14 Agu 2013

Musim Bakar Asap


MUSIM BAKAR HUTAN, MUSIM KABUT ASAP LAGI
Oleh M. Anwar Siregar
Musim kabut asap datang lagi, kebakaran yang lalu belum padam, datang lagi kebakaran di Sumatera dan Kalimantan disertai musim kemarau menyebabkan berkabut asap udara di negeri jiran Singapura, dan juga kawasan perbatasan Riau dengan Sumatera Utara.
Polusi udara atau kabup asap merupakan masalah tetap di ratusan kota-kota besar dan bahkan hingga ke desa di daerah pendalaman terpencil diseluruh dunia. Polusi udara dan hujan asam telah merusak panenan dan hutan-hutan yang disebabkan oleh pembakaran hutan, batubara dan gembut yang mengandung belerang dalam konsentrasi tinggi yang menghasilkan hujan asam. Akibat pembakaran hutan menimbulkan kabut asap terbesar di Asia Tenggara telah memompakan 2 milyar ton unsur hidrokarbon ke dalam atmosfer turut mengubah iklim global, kandungan karbon dioksida terperangkap cukup panjang, menimbulkan ktidakpastian cuaca, terjadi efek musim hujan mendadak ke musim kemarau yang berkepanjangan yang menyebabkan perubahan siklus si El Nino Southern Oscilation (ENSO).
Kejadian kabut asap di Asia Tenggara telah berlangsung sejak tahun 1980-an dan merupakan dasawarsa terpanas hingga memasuki periode abad ke 21 bumi di kawasan ini telah mengalami peningkatan panas dari 100 tahun yang lalu akibat dari pembakaran hutan-hutan tropis di Kalimantan, Sumatera dan Papua, sudah berlangsung rutin dalam kurun 25 tahun terakhir ini.
SUMBER DAYA TERBATAS
Hutan Indonesia dari tahun 1980 hingga menjelang akhir 1990-an terdapat 120 juta hektar. Sebelumnya, pada tahun 1960-an luas hutan Nasional terdapat keseluruhan sekitar 220 juta hektar. Namun saat ini, diperkirakan hutan asli/lindung di Indonesia terdapat 32 juta hektar telah mengalami perusakan, belum lagi yang telah mengalami kebakaran sepanjang 2003 hingga 2004 sebesar 45.000 hektar per tahun. Pada periode 2001 hingga 2005, hutan nasional Indonesia mengalami penggundulan sekitar 2,8 juta per tahun, berarti tersisa 73,7 juta hektar. Pada tahun 2007-2008 terjadi lagi kebakaran hutan di Kalimantan seluas 15.000 hektar dan Riau seluas 17.000 hektar lebih. Hutan Papua terpangkas rata 7.000 hektar per tahun.
Puncak perlakuan terhadap hutan Indonesia terjadi menjelang 2009, hutan Indonesia menjadi “botak” terutama di Sumatera saat ini diambang krisis dan diperkirakan tinggal 10 juta hektar hingga pada tahun 2012.
Penyebab kerusakan dan perubahan kondisi iklim selama empat tahun akibat kebakaran di Riau adalah tidak seimbang antara keperluan pemasokan kayu tropis dengan reboisasi atau penghijauan dalam menahan laju kerusakan hutan di Indonesia.
Kebutuhan industri kayu gelondongan tropis tidak pernah menurun permintaannya di pasaran dunia. Indonesia justrunya menghabisi sumber daya terbatas ini untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Data dari tahun 1998 menunjukkan konsumsi kayu bulat Nasional sebesar 78,1 juta meter kubik. Sedangkan produksi hutan nasional Indonesia hanya mampu menghasilkan 21,4 juta meter kubik. Artinya, 56,6 juta meter kubik disuplai oleh penebangan liar dari hutan lindung. Pada tahun 2003 hingga 2009 meningkat konsumsi kayu bulat menjadi 83,7 juta meter kubik atau sekitar 62,3 juta meter kubik dari hutan lindung. Peningkatan ini disebabkan penebangan liar merambat wilayah hutan lindung yang ada di Propinsi Papua Barat yang menyebabkan terjadinya penurunan daya dukung lingkungan di habitat hutan-hutan lindung di Indonesia dengan bukti terjadinya longsor dan banjir di Wasior, Aceh, Riau dan Kalsel.
ANALISIS PENYEBAB
Dari hasil pemantauan aktivitas kebakaran oleh satelit NOAA hingga pertengahan bulan Juni ini, penyebaran titik api terparah ada di wilayah Riau terdapat 100 lebih, meningkat tiap kali musim bakar hutan atau pembukaan lahan perkebunan baru dan terbakarnya hutan lahan gambut di Riau dan Kalimantan dapat mencapai diatas 700 titik api.
Ada beberapa analisis yang menyebabkan mengapa terjadi lagi musim kabut asap. Analisis pertama, penyebab kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan juga Kalimantan yang memberikan julukan bagi Indonesia sebagai “Raja Polutan terbesar” di Asia Tenggara lebih disebabkan oleh kemajuan bisnis dan industri kayu, pertambangan dan perkebunan yang mendominasi usaha penanaman modal investasi di kedua pulau terbesar Indonesia.
Analisis kedua, penyebab kebakaran adalah perencanaan tata ruang investasi yang tumpang-tindih dengan areal perkebunan untuk jangka panjang dengan sarana infrastruktur fisik pertambangan dan pemukiman serta pusat-pusat industri kayu terjadi pemanfaatan lahan yang berdekatan atau terdapat sumber daya dalam suatu kawasan tertentu pada zona peruntukan lahan dalam tata ruang kota. Contohnya pusat industri perkayuan dan pabrik pulp dekat dengan pusat perkotaan tanpa zona sanggahan hijau terbuka, pusat perkotaan terletak didaerah tata ruang pertambangan resevoir migas dan lokasi perkebunan melingkari pusat ruang pemerintahan dengan pemukiman yang tertekan ke dalam, sehingga akan ada jalan pintas yang harus dilakukan semua untuk mengejar kepentingan bisnis.
Analisis ketiga, penyebab kebakaran lebih dominan disebabkan oleh faktor lapisan tanah yang mengandung bahan bakar fosil di daerah yang kaya sumber daya alam minyak dan gas bumi. Sekitar 40 % tanah yang mengandung karbon terdiri lapisan gambut, batubara dan kayu yang mengandung gas dan partikel yang memungkinkan menghasilkan CO2 ke udara untuk membentuk kabut/polutan yang pekat. Umumnya daerah yang terbakar dari kebakaran hutan di Pulau Sumatera dan Kalimantan yang menimbulkan asap adalah berasal dari kebakaran lapisan hidrokarbon yang mengandung kapasitas 7 juta ton yang tertimbun dalam lapisan karbon muda dari kedua Pulau Indonesia.
Analisis keempat, penyebab kebakaran hutan yang menimbulkan kabut asap maut adalah membakar langsung alang-alang liar dan pohon-pohon muda sebagai jalan akhir percepatan perluasan lahan didaerah rawa-rawa yang mengandung lapisan gambut muda yang mudah terbakar dan merupakan bahan energi pengganti “bensin dan minah” sehingga pihak pembakar tidak memerlukan “bahan baku jadi” untuk menuntaskan pekerjaan mereka.
Analisis kelima, penyebab kebakaran yang mengakibatkan berkabutnya udara Asia Tenggara adalah terjadi kebakaran pipa-pipa penyalur migas yang melintasi daerah lahan perkebunan baru dan ada ladang sumur dari perusahaan minyak menyemburkan api setiap hari sehingga membentuk kawasan berkabut. Analisis Keenam, adalah kecepatan angin rata-rata kencang di wilayah Indonesia sehingga mendorong kabut asap bergerak dan bersatu padu membentuk kawasan “hitam” ke Malaysia dan Asia Tenggara lainnya.
AKIBAT KABUT ASAP
Kabut asap telah menimbulkan dampak kerugian yang cukup besar bagi Indonesia. Dampak kabut asap ke lingkungan, Indonesia mengalami kerugian 45 trilin per tahun akibat penggundulan hutan seluas, 1.4-2.8 juta hektar. Terjadi deforestasi hutan yang luas, rusak sarana infrastruktur akibat banjir, daya dukung lingkungan merosot tajam, membutuhkan triliun rupiah untuk mengembalikan kesediakala.
Akibat kabut asap bagi kesehatan makhluk hidup, Indonesia merasakan dampak lebih besar dengan timbulnya berbagai penyakit akibat banjir, rusaknya sistim kekebalan tubih karena ketebalan polusi udar mencapai 300 dari maksimal 500 EMI (electromagnetic interferenci), pengotoran sumber-sumber daya air bersih dan musim kemarau dan hujan tidak pasti menyebabkan hasil panenan merosot tajam, harga bahan pokok meningkat tajam dan terbatas. Kerugian bisnis transportasi perekonomian sekitar $ 9.0 milyar.
KABUT ASAP LINTAS NEGARA
Kabut asap telah menjadi fenomena tahunan di Asia Tenggara dan kini merupakan masalah lintas negara, bukan sebatas ekonomi dan politik. Jika ada protes masyarakat negara tetangga bukan pada tempatnya memprotes Indonesia, karena selama ini masyarakat Asteg telah menikmati “kebersihan udara” dari hutan-hutan Indonesia yang luasnya sepertiga dari luas hutan dunia dan berusaha keras selalu di jaga dengan baik (sendirian) karena berfungsi sebagai paru-paru dunia bagi atmosfer Asia Tenggara.
Masalah lintas kabut asap antar negara bukan seharusnya ditangani oleh Indonesia, tetapi juga oleh negara di Asia Tenggara, karena wilayah hutan dan laut Indonesia telah berjasa dalam memberikan udara bagi Asia Tenggara. Sumbangan oksigen bagi Asia Tenggara yang selama ini di “sewa” gratis para warga Asia Tenggara berasal dari laut Indonesia sepanjang 86.000 kilometer atau sekitar 70 persen dari luas wilayah Indonesia. Yang berasal dari binatang plankton yang dilepaskan ke udara hampir 90 persen dari kehidupan laut. Dan kontribusi hutan di perbatasan di wilayah Kalimantan Timur seluas 17 juta hektar menyumbangkan oksigen 10 % yang cukup signifikan.
Mawas diri bagi warga Asia Tenggara untuk melakukan protes keras ke Indonesia, sudah rusak hutan, dicuri, digundul, dibakar pula, ditinggal begitu saja tanpa ada reboisasi. Jadi siapa yang lebih parah mengalami kerugian?
 
M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer, Tulisan ini sudah di muat di Harian ANALISA MEDAN

17 Jul 2013

Merdeka Berdaulat di Lautan Konflik Perbatasan : Geologi Kelautan


MERDEKA BERDAULAT DI LAUTAN KONFLIK PERBATASAN
Oleh M. Anwar Siregar


“Bukan lautan hanya kolam susu, Kail dan jala cukup menghidupimu, Tiada badai tiada topan kau temui, Ikan dan udang menghampiri dirimu”
Lagu Kolam Susu ciptaan grup band Koes Plus yang terkenal di tahun 70-an itu memang mencerminkan keadaan sumber daya geologi di lautan Indonesia yang melimpah ruah sehingga mengundang keinginan bangsa lain untuk mengeskplorasi dengan segala cara baik melalui aturan regulasi undang-undang pemanfaatan sumber daya minyak dan gas bumi di darat dan laut maupun upaya pengambilan/pencaplokan pulau-pulau terpencil di perbatasan dengan mengklaim sebagai wilayah integrasi dari Negara mereka dengan melalui invasi kekuatan militer dan diplomasi “manis-manis di bibir” yaitu sebagai semangat persahabatan ASEAN yang lebih banyak merugikan Indonesia seperti yang telah dilakukan oleh beberapa Negara ASEAN dan pencurian sumber-sumber daya geologi dan perikanan di lautan Indonesia hingga mengusik kedaulatan RI dengan memasuki wilayah teritorial Republik Indonesia (RI).
PEMBANGUNAN PERBATASAN
Berlandaskan dari urgensi permasalahan sumber daya geologi dan sumber daya alam lainnya di perbatasan maka diperlukan suatu paradigma pembangunan pulau perbatasan yang lebih difokuskan pada orientasi kebijakan pembangunan dari dalam ke luar untuk mengembangkan kawasan pulau terdepan menjadi suatu kawasan usaha pertumbuhan yang baru dengan melihat potensi yang dapat dikembangkan bagi tiap pulau-pulau terluar Indonesia sebagai gerbang ekonomi dan perdagangan dengan pendekatan kesejahteraan, pembangunan sarana dan prasarana pelabuhan laut (hub port) yang terdekat dengan kawasan pertumbuhan di negara tetangga dan tidak meninggalkan pendekatan keamanan dalam kerangka NKRI.
Strategis yang diperlukan dalam pembangunan perbatasan melalui pendekatan penanganan perbatasan secara komprehensif dan bukan secara parsial, terpadu dalam mengembangkan potensi-potensi geologi kelautan, pengendalian ancaman bencana serta diperlukan sistim pengadministrasian wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan lautan, menjadikan pulau-pulau terdepan tertentu sebagai pusat mega geo-biodiversity karena memiliki kandungan mineral-hayati yang luar biasa besar.
Memberikan peluang yang besar bagi propinsi yang berbentuk kepulauan dalam mengembangkan potensi geografisnya dengan mengembangkan sistim pengelolaan konservasi kelautan yang berkelanjutan yang berdasarkan ekosistim, wisata dan pertambangan serta mengembangkan sarana infrastruktur yang lengkap agar memiliki daya saing tinggi sebagai pengembangan pasar tunggal regional dan global yang berbatas dengan Negara tetangga.
KONFLIK PERBATASAN
Ada beberapa wilayah yang menjadi lautan konflik ekonomi sumber daya geologi bagi RI di masa depan dengan beberapa negara sangat krusial dan memerlukan penanganan serius sekarang, antara lain, pertama, wilayah geologi landas kontinen RI yang berbatasan langsung dan merupakan sumber ancaman serius bagi keberlanjutan integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) antara lain Malaysia, Papua New Guinea (PNG) dan Timor Leste. Kawasan perbatasan kontinen Indonesia terdapat di tiga pulau, 4 Propinsi dan 15 Kabupaten/Kota yang masing-masing wilayah memiliki karakteristik geologi kawasan perbatasan yang berbeda-beda, demikian juga dengan Negara tetangga yang berbatasan dengan RI, serta Negara-negara disekitar RI merupakan Negara  yang haus  invansi perluasan kekuasaan seperti RRC, Malaysia, Jepang, Vietnam, Singapura dan Australia, semua merupakan Negara yang sangat menginginkan kelemahan dan keruntuhan NKRI.
Wilayah geologi landas kontinen sangat penting dipertahankan karena ini menyangkut integritas menyeluruh wilayah RI yang ada sekarang, menyangkut aspek dari dalam dan luar kondisi alamiah pulau-pulau yang ada, sekali ada lepas maka akan ada peninjauan deklineasi pengukuran batas-batas yang sudah dipatokan, contoh ini bisa dilihat pada keinginan Malaysia atas wilayah Ambalat akibat Sipadan-ligitan lepas.
Kedua, wilayah maritim Indonesia berbatasan dengan 10 negara yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste dan PNG. Kawasan perbatasan maritim sangat penting ditingkatkan kesejahteraannya, karena pada umumnya berupa pulau-pulau terluar yang berjumlah 92 pulau memiliki potensi sumber daya geologi kelautan berupa migas dan mineral laut, mencapai diatas 1 miliar kubik per barrel dan lebih 1 juta ton potensi mineral yang bisa dikembangkan.
Selain potensi sumber daya geologi kelautan dibatas laut teritorial masih ada masalah yang harus diselesaikan yaitu beberapa pulau-pulau kecil yang masih memerlukan penanganan administratif nama pulau yaitu sebanyak 9.634 pulau dan masih ada 12.000 pulau belum berpenghuni.
Ketiga, kebijakan strategis pengembangan kawasan perbatasan antara Negara untuk mengatasi ketertinggalan di wilayah perbatasan, tiap perbatasan wilayah RI memiliki karakteristik geologi yang berbeda pada tiap pulau misalnya batas maritim dan geologi kontinen sunda kecil (NTB dan NTT, Bali) dengan Australia, begitu juga dengan blok Ambalat dengan Malaysia.
MERDEKA-BERDAULAT

Pulau-pulau diperbatasan harus dapat diklaim baik dalam tataran hak berdaulat (souvereign right) maupun dalam tataran hak berdaulat penuh (souvereignity). Kawasan perbatasan merupakan halaman rumah Indonesia yang tidak bisa diabaikan. Daerah perbatasan merupakan kawasan yang rentan terhadap lautan konflik di masa depan seperti pencaplokan wilayah oleh negara tetangga, pencurian dan penyeludupan sehingga perlu dimekarkan dengan menata potensi ekonomi untuk mengelola potensi ekonomi secara maksimal sehingga masyarakat di perbatasan tetap merasakan merdeka sebagai dari bagian NKRI.
Wilayah perbatasan merupakan cerminan dari wajah bangsa kita, ini menyangkut kepercayaan terhadap pemerintah, apalagi bila dilatarbelakangi oleh sesama budaya, adat dan agama akan sagat membahayakan keutuhan bangsa bila terjadi ketimpangan pembangunan di pulau perbatasan sehingga menimbulkan ketidakpercayaan kepada pemerintah.
Rakyat di perbatasan belum merasakan kemerdekaan penuh, dalam arti kesejahteraan masih jauh dari harapan yang dicita-citakan, karena itu, pemerintah wajib memperhatikan dan meningkatkan “kue” pembangunan sehingga integritas NKRI semakin kuat di pulau perbatasan.
Dengan masalah kesejahteran tersebut, serta beberapa persoalan perbatasan lainnya sudah harus dituntaskan dengan ”memaksa” negara tetangga itu diajak ke meja perundingan, pemerintah harus tegas dan keras karena selama ini mengulur waktu agar tidak menimbulkan ketegangan dan emosi publik (warga Indonesia) menjadi geram, unjuk rasa sering berakhir dengan bentrok dan penghancuran propertis kantor dubes negara jiran dan salah satu spanduk akan selalu ada berisi seruan “ganyang Malaysia” atau “habisi Singapura”.
Khususnya di blok Ambalat, apabila jatuh ke wilayah Malaysia suatu saat akan menimbulkan dampak yang luar biasa bagi keutuhan NKRI, akan ada ancaman yang lebih luas bagi konflik-konflik dimasa depan
Dalam usia 67 tahun kemerdekaan RI perlu pembangunan yang terintegrasi secara luas dan selaras dengan penataan ruang antar pulau-pulau di perbatasan karena terdapat 17.000 pulau yang masih memerlukan penanganan pembangunan. Maka pemerintah tak perlu ragu memanfaatkan potensi sumber daya bio-geologi kelautan sebagai jembatan emas kesejahteraan dan keutuhan bangsa karena dilaut kita dapat berjaya.

M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang-Lingkungan dan Energi-Geosfer.Berminat juga dengan permasalahan Geologi Lingkungan  Kelautan, Tulisan ini sudah dimuat Pada Harian ANALISA MEDAN AGUSTUS 2012

25 Jun 2013

Pers Informasi : Geologi Mitigasi

PERS DALAM PENYEBARAN INFORMASI BENCANA
Oleh M. Anwar Siregar

Dalam usia Bumi yang semakin tua, dan bencana alam hadir yang tidak teratur serta semakin sulit diramalkan, maka disini peranan informasi bencana melalui media massa untuk memberikan peringatan dini sangat vital. Jika proses sosialisasi informasi geologi tentang bencana alam seperti gempa, tsunami, letusan gunung api gerakan tanah dan banjir dilakukan secara berkelanjutan, masyarakat akan terus-menerus diingatkan, mengenal, mempersiapkan diri dalam menghadapi ancaman bencana akan lebih sigap dalam memberikan respons.
Salah satu untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap kebencanaan di bumi adalah melalui peran media massa, baik dalam bentuk opini, karikatur pendidikan dan visualisasi atau media gambar bergerak. Komunikasi yang efektif sangat penting dalam proses pembelajaran dan kedisiplinan dalam menghadapi bencana, maka komunikasi media pers sangat diperlukan dan harus diupayakan secara berkala, yaitu memberikan ruang khusus atau kolom yang memuat berita dan pengetahuan tentang pemahaman serta informasi daerah rawan bencana geologi, klimatologi dan hidrometerologi.
Komunikasi dalam bentuk ruang opini ataupun kolom khusus akan memiliki efek yang lebih baik daripada menerima isu-isu yang tidak bertanggung jawab, dapat direfleksikan melalui pemahaman pembelajaran pendidikan dari sekolah dasar, masyarakat bawah, pelatihan mitigasi dan edukasi terhadap wanita dan anak-anak. Namun budaya mitigasi melalui penyebaran informasi rawan bencana secara rutin dalam suatu ruang media massa masih terbatas dan kadang tidak ada, dan hal seperti ini belum membumi di Indonesia terutama kesadaran dari Pemerintahan untuk membangun pola mitigasi komprehensif dengan medai massa, hanya ada jika terjadi bencana begitu juga sebaliknya.
 Seperangkat peralatan media komunikasi pers (sumber Foto Wartawan ANTARA)
KOMUNIKASI BENCANA 
Sosialisasi bencana merupakan salah satu upaya untuk menyampaikan pendidikan kebencanaan kepada masyarakat, yang merupakan bagian dari sistim pendidikan komunikasi massa, mengenai gambaran keadaan lingkungan yang dilengkapi berbagai argumentasi ilmiah, argumentasi legal dan argumentasi moral.
Komunikasi sosialisasi bencana melalui media pers merupakan bagian yang sangat penting dalam meperkenalkan sistim manajemen bencana geologi dan pendidikan kebencanaan kebumian agar dapat memberikan motivasi lahirrnya ruang partisipasi publik dalam menekuni pendidikan kebencanaan kebumian.
Komunikasi pengetahuan kebencanaan bagi Indonesia masih jauh dari harapan untuk terciptanya masyarakat sadar bencana. Kesadaran masyarakat terhadap bahaya dapat digambarkan melalui pengetahuan kearifan terhadap keadaan alam tempat mereka beraktivitas hidup dipermukaan bumi. Pertama, gempa itu tidak membunuh, akan tetapi yang menimbulkan korban adalah akibat dari gempa tersebut, misalnya karena tertimpa beton atau tertimbun tanah longsor. Sehingga dalam hal ini, pengetahuan masyarakat dalam hal bangunan antara lain tentang tata cara membuat bangunan dianggap masih sangat minim. Sebagian besar bangunan yang roboh karena tidak menggunakan kaidah-kaidah keteknikan yang baku atau tidak memenuhi persyaratan. Sedangkan yang kedua adalah faktor kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap lingkungan sekitarnya, artinya dalam membuat bangunan seharusnya menggunakan material yang tahan gempa karena lokasinya berada di daerah potensial gempa.
PERAN SOSIALISASI MEDIA
Dari gambaran tersebut diatas, maka sosialisasi bidang geologi dalam media pers sangat penting, baik cetak maupun elektronik dimaksudkan untuk mensosialisasikan data-data geologi termasuk kebijakan tentang perencanaan nasional kebencanaan geologi dan juga mengenai pendayagunaan sumber daya alam dalam pencegahan akibat ditimbulkan oleh bencana geologi pada daerah rawan bencana serta bertujuan agar pemerintah daerah lebih awal memahami data dan informasi serta kebijakan dari Pemerintah Pusat untuk mengidentifikasi kegiatan yang diperlukan atau difokuskan untuk mempersiapkan diri dalam pengelolaaan, pemberdayaan dan penyerbarluasan kegiatan informasi daerah rawan bencana geologi serta penentuan tata ruang lingkungan geologi yang komprehensif.
Sosialisasi penyebaran informasi geologi rawan bencana juga merupakan bagian penting untuk disampaikan oleh media pers yaitu bagian dari pengembangan potensi sumber daya masyarakat di daerah masing-masing untuk mengusahakan forum kerjasama antara pemerintah, masyarakat dan media massa. Pemahaman antara ketiganya akan meningkatkan kepercayaan diri dalam menghadapi permasalahan kebencanaan geologi yang harus berangkat dari pribadi dan komunitas media dan tidak mengandalkan isu-isu tidak benar, yakni pemahaman pentingnya penyampaian pengembangan akal budi daya dan bersikap waspada hidup di daerah rawan bencana.
Informasi penyebaran bencana dalam bentuk opini di suatu media massa merupakan suatu bentuk peringatan dini sebelum terjadinya bencana bagi masyarakat, sosialisasi penyebaran informasi dan penanggulangan bencana dapat dilakukan dalam berbagai aksi, salah satunya dalam bentuk opini pengetahuan argumentatif. Dalam konteks ini peran media sangat diperlukan bukan saja ketika terjadi dan pasca bencana tetapi juga sebelum terjadinya suatu bencana alam, masyarakat dapat diingatkan terus menerus menghadapi dan meningkatkan kewaspadaan dan harus bersiaga menghadapi segala kemungkinan menghadapi bencana alam, dan ini juga merupakan sebagai upaya pembelajaran bencana alam dalam bentuk komunikasi yaitu menfasilitasi diskusi pengetahuan publik/masyarakat mengenai mitigasi penanggulangan bencana alam, dan bagaimana upaya-upaya atau langkah yang diperlukan dalam mengurangi jumlah korban jiwa dan kerugian akibat bencana dan pembangunan manusia.
KEBERLANJUTAN PENGETAHUAN
Media massa memainkan sebuah perangkat instrumen penting dalam menghadirkan berita-berita tentang bencana alam kepada pembacanya, baik dalam bentuk kajian berita proses pemulihan setelah peristiwa bencana maupun ketika dalam kondisi darurat.
Media massa di Indonesia khususnya di Medan/Sumut seharusnya lebih aktif lagi dalam menyampaikan pembelajaran pengetahuan tentang informasi kebencanaan yang berlangsung di Indonesia terutama di wilayah Sumut yang telah diidentifkasi memiliki sumber-sumber bencana universal hampir disetiap lingkungan tata ruangnya memiliki tingkat kerawanan dan kerentanan dari ancaman bencana alam yang sangat tinggi, memerlukan upaya kenberlanjutan publikasi argumentatif sebagai salah sumber pengetahuan yang paling aktual sekaligus sarana pusat diskusi perencanaan pembangunan mitigasi bencana yang sangat dibutuhkan berbagai kalangan sebagai peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia baik dari SDM aparatur maupun dari SDM masyarakat.
Ada baiknya media massa di Sumut terus mengupayakan dan menyisipkan ruang untuk menampung berbagai kritikan, gagasan atau ide aktualitas yang membangun untuk mendorong masyarakat agar dapat terus mengikuti perkembangan penyebaran informasi kebencanaan lingkungan baik sebelum terjadinya bencana atau fase pra bencana, fase saat terjadi bencana dan pasca bencana terjadi.
Kelemahan dalam media massa di Sumut dalam memberikan penyebaran informasi daerah rawan bencana geologi adalah lebih di fokuskan pada kejadian pasca bencana, sedangkan pra bencana masih terpinggirkan, begitu juga dalam kemajuan pemulihan, hanya terekspose ketika telah selesai. Sedangkan perkembangan kehidupan setalah lebih dari setahun tidak atau jarang dipublikasi secara luas. Kasus-kasus kejadian bencana sebelum bencana gempa dahsyat Aceh 2004 adalah contoh gambaran bagaimana tingkat pemahaman masyarakat dalam menghadapi tsunami sehingga menimbulkan korban yang luar biasa karena referensi yang ada sangat terbatas.
Harapan masyarakat di masa mendatang, media di Sumut dapat terus memberikan dan menampung opini yang terbaik, baik ketika tidak terjadi bencana maupun ketika ada bencana, dan sekaligus sebagai benteng mitigasi yang terbaik dalam menjaga kualitas SDM Sumut untuk menghadapi tantangan kehidupan di masa mendatang. Selamat hari pers.
M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer. Tulisan ini sudah dipublikasikan pada harian ANALISA MEDAN, Tgl 29 Pebruari 2013

Energi Jiwa Raga Kami : Geologi Recources

ENERGI INDONESIA, JIWA RAGA KAMI
Oleh M. Anwar Siregar

Energi memainkan peranan penting bagi kebutuhan manusia, dan merupakan salah satu unsur yang menujukkan sebagai tingkatan kemakmuran ekonomi suatu bangsa yang di ukur oleh peningkatan produk domestik bruto [PDB], energi sangat ini merupakan rantai yang tidak boleh terputus dan saling terkait satu sama lain serta harus selalu menjadi jiwa dan raga bagi sebuah Negara seperti Indonesia untuk segala kemajuan pembangunan.
MENEKAN LIBERALISASI
Kebijakan pemerintah yang berupaya untuk terus meningkatkan produksi migas selalu terkendala oleh kebijakan yang dibuatnya sendiri akibat tekanan liberalisasi dan privatisasi semua industri milik negara yang seharusnya memberikan kebanggaan bangsa, sehingga menghambat kemajuan pembangunan infrastruktur jaringan energi oleh dorongan kapitalisme. Selain itu, pemerintah selalu tidak siap tiap mengeluarkan kebijakan energi, yang tergambarkan oleh tidak konsistensinya dalam memanfaatkan segala potensi yang ada, proteksi bagi pengembangan potensi yang ada bagi petani dan industri selalu terabaikan dan fokus pada pencarian/pemburuan ladang-ladang migas yang ada. Seharusnya kondisi ini dibalik menjadi ke pola membudidayakan energi dengan memanfaatkan segala keunggulan energi non BBM, menuju pemanfaatan yang lebih luas bagi penggunaan energi BBN [bahan bakar nabati].
Dari segi ekonomi energi, bahan bakar minyak [BBM] di Indonesia termasuk terboros dalam pemakaiannya di Asia dan termasuk salah satu termurah harganya di dunia, sehingga pemanfaatannya selalu memberikan keuntungan bagi kalangan asing dalam bermain minyak di dalam negeri, mendorong terjadinya kelangkaan pasokan BBM dalam negeri akibat penyeludupan ke luar negeri, serta terjadinya penyimpangan distribusi dan ada penimbunan BBM yang memberikan ruang terbuka terjadinya skandal korupsi.
Dorongan liberalisasi dapat dilihat dari berbagai upaya untuk menguasai sumber-sumber daya alam di Indonesia antara lain liberalisasi sektor migas, baik di hulu maupun di hilir, yang telah mulai nampak hasilnya antara lain kisruh BBM, terjadi kelangkaan pasokan BBM, kurangnya dan pembatasan kuota subsidi BBM, menjadi Negara pengimpor migas dari sebelumnya pengekspor migas atau anggota OPEC, terjadinya penurunan cadangan migas sejak lima tahun kemudian setelah dibuat pengkitiran UU Migas 2001, terbatasnya pengembangan reservoir migas yang baru akibat dampak dari berlakunya liberalisasi migas, terjadi akuisisi anak perusahaan migas Pertamina jika ingin mengikuti tender migas di hilir merupakan bagian kelanjutan dari dampak UU migas 2001 dan 2002.
Selain liberalisasi migas, pihak asing juga berperan besar dalam atau berusaha keras menghancurkan ekonomi dengan menekan pentingnya [pendapat mereka] liberalisasi atau privatisasi BUMN, terlihat dari lepasnya beberapa perusahaan Negara yaitu Indosat, menguasai saham dibeberapa perusahaan industri strategis lainnya.
Untuk menekan liberalisasi energi yang menjadi urat bagi pembangunan dan menguasai hidup rakyat Indonesia wajib di lawan dengan mengubah paradigma kebijakan pembangunan di sektor energi, bahwa pengelolaan minyak dan dan gas bumi [Migas] di Indonesia yang berlimpah itu harus dikelola untuk kepentingan rakyat dengan pengelolaan kepada Negara sesuai dengan bunyi UUD 1945 pasal 33 ayat1,2,3 yang berfokus dan bermuara kepada kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Pengelolaan yang ada, terutama yang menggunakan pasal-pasal yang dibuat atas dorongan kapitalisme IMF dan Bank Dunia seharusnya dihapus, sebab apa yang tercantum LoI IMF tahun 2000 itu bagian dari penghancuran sumber daya Indonesia khususnya di bidang pertambangan dan energi dengan terbentuknya UU Migas No 21 tahun 2001 dengan bukti telah terjadinya penguasaan 80 persen sektor hulu migas, sehingga Indonesia hanya mendapatkan sisa-sisa, dan itupun melalui akuisisi beberapa perusahaan milik Negara seperti Pertamina.
Menekan harga bahan bakar dengan tidak berpedoman dengan kenaikan harga minyak di pasaran internasional yaitu mengembangkan pola alternatif energi baru terbarukan, subsidi boleh dikurangi atau di batasi dengan catatan pemerintah telah memproduksi energi baru terbarukan sebagai energi yang benar-benar dimanfaatkan untuk segala lini kehidupan rakyat Indonesia, dan pola subsidi hanya dikhususkan kepada masyarakat yang tidak mampu.
Memberikan kembali kepercayaan kepada perusahaan Negara untuk mengelolaan sumber-sumber energi dengan memberikan penjualan termurah kepada rakyat untuk mengurangi beban Negara dan menekan laju penguasaan sumber daya energi oleh pihak asing, sehingga keuntungan yang dapat dialihkan pembangunan infratruktur fisik, mendorong pihak asing mengembangkan pembangunan sektor energi berlandaskan ekonomi kerakyatan selama mereka memiliki izin dan konsesi pengelolaan sumber daya pertambangan dan energi untuk kepentingan bangsa Indonesia serta menasionalisasikan beberapa perusahaan asing untuk kepentingan rakyat Indonesia seperti yang telah dilakukan Presiden Venezuela, Hugo Chavez yang berani melawan hegemoni barat dalam penguasaan energi di Negara berkembang.
Segala hal yang menghambat pembangunan energi di Indonesia harus dituntaskan, dan tidak perlu lagi dukungan pihak asing, agar terbentuk kemandirian energi, karena energi merupakan jiwa raga bagi kehidupan masyarakat luas. Untuk itu diperlukan komitmen dan kerja keras dari pemerintah dan segenap masyarakat luas untuk bersatu melawan kekuatan liberalisme dalam mewujudkan pembangunan energi alternatif untuk masa depan Indonesia.
JIWA RAGA
Digambarkan Indonesia memiliki bermacam-macam sumber energi yang merupakan bagian dari jiwa pembangunan rakyat Indonesia yang tidak boleh di liberalisasikan dan merupakan sumber hayat hidup bagi seluruh rakyat Indonesia, yang harus diupayakan dikembangkan, dilestarikan, dan dijaga serta di distribusi secara adil untuk kepentingan kehidupan umat. Potensi sumber daya energi ini lebih besar daripada potensi sumber daya migas sebagai berikut ; sumber daya energi alam yaitu panas bumi dengan jumlah cadangan 27 ribu MW atau 40 persen cadangan panas bumi dunia ada di Indonesia, sumber daya alam panas matahari memancarkan panas ke bumi Indonesia mencapai kekuatan hantaran listrik setara 4 bilyun, sumber daya energi angin yang mampu menghasilkan tenaga listrik keseluruh daratan dan laut Indonesia dapat menghasilkan 100 ribu megawatt, sumber daya air hidro dan mini hidro yang dapat menghasilkan kekuatan hantaran listrik sebesar 100.000 megawatt dari seluruh potens sumber daya air yang ada diseluruh wilayah Indonesia serta sumber daya nabati yaitu biomassa dengan kapasitas mencapai 100 juta ton per tahun, bahan bakar biofuel dengan kapasitas mencapai 200-300 juta kiloliter per tahun, dan sumber daya energi gas terbesar di dunia.
Dari beberapa energi tersebut, merupakan bagian dari sumber ketahanan bangsa dalam menghadapi intervensi kekuatan ekonomi asing di sektor energi yang telah terbukti mampu memberikan pukulan ekonomi bagi negara kapitalisme akibat boikot migas oleh negara-negara Arab, yang akan membantu pemerintah dalam mengatasi gejolak pengadaan kuato BBM, pengurangan impor migas, pemerintah tidak lagi pusing jika mengalami tekanan akibat lonjakan harga minyak di pasaran internasional oleh berbagai krisis. Pemerintah tidak perlu lagi mengalami tekanan keamanan dan politik gonjang-ganjing di dalam negeri akibat unjuk rasa yang sering berakhir dengan anarkis dan Pemerintah bisa lebih menajam fokus pembangunan di dalam negeri.
Di masa mendatang, energi-energi non fosil akan memberi sumbangan yang sangat signifikan bagi keberlangsungan pembangunan ekonomi dan fisik serta karakter bangsa yang memanfaatkan sumberdaya alam dalam negeri serta berbagai keberlangsungan kehidupan di bumi Indonesia. Sebab, mengingat kondisi lahan dan iklim yang sangat mendukung yang terlihat dari kehidupan agraris dan kehutanan maka pengembangan energi ramah lingkungan dijadikan sebagai diversifikasi dan konservasi energi unggulan yang harus di kedepankan, dan bukan lagi energi terpinggirkan ataupun dialternatifkan.
Belajar dari kesalahan pengelolaan energi, maka rakyat Indonesia harus bangkit untuk menekan segala agresif liberalisasi kekuatan energi untuk menuju bangsa yang mandiri energi, karena energi adalah kekuatan jiwa raga kita dalam membangun bangsa menuju kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer, Tulisan ini sudah diterbitkan pada Harian ANALISA MEDAN Tgl 29 Mei 2013

Hari Hutan Gundul : Geologi Lingkungan

PENTINGKAH HARI HUTAN JIKA MASIH GUNDUL
Oleh : M. Anwar Siregar
Gambar : sebagian hutan yang secara bertahap akan mengalami penggundulan, akibat pembukaan lahan perkebunan dan penambangan pasir untuk penimbunan badan jalan dalam suatu areal perkebunan dan perusahaan pertambangan sehingga daya dukung lingkunganya mengalami penurunan

Daya dukung lingkungan hutan Indonesia telah mengalami penurunan tajam, petaka yang terjadi akibat kebusukan nurani manusia dalam mengeksplorasi segala sumber daya hutan yang terbatas dalam mengejar pencapaian ekonomi melalui penghancuran hutan, sehingga dalam sepeuluh tahun terakhir ini Indonesia sering mengalami bencana banjir, dengan gerakan tanah yang silih berganti berdatangan. Indonesia membutuhkan dana yang luar biasa untuk membangun kembali kehancuran tatanan lingkungan geologinya.
Gambar 2 : Penggundulan hutan untuk pembangunan infrastruktur jalan dan perluasan perkebunan yang mencapai ratusan hektar (Dok Foto Penulis, 2012)
TAMAN HUTAN
Diperkirakan taman hutan lahan basah didaratan Sumatera, telah mendekati sakaratul maut, tergambarkan dari luas yang hutan yang ada di Sumatera antara lain tinggal 1 juta hektar hutan yang berada di Jambi, hutan asli Sumatera Utara kini tersisa 80.000 hektar. Hutan Bengkulu kini tinggal 1,4 juta, kehilangan setiap tahun 80.000 hektar bukan disebabkan oleh gempa-gempa sering berlangsung di wilayah Bengkulu tetapi oleh penghancuran ilegal logging, begitu juga hutan asli di wilayah Sumatera Selatan sekitar 50.000 hektar dengan total seluruhnya ada 1,7 juta hektar, atau ada kerusakan hutan mencapai 2,8 juta hektar atau kerugian Indonesia dalam setahun mencapai 30-45 triliun rupiah atau seluas negeri Swiss, dalam lima tahun Indonesia mengalami kerugian mencapai 180 triliun rupiah, (berbagai sumber).
Penyebab lainnya, pembangunan jalan untuk truk-truk berat di dalam taman hutan dengan melakukan penghancuran ekosistim tanah bumi yang sudah disesuaikan karakteristik oleh alam untuk berbagai flora dan fauna yang terbentuk secara alamiah, perusakan daerah aliran sungai dengan pembuangan limbah-limbah beracun di dalam taman hutan terutama di daerah pendalaman, menggali kedalaman tanah hutan yang mengandung unsur-unsur perlapisan permeabilitas air atau tanah pembawa air, terjadi banjir oleh deforestasi tanah yang tidak memiliki kemampuan untuk menahan laju air bawah tanah.
Dari gambaran kehancuran hutan tersebut, maka kini kota-kota di Sumatera tahun 2013 seperti di Jambi, Sumsel, Sumbar dan Sumatera Utara khususnya di Medan, Tebing Tinggi, Madina serta Palas“menikmati” banjir silih berganti berdatangan.
PETAKA GEOSFER
Semakin kuat bukti ilmiah menunjukkan bahwa pemanasan global di atmosfer bumi (geosfer) pada lapiasan ozon disebabkan oleh kecenderungan dari penggunaan gas-gas ataupun bahan-bahan yang mengandung zat kimia dan radioaktivitas nuklir yang terus menerus meningkat oleh manusia sehingga bumi semakin coklat dan hitam dipermukaan angkasa, menumpuk dan menghalangi radiasi panas matahari yang seharusnya dikembalikan ke angkasa, pada akhirnya mengalami penipisan/pelubangan yang meluas. Dan hutan di bumi ini semakin terbatas dalam menyerap energi beracun untuk di”daur ulang” sehingga lapisan ozon seluas benua Eropa.
Efek emisi dari pembuangan gas yang terendapkan di atmosfir bisa mencapai usia 50-200 tahun untuk karbon dioksida, 12 tahun untuk methana dan 114 tahun untuk nitrogen oksida. Emisi-emisi ini selanjutnya membentuk selubung bumi semakin tebal, membuat temperatur Bumi semakin naik 2oC berlangsung dalam kurun 40 tahun mendatang, keturunan dari efek emisi adalah peningkatan suhu air dan kenaikan permukaan air laut karena terjadinya pencairan salju es di puncak gunung es di kutub selatan, berkurangnya ketinggian ladang es di puncak gunung Klimanjaro di Afrika Timur dan Jayawijaya di Papua, dapat menenggelamkan Medan, Batam dan Singapura karena memiliki ketinggian 25 meter dari permukaan laut dengan kenaikan air laut menjadi 10-20 cm per tahun. Sirkulasi di atmosfir berubah tajam mempengaruhi pola cuaca dunia. Musim panen tidak pasti, banyak korban kelaparan. Terganggunya sistim produktivitas hewan yang pada akhirnya juga menimbulkan berbagai penyakit kulit dan kanker ganas pada manusia, semua disebabkan oleh faktor penggundulan hutan.
PENTINGKAH HARI HUTAN
Masyarakat harus sadar sekarang bahwa bencana longsor, dan banjir sebenar tidak menakutkan apabila masyarakat benar-benar paham dimana mereka beraktivitas, dimana mereka tinggal serta memahami tata ruang yang menyusun bentangalam hutan dari ancaman bencana geologi dan hidrometeorologi.
Masyarakat harus sadar sekarang, dan masyarakat yang berada di pesisir yang rawan bencana tsunami perlu diingatkan agar tidak menggunduli hutan-hutan mangrove begitu juga di pendalaman, karena masih ada saja ulah masyarakat yang mengambil dan memperdagangkan ataupun merusak sumber daya hayati yang terbatas secara illegal sehingga ketika terjadi bencana menjadi sangat rawan bagi kehidupan. Bencana banjir di Aceh, di Madina, Jakarta serta Medan karena ketidakadaan hutan-hutan yang berfungsi sebagai keseimbangan alam, mengakibatkan kerugian finansial yang sangat mahal akibat kebodohan tersebut.
Jadi. Apakah masih urgensi bila setiap tahun diadakah peringatan hari Hutan 22 Maret jika masih ditemukan pembalakan, pembakaran dan penggundulan hutan di Indonesia? Dan tema-tema hari raya hutan yang selalu menganjurkan untuk mencintai dan menjaga kelestarian hutan dimaknai dalam sehari saja? Pepatah nenak moyang “satu hilang seribu tumbuh berganti” hanya berlaku jika ada tunas harapan bangsa yang wafat, tetapi untuk marwah kehidupan hutan kebalikan, yang ada hancurkan sepuas-puasnya baru adakan gerakan tanam pohon sejuta, sehingga timbullah kompleksitas bencana beranak pinak sehingga akar permasalahan semakin susah di “obati”, itulah yang terjadi di negeriku. Disinilah diperlukan gerakan moral untuk mengatasi penyakit bencana,
KEBAIKAN MORAL
Allah berfirman “Berbuat baiklah sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu, dan janganlah mencari kesempatan melakukan kerusakan dimuka Bumi ini. Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang melakukan kerusakan” (QS. Al-Qashash: 77). Bencana yang terjadi bukan disebabkan oleh alam melainkan ulah manusia yang sering merusak hutan sehingga kita liha di negeri ini sering terjadi musibah bencana, pembangunan yang dilakukan lebih difokus pada orientasi bisnis dan peningkatan sumber-sumber hidup pribadi alias mengguritanya korupsi.
Allah sudah memperingatkan kita melalui firmanNya “Dan jika kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah dinegeri itu (supaya mentaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu. Maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami). Kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya (QS.Al-Israa : 16). Manusia harus menjaga keselarasan lingkungan bumi, namun manusia selalu lupa diri yang mengantarkan kepada kesombongan sehingga berbuat maksiat terhadap kondisi bumi, telah membuat bumi menjadi murka. “Sesungguhnya, makhluk-ku bumi ingin sekali menelan manusia karena kemaksiatan yang mereka lakukan. Tapi semua itu tertahan karena masih ada hamba-hamba Allah yang berzikir pada pagi dan malam”.
Dari kutipan Firman Allah tersebut, diperlukan gerakan kebaikan moral masyarakat dalam memanfaatkan hasil sumber daya bumi untuk menyelamatkan kerusakan Hutan Bumi “dari kesakitan yang panjang” di Indonesia, gerakan kebaikan moral dapat dimulai dari langkah pertama, tidak membeli produk olahan hutan dari hasil illegal logging (harus bertanya), yang merusak hutan karena hutan sebagai sumber daya alam yang memegang peranan penting dalam pengawetan tanah dan pengaturan geologi tata ruang air (geohidrologi), untuk mencegah gangguan sirkulasi air agar kandungan CO2 di udara dan kehidupan hidrologis tidak menurun. Kedua, menjadikan hutan sebagai sumber ilmu pengetahuan bagi kesehatan manusia seperti pemanfaatan tumbuh-tumbuhan sebagai bahan penyembuhan natural (herbal) yang kini telah terasa manfaatnya untuk penyembuhan berbagai penyakit.
Ketiga, gerakan moral dari pemerintah dan stake holder untuk lebih tegas menjalankan pembangunan kehutanan dengan memperlakukan hutan bumi sebagai sumber daya terbatas dan penting bagi keseimbangan dan kehidupan di Bumi. Tegas menjalankan peraturan hukum dan perizinan HPH sesuai dengan luas konsesi yang diberikan serta melakukan pembinaan moral aparatur untuk menghindari becking illegal logging.
Keempat, bentuk konkret dari politik manusia terhadap lingkungan pemanfaatan SDA hutan di bumi, yaitu politik kebijakan pelestarian hutan alam dapat dimulai dari tindakan-tindakan pencegahan komprehensif dan kebijakan ekonomi keadilan dengan lingkungan.

M. Anwar Siregar
Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan-Energi Geosfer, Tulisan ini sudah dimuat di Harian ANALISA Medan

14 Mei 2013

Sumut Belum Tangguh : Geologi Disaster

SUMUT BELUM TANGGUH MENGHADAPI BENCANA
Oleh M. Anwar Siregar

Ketika terjadi bencana lingkungan, masyarakat mudah mengalami kepanikan, mudah termakan isu-isu akan terjadinya bencana gempa dan tsunami, tingkat kesadaran masyarakat ketika terjadi bencana masih sangat rendah, sehingga situasi tersebut mudah dimanfaatkan oknum yang tidak bertanggung jawab, menimbulkan euphoria ketakutan dan masing-masing tidak ada lagi rasa solidaritas, semuanya ingin menyelamatkan diri dan malas belajar untuk memahami mitigasi dan kearifan alam, sosialisasi daerah bencana serta simulasi bencana jadinya tidak sesuai yang diharapkan.
ANCAMAN MENTAWAI

Siapkah masyarakat Sumut dalam menghadapi kegetiran bencana yang lebih dahsyat, dalam menghadapi alam keganasan gempa dari seberang pulau Sumatera melalui getaran seismik dengan sentakan keras dentuman di dalam bumi bagaikan gebukan drummer oleh Lempeng Indo-Australia (yang membenturkan) ke tubuh Lempeng Sumatera (Eurasia) yang dianggap sebagai yang “digebuk”, sebagai persembahan pahit dari Mentawai?
Gempa Sumatera Barat 30 September 2009, gempa Mentawai Oktober 2010,  gempa Simeulue Januari 2012 dan gempa Pidie Januari 2013 merupakan gempa dengan titik bidik yang lebih kuat di tujukan ke tata ruang kota-kota besar di Sumatera Utara di bagian barat yang memiliki kontur topografi yang rendah dimasa mendatang. Dalam rentang empat tahun kejadian gempa, ancaman gempa Mentawai belumlah final, melainkan masih dalam taraf pemanasan, diperkirakan sebelum tahun 2033, siklus pelepasan energi yang hebat sebenarnya menunggu waktu, Dengan kata lainnya, periode kegempaan di Mentawai relatif masih ada karena kemampuan menyimpan energi lebih tinggi. Yang terendah adalah kepulauan Batu diantara Nias dan Siberut dengan daya menahan dibawah 30 persen. Karena daerah itu tidak ada pengumpulan energi gempa. Ini ditunjukkan oleh frekuensi gempa yang banyak namun intensitas rendah.
BELUM TANGGUH
Dalam rentang waktu itu pemerintah kota/kabupaten di Sumatera Utara sebaiknya mempersiapkan tata ruang pesisir yang berbasis kegempaan lokal dan sudah seharusnya meningkatkan kewaspadaan dini karena masih ada waktu, sebab setiap berulang gempa besar di Patahan Mentawai maka ada efek relaksasi bumi yang berupa pengangkatan pulau di Sumatera dan penurunan permukaan pantai ataupun batimetri kelautan pulau-pulau vulkanik di utara Mentawai atau juga pengangkatan pulau Mentawai itu sendiri mencapai sekitar 2 meter.
Lihatlah dampaknya dimasa kini sebagai gambaran di masa mendatang, dimana-mana dalam tata ruang lingkungan dalam suatu kota di Sumut mudah ditemukan “kubangan banjir”, ancaman penggusuran dan “tata ruang kumuh”, lokasi penyakit lingkungan, kebakaran, longsoran tanah dan lain-lain. Jadinya Sumut sepertinya akan mengikuti Sumbar sebagai “ladang korban maut yang besar”,
Bila dilihat dari sebaran jumlah penduduk yang mendiami Pantai Barat Sumatera, maka urutan teratas dalam jumlah korban besar di mulai dari Kota Padang dengan penduduk yang padat (900 ribu jiwa) memiliki resiko yang sangat tinggi jika tsunami besar terjadi. Bandingkan dengan populasi Aceh sebelum tsunami yang kira-kira 400 ribu jiwa dimana pada tahun 2004 gempa berkekuatan 9.2 membangkitkan tsunami dan menelan korban jiwa hampir 130 ribu orang. Lalu disusul Kota di Sibolga-Tapteng dengan kepadatan penduduk telah mencapai lebih 300.000 jiwa, kota di Kabupaten Mandailing Natal dengan kepadatan penduduk mencapai 150 ribu jiwa, kota di Punggung Bukit Barisan hingga menurun ke Pantai Timur Sumatera mencapai 7 juta jiwa lebih. Jangan menunggu bencana datang, siapkan tata ruang tangguh sekarang.
KEARIFAN MASYARAKAT
Berbagai kasus bencana akibat keteledoran dan tumpah tindih kelembagaan riset serta kemampuan sumber daya manusia dalam mengimpulsasikan serta mengimplementasikan perencanaan pembangunan tata ruang masih diperparah juga oleh perilaku esensi sikap kritis para elite dalam memahami berbagai persoalan bancana yang melanda bangsa ini terutama menyangkut sikap dalam pemahaman kondisi lokal yang berhubungan kondisi lingkungan yang belum juga menjadi bagian dari religiusitas kehidupan karena masih ada saja masyarakat beranggapan bahwa lingkungan hutan dan laut bumi dapat kembali ke wujud semula.
Masyarakat Sumatera Utara masih perlu diingatkan dan sadarkan untuk memahami kearifan alam bahwa mereka tinggal di kawasan yang rentan bencana, kearifan masyarakat sangat diperlukan terutama mengubah kultur atau budaya yang harus diarahkan agar masyarakat saip-siaga terhadap bencana alam. Masyarakat Sumut harus menyingkapi hal tersebut secara serius ancaman bahaya gempa dan tsunami serta banjir karena posisi Indonesia yang rentan bencana alam. Masyarakat Sumut harus memahami juga standar prosedur tetap jika tinggal di kawasan rawan bencana. Namun hal ini belum menunjukan budaya siaga bencana, dengan kata lainnya masyarakat Sumut belum tangguh menghadapi berncana alam.
SOP MANDIRI
Pemberdayaan masyarakat dengan tujuan agar masyarakat selalu siap dan waspada apabila sewaktu-waktu terjadi bencana sangat penting. Masyarakat publik Sumut perlu dipersiapkan secara berkala agar benar-benar siap-siaga terhadap bencana dan salah satunya dengan cara melakukan pelatihan. Dan menyusun suatu program SOP dan edukasi massal, apa itu gempa (dan bencana alam lainnya), bagaimana mitigasi bencana, serta apa-apa yang harus dilakukan. Edukasi ini mulai dilakukan di tingkat sekolah dasar sampai dengan pendidikan tinggi. Jika ini dilakukan, maka akan memberikan kesadaran kolektif, serta kompetensi kolektif kepada masyarakat mengenai mitigasi bencana, dan ujung-ujungnya jika terjadi bencana, jumlah korban bisa diminimalkan.
Pemerintah daerah Sumut seharusnya sudah membiasakan masyarakatnya berlatih dan simulasi bencana 4 kali per triwulan dan bukan 1 kali dalam setahun, bertujuan mengendalikan kepanikan dan isu-isu bisa diredam. Hal ini menyebab kenapa masih banyak masyarakat belum tergerak untuk proaktif mengikuti program pelatihan simulasi bencana dan banyak belum patuh pada ketaatan terhadap daerah bencana yang sudah disosialisasikan, lihatlah pemaksaan masyarakat pada evakuasi letusan gunung berapi dan diakibatkan juga oleh ketidakadaan SOP mandiri dan kontigensi planning gunungapi.
Pemerintah di tiap Kabupaten di Sumatera Utara ternyata banyak belum memiliki standart operating procedure [SOP] atau standar prosedur tetap [protap] koordinasi dalam mitigasi berbagai bencana alam dan penataan ruang yang berwawasan lingkungan, RTRW yang ada juga belum menyesuaikan kondisi existing yang sebenarnya dengan kondisi karakteristik geologi tiap daerah di Sumut. Sumut termasuk sekian propinsi di Indonesia tidak memiliki standar baku SOP baik untuk gempa, tsunami, letusan  gunungapi, gerakan tanah dan banjir.
RESCUE SAR
Di Jepang, pengenalan tsunami dan latihan cara menyelamatkan diri berlangsung teratur di sekolah dan kelompok masyarakat, tetapi di Indonesia tidak berlaku dan jarang diadakan secara kontinu, yang ada terasa seperti acara seremonial yang banyak menghabiskan waktu dan dana yang sebenarnya sangat berguna untuk mengantisipasi berbagai jenis bencana geologi. Hal ini menyebabkan mengapa begitu banyaknya korban gempa masih terjadi sehingga bumi Indonesia masih bergelimangan nyawa yang meninggal dengan kesedihan yang luar biasa.
Pelatihan mitigasi berbasis masyarakat adalah pelatihan yang dapat dimanfaatkan dan diikutkan serta dalam kelompok yang lebih luas di mulai dari tingkatan terbawah yaitu keluruhan atau Desa yang berdekatan di lokasi daerah rawan bencana, pembiayaan Tim rescue atau SAR dapat dilakukan secara mandiri atau swadaya dalam meningkatkan pengetahuan sumber daya masyarakat untuk meningkatkan kapasitas daya tahan dalam menghadapi bencana dengan koordinasi dan terstruktur dengan jelas di BNPB atau BPBD untuk mengatasi permasalahan mitigasi bencana baik dari segi aturan kontigensi SOP maupun penyelamatan koordinasi, sehinggga akan tergambarkan sebuah perencanaan dan koordinasi SOP mandiri di lapangan. Hal ini juga dapat menekan korban apabila bantuan SAR belum tiba dan mengupayakan kelancaran tim SAR jika tiba di lapangan.
Ada baiknya masyarakat Sumut meningkatkan kualitas diri melalui berbagai pengatahuan dan mendorong pemerintah meningkatkan pengetahuan mitigasi, SOP, dan pengenalan EWS agar tidak “gagap” dalam menghadapi bencana. Sumut benar-benar belum tangguh menghadapi bencana unirversal.
M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer, Diterbitkan HARIAN ANALISA MEDAN, Maret 2013

Dilema Panas Bumi : Geologi Recources

DILEMA TDL DAN PANAS BUMI
Oleh M. Anwar Siregar
Kebijakan pemerintah tentang kebutuhan energi untuk pembangkit listrik dan transportasi, merupakan kebijakan yang tidak elok di mata masyarakat karena akan sering berdampak luas terhadap kepentingan masyarakat, dipastikan akan ada kenaikan sembako dan TDL, keduanya seperti “kekasih” yang tidak terpisahkan
DILEMA
Investasi pembangunan ketenagalistrikan untuk beberapa daerah yang belum dialiri listrik hingga ke tahun ini membutuhkan pembangunan jaringan tegangan listrik rendah sepanjang 6.200 km dan 25.495 km jaringan listrik tegangan menengah. Dari sebaran panjang jaringan listrik tersebut memerlukan biaya investasi yang besar.
Permasalahannya adalah iklim investasi energi listrik non fosil yang dapat mengurangi kesenjangan energi listrik seperti panas bumi mengalami dilema karena kebijakan pemerintah, menghambat laju investasi dengan rendahnya insentif yang diberikan dengan menetapkan harga pembelian pabum seharga 4,5 sen dollar AS per kWh dari harga yang layak 16-21 sen dollar ditingkat pasaran internasional [data tahun 2012] sehingga eksplorasi pabum tidak menunjukan investasi yang signifikan karena modal balik didapat investor sangat jauh dari dana investasi yang dikeluarkan, dapat mencapai 6-7 juta dollar US dengan tingkat keberhasilan 50 persen untuk satu dari dua sumur yang diuji sehingga dapat menghasilkan geologi produksi untuk sumber pembangkit listrik dari panas bumi. Hasil dari keberhasilan tersebut dilanjutkan lagi pembangunan pemipaan dan instalasi pembangkit listrik geothermal dengan modal dasar diperkirakan antara 1-2,5 juta dollar US per GW
Untuk mengatasi kelangkaan dan dilema energi dari minyak dan gas bumi, pemerintah harus mengubah paradigma dalam menarik investasi dengan memberi insentif bagi investor pabum yaitu memberikan kebebasan pajak gratis selama masa tahap penelitian, pengembangan, pembangunan fisik hingga ketika tahap produksi, yaitu membebaskan semua jenis pajak pembangunan dan ketika masa produksi baru dikutip biaya pajak dengan besarnya sudah diatur sesuai peraturan yang ditentukan pemerintah, hal ini akan mendorong pembangunan energi alternatif semakin cepat dan memberikan kelapangan kerja yang pasti.
Bukan cara seperti sekarang, dimana pihak investor terlebih dulu dikutip biaya-biaya yang resmi dan tidak resmi, target produksi belum jelas, kepastian usaha keberhasilan atau balik modal belum jelas, sehingga memberatkan pihak investor, karena banyak faktor yang mempengaruhi hal ini, antara lain, kondisi politik, kebijakan ekonomi dalam dan luar negeri, serta krisis ekonomi global.
Pemerintah harus mengubah iklim investasi panas bumi dengan memberikan dukungan politik yang kuat agar dapat bersaing sehingga para investor asing dan dalam negeri dapat mengembangkan eksplorasi dan eksploitasi pabum untuk mengatasi krisis energi listrik. Serta target kebutuhan energi pabum sebesar 6.000 hingga tahun 2020 dapat direalisasi karena target 3.500 MW hingga ke tahun 2012 belum terealisasi disebab iklim investasi dan pajak dari pengembangan lapangan pabum bisa mencapai 43 persen yang berlaku sejak investor memulai kegiatan eksplorasi.
MASSALKAN
Kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) akan memberatkan bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah dan menimbulkan dilematis karena kebijakan pemerintah yang masih setengah hati meregulasi produksi massal potensi energi non fosil, maka pemerintah harus melepaskan ketergantungan pada BBM fosil untuk pasokan energi listrik diantara beberapa energi terbarukan yaitu energi panas bumi (pabum), energi yang terpendam dalam perut bumi Indonesia dengan kapasitas cadangan mencapai 219 juta BOE atau 27 GW, setara dengan 27.000 Mega Watt (MW) atau sekitar 40 persen dari kapasitas cadangan panas bumi dunia. Namun penggunaan terpasang energi pabum baru mencapai sekiatar 4,2 persen atau 1.189 Megawatt electric (MWe), atau saat ini 800 MW. Dan Indonesia baru dapat memproduksi 240 MW ke rumah dari cadangan pabum sebesar 27.000 MW, dan membutuhkan investasi pengembangan energi sebesar  3.500 MW hingga pada tahun 2012, namun target itu terasa berat direalisasi karena faktor iklim investasi energi.
Sangat tragis sekali mengingat potensi sebesar itu belum maksimal memberikan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia, malah memberikan lagi dilema bagi energi-energi alternatif selain panas bumi, yaitu energi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH), Pembangkit Listrik Tenaga Gelombang Laut Sistim Bendul (PLTGL-SB), Pembangkit Listrik Tenaga Gelombang Angin/kincir angin (PLTGA) dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap dari gambut. Pembangkit Listrik Panas Air laut, dan Biodisel dari tanaman hijau serta berbagai penemuan energi terbarukan oleh putra-putri terbaik bangsa.
Investasi energi alternatif perlu di regulasi massal bagi kepentingan yang luas untuk peningkatan dan penyerapan lapangan kerja baru dan memberikan bantuan regulasi paten hasil penemuan energi terbaru non hayati di berbagai Perguruan Tinggi di Indonesia yang telah siap diproduksi dalam jumlah besar serta menghilangkan liberalisasi migas, yang merupakan pesanan pihak luar, menyebabkan kekisruhan BBM, sering menyebabkan antrian panjang di beberapa SPBU, ada selalu ketegangan di masyarakat sehingga tidak terus menerus menggeroti berbagai kebijakan undang-undang Migas yang sudah sangat jelas merugikan Indonesia.

M. Anwar Siregar
Geologist-Enviromentalist, Pemerhati Masalah Tata Ruang-Lingkungan dan Energi-Geosfer. Diterbitkan HARIAN MEDAN BISNIS Bulan Februari 2013

Populer

Laut Indonesia darurat sampah

  LAUT INDONESIA DARURAT SAMPAH Oleh M. Anwar Siregar   Laut Indonesia banyak menyediakan banyak hal, bagi manusia terutama makanan ...