2 Apr 2013

Etika Pembangunan Banjir Madina : Geologi Lingkungan :

BANJIR MADINA, DAMPAK ETIKA PEMBANGUNAN
Oleh M. Anwar Siregar

Bencana banjir di Madina [Mandailing Natal] merupakan kejadian yang berlangsung setiap tahun, seperti hal pada kejadian banjir di Jakarta. Banjir di Madina lokasi kejadian ada kalanya di tempat yang sama, bahwa hilangnya keseimbangan alam dapat terjadi dan dipengaruhi oleh kegiatan manusia, sehingga menimbulkan bencana alam banjir. Contoh yang paling jelas dan sudah banyak diketahui tetapi masih berulangkali dilakukan yaitu penebangan hutan akibat ilegal mining yang semena-mena dengan menganggap hutan sebagai sumber daya tidak terbatas.
BANJIR MADINA
Terkait dengan proses-proses yang menyebabkan banjir di Madina, tidak terlepas akibat dari gangguan tata ruang siklus geohidrologi yang lebih dominan terjadi akibat perubahan pola ruang hutan di sisi hulu, yang ditimbulkan dari berbagai aktivitas fisik terutama oleh intervensi dari manusia dapat menyebabkan bencana banjir, merupakan suatu peristiwa di mana air meluap ke daratan lebih rendah hingga mendekati daratan yang tinggi dengan batas tertentu, menyebabkan dan menimbulkan kerugian fisik dan berdampak pada bidang sosial dan ekonomi.
Banjir yang terjadi di Madina antara lain beralih fungsinya hulu DAS menjadi kawasan hunian kumuh oleh pertambangan tradisional, yaitu sebagai wilayah fungsi peresapan dan wilayah pengatusan [dranaise], sehingga menimbulkan banjir-banjir lokal karena tersumbatnya saluran drainase sungai oleh timbunan tanah dan terbawa ke muara sungai, galian-galian tambang dangkal di sekitar bantaran sungai yang tidak kunjung selesai oleh kegiatan pertambangan illegal yang menimbulkan longsoran tanah yang dilakukan dengan aktivitas yang tinggi dan rutinutas.
Beralih fungsinya kawasan resapan air di hulu hutan oleh berbagai peruntukkan, yang berperan penting dalam siklus hidrologi di suatu DAS, ketika terjadi hujan maka banjir merata di semua tempat dengan intensitas yang tinggi, vegetasi penutup yang ada tidak lagi mampu mengendalikan aliran permukaan dan di dukung geologi topografi terjal di daerah hulu yang berubah menjadi datar di daerah hilir sehingga menjadi sangat responsibilitas dalam mengalirkan aliran permukaan, menyebabkan banjir dan meluap menggenangi daerah sekitarnya, dapat dilihat di sekitar daerah pertambangan lokal di berbagai kawasan di Madina.
Peningkatan pertumbuhan penduduk Madina ke hulu sejak terbentuk menjadi Kabupaten adalah salah satu faktor perusak sistim tatanan aliran sungai dengan beralih fungsinya tata guna lahan pada lereng hutan yang terjal sebagai kawasan resapan akibat dampak pertambangan terutama penemuan bahan tambang emas disis hulu dan hilir sungai, serta ditemukan endapan timah hitan di daerah hutan terutama pada morfologi agak terjal. Maka akhir dari perilaku ini adalah terjadinya penderasan air menuju ke daratan rendah, tak terbendung dan menimbulkan bencana banjir bandang tiap tahun
DAMPAK ETIKA
Yang membuat semakin rawan kondisi banjir di Madina adalah dorongan kuat dalam pemanfaatan kondisi alam akibat egosntris diri dalam memanfaatkan potensi sumber daya geologi pertambangan dan kehutanan dalam menjaga harmonisasi dengan alam akibat rasionalistas kebutuhan ekonomi manusia di Madina dalam bentuk kehidupan konsumtif pembangunan sehingga daerah yang telah diidentifikasi sebagai keseimbangan alam berakhir pada kondisi alam murka, memberikan pembalasan akibat kesombongan dan keserakahan manusia dalam mengeksploitasi sumber-sumber daya geologi yang terbatas.
Contoh kasus bencana banjir serupa banyak ditemukan, masih berlangsung dan selalu hadir dalam ruang kehidupan masyarakat, yaitu di kawasan Puncak [Jawa Barat] berubah menjadi hunian elite, kawasan inti kota di Medan menjadi kawasan heritage-kuliner, kawasan Pantai di Padang berubah menjadi lokasi perhotelan tanpa perisai, faktor dorongan komoditas dengan mengorbankan daerah hijau sebagai keseimbangan alam itulah penyebab kondisi banjir musiman yang terjadi di Madina 2013 dan diperparah oleh ketidakmampuan menyiapkan pembangunan suatu tata ruang yang ideal bagi sebuah kota yang aman, menata kelestarian ruang ekologi banjir, membangun sumber daya geo-biodiversity serta menegakan aturan zonasi fisik sehingga meninggalkan gangguan tragedy of common setiap tahun di masa mendatang.
Keadaan ini masih diperparah dengan rendahnya etika kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian RTH oleh berbagai latar belakang pendidikan yang tinggi dan mereka pasti paham arti pentingnya sistim ekologi hijau di daerah hulu yang menjadi basis pertambangan illegal sebagai pengendali banjir, yang justrunya menunjukkan ego kepentingan penyebab utama kerusakan lingkungan, tingkat laku dapat diperlihatkan oleh penghancuran hutan lindung, perkebunan dan persawahan, namun dianggap “angin lalu” dengan prinsip keuntungan bisnis lebih dulu dan kerugian alam urusan belakangan di pikirkan. Itulah yang terjadi di Madina, bahwa pelajaran bencana banjir 2011 dan 2012 belum di refleksikan dalam kehidupan harmonisasi dengan alam.
Perlu diingat, kondisi tata ruang kehidupan masyarakat di Madina termasuk paling rentan menimbulkan berbagai kerawanan dan menyebabkan ancaman bencana, sikap egosentris masih dapat dilihat dari kondisi pertumbuhan sosial ekonomi kehidupan masyarakat dalam tata ruang yang telah direncanakan lebih berorientasi pada pemusatan pembangunan di kota, dapat menimbulkan jurang konflik horizontal. Karena wujud kota hanya ditekankan kepada kemampuan masyarakat yang telah mapan sehingga tidak akan terpengaruhi perubahan.
Dimana sistim penunjang hanya berorientasi kepada kalangan masyarakat ekonomi mampu sehingga menjadikan kota sangat egois, kurang manusiawi dan menimbulkan kecemburuan sosial, tingkat keamanan berkurang. Dampak ini, mendorong masyarakat kecil semakin termarginalkan oleh ketidakmampuan mendapatkan sumber kehidupan layak sebagai kepanjangan ekonomi masyarakat mapan untuk melakukan tindakan illegal mining berupa penggalian tambang di kawasan dan bantaran ruang banjir seperti di kawasan hutan dan bantaran hulu dan hilir sungai yang menyebabkan salah satu faktor penyebab banjir di Madina.
PENGENDALIAN PEMBANGUNAN
Ada beberapa introspeksi agar menjadikan wujud etika yang baik dalam membangun tata ruang banjir di Madina untuk mencegah atau mengurangi korban banjir tahunan antara lain : pertama, mempertahankan dan meningkatkan lahan pertanian subur menjadi lahan pertanian abadi sebagai kawasan RTH yang banyak terdapat di jalur-jalur transportasi antar wilayah [studi kasus di Kec. Batahan dan Siabu]. Kedua, lokasi pertambangan illegal sebagai satu sumber perusak lingkungan harus diperketat dan diadakan pendekatan persuasif dan preventif setiap bulan di lokasi yang mengandung bahan jebakan tambang melalui penggambaran dan penjabaran kondisi tata ruang kewilayahan
Ketiga, menata kembali  izin pembangunan serta kebijakan penegakan hukum yang tegas yang harus dipatuhi oleh segenap stake holder, pemerintah dan masyarakat agar terjadi keserasian peraturan daerah yang telah ditetapkan bila suatu peruntukan lahan telah ditetapkan sebagai zona kawasan terbuka hijau sebagai zona sanggahan bencana dan begitu juga sebaliknya sebagai daerah yang diijinkan untuk kawasan pemukiman.
Keempat, peningkatan pengetahuan masyarakat yang kurang sadar akan bahaya banjir lingkungan terus ditingkatkan serta kelima, pemerataan pembangunan untuk semua rakyat harus menjadi introspeksi bagi pemerintah agar tidak terjadi berbagai konflik rakyat dengan pemerintah.
Introspeksi ini perlu dibudayakanh agar efek bencana banjir di Madina dapat dikendalikan dan peran pemerintah kabupaten agar dapat menekan egosentris etika agar ditemukan keselarasan, tetapi itu yang terjadi dan berlangsung sampai sekarang, banjir tiada surut tanpa tahun terlewat, kerugian dan kemiskinan terus bertambah.
M. Anwar Siregar
Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer

21 Mar 2013

Investasi Bencana : Geologi Mitigasi


TATA RUANG INVESTASI BENCANA
Oleh M. Anwar Siregar

Hampir disetiap wilayah kota yang rawan bencana geologi dan klimatologi di Indonesia lebih mementingkan aspek pembangunan kawasan industri tanpa melakukan penelitian kelayakan fisik kerentanan informasi geologis, bukti itu sudah jelas terjadi sekarang, banyak kita lihat bangunan sekarang yang dibangun bukan pada daerah yang sesuai peruntukannya mengalami empat tipe ciri khas hasil gempa yaitu likuafaksi, efek goncangan berganda, fleksure dan gerakan tanah yang luas dan implikasi dimasa waktu tertentu akan ada a-seismik (tidak kaya gempa atau gerakan tanah lambat dengan luasan ruang bawah tanah yang luas) pada kawasan tersebut.
INVESTASI BAHAYA
Faktanya sudah pasti, Indonesia memang sudah sangat jelas sebagai negeri yang rawan bencana, 80% kota-kota di Indonesia menempatkan investasi [menanam modal] tata ruang kehidupannya berada di posisi rawan dari ancaman tsunami, 25 % kota menginvestasi modal sumber daya tata ruang lahan tanpa agunan cadangan zonasi wilayah pada daerah rawan patahan gempa bumi, 28 % kota dalam ancaman kebangkrutan bertemu langsung dengan tsunami, 85% kota di Indonesia dan Medan menempatkan tata ruang fisik dari ancaman banjir tahunan tanpa pertahanan struktural fisik dan alamiah, 12 % kota berani menginvestasikan tata ruang dengan risiko kerugian akibat berada di zona pelemparan zona erupsi gunungapi tanpa jaminan asuransi tata guna lahan untuk “tabungan” tata ruang kota dimasa mendatang.
Kajian informasi bencana tata lingkungan geologi komprehensif dalam pembangunan masih dianggap tidak penting, para investor bisnis luar negeri sangat membutuhkan detail pola tata ruang suatu kota sebelum melakukan investasi, sangat penting informasi ini untuk kajian rekonstruksi dan rehabilitasi bila suatu saat mengalami bencana. Banyak pemerintahan daerah Sumut mengabaikan hal ini dalam menata kota belum berlandaskan kepada pembangunan mitigasi lingkungan dalam ketataruangan yang humanis dengan alam dari ancaman dan kehancuran kota oleh bencana geologi dan kilimatologi, terbukti beberapa kota besar Sumatera Utara seperti Medan dan Tebing Tinggi berlangganan banjir.
Pembangunan atau pengembangan sebuah investasi kegiatan fisik di lingkungan yang geologinya tidak mampu mendukung atau menampung beban-beban pikul terhadap tanah diatasnya dapat menyebabkan bencana. Contohnya, pembangunan infrstruktur jalan tol dan penempatan pembangunan kanal banjir di Jakarta dan di Medan harus memahami keadaan karakteristik quarter lingkungan dimasa lalu sehingga Pemerintah di Sumut wajib mengkaji dan mengatur wilayah-wilayah (zoning regulation) rawan bencana longsoran tanah, banjir ataupun ancaman tsunami serta gunungapi diwilayah perkotaan dengan membentuk Peraturan Pemerintah untuk memperkuat landasan yuridisnya dan konsekwensi hukumnya jika terjadi pelanggaran
ETIKA INVESTASI
Etika perencanaan investasi dalam pembangunan tata ruang di Sumatera Utara dan Indonesia sangat memprihatinkan, daerah yang berfungsi keseimbangan alam seperti ekologi hutan, habis dan hancur di rusak dengan tidak mempedulikan etika lingkungan. Gejala ini kerusakan etika investasi [menanam bencana dalam bentuk kerusakan moral lingkungan] dapat dilihat dengan tumbuhnya perumahan-perumahan, perhotelan dan pembangunan jalan di daerah yang telah diidentifikasi daerah rawan banjir, daerah resapan dan keseimbangan air di sekitar Sibolangit, kawasan Kart di Deli Serdang, penghancuran hutan karet di daerah Padanglawas Utara dan penghancuran tumbuhan bakau disepanjang Pantai Timur serta peledakan terumbu karang di Pantai Barat Sumatera Utara.
ANALISIS INVESTASI SUMUT
Pemerintahan di Sumut masih terkesan setengah hati, dalam menginvestasikan suatu RTH [ruang terbuka hijau] sehinga menyebabkan timbulnya kawasan kumuh, sumber “lingkaran setan” bencana lingkungan dalam penataan ruang fisik perkotaan yang berdampak pada kerentanan dan kerawanan sosial yang tinggi.
Kebanyakan pada kawasan urban kumuh yang tidak ditata dengan baik dan berinteraksi dengan kawasan pertumbuhan baru, melanggar zona hijau penyebab banjir tahunan. Lihat saja tata ruang hijau yang berimpit langsung dengan kawasan “terlarang” di kota Medan, Sibolangit, Tarutung dan Parapat, kota-kota tersebut diapit dan dibelah sungai-sungai besar dan bermuara ke Laut atau Danau Kawah. Selain itu, penempatan fisik kota masih dan berada dalam koridor maut bahaya geologi, terdapat 95 persen kota besar Sumatera Utara mendeposit bahaya tata ruang lingkungan dari ancaman bencana geologi dan klimatologi yaitu berada dalam radius 25-85 km di ruas patahan besar Sumatera dan diapit 3-4 sungai utama dengan 15 anak sungai yang membelah tata ruang lingkungan fisik.
Bertitik tolak dari fokus pemahaman bahaya yang dapat menyebabkan bencana lingkungan geologi sebagai dasar kajian pengembangan fisik tata ruang lingkungan perkotaan maka konsep-konsep pembangunan fisik keruangan di Sumatera Utara sudah harus berorientasi pada mitigasi bencana lingkungan seperti penyusunan tata ruang infrastruktur berbasis geologi, mitigasi bencana berbasis komunitas/masyarakat, mitigasi antar pulau-darat, dapat dilaksanakan secara konsisten dengan komitmen yang kuat dari berbagai komponen.
Diperkirakan ada empat faktor intraksi utama apabila kajian geohazard-risk dalam mengembangkan investasi tata ruang kota berbasis bencana apabila diabaikan dan menimbulkan bencanabencana tersebut serta menyebabkan kerugian besar investasi bagi pemerintah, yaitu: Para perencana tata ruang kurang memahami terhadap karakteristik bahaya (hazards). Sikap atau perilaku yang mengakibatkan penurunan kualitas.  Sumberdaya alam (vulnerability). Kurangnya informasi/peringatan dini (early warning) yang menyebabkan ketidaksiapsiagaan masyarakat. Ketidakberdayaan/ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bahaya.
Beberapa kota di Sumatera Utara telah dianalisis memiliki potensi investasi tersebut diatas [baca : potensi menanam modal bahaya] bencana di tahun 2013, yang berada dalam ancaman bencana gempa berulangkali seperti Tapanuli Selatan, Taput, Tapteng, Tanah Karo, Langkat, Nias, Gunung Sitoli, Nias Selatan, Humbahas, Dairi. Investasi bencana tsunami kategori resiko sangat tinggi berada di wilayah Madina, seluruh Kabupaten di Nias, Sibolga, Tapanuli Selatan, dan Tapteng serta dampak gerakan tanah tinggi di Deli Serdang, Asahan, Batubara, Palas, Paluta, Tapsel dan Simalungun serta banjir di kota Medan [gejala sudah dimulai], Tebing Tinggi, Sergai, Tanjung Balai atau Tarutung. Maupun bahaya letusan gunung api antara lain di Tapsel [sudah ada gejala bau belerang lebih menyengat di bulan Januari 2013], Taput, Tanah Karo, Tobasa dan Mandailing Natal.
LANGKAH AMAN INVESTASI
Langkah-langkah investasi untuk mengamankan tata ruang kota dan mengembangkan “lingkungan perkotaan yang aman” (Safer City Process) dalam mitigasi ketataruangan hunian yang aman bagi masyarakat di kota adalah 1. Memperkirakan kebutuhan investasi [menanam modal asuransi] yang harus dikembangkan untuk “keselamatan perkotaan” sebagai tempat tinggal, 2. Membentuk kerjasama antara berbagai pihak, baik dari pemerintah-swasta dan masyarakat sebagai investasi yang menguntungkan dalam jangka panjang, dan 3. Memformulasikan dan mengimplementasikan rencana tindak (action plan) kolaborasi antara berbagai pihak. Rencana ini harus disusun berdasarkan prioritas, tujuan, indikator, kerangka waktu dan sistem pemantauan (sumber, modifikasi dari world habitat day, 2008).
Ringkasnya pemahaman tentang ancaman bencana dan bahaya bagi keberlangsungan investasi tata ruang kota dimasa depan sangat penting meliputi pengetahuan secara menyeluruh tentang halhal sebagai berikut : 1. Bagaimana ancaman bahaya yang akan timbul. 2. Tingkat kemungkinan terjadinya bencana serta seberapa besar skalanya. 3. Mekanisme perusakan secara fisik. 4. Sektor dan kegiatan apa saja yang akan sangat terpengaruh atas kejadian bencana dalam tata ruang. 5. Dampak dari kerusakan, jumlah kerugian yang diakibatkan.
Diharapkan pemerintah Sumatera Utara yang daerahnya sudah merasakan “keganasan” alam dapat mereformasi semua data dan pembuatan peta RTRW, RTDR, RTH dan sistim pengendalian bencana seperti teknologi pemantauan bencana, bertujuan meminimalkan jumlah kehancuran fisik dan bencana finansial sehingga masyarakat tidak semakin traumatik hidup di negeri bencana.

M. Anwar Siregar
Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang  Lingkungan dan Geosfer. Tulisan ini sudah diterbitkan di HARIAN ANALISA MEDAN, 28 Januari 2013

Ironi RTH : Geologi Lingkungan



IRONI EKOLOGI RTH
Oleh M. Anwar Siregar
Kurun waktu tiga puluh tahun terakhir telah meningkatkan kesadaran dan keprihatinan terhadap dampak yang sebabkan oleh umat manusia atas planet kita. Bahwa masyarakat industri modern telah menyebab akar krisis ekologi telah menimpa kondisi lingkungan sekarang menjadi suatu bencana, misalnya bencana banjir musiman yang melanda sebagian besar wilayah kota di Indonesia . Menurut beberapa literatur penelitian menyebutkan ada lima faktor utama penyebabnya yaitu jumlah penduduk dunia, modal, makanan, konsumsi sumber daya yang tidak bisa diperbaharui [termasuk energi] serta polusi, tumbuh secara eksponesial dengan laju yang sangat cepat.
Sudah sejak tahun 1960-an kesadaran lingkungan telah mendorong manusia untuk memahami masalah kondisi dan perlindungan ekologis lingkungan. Ada kesadaran bahwa manusia tidak hanya mengancam jaringan kehidupan bumi tetapi juga mengancam kelangsungan hidup mereka yang telah melampaui daya dukung biosfer planet untuk menyerap, memperkaya dan mendaur ulang. Masa depan kawasan ekologi bergantung pada kemauan manusia dalam melestarikan dan membutuhkan kemauan untuk berbagai perilaku hidup serta menata ulang gaya teknologi secara radikal.
KONSUMSI PERTUMBUHAN
Pertumbuhan jumlah penduduk, pola konsumsi yang berlebihan dan aktivitas ekonomi yang terkait memberikan tekanan besar pada sistem daya dukung lingkungan bumi. Tuntutan manusia terhadap lingkungan yang semakin besar menimbulkan degradasi tanah, kerusakan akibat polusi yang dahsyat, hilangnya keanekaragaman hayati dan penggundulan hutan yang semakin luas. Tanda-tanda lain yang menunjukkan bahwa alam sudah menunjukkan batas-batasnya kepada tujuan manusia adalah susutnya cadangan air, yang mengakibatkan kekurangan air di beberapa tempat, terjadinya peningkatan gelombang panas, turunnya hasil usaha panenan, dan beberapa bentuk kerusakan lingkungan yang dahsyat akibat krisis ekologi hijau antara lain munculnya gas-gas penghasil efek rumah kaca dengan laju yang terlalu tinggi untuk bisa diserap lautan-lautan dunia.
Globalisasi industri telah membawa perkembangan sosial ekonomi maupun fisik pada tata ruang perkotaan dan antar wilayah di berbagai kota di Indonesia, konsumsi pertumbuhan kebutuhan primer dan sekunder talah membawa berbagai dampak bencana. Hal ini tercermin antara lain dengan semakin meningkatnya permintaan lahan untuk kawasan industri dan pemukiman-pemukiman baru, sebagai konsekuensi dari laju peningkatan penanaman modal berbagai usaha dan jasa, yang suatu kelak menimbulkan ironisasi bencana yang kini melanda berbagai masyarakat dan tata ruang kota di Indonesia.
IRONI RTH
Akibat laju konsumsi pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan manusia berdampak pada kerusakan ekologi ruang terbuka hijau [ RTH] yang seharusnya berfungsi sebagai ruang terbuka dengan meminimalisir interior fisik, kerusakan juga diakibatkan oleh beralihfungsinya lahan pertanian abadi, pengurangan dan pembetonan hutan DAS dan pembentukan kawasan tata ruang kumuh di bantaran DAS, perubahan fisik hutan mangrove, berkurangnya taman hutan raya dan taman kota, terbatasnya peremajaan hutan konservasi untuk segala keperluan kehidupan.
Dilihat dari perubahan DAS, yang menyebabkan ironi karena ketidakmampuan pemerintah mempertahankan fungsi disekitar DAS menjadi kawasan konstruksi pondasi sebuah gedung tertentu dan banyak ditemukan di kota-kota besar di Indonesia karena DAS memiliki dua fungsi wilayah dan telah dianggap tidak penting bagi sebagian masyarakat dan maupun egosentris bisnis yaitu wilayah peresapan curah hujan dan wilayah yang berfungsi sebagai pengatusan [dranaise], contoh langganan banjir diwilayah ini terdapat di Pantai Indah Kapuk [Jakarta] dan sekitar Medan Maimun.
Yang lebih ironis lagi, sudah diperkuat dalam UU No. 41 tahun 1999 yang menegaskan bahwa hutan dalam satu DAS adalah 30 persen. Namun yang terjadi, hutan tetap mengalami penggundulan sehingga tidak mampu mencegah banjir. Memang jika kita lihat fungsi hutan disekitar DAS hanya dapat mengurangi banjir pada curah hujan sedang [Dunne & Leopold, 1978], namun pengamatan penulis dalam pemetaan gerakan tanah dan banjir dapat mengurangi efek sampingan yaitu erosi yang menyebabkan pendangkalan di sungai atau saluran sungai agar lancar mengalirkan air dan tidak menbentuk cekungan kedalam tebing.
Beberapa pemukiman dalam suatu tindakan iklan pemasaran bisnis perumahan menyebutkan, bahwa daerah kawasan hunian baru yang mereka bangun merupakan daerah bebas banjir. Apakah mereka tidak tahu atau memang pura-pura tidak tahu sehingga menyebabkan kegetiran bencana? Kawasan hunian berupa perumahan di pinggiran kota besar biasanya adalah kawasan ruang hijau dari unsur tata guna lahan pertanian dan hutan. Semua sudah tahu bahwa fungsi ekologi hutan adalah menjaga kontinuitas aliran, karena hutan dapat mengatur tata air yaitu menampung air pada musim penghujan dan mengalir pada musim kemarau. Sedang dari alih fungsi pertanian dapat dilihat dari gambaran ekologi tumbuhan tanaman keras ke tanaman musiman yang tidak cukup signifikan dalam meredam banjir dan gerakan tanah.
Ada lagi ironi bagi RTH yang seharusnya sebagai pengendali kerusakan global yaitu penggunaan situ dan rawa untuk pemukiman yang ditutup oleh proses urugan atau pemadatan tanah sehingga elasitas pemadatan tidak akan pernah mendukung kekuatan tanah terhadap beban pondasi diatasnya karena kehilangan keseimbangan “hijau” yaitu akibat kehilangan aliran permukaan sehingga limpasan dari bagian hulu tidak mempunyai tempat lagi untuk transit dan langsung mengalir dan menambah beban aliran disekitarnya sehingga menyebabkan banjir di kawasan pemukiman.
Ironi kebijakan tata ruang terbuka hijau [RTH] dari pemerintahan di Indonesia masih setengah hati dalam menjalankan penegakkan amanah UU No 26 tentang tata ruang terbuka hijau, yang harus menyediakan 30 persen atau 3.000 hektar lahan RTH tertekan oleh berbagai mekanisme faktor eksternal. Salah satunya adalah faktor ekonomi pasar, yang mempengaruhi pola pikir dan perilaku dalam mendapatkan keuntungan sesaat sehingga mengagunkan tanah persawahan dan tanah perkebunan di perbukitan untuk dijadikan komoditas menguntungkan dalam bentuk jual beli tanah, yaitu pengkaplingan untuk perubahan peruntukan lahan.
IRONI DUKUNGAN
Contoh ini, telah banyak kita lihat di Kabupaten pemekaran di Indonesia, dari kondisi realitas desa menuju kehidupan pembangunan kota sehingga banyak lahan yang tadi dimanfaatkan sebagai sumber kehidupan beralih fungsi fisik dan memanfaatkan harga tanah melambung tinggi. Dalam masyarakat yang terbuka dan masuknya ekonomi uang yang menguntungkan bagi petani sehingga strategi perluasan RTH menjadi absurd karena ketidakadaan dukungan yang kuat dari masyarakat.
Produk akhir dari perencanaan tata ruang terbuka hijau yang baik tidak selalu menghasilkan tata ruang yang baik tanpa ada dukungan oleh stake holder, pemerintah dan masyarakat dengan satu visi dan misi yang handal, di dukung oleh kemampuan SDM Aparatur dan SDM masyarakat untuk melakukan pengawasan dan pengendalian kebijakan pembangunan tata ruang terbuka hijau sehingga mampu menekan berbagai mekanisme pembangunan ekonomi yang tidak berwawasan lingkungan.

M. Anwar Siregar
Geologist Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer. Tulisan ini sudah diterbitkan di HARIAN ANALISA MEDAN, Tgl  03 maret 2013

Introspeksi Etika Pembangunan : Geologi Lingkungan

BENCANA BANJIR : INTROSPEKSI ETIKA PEMBANGUNAN
Oleh M. Anwar Siregar

Bencana banjir di Indonesia kini merupakan pemandangan setiap hari yang disuguhkan oleh “sarapan” berbagai media di tanah air, lokasi kejadian ada kalanya di tempat yang sama seperti yang kita lihat di Jakarta, Medan dan Padang setiap tahun, bahwa hilangnya keseimbangan alam dapat terjadi dan dipengaruhi oleh kegiatan manusia, sehingga menimbulkan bencana alam banjir. Contoh yang paling jelas dan sudah banyak diketahui tetapi masih berulangkali dilakukan yaitu penebangan hutan yang semena-mena dengan menganggap hutan sebagai sumber daya tidak terbatas.
Hutan di Indonesia kini semakin terbatas serta memasuki “sakratul maut”, dan ruang banjir kini semakin meluas ke kawasan pemukiman elite, gambaran banjir tersebut dapat dilihat di kota besar Jakarta, Medan dan Makassar akibat kemajuan pembangunan fisik non ruang hijau terbuka atau RTH.
RUANG BANJIR
Terkait dengan proses-proses yang menyebabkan banjir, tidak terlepas akibat dari gangguan tata ruang siklus geohidrologi, yang ditimbulkan dari berbagai aktivitas pembangunan fisik terutama oleh intervensi dari manusia dapat menyebabkan bencana banjir. Banjir merupakan bencana alam sering terjadi di Medan dan Jakarta, merupakan suatu peristiwa di mana air meluap ke daratan lebih rendah hingga mendekati daratan yang tinggi dengan batas tertentu, dapat menyebabkan dan menimbulkan kerugian fisik dan berdampak pada bidang sosial dan ekonomi.
Ruang-ruang yang menyebabkan terjadinya banjir di kota besar antara lain beralih fungsinya DAS menjadi kawasan hunian kumuh, yaitu sebagai wilayah fungsi peresapan dan wilayah pengatusan [dranaise], sehingga menimbulkan banjir-banjir lokal karena tersumbatnya saluran drainase oleh sampah rumah tangga, galian-galian pipa di sekitar bantaran sungai yang tidak kunjung selesai oleh kegiatan pembangunan yang dilaksanakan tidak terpadu antara satu sektor dengan sektor lainnya
Beralih fungsinya kawasan resapan air di hulu hutan oleh berbagai peruntukkan, yang berperan penting dalam siklus hidrologi di suatu DAS, ketika terjadi hujan maka banjir merata di semua tempat dengan intensitas yang tinggi, vegetasi penutup yang ada tidak lagi mampu mengendalikan aliran permukaan dan di dukung geologi topografi terjal di daerah hulu yang berubah menjadi datar di daerah hilir sehingga menjadi sangat responsibilitas dalam mengalirkan aliran permukaan, menyebabkan banjir dan meluap menggenangi daerah sekitarnya.
Peningkatan pertumbuhan penduduk adalah salah satu faktor perusak sistim tatanan aliran sungai dengan beralih fungsinya tata guna lahan pada lereng hutan yang terjal sebagai kawasan resapan, sebagai contoh daerah hutan pada morfologi agak terjal biasanya di tanam oleh tanaman keras berubah menjadi areal persawahan oleh tanaman musiman. Maka akhir dari perilaku ini adalah terjadinya penderasan air menuju ke daratan rendah, tak terbendung dan menimbulkan bencana banjir bandang tiap tahun
EGOSENTRIS ETIKA
Yang membuat semakin rawan kondisi suatu kota bukan saja faktor alam, melainkan juga egois dan etika manusia yang mendiami suatu lingkungan. Esensi kritis diri dalam penegakkan aturan perencanaan serta perundang-undangan hukum tata ruang dan lingkungan serta egosentris dalam pemanfaatan tata ruang yang menyebabkan banjir dikondisikan oleh sosial budaya masyarakat yang serakah akibat dorongan libido ekonomi manusia Indonesia dalam memanfaatkan kondisi alam dan tidak mampu menjaga hubungan harmonisasi dengan alam akibat rasionalitas ekonomi politik yang membudaya dalam bentuk kehidupan konsumtif pembangunan.
Contoh kasus bencana banjir di kawasan Puncak [Jawa Barat] dan kawasan inti kota besar dan kecil berkembang di Medan, Padang serta Semarang berubah menjadi kawasan heritage-kuliner, disebabkan ketidakmampuan manusia Indonesia menyiapkan pembangunan suatu tata ruang yang ideal bagi sebuah kota yang aman, menata kelestarian ruang ekologi banjir, membangun sumber daya geo-biodiversity serta menegakan aturan zonasi fisik yang bersifat efek memaksa, hanya ‘indah diatas kertas”. Pengorbanan daerah hijau yang sepantasnya sebagai keseimbangan alam berakhir pada kemauan komoditas (fetisisme].
Keadaan ini masih diperparah dengan rendahnya etika kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian RTH oleh berbagai latar belakang pendidikan yang tinggi dan mereka pasti paham arti pentingnya sistim ekologi hijau sebagai pengendali banjir, yang justrunya menunjukkan ego kepentingan penyebab utama kerusakan lingkungan, tingkat laku dapat diperlihatkan oleh pembangunan vila-vila mewah di kawasan Puncak menghancurkan perkebunan teh, di daerah kawasan pantai dengan menghancurkan hutan mangrove berfungsi sebagai pemecah gelombang tsunami, namun dianggap “angin” dengan prinsip keuntungan bisnis lebih dulu dan kerugian alam urusan belakangan di pikirkan sehingga kita melihat berbagai “danau baru” di lingkungan kehidupan kita.
Egosentris masih dapat dilihat dari kondisi sosial ekonomi kehidupan masyarakat dalam perencanaan tata ruang kota yang tidak berorientasi kepada kemampuan pertumbuhan ekonomi yang dapat menimbulkan konflik horizontal karena wujud kota hanya ditekankan kepada kemampuan masyarakat yang telah mapan sehingga tidak akan terpengaruhi perubahan. Dimana sistim penunjang hanya berorientasi kepada kalangan masyarakat ekonomi mampu sehingga menjadikan kota sangat egois, kurang manusiawi dan menimbulkan kecemburuan sosial, tingkat keamanan berkurang. Dampak ini, mendorong masyarakat kecil semakin termarginal dan membentuk pola tata ruang kumuh, dapat menimbulkan ancaman bencana, didorong ketidakmampuan mendapatkan sumber kehidupan layak dengan bertempat di kawasan dan bantaran ruang banjir seperti di kawasan hutan dan bantaran daerah aliran sungai [DAS].
INTROSPEKSI PEMBANGUNAN
Ada beberapa introspeksi agar menjadikan wujud etika yang baik dalam membangun tata ruang banjir antara lain : pertama, mempertahankan dan meningkatkan lahan pertanian subur menjadi lahan pertanian abadi sebagai kawasan RTH yang banyak terdapat di jalur-jalur transportasi antar wilayah.
Kedua, izin pembangunan yang harus dipatuhi oleh segenap stake holder, pemerintah dan masyarakat agar terjadi keserasian peraturan daerah yang telah ditetapkan bila suatu peruntukan lahan telah ditetapkan sebagai zona kawasan terbuka hijau sebagai zona sanggahan bencana dan begitu juga sebaliknya sebagai daerah yang diijinkan untuk kawasan pemukiman.
Ketiga, kebijakan penegakan hukum yang harus tegas dan adil bagi semua di mata hukum, bukan indah diatas kertas. Keempat, peningkatan pengetahuan masyarakat yang kurang sadar akan bahaya banjir lingkungan terus ditingkatkan serta kelima, pemerataan pembangunan untuk semua rakyat harus menjadi introspeksi bagi pemerintah agar tidak terjadi berbagai konflik rakyat dengan pemerintah.
introspeksi ini perlu dibudayakanh agar efek bencana banjir dapat dikendalikan dan peran pemerintah agar dapat menekan egosentris etika agar ditemukan keselarasan, tetapi itu yang terjadi dan berlangsung sampai sekarang, banjir tiada surut tanpa tahun terlewat, kerugian dan kemiskinan terus bertambah. Adakah anda telah sedia payung sebelum hujan? 
M. Anwar Siregar
Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer, Tulisan ini sudah diterbitkan di HARIAN "ANALISA" MEDAN, Tgl 10 Maret 2013

Menuju Medan Kota Bebas Banjir : Geologi Lingkungan

MENUJU MEDAN KOTA BEBAS BANJIR
Oleh M. Anwar Siregar

Masalah lingkungan yang sangat ini kita hadapi adalah merupakan masalah ekologi lingkungan manusia yang timbul karena perubahan lingkungan yang menyebabkan lingkungan itu tidak sesuai lagi untuk mendukung kehidupan manusia karena daya dukung lingkungan telah mengalami kerusakan. Masalah lingkungan terutama pemanasan global, akibat efek energi terhadap lingkungan, dapat juga disebabkan oleh penataan ruang hijau terbuka yang berkurang dan kini menjadi “PR” bagi kota-kota besar di Indonesia, salah satunya kota Medan, harus merefleksikan keadaan tersebut agar menjadi kota yang layak dihuni, humanis dengan lingkungan bagi 10 juta penduduknya.
BERBASIS EKOLOGI BIOPORI
Pembangunan ekologi hijau di kota Medan memerlukan perencanaan berkelanjutan agar kota ini menjadi kota yang layak di huni, harmonisasi dengan ekologi hijau terbuka yaitu pembangunan ruang hijau terbuka sebagai upaya solusi mitigasi dini, dikonsentrasikan sebagai kota berbasis bencana ekologi biopori.
Solusi tersebut, untuk mengatasi banjir dengan menata kawasan hijau dipinggiran sungai menuju ke inti kota. Tata ruang hijau dapat difungsikan di kawasan pintu gerbang perbatasan Medan sekitarnya, untuk mencegah berkurangnya daerah rawa-rawa, serta mengidentifikasi wilayah itu apakah daerah rawan zona lintasan banjir, banjir rob, banjir raksasa (tsunamis) ataukah zona wilayah rawan jangkauan erupsi banjir lava-lahar hujan gunungapi Sibayak dan Sinabung ke wilayah Kota Medan dalam rangka mereduksi dampak bencana fisik dan alamiah kepada penduduk yang datang secara berkala.
Selain menata tata ruang hijau untuk kawasan banjir maka Medan harus menjadi negeri biopori terbanyak di Indonesia, yang terbukti salah satu dapat mencegah dan mengurangi dampak banjir akibat keterbatasan lahan hijau, biopori dapat digunakan untuk mencegah rembesan air dan mengurangi kekeringan air akibat tingkat keakaran pohon hijau mengalami kondisi distabilitas oleh konstruksi beton. Fungsi biopori dapat memberikan berbagai keuntungan bagi kelanjutan tata ruang air dan siklus air bersih berkelanjutan, geohidrologi air akan berjalan lancar, memberikan efek sampingan yaitu terjadi keseimbangan dan kekuatan tanah tetap stabil, sehingga bangunan diatasnya tidak mengalami gejala fleksure dan gerakan tanah.
Namun saat ini, RTH di Medan tersedia seluas 10 persen dari yang diamanahkan UU tahun 2006 minimal 30 persen atau sekitar 3.000 ha, kawasan RTH dapat difungsikan sebagai kawasan biopori, karena Medan memiliki tingkat curah hujan yang tinggi, sehingga memerlukan rongga-rongga tanah yang terbuka, sebagai alternatif terbaik dari pembuatan drainase yang sering mengalami penyumbatan penyebab genangan air dan banjir serta tingkat kesadaran masyarakat dalam pemeliharaan masih rendah.
KOTA BERBASIS AIR
Potensi bencana banjir masih mengancam Medan di masa mendatang, strategis ancaman banjir kiriman dan kemajuan pembangunan fisik akibat laju peningkatan prasarana khususnya dibidang Jalan, maka pemkot Medan harus memperbanyak ruang-ruang kanal banjir agar terkenal menjadi kota berbasis air, selain kota berbasis ekologi biopori, dengan memadukan sistim zonasi sanggahan RTH agar layak sebagai kota peraih Adipura.
Salah satu solusi kota berbasis air dengan melakukan studi banding di kota-kota yang memiliki karakteristik geologi banjir. Sebab, tata ruang topografi kota Medan memiliki ketinggian sekitar 25 meter di atas permukaan air laut (dpl), Medan diidentifikasi memiliki 90 titik rawan genangan air mencapai lebih 1.570 ha dan memiliki tiga jalur banjir bandang, terbentang dari utara hingga ke inti kota yang diperlihatkan oleh Sungai Belawan dan dari selatan ke inti kota melalui bagian baratdaya oleh Sungai Deli dan terus berputar-putar ke sungai Percut di bagian timur menuju ke inti kota bagaikan tsunami. Dan kanal banjir yang dibangun di kawasan Selatan Medan tidak akan mampu menampung hujan apalagi kiriman banjir lewat Sungai Deli, Sungai Babura dan Sungai Kwala yang membelah inti kota Medan.
Untuk menjadi kota berbasis air, atau kota dengan kemampuan menampung debit air yang tinggi maka kota harus dirancang dengan pembangunan fisik dengan sebutan “kota seratus kanal” ataupun “kota berbasis sejuta ekologis rawa”. Dengan mempertimbangkan kondisi DAS yang membelah kota Medan dengan menimalisasi eskalasi urbanisasi yang sering membentuk kawasan “tata ruang kumuh”.
Kajian dan pengelolaan kerentanan fisik banjir harus dilakukan Pemko Medan secara menyeluruh melalui survey investigation design dan perencanaan yang dilengkapi dengan detail engineering design yang sesuai dengan kondisi geologi bawah permukaan maupun geologi permukaan setempat secara terukur serta diperlukan menata ulang tata ruang berupa pengadaan master plan baru di kawasan kumuh di sekitar dan bantaran DAS atau bisa dijadikan “land recovery” dalam bentuk tatanan lingkungan ekologi rawa-rawa.
Untuk mencegah kehilangan daerah rawa di perbatasan wilayah, pemko Medan dapat saja melakukan pembelian dan menjadikan fungsi ekologis air, fungsi perluasan taman dan areal perkebunan produktif serta pertanian melalui instansi terkait agar dapat diintegrasikan ke dalam pengelolaan mitigasi resiko bencana untuk mereduksi bahkan meniadakan dampak yang ditimbulkan ke dalam tata ruang akibat banjir.

M. Anwar Siregar
Geolog, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer, Artikel ono sudah diterbitkan di HARIAN "ANALISA" MEDAN Januari 2013

25 Feb 2013

Efek CO2 Indonesia : Geologi Lingkungan


EFEK GLOBAL CO2 BAGI TATA RUANG INDONESIA 
Oleh M. Anwar Siregar 

Berabad-abad manusia telah melakukan penyalagunaan ekosistim yang ada dengan meningkatnya pencemaran polutan dalam bentuk pembakaran bahan bakar fosil, menghancurkan hutan dan tanah, pencairan lapisan es serta menginjeksikan panas penguraian pada batuan silikat sehingga terjadi perubahan iklim dratis, dengan adanya istilah-istilah modern sebagai upaya pembenaran terhadap penghancuran Bumi berupa eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber daya pertambangan di bumi, berdampak luas pada gangguan ekosistim lingkungan Bumi. 
EFEK EMISI GLOBAL 
Kadar CO2 diatmosfer mulai naik sejak abad ke 19 dengan adanya revolusi industri. Peningkatan pemakaian konsumsi BBM mulai tercatat dari tahun 1950 dalam bentuk CO2 dilepaskan ke atmosfer sebanyak 1,6 milyar ton meningkat menjadi 5,14 milyar ton pada tahun 1970, pada tahun 1980 telah mengemisikan CO2 sebanyak 51 milyar selanjutnya pada tahun 2000 meningkat lagi menjadi 130 milyar metrik ton yang dihasilkan dari pemakaian 24 juta barrel per hari minyak bumi oleh berbagai lini kehidupan manusia. 
Dalam hal peningkatan laju emisi CO2 ke udara menimbulkan fenomena pemanasan global maka industri pertambangan Batubara terbesar peringkat ke satu, menghasilkan sekitar 940 gr CO2 untuk digunakan sebagai pembangkit energi, sedangkan BBM dalam menginjeksi efek rumah kaca dalam bentuk energi sekitar 581 sampai dengan 798gr CO2. 
Sedangkan pengemisi terbesar adalah industri dan transportasi, peningkatan pemakaian energi berkaitan langsung dengan pertumbuhan ekonomi yaitu permintaan energi untuk transportasi dan di Indonesia banyak belum menggunakan energi alternatif ramah lingkungan dalam produksi massal. Berkaitan dengan pemanasan global dengan isu perubahan iklim dengan gejala meningkatnya suhu rata-rata permukaan Bumi akibat peningkatan jumlah emisi gas rumah kaca di atmosfer maka Benua Amerika sebagai penghasil efek rumah kaca terbesar, sedangkan Indonesia bukan penghasil efek rumah kaca namun penerima terbesar efek rumah kaca. 
Negara konstributor utama penyumbang CO2 berasal dari pemakaian bahan bakar fosil batu bara terbesar di dunia dan penyebab Indonesia dan Pasifik mengalami iklim dan cuaca ekstrim adalah Cina mengkonsumsikan efek emisi satu milyar ton, lalu Rusia sebanyak 910 juta ton emisi polutan, Amerika Serikat 902 juta ton, Jerman 150 juta ton dan Jepang 130 juta ton setiap tahun. Dengan tingkat konsumsi emisi bahan bakar fosil saat ini mencapai 29,65 persen per tahun, maka jumlah efek rumah kaca ke atmosfer terus meningkat dengan laju 3,5 persen setiap tahun maka kadar CO2 terendapkan menjadi 30 persen memicu suhu bumi sebesar 3oC dikawasan Indonesia dan Pasifik dengan penurunan panjang luas daratan akibat kenaikan volume air laut bertambah, sedangkan kawasan lain akan mengalami kenaikan 4-6oC dengan berkurangnya panjang pantai. 
Kelompok emisi yang menyebabkan anomali kerentanan bagi efek pemanasan global dari pembakaran bahan bakar fosil antara lain Oksida carbon yang terdiri dari atas carbon monoksida [CO] dan karbon dioksida [CO], dan Oksida sulfur yang terdiri atas sulfur dioksida S dan sulfur trioksida SO serta Oksida nitrogen yang terdiri atas nitrogen oksida NO, nitrogen dioksida NO dan dinitrogen oksida N2O. Sedangkan kelompok gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim dan suhu bumi antara lain Karbon dioksida CO2, Metana CH4, Dinitro Oksida N4O, Hidrofluorocarbon HFC, Perfluorocarbon PFC dan Sulfur Heksafluororida SF6. 
DAMPAK BAGI INDONESIA 
Efek-efek peningkatan CO2 dari energi ke laut dan efek perubahan iklim geosfer yang paling menakutkan bagi Indonesia, yaitu ancaman naiknya permukaan air laut karena pemuaian air samudera dan pelelehan gletser es di kedua kutub bumi. Gletser dan gunung es yang selama ini membeku akan mencair dan menggelontorkan airnya ke lautan yang berakibat pada bertambahnya volume air laut. Contoh perubahan pemuaian daerah lapisan es yaitu di lapisan es di Kutub Utara, begitu juga tekanan suhu es berubah mencair di lapisan beberapa gunung es di Kilimanjaro, Pegunungan Jayawijaya di Indonesia dan Himalaya di Nepal.
Dampak bagi tata ruang Indonesia antara lain : Perubahan tata ruang laut, pertama terdapat 17.453 Pulau, akan ada kehilangan pulau. Sebab, diantaranya terdapat 600 Pulau memiliki ketinggian topografi dengan diameter 10 meter dan tinggi 7-10 meter, mengalami pengancaman penenggelaman dalam 15 tahun mendatang jika laju kenaikan air permukaan laut 0,5 cm per tahun serta garis pantai akan mundur sejauh 60 cm ke arah darat, luas perairan antar pulau ada yang bertambah dan berkurang luasnya. 
Kedua, perubahan peta kelautan, antara lain : perubahan peta-peta zonasi lintasan bahaya di lautan dan daratan, perubahan peta jalur kelautan, akan ada klaim dan pencaplokan laut teritorial, perubahan ketinggian batimetri pantai, dan zona ekonomi eksekutif bagi perubahan peta sumber daya geologi kelautan. Ketiga, posisi geopolitik kelautan Indonesia sebagai negara Kepulauan, sehingga akan “mengundang” negara lain melakukan konfrontasi. 
Keempat, bencana universal terus mengancam tata ruang Indonesia. Kelima, membutuhkan pemikiran dan dana yang luar biasa dengan kualitas sumber daya manusia yang terbatas seperti kejadian bencana megathrust gempa Aceh-Nias yang membutuhkan dana rekonstruksi dan rehabilitasi melebihi dana 125 triliun rupiah. 

M. Anwar Siregar Geolog, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer.Diterbitkan Harian "MEDAN BISNIS" Tgl Februari 2012

Prediksi Bencana 2013 : Geologi Lingkungan :


PREDIKSI BENCANA ALAM DI SUMUT 2013 
Oleh M. Anwar Siregar 

Potensi bencana geologi dan klimatologi di tahun 2013 semakin mengancam kondisi tata lingkungan geologi Sumut semakin intensif, sebab di wilayah Sumut terbagi dua jenis bencana yang selalu hadir setiap tahun yaitu bencana geologi dan bencana klimatologi. Potensi bencana tersebut selalu memberikan pukulan psikologis bagi bangsa setiap tahun. Titik awal bencana telah dimulai dari kejadian bencana klimatologis lebih mendominasi kejadian bencana pada tahun 2012 masih akan berlanjut ke tahun 2013. Fenomena cuaca dan iklim ektrim sudah terasa sekali dengan terjadinya musim kemarau dibeberapa daerah yang sebelumnya jarang dianggap kategori daerah musim kemarau menjadi daerah musim hujan, dua kejadian banjir besar di Sumatera Utara merupakan gambaran di tahun 2013. 
POTENSI BENCANA SUMUT 
Sumatera Utara termasuk daerah paling rawan dalam menghadapi berbagai bencana, kapasitas dan kemampuan dalam mengelola kejadian bencana masih terbatas dan potensi sumber daya yang terlatih masih banyak diabaikan dan terbatas. Hal ini sangat memerlukan penangganan untuk mengantispasi kejadian bencana di masa tahun 2013 maupun di tahun-tahun mendatang. 
Sebabnya, tatanan kondisi geologi Sumut berada dalam wilayah kompleksitas pergerakan relaksasi gempa bumi. Banyak terjadi anomali kerentanan di permukaan bumi sehingga selama pergerakan itu, maka dinamika kerak bumi berdenyut kuat, untuk memasuki daerah yang lebih rapuh dengan cara menekan atau bergerak, gerakannya dapat disertai adanya penerobosan material baru dari dalam bumi dan ada pergeseran lempengan. Contohnya letusan gunung api Sinabung. Bangunan yang berada diatasnya ikut bergeser oleh tekanan dan regangan, berakhir pada kehancuran bangunan karena berada di daerah rawan bencana terutama 85 persen tata ruang kota di Sumut diidentifikasi berada di daerah rawan bencana gunungapi, tsunamis, gerakan tanah, gempa, banjir, banjir bandang serta angin puting beliung. 
Kondisi anomali gempa ini dapat membahayakan kehidupan masyarakat di Sumatera Utara yang harus diperhitungkan pada tahun ke depan. Pergeseran terekam dari gambar-gambar satelit yang menunjukkan, bahwa telah terjadi pergeseran lempengan-lempengan bumi di dasar laut di bagian utara Sumatera Utara terutama di patahan gempa Nias dan Simeulue sehingga pola letak daratan juga ikut bergeser, sehingga akan ada perubahan kondisi dinamika geoteksnis stratigrafi tanah dan kerak batuan yang menyebabkan gerakan tanah dan perubahan tata ruang air tanah. Yang perlu diingat oleh masyarakat Sumut adalah bahwa posisi lempengan samudera saat ini dalam kondisi menekan kuat pada patahan Sumatera Utara dari hari ke hari sampai melampaui kekuatan batuan yang merekatkan bumi di barat dan timur jalur patahan ini. 
Pada saat itulah terjadi gempa besar dimana akumulasi tekanan akan dilepaskan tiba-tiba menyebabkan bumi di bagian barat bergerak tiba-tiba ke arah utara ke sebagian wilayah Tapanuli serta ke baratdaya Nias dan di bagian timur bergerak ke arah selatan dan timurlaut menuju daratan Tanah Melayu di sepanjang daratan Bukit Barisan. 
JENIS ANCAMAN 
Sebab utama sebagai negeri bencana adalah bahwa wilayah tata ruang kota di Sumut dapat dikatakan pada kondisi yang sangat rentan bencana geologi dan klimatologi karena memang sudah tinggi, ditambah persentase kawasan terbangun dengan laju yang sangat pesat berbanding dengan keterbatasan perencanaan lahan. Kepadatan bangunan tidak bersinergi dengan kemampunan daya dukung ekologi tanah lingkungan maupun tingkat kerentanan sosial dengan kepadatan penduduk yang padat dengan laju peningkatan yang sangat tinggi. 
Potensi ancaman gempa bumi dan tsunami yang mengancam Sumatera Utara antara lain Gempa Mentawai, patahan gempa Nias, patahan gempa Simeulue, patahan gempa Nikobar-Andaman, gempa patahan daratan Tanah Karo, Tapsel, Madina, Langkat, Dairi, Humbahas dan Simalungun. Akibat dari perubahan dan pergeseran posisi lempengan akan menimbulkan gerakan tanah lambat yang mematikan berada di wilayah Tabagsel dan gerakan tanah cepat oleh aktivitas manusia dapat menyebabkan gerakan tanah atau longsoran, baik diposisi sepanjang jalinsum maupun diareal pertambangan di sekitar pemukiman memiliki potensi gerakan tanah menahun banyak ditemukan dibeberapa kota di Tapanuli dan Nias, serta gerakan tanah oleh kombinasi antara akitivitas gempa vulkanik dan non alam atau juga buatan manusia disekitar kawah daerah Kawasan Rawan Bencana gunungapi di Bukit Barisan Daratan Karo, Madina, Taput, Palas, Paluta dan Tapsel. Selain itu, Sumut masih menghadapi ancaman bencana gunung api yang sewaktu-waktu meletus dan mungkin juga akan ada gunung api naik “kelas” setelah lama berstatus “malas bekerja”. Gunungapi di Sumut antara lain Sinabung, Sibuali-buali, Sibayak, Hella Toba, ataupun Lubuk Raya. 
Sedangkan potensi ancaman banjir dapat dilihat dari fenomena pemanasan global dan bukan lagi menjadi isu, tetapi dampak dari hal tersebut sudah dirasakan secara langsung sehingga telah banyak upaya dilakukan untuk mengurangi dampak pemanasan global, salah satunya adalah menanam satu pohon satu orang pada hari lingkungan yang lalu. Salah satu dampak penyebab fenomena pemanasan global adalah emisi kendaraan dan emisi polutan sumber-sumber energi yang banyak ditemukan di Sumut. Meningkatnya temperatur global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain seperti naiknya muka air laut, meningkatnya intensitas kejadian cuaca ekstrim serta perubahan jumlah dan pola presitipasi (curahan air hujan, es atau salju), dapat memberikan dampak bagi wilayah kepulauan di Sumatera Utara memiliki potensi ancaman bencana klimatologi. Daerah dalam ancaman ini adalah Kota Medan, Sibolga, Gunung Sitoli, kota-kota di Nias dan diwilayah pesisir pantai timur Sumut. 
TIDAK BOLEH DIABAIKAN 
Menyusul banyaknya gempa dalam satu dasawarsa serta peningkatan kenaikan suhu bumi, Sumut membutuhkan banyak upaya dalam mengendalikan kerusakan berbagai sarana infrastruktur salah satu adalah mengupayakan tata ruang dan bangunan tahan gempa. Hal ini penting untuk mengurangi jumlah korban. Untuk daerah gempa, penataan tempat dan kepadatan permukiman serta konstruksi bangunan yang aman menjadi faktor prioritas utama. 
Pengetahuan masyarakat soal ini perlu disosialisasikan terus menerus, ada beberapa hal sepele masih dianggap tidak penting bagi perilaku masyarakat dan menjadi budaya di beberapa daerah rawan gempa misalnya tempat penyimpanan barang, yang berat kadang ditempatkan disekitar rumah tempah keluarga berkumpul. Ini hanyalah satu yang memerlukan penagganan mitigasi yang profesional. 
Selain itu, sosioalisasi bencana salah satu upaya yang belum merupakan budaya kehidupan sehingga bencana di Sumatera Utara dan Indonesia tergolong besar dibandingkan negara lain yang lebih maju dalam mitigasi bencana. Yang tidak boleh lagi diabaikan setelah faktor tersebut diatas adalah mitigasi bagi sumber daya manusia dalam memperkecil resiko bencana, sebab Sumatera Utara memiliki wilayah yang sangat luas dan memerlukan penangganan bencana yang sangat beragam, tersedianya sumber daya manusia berupa tenaga-tenaga yang terlatih yang bisa menjadi “alat” dalam mengurangi resiko dari dampak bencana. Tanpa sumber daya manusia yang terlatih maka akan percuma segala sistim peringatan dini yang sudah tersedia. 
Strategi yang dapat mengurangi resiko bagi daerah yang rawan bencana dengan kondisi peralatan yang masih minim adalah memberikan pelatihan dan pengetahuan peralatan dan survival SDM bagi Tim SAR daerah secara berkala dalam tiap tahun, pelatihan sosialisasi dan penyuluhan bagi guru dalam menyebarkan pengetahuan dan informasi daerah rawan bencana dilokasi bertugas selama dua semester dalam setahun, pelatihan sistim manajemen dan komunikasi bagi kalangan SDM profesional dan aparatur dalam menata tata sistim komunikasi dilakukan empat triwulan dalam setahun sehingga tidak ditemukan kerancuan informasi seperti yang kita lihat pada sejarah kebencanaan di Sumatera Utara yang telah lewat lalu wajib dipraktekan setiap dua bulan sekali sehingga masyarakat Sumut akan seperti masyarakat Jepang yang terbiasa berlatih dan tangguh menghadapi bencana universal. 


M. Anwar Siregar Geolog, Pemerhati masalah lingkungan dan geosfer. Diterbitkan pada Harian "ANALISA" MEDAN, Tgl 29 Desember 2012

Populer

Laut Indonesia darurat sampah

  LAUT INDONESIA DARURAT SAMPAH Oleh M. Anwar Siregar   Laut Indonesia banyak menyediakan banyak hal, bagi manusia terutama makanan ...