga merugikan masyarakat dan Indonesia secara umum, karena batuan itu dapat memberikan sumbangan devisa dan kesejahteraan yang cukup besar.
Hal ini penting, mengingat Indonesia termasuk Negara penghasil berbagai jenis sumber-sumber batuan mulia, yang berkualitas tinggi dengan tingkat kekerasan atau keawetan batuan mencapai nilai rata-rata 6 dan 7-9 skala mohs, jenis batuan yang banyak diperdagangkan di Indonesia dan banyak peminatnya.
(Analisa/said harahap) WARNA WARNI BATU CINCIN: Sejumlah pengunjung memilih berbagai jenis batu cincin dari mulai Delim Siam,Ruby,Carnelian hingga King Safir dipajang kolektor sekaligus pedagang di kawasan Kantor Pos Medan, Adi Salah seorang pedagang menjelaskan setiap hari para kolektor dari berbagai daerah bahkan negara tetangga seperti, pengusaha, pejabat pemerintahan hingga anggota dewan selalu datang  untuk hunting sekaligus saling tukar informasi seputar kualitas batu permata.

Menjaga Lingkungan
Namun disayangkan belum menjadi pusat perhatian beberapa daerah untuk menjadikan sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda). Yang selama ini adalah umumnya Perda bahan galian golongan C untuk bahan bangunan dan jalan.
Hanya beberapa daerah saja memiliki aturan lintas perdagangan batu mulia karena hal ini berhubungan dengan kondisi dinamika lingkungan yang diakibatkan oleh penambangan batu mulia di daerah kaki pegunungan dan sungai-sungai, memerlukan suatu pengawasan ketat agar tidak terjadi kerusakan dan bencana lingkungan seperti umumnya penambangan golongan galian C seperti sirtu, batu kerikil sungai ataupun penambangan batu bara, banyak dilakukan masyarakat disisi tebing bukit yang berbahaya.
Jika disingkapi dengan aturan yang ketat dipastikan akan memberikan dampak yang besar karena banyak efek yang akan mengikutinya dan jika tidak, yang paling mengalami banyak kerugian yang telak adalah masyarakat itu sendiri selain pemerintah serta lingkungan.
Mengapa Jadi PAD?
Indonesia kaya akan pergerakan geologi tektonik lempeng dari sejak terbentuknya hingga ke era global sekarang, yang menyebabkan gempa dan gunung api silih berganti hadir, sehingga wilayah Indonesia dihuni 128 gunungapi dan sisa gunung api tidak aktif dari 400 gunung api di Indonesia atau sekitar 13 persen wilayah kepulauan Indonesia terdapat gunungapi, dan umumnya sumber utama keterdapatan batu mulia adalah dengan adanya gejala vulkanisme, termasuk di gunung-gunung api yang aktif sekarang dan melalui proses waktu, muntahan letusan gunungapi yang tertransportasi oleh air dan angin akan mengubah kondisi mineralisasi batuan akibat metamorfosis menjadi batu yang berkilau.
Dari gambaran ini, maka kita pastikan hampir semua provinsi terdapat sebaran batuan dari berbagai jenis yang menyusun bentang alam daerah dan setiap jenis batuan memiliki unsur-unsur mineral yang bermacam-macam dengan derajad kilauan yang berbeda, sebagai contoh batuan beku yang terbentuk dibawah tanah seperti granit akan memerlukan waktu yang lama untuk menjadi padat dan membentuk kristal. Kristal dalam suatu batu mulia sangat penting untuk menunjukan kualitas tiga sifat utama batu mulia yaitu daya tahan, kelangkahan dan keindahan.
Dengan adanya deman batuan mulia, akik atau apapun namanya, pemerintah daerah wajib memperhatikan kondisi daerahnya terutama pusat keterdapatan batu mulia, pengawasan diperlukan, mengingat harga batuan ini bisa mencapai ratusan juta walau dalam bongkahan yang masih mentah lalu diseludupkan antar lintas propinsi atau pun juga ke lauar negeri tanpa nilai tambah bagi pajak sebagai PAD daerah dan sudah lama berlangsung sejak tahun 1970-an. Potensi penambangannya saja dapat mencapai milyaran rupiah, dan diperdagangkan oleh masyarakat kolektor dapat mencapai ratusan juta. Dari situ saja kita lihat berapa nilai PAD yang didapat tiap daerah jika diolah dengan baik.
Penting sekali, karena penulis sudah melihat sendiri bagaimana batuan itu dibawa tanpa ada dokumen yang mengikat, karena jumlah batuan itu bukan dalam satuan bongkahan yang penulis lihat ketika melakukan pemetaan pertambangan dan daerah rawan bencana tetapi dalam jumlah berton-ton beratnya lalu dimuat dalam truk besar tertutup. Ini banyak terjadi didaerah yang kaya sumber bahan tambang batu mulia seperti yang terdapat di kawasan sungai-sungai yang membelah kawasan Taman Leuser di Aceh dan Bukit Barisan.
Kerajinan batu mulia dapat memberikan sumber PAD bagi daerah yang kaya akan sebaran batu mulia di Indonesia sudah dimulai pertama kalinya di Sukabumi di Jawa Barat pada tahun 1920. Kerajinan batu mulia dalam bentuk cincin dan kalung dapat menyerap tenaga kerja mencapai rata-rata 50 orang, hasil pemasaran batu mulia Indonesia kini menembus pasaran internasional, antara lain Malaysia, Singapura, Mekah, Taiwan dan Eropa.
Hasil penambangan untuk kebutuhan kerajinan batu mulia kadang mencapai 10 ton per bulan, lalu diasah dalam ratusan butir batu mulia, di prosesnya melalui teknologi dapat menghasilkan sumber pendapatan mencapai ratusan juta per bulan, namun untuk pendapatan masuk ke kas bendahara daerah sebegai sumber pajak pembangunan sangat sedikit.
Pemerintah daerah yang kaya potensi sumber batu mulia sebaiknya membuat peraturan ketat. Hal ini sejalan dengan peraturan keputusan menteri perdagangan yang melarang ekspor dan eksploitasi habis batu mulia dalam bentuk mentah dan harus disosialisasikan lebih ketat lagi, mengingatkan Kepmen tersebut tidak terlalu bergaung di daerah dan masih ditemukan seludupan batu mulia dalam jumlah berton-ton. Kasus ini banyak ditemukan di Aceh, Kalimantan dan Maluku sehingga merusak lingkungan karena tidak mengenal sistim rehabilitasi lahan penambangan seperti umumnya penambangan rakyat.
Khususnya eksploitasi di Kepulauan Maluku dan beberapa daerah di Kalimantan, kini mengalami eksploitasi hampir habis, dengan dibuktikan begitu langkanya jenis batuan tertentu seperti batu bacan yang memiliki warna-warna pelangi. Ketidakadaan Perda dan pengawasan ketat dan statisnya pemasukan PAD daerah merupakan gambaran ketidakberesan dalam pengelolaan sumber-sumber daya mineral di daerah.
Sebaran Batu Mulia
Potensi batu mulia Indonesia terus bertambah dengan adanya temuan-temuan di berbagai pelosok. Temuan ini harus disikapi karena bisa juga terdapat unsur ikutan bahan tambang lain yang terkandung melekat bersama terbentuknya batuan. Misalnya batu satam yang banyak terdapat dilokasi tambang timah, atau juga emas terdapat beberapa jenis batu mulia lain. Jadi Perda PAD untuk batu mulia perlu dibuat untuk kesejahteraan pembangunan, efeknya ada lapangan kerja yang luas bagi masyarakat dan terkendalinya kerusakan lingkungan.
Sebaran batu mulia di Indonesia yang masih menghasilkan sumber bagi perajin batu permata dan ekspor ke luar negeri, antara lain  Aceh berupa giok, nefrit, fluorit, aventurin, kuarsa merah jambu, serpertin, kristal kuarsa dan idokras. Sumatera Utara terdiri onixs, kalsedon coklat, akik merah, jasper hijau, kuarsa putih, Sumatera Barat, terdiri batu batu kecubung ungu, garnet, serpertin, idokras, Riau terdiri dari intan dan Jambi terdiri koral, tersilisifikasi, fosil kayu.
Sumatera Selatan terdiri kalsedon biru, kecubung, aleksandrit dan fosil kayu. Lampung, beragam jenis akik, amber, Banten terdiri opal, geode, akik, fosil kayu, Jawa Barat (Krisokola, Krisopras, opal biru, kalsedon ungu, batu pancawarna, batu sabun. Jawa Tengah terdiri dari giok jawa, heliotrop, tektit, Jawa Timur, karnelian, kalsedon, geode, Sulawesi Tenggara terdiri dari Krisopras, opal hijau, Sulawesi Tengah terdiri dari serpertin, jasper, Maluku Utara terdiri krisokola kuarsa, jasper, kalsedon, karnelian, Kalimantan Selatan terdiri dari intan, prehnit, ronit akik, tektit, Kalimantan Tengah terdiri kecubung ungu, kuarsa asap, sitrin kristal kuarsa.
Sebaran batu mulia tersebut diatas merupakan sumber utama yang ada di daerah tersebut, belum lagi jenis batuan dalam skala lebih kecil dari sumber utama, dan perlunya daerah melakukan pengawasan ketat dalam eksplorasi batu mulia.
Batu mulia dapat memberikan sumber pembangunan ekonomi bagi masyarakat, ada kerajinan, ada pemasok dan ada pembeli dalam jumlah 1 juta masyarakat peminat dari 240 juta penduduk Indonesia dan sangat besar bagi keuntungan pembangunan daerah di Indonesia.
(Penulis adalah Enviromental Geologist, pemerhati masalah tata ruang lingkungan dan energi geosfer)

 

Devisa Asap dari Negeri Kabut Asap

(Analisa/Said Harahap) KEBAKARAN HUTAN: Asap mengepul ke udara dari sebahagian hutan yang dibakar untuk perluasan lahan perkebunan di kawasan Sumatera Utara. Pembakaran hutan secara besar-besaran dapat memberikan dampak negatif dalam penyebaran emisi gas karbon ke wilayah atmosfer sehingga menyebabkan penipisan lapisan ozon.

Devisa Asap dari Negeri Kabut Asap

Oleh: M. Anwar Siregar
Sumber Jurnal Nature Climate Change menyebutkan “Deforestasi di Indonesia mencapai 840.000 hektar pada tahun 2013”. Sungguh luar biasa kalau memang itu terjadi, dan tidak salah jika begitu banyak bencana alam klimatologis di Indonesia akibat kerusakan hutan.
SUMBER tersebut menyebutkan “Indonesia mengalahkan angka deforestasi di Brazil yang mencapai angka 460.000 hektar, di tahun yang sama, setahun setelah moratotium (2011) penebangan hutan diberlakukan”. 
Jadi apakah laju kerusakan hutan Indonesia paling kencang di muka bumi kalau begitu? Lihatlah, darurat kabut asap telah berlakukan di Riau akibat terbakarnya hutan dan lahan mencapai lebih 100 hektar dan diperkirakan tanpa surut waktu ke tahun depan, menjadi persoalan yang berkepanjangan karena kita tidak hidup selaras dengan alam.
Selain pembakaran hutan terdapat juga perencanaan pembangunan tata ruang yang kurang baik, seperti pembangunan kota dan perumahan, sehingga lahan pertanian yang subur semakin sempit, yang mengincar zona hijau, zona sanggahan hijau bencana yang menimbulkan bencana longsoran setiap tahun. 
Negeri Emisi
Emisi yang dikeluarkan hutan Indonesia ternyata berpengaruh besar ke atmosfer di bumi, bahwa emisi karbon dari perubahan tutupan lahan sangat berpengaruh secara signifikan secara global, dampak dari pembakaran hutan dan pembalakan hutan mencapai 80.000 hektar setiap tahun dengan laju deforestasi tertinggi di muka bumi.
Diperkirakan hasil penelitian emisi dari karbon hutan Indonesia mencapai 40 persen dari total emisi karbon dunia selain emisi bahan bakar fosil yang dihasilkan dunia selama 10 tahun terakhir akibat pembakaran hutan-hutan di tiga pulau besar Indonesia-Sumatera, Kalimantan dan Papua.
Pada tahun 1990-an, Presiden Indonesia ketika itu menganjurkan dan mencetuskan suatu Proyek Mega Rice dengan membangun lahan sejuta hektar di Kalimantan Tengah, kondisi ini telah mendorong terjadinya perubahan tata ruang hutan Kalimantan menjadi sebuah bencana, karena ada penghancuran hutan untuk mencetak lahan pertanian sawah sejuta hektar. Penyebabnya ada penghancuran hutan, pembakaran, dan lokasi terdekat dengan lahan pertambangan yang mengandung emisi bahan bakar fosil. Contoh di bawah ini: batu bara, minyak bumi dan gambut yang jika di gabung mencapai 20 juta metrik ton selama lima tahun.
Daerah ini salah satu sumber kerawanan kebakaran dan berpotensi terus mengeluarkan emisi karbon. Jika di catat emisi karbon di Indonesia tidak pernah suruh sejak pembalakan hutan secara besar-besar dari tahun 1990 hingga ke era tahun sekarang. Emisi karbon dioksida Indonesia terus naik menjadi 490 juta ton pada tahun 2011 atau naik sekitar 210 persen dibanding pada level tahun 1990. Emisi CO2 per kapita Indonesia juga naik menjadi 122 persen dari 0,9 ton emisi CO2/penduduk pada tahun 1990 menjadi 2 ton emisi CO2 penduduk tahun 2011. Tahun 2013 emisi CO2 Indonesia naik menjadi 510 juta ton akibat dampak pembakaran hutan Sumatera sepanjang 6 bulan total. 
Sumber kenaikan emisi global Indonesia di picu dari dari kenaikan konsentrat CO2 di udara saat ini melampaui angka 390 PPM (parts per million dari batas aman yaitu 350 ppm). CO2 dari kebakaran hutan Indonesia adalah gas rumah kaca yang memicu pemanasan global dan perubahan iklim di udara atmosfir Asia Tenggara termasuk kejadian kabut asap ini, dan lagi Riau sebagai “promotor” utama penghasil devisa emisi kabut asap tahun ini.
Tragedi Devisa Asap
Dampak bencana asap dari sisi ekonomi sangat merugikan Indonesia, akibat ekspasif dari perusahaan Malaysia dan Singapura membuka lahan di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. 
Kasus kebakaran hutan semakin susah diberangus dan pemerintah dianggap gagal mengelola lingkungan, terutama dalam menegakkan hukum dengan menyeret pelaku pembakaran hutan ke pengadilan. Kebanyakan yang terekspose hukum hanya pelaku kelas bawah, sedang pelaku “utama” tidak tersentuh hukum. 
Selain itu pemerintah tidak memiliki grand design untuk mengadili korporasi yang berujung pada pencabutan izin usaha perusahaan, hingga terus menimbulkan persoalan lingkungan dengan terus terjadinya musibah bencana kabut asap, berdampak luas bagi perekonomian Indonesia serta kredibilitas pemerintah di dunia internasional.
Tiada tahun tanpa bencana kabut asap di Sumatera dengan terjadinya tragedi asap membuat warga di Pulau Sumatera harus berjuang mengatasi berbagai persoalan kondisi kesehatan dan ekonomi, tragedi asap dapat memberikan pukulan telak bagi sumber devisa. Ironisnya, sumber devisa itu justrunya merupakan sumber kekayaan alam Riau lainnya yang dapat menghentikan produksi minyak -sebagai dampak polusi kabut asap di Provinsi Riau- sekitar 12.000 barrel (kasus kejadian kabut asap tahun 2014). Ratusan sumur produksi minyak nasional terancam karena mengingat Riau adalah penyumbang terbesar, dan lucunya, Kalimatan Timur juga ikut latah, karena kedua sama, penghasil kabut asap dan daerah penghasil devisa migas terbesar di Indonesia.
Memang kita telah mengetahui, bahwa ladang-ladang atau sumur minyak kadang menginjeksikan semburan api ke udara, namun ini tidak terlalu signifikan, karena terpusat, justrunya pembakaran hutan dapat membakar sumber karbon yang terkadung dalam unsur kandungan minyak dan batubara serta gambut, yang menimbulkan kabut asap karena ikut “terpanaskan” lalu berdampak pada jarak pandang akibat sebaran asap dalam suatu wilayah kerja sehingga mendorong terjadi penurunan kualitas kerjanya. Hal inilah penyebab mengapa produksi migas di Riau dan Kaltim mengalami penurunan hingga di bawah 10.000 barrel per hari.
Dampak tragedi kabut asap ini dapat melemahkan kekuatan pertumbuhan ekonomi Indonesia bukan saja Singapura dan Malaysia. Tetapi yang paling rugi kita dibidang ekonomi, sedang pihak Singapura dan Malaysia dibidang kesehatan karena ruang udara dari hutan kedua negara ini sangat terbatas dalam menyerap emisi CO2 sehingga menimbul musim kabut asap gelap bisa berlangsung berhari-hari.
Efek Medan
Dampak kabut asap kini menjadi masalah yang tak akan pernah habis selama hutan Riau dan Kaltim di ekspansi oleh perusahaan dari Singapura dan Malaysia dalam membuka lahan perkebunan yang sangat luas. Akibatnya Medan yang termasuk kota sejuk pun telah merasakan dampak cuaca panas yang mencapai 31-35 derajat celcius. Kondisi bertambah panas setiap tahun tanpa pernah turun selama Riau di jadikan pioner negeri kabut asap.
Dengan cuaca dan polusi udara saat ini dapat memberi ancaman bagi kesehatan terutama penyakit infeksi saluran pernapasan. Kabut asap semakin berbahaya bagi kesehatan jika masuk wilayah Medan dan bergabung dengan debu vulkanik Sinabung yang belum juga menunjukkan gejala penurunan atau istirahat erupsi. Kemudian diperparah dengan laju penggunaan kendaraan yang belum semuanya menggunakan energi hijau, sehingga panas jadi ancaman sepanjang hari termasuk di malam hari.
Kabut asap adalah bencana ekologi disebabkan ulah manusia (antropogenik). Penyebab utamanya adalah pembakaran lahan dan hutan, baik oleh individu, kelompok, hingga perusahaan. 
Aroma mengorbankan ekologi demi keuntungan ekonomi sangat dominan, sehingga perlu direnung kembali untuk hidup dapat selaras dengan alam.
(Penulis adalah Enviromental Geologist, pemerhati masalah tata ruang lingkungan dan energi geosfer)

Revolusi Mental Manusia Terhadap Lingkungan

Revolusi Mental Manusia Terhadap Lingkungan

Oleh: M. Anwar Siregar
Bencana alam yang melanda wilayah Indonesia seperti gempa bumi, tsunami, gunung api meletus, tanah longsor, banjir, angin puting beliung, kabut asap serta kekeringan telah banyak menimbulkan kerugian dan jumlah korban yang banyak. Selain itu, banyak aktivitas kegiatan sosial maupun ekonomi masyarakat mengalami penundaan akibat bencana banjir.
Rentetan bencana tersebut harus merupakan suatu peringatan, bahwa dalam pengelolaan alam kita mungkin ada yang salah arah dalam suatu perencanaan pembangunan tata ruang dan ekonomi, sehingga perlu upaya meminimalisasikan kerugian baik jiwa maupun material dengan melakukan revolusi mental terhadap lingkungan.
(Analisa/said harahap) PANTAI LAMPUK: Panorama sunset  sinar matahari menjelang terbenam melapisi permukaan air Pantai Lampuuk Lhoknga Aceh Besar, Sabtu (21/2). Pantai Lampuuk yang berada di Barat Aceh digenagi air laut jernih dari Samudra Hindia pasir putih memanjakan kita berjalan ditepi pantai,bentuknya melengkung ke bagian dalam bibir pantai.
Mental Manusia
Tragedi kemanusian akibat bencana tsunami di Aceh, Nias, Pangadaran dan di Jepang seharusnya menjadi bahan introspeksi dan kritikan untuk pembangunan tata ruang dan refleksi atas politik terhadap bumi yang selama ini kita lakukan. Ekonomi yang digaungkan selama ini sebenarnya merupakan ekonomi perusak alam, manusia harus mulai belajar menahan diri agar tetap bisa bertahan hidup di muka bumi dengan menata ulang mental diri manusia.
Beberapa penyebab kerusakan lingkungan antara lain dapat dilihat dari aktivitas manusia, fenomena banjir dan tanah longsor adalah suatu fenomena alam yang bisa terjadi secara terpisah, tetapi seringkali juga berlangsung bersamaan di suatu daerah. Sesungguhnya faktor curah hujan hanya merupakan pemicu saja, akan tetapi banjir dan tanah longsor justru terjadi karena faktor erosi permukaan tanah khususnya di wilayah hulu daerah aliran sungai (DAS), di mana faktor human activities berpotensi besar dalam memperparah tingkat erosi tersebut sehingga lingkungan mengalami gangguan keseimbangan, sehingga terjadi kerusakan lingkungan.
Sensitifitas mental diri manusia, menujukkan semakin rendahnya kesadaran masyarakat serta kurang sensitifnya pemerintah daerah dalam mengawasi pembangunan tata ruang kehutanan, pertanian dan pertambangan yang berdampak pada peningkatan erosi dan meluasnya lahan-lahan kritis akibat penebangan pohon-pohon muda dan berkurangnya daerah resapan air hujan. Sensitifitas mental diri itu tergambar juga oleh etika investasi pembangunan fisik di daerah yang telah diidentifkasi sebagai kawasan bencana, tetap melanjutkan pembangunan dan tidak mempedulikan aspek yang terjadi, kerena berprinsip keuntungan lebih dulu kerugian baru dipikirkan belakangan.
Proses deformasi mental fisik bumi, sesungguhnya merupakan suatu proses alamiah yang berlangsung dipermukaan bumi karena bumi sesungguhnya “hidup” karena bumi terus menerus bergerak yang diperlihatkan oleh pergerakan lempeng-lempeng bumi yang saling menjauh, saling mendekat, dan saling bersisian dan mengalami perubahan bentuk meskipun tidak dipengaruhi oleh campur tangan manusia. Bumi memiliki kuasa dan hak-haknya untuk berevolusi, sesuatu yang sulit dihindari oleh manusia dan karenanya harus diterima sebagai suatu kesadaran mental dalam mendiami bumi.
Mentalitas konsumtif ekonomi politik, kegagalan mental manusia menjaga keharmonisasi hubungan dengan alam akibat rasionalitas ekonomi politik yang membudaya dalam bentuk kehidupan konsumtif tanpa mempertimbangkan dampak yang diakibatkan oleh konsumsi itu sendiri bagi kelangsungan generasi berikutnya. Contoh kejadian pembangunan investasi gedung di sekitar bantaran sungai.
Begitu juga oleh aktivitas mental demokrasi, aktivitas produksi oleh manusia yang membuat ironis dari mekanisme sebuah demokrasi yang diagung-agungkan dan dibungkus oleh ekonomi kapitalisme-liberalisme, di mana keuntungan ekonomi hanya menjangkau segelintir manusia saja, sedangkan sebagian besar manusia yang lain harus menanggung dampak akibat kerusakan alam seperti bencana akibat dorongan libido ekonomi manusia yang mengkomoditikasikan segala hal apapun yang ada di alam semesta, termasuk kehidupan di angkasa raya, serta melahirkan bencana budaya, yakni kecenderungan untuk semakin serakah dan egois dengan menjadikan teknologi adalah pemecah utama.
Teknologi cenderung di konsumsi bukan dalam kerangka membangun dukungan bagi kelestarian alam, teknologi yang ada sekarang cenderung digunakan untuk kekerasan, sedangkan untuk penyelamatan lingkungan tidak terlalu dipikirkan. Contoh dana anggaran teknologi persenjataan nuklir yang jumlahnya ratusan triliun, sedangkan penciptaan teknologi bencana alam seperti gempa baru terpikirkan jika sudah mengancam kehidupan manusia.
Etika Kebijakan
Masalah-masalah lingkungan sebaiknya dipertimbangkan secara seksama dalam perancangan dan pelaksanaan kegiatan dalam mencegah bencana lingkungan, kerusakan dan kehancuran akibat bencana beruntun harus dijadikan renungan untuk mengubah perilaku politik yang merusak bumi dengan mewujudkan demokrasi lingkungan yang beretika dan hormat serta selaras dengan alam, sebuah tatanan yang diusulkan oleh masyarakat dunia bagi green politics agar terjadi komunikasi otentik antara manusia (human) dan alam (nonhuman-world) dalam rangka mewujudkan kelangsungan hidup manusia dan lingkungan.
Hal seperti ini seharusnya menjadi pembelajaran etika mental kebijakan manusia terhadap lingkungan, pembelajaran bagi manusia untuk kelangsungan umat manusia yang sangat berharga dengan segala peristiwa bencana yang terjadi di muka bumi. Manusia dengan kelebihan logika harus mampu menangkap tanda-tanda alam sebagai PR, sebagai bentuk proteksi dan adaptasi dari perubahan alam. Kadang mental kesombongan manusialah yang memperburuk dampak dari siklus alami yang telah lama berlangsung di bumi, seperti dikemukan diatas bahwa bumi adalah makhluk hidup yang terus melakukan evolusi.
Manusia memang memiliki hak hidup, berkembang dan membentuk tatanan demokratis di muka bumi, tetapi bumi juga memiliki hak terus eksis dan berevolusi sesuai dengan hukum alam. Karena itu, manusia harus menghormati yang dituangkan dalam bentuk kebijakan hukum politik pelestarian lingkungan harus benar-benar ditegakkan jika tidak ingin terjadi bencana kemanusiaan yang lebih dahsyat dan upaya untuk mengendalikan kerusakan lingkungan bumi.
Revolusi mental manusia terhadap lingkungan perlu ditingkatkan dengan mempertahankan norma dan budaya kearifan lokal yang diwariskan oleh nenek moyang. Nenek moyang bangsa Indonesia dari zaman dulu berhasil membaca sinyal alam dari fenomena alam yang teratur dan berulang kali terjadi bencana, dalam bentuk falsafah hidup dan melahirkan pemikiran nilai-nilai kearifan lokal lalu diimplementasikan dalam bentuk budaya tata ruang kehidupan untuk pengurangan bencana lingkungan. Sangat mendesak bagi generasi sekarang untuk memahami kekuatan dari alam dengan melakukan revolusi mental terhadap politik dan ekonomi lingkungan.
Karena itu, etika kebijakan perencanaan pembangunan ketaruangan lingkungan tidak boleh mengabaikan siklus alam, dan mengarahkan tata ruang lingkungan dengan pengembangan berbagai potensi sumber daya alam yang seimbang, menciptakan lahan pertanian yang produktif dengan menekan laju spasial bagi perluasan daerah pemukiman ke kawasan hutan.
Revolusi kebijakan lingkungan sudah saatnya dipertegas, dengan menekan penghancuran kawasan hutan, pemanasan global disebabkan oleh banyaknya gas rumah kaca terperangkap di atmosfer perlu suatu aksi green politics yang lebih luas, kebijakan penggunaan bahan bakar nabati perlu ditindak lanjuti bukan pada hari tertentu, tetapi secara komprehensif.
Paradigma ini membutuhkan perubahan nilai sikap dan mental dari setiap anggota masyarakat termasuk pengambil kebijakan, pelaku kegiatan bisnis dan masyarakat luas untuk menekan kerusakan lingkngan dan mencapai tujuan prinsip pembangunan berkelanjutan yaitu memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan (Brundland, 1987), karena bumi adalah satu-satunya tempat kehidupan manusia yang ideal.
(penulis adalah geologist, pemerhati masalah tata ruang lingkungan dan energi geosfer)

Populer

Laut Indonesia darurat sampah

  LAUT INDONESIA DARURAT SAMPAH Oleh M. Anwar Siregar   Laut Indonesia banyak menyediakan banyak hal, bagi manusia terutama makanan ...