27 Jan 2014

Mitigasi Investasi Gunungapi : GEOLOGI MITIGASI

MITIGASI INVESTASI GUNUNGAPI SUMUT
Oleh : M. Anwar Siregar
Dari hasil pengamatan dan penelitian penulis, dapat diambil kesimpulan bahwa daerah yang memiliki gunungapi ternyata masih rentan mengalami musibah bencana, bahwa sebagian kota di Sumatera Utara belum siap dan belum mampu mengevaluasi, serta mereview untuk memberikan arahan sosialisasi serta strategi pengendalian penanggulangan bencana gunungapi secara kontinu. Masyarakat yang berada di kawasan rawan bencana letusan gunungapi masih beranggapan bahwa kejadian bencana dalam suatu KRB III tidak perlu memperhatikan peta penyebaran inforamsi geologi daerah rawan bencana gunungapi dan tetap beraktivitas.
Bahwa daerah gunungapi di Sumut masih belum memiliki daya konstruktif terhadap daya tahan bencana dan investasi jangka panjang dapat dilihat dari berbagai segi instrumen antara lain : pola tata ruang investasi yang tidak tegas, manajemen sosialisasi mitigasi penanggulangan letusan gunungapi yang belum terukur serta kemampuan sumber daya manusia dan teknologi yang masih terbatas.
INVESTASI KRB
Data sejarah bencana sangat penting dalam menganalisis tingkat risiko yang ditimbulkan dari berbagai bencana geologis khususnya letusan gunungapi, letusan gunungapi sebenarnya sudah dapat diketahui dan gejala visual yang akan terjadi dapat diketahui secara dini, namun jumlah korban masih tetap saja ada dalam jumlah besar. Penyebab utamanya adalah pola pembangunan fisik dalam tata ruang yang sudah diidentifikasi tingkat kerawanannya dan biasanya sudah dipetakan dan dimasukan kedalam suatu peta risko bencana gunungapi yaitu Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB).
Peta tata ruang KRB mencakup suatu standar prosedur tetap (protap) atau SOP yang sudah baku, dan memuat suatu pedoman yang harus dipatuhi oleh pemerintah, pelaku usaha atau investor dan masyarakat dalam suatu Kabupaten dan antisipasi bagi Kabupaten tetangganya. Peta KRB dapat digunakan sebagai acuan untuk modal investasi pembangunan infrastruktur fisk dan pariwisata, juga sebagai landasan pembangunan daerah tata ruang detail wilayah.
Yang menjadi sumber masalah investasi jangka panjang bagi tata ruang didaerah rawan bencana gunung api adalah bagaimana memperhitungkan 7 (tujuh) gunungapi yang ada di Sumut dan sebagian gunungapinya masih berstatus kelas type B, dan umumnya “malas” naik kelas, sehingga akan membahayakan jika terjadi letusan. Ini perlu menjadi renungan bagi perencana pembangunan, ketika terjadi letusan gunungapi Sinabung pertama kali pemerintah Sumut tidak siap, sebab peta KRB dibuat jika gunungapi sudah meletus, maka baru diketahui daerah mana lintasan erupsi, Peta Keretanan Geologis Tinggi (KGT) dan peta anomali gunungapi banyak diantaranya belum ada. Permasalahan lainnya bagi investasi tata ruang gunungapi yakni, jarang dibuat pembuatan infrastruktur fisik mitigasi karena ketidakadaan data erupsi sehingga Sumut belum dianggap daerah tangguh bencana gunungapi serta diperparah oleh sikap masyarakat beranggapan wilayah ini tidak akan terjadi lagi letusan, sangat membahayakan dan dapat menyebabkan korban mencapai 45 persen dari total jumlah penduduk yang mendiami suatu kota yang dekat dengan gunungapi, jangkauan erupsi/letusan gunungapi bisa mencapai minimal 5 km maksimal 21 km tergantung tingkat kekuatan letusan gunungapi. Studi kasus ini bisa diambil dari pelajaran gunungapi Sinabung.
SOSIALIASASI MITIGASI
Selain pola tata ruang investasi KRB, maka sosialisasi mitigasi bencana gunungapi belum menjadi bagian dari budaya hidup bagi masyarakat Sumut yang berada dalam jangkauan erupsi sejauh maksimal 21 km. Bahwa mitigasi bencana gunungapi bagian dari manajemen bencana (disaster management) atau manajemen darurat (emergency management). Manajemen bencana meliputi : penyiapan, dukungan, dan pembangunan kembali suatu masyarakat yang terkena bencana alam (natural disaster) atau bencana buatan (man-made disaster). Manajemen sosialisasi mitigasi bencana gunungapi adalah suatu proses yang harus diselenggarakan terus menerus oleh segenap pribadi, kelompok, dan komunitas dalam mengelola seluruh bahaya (hazards) melalui usaha-usaha meminimalkan akibat dari bencana yang mungkin timbul dari bahaya tersebut, karena gunungapi sudah diketahui kapan mengeluarkan erupsi/letusan (plumed), maka perlu diadakan secara kontinu pengenalan tentang bahaya, daerah aman, daerah kawasan rawan dan daerah zona risiko erupsi. Namun hal ini belum terbumikan.
Masyarakat Sumut harus memahami mitigasi bencana gunungapi pertama, sebagai upaya untuk pengurangan resiko atau sosialisasi resiko individu, kedua, sebagai wahana sosialisasi informasi geologi untuk pengurangan kerentanan bahaya atau bencana lingkungan lokal dalam suatu tata ruang di daerah rawan bencana, serta ketiga, sebagai upaya manajemen edukasi untuk mereduksi-menekan jumlah korban material dan fisik dan keempat, sebagai upaya mendorong masyarakat untuk memahami geologi sebagai sumber pengembangan sumber daya manusia dalam pembangunan berkelanjutan.
PELAJARAN BERIKUTNYA
Sumut harus bercermin dari pengalaman tahun 2010 dan 2013, walau baru satu gunungapi yang meletus dan naik kelas, yaitu Sinabung dari mimpi lama sekitar 400 tahun lebih. Sinabung memperlihatkan gejala alam agar manusia belajar dari multi resiko bencana alam setelah gempa besar Nias, banjir dan musibah lingkungan. Tujuannya sudah jelas, agar pemerintah dan masyarakat Sumut arif dalam memahami hidup dan beraktivitas disekitar gunungapi dapat membahaya keselamatan serta dapat mengganggu kondisi gunungapi itu sendiri.
Hikmah yang diambil dari letusan Sinabung bagi pemerintah daerah Kabupaten/Kota adalah agar menyusun kebijakan yang tegas dalam perencana pembangunan tata ruang investasi lahan yang mengikuti tingkatan bahaya dalam pola tata ruang KRB, menjadi prosedur tetap dalam memberikan izin kelayakan pembangunan fisik investasi yaitu dari tingkatan bahaya KRB III (tinggi), KRB II (menengah) dan KRB I (rendah). Memperkirakan arah erupsi gunungapi dengan mempelajari karakteristik geologi letusan gunungapi dimasa lalu, berguna sebagai pedoman pengendalian investasi pembangunan ditingkat lokal, mencegah penurunan daya tahan investasi fisik serta peningkatan ketahanan sosial ekonomi untuk menghadapi kejutan eksternal (external shock) bencana berikutnya, berkaitan langsung dengan upaya lokal dengan karakter lokal sehingga membutuhkan manajemen informasi geospasial yang memadai.
Disiplin menjalankan aturan SOP yang sudah ditetapkan dalam peta KRB, maupun peta KGT untuk mengurangi resiko bencana gunungapi di Sumut suatu saat nanti, yaitu pertama, meningkatkan manajemen sosialisasi bencana gunungapi bagian dari program pembangunan, kedua meningkatkan kesadaran dan membangun kapasitas mitigasi bencana melalui penataan ruang yang berada dalam zona KRB dan zona resiko letusan gunungapi yang banyak melibatkan aspek sosial, budaya dan teknis secara simultan.
Sehingga Sumut tangguh dan cemerlang dalam membangun pengurangan resiko bencana letusan gunungapi di perkotaan yang dapat menjangkau wilayah inti dan pesisir perkotaan, serta cerdas memahami gejala-gejala alam gunungapi karena sebagian besar tata ruang kota di Sumut banyak masyarakatnya menetap di kawasan pegunungan dimana proses geologis masih berlangsung kembali, membutuhkan pemahaman karakteristik kebencanaan yang berlangsung didaerah tersebut sebagai upaya untuk mempersiapkan cetak jejak masa lalu, masa kini dan masa sekarang dalam bentuk informasi peta daerah rawan bencana untuk landasan pembangunan fisik.
Sadar akan kondisi lingkungan gunungapi, akan membuat manyarakat lebih waspada dengan resiko yang dihadapi maka pelatihan dan simulasi mitigasi harus diadakan secara teratur berbasis masyarakat dan memasukan kedalam kurikulum pendidikan dasar sesuai dengan budaya kearifan lokal yang membentuk karakter masyarakat Sumut disekitar gunungapi.
M. Anwar Siregar
Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer-Kelautan.

Pentingnya Tata Ruang Megathrust Gempa Aceh : Geologi Mitigasi

PENTINGNYA TATA RUANG MEGATHRUST GEMPA ACEH
Oleh : M. Anwar Siregar
Semakin terbukti, Aceh sangat memerlukan standar building code segala jenis pembangunan fisik untuk menyesuaikan kondisi percepatan puncak batuan atau PGA. Gempa Aceh tidak akan berhenti walau sesaat, dan menunjukkan bahwa seismitas energi dikawasan ini masih akan terus melepaskan energi akibat ketidakseimbangnya zona-zona energi penyerapan seismik diperbatasan lempeng, yang menyusun kerak bumi di tepi kontinen lempeng Eurasia, dan diketahui bahwa selama belum ditemukan keseimbangan isotatis maka gerak dinamis lempeng bumi akan selalu memacarkan suatu pendesakan dan “pengumpulan tenaga dalam gempa” yang akan berdenyut seperti nadi darah yang tersumbat untuk kemudian meletus atau dilepaskan secara tiba-tiba, dan merupakan gambaran ke gempa megathrust yang lebih besar lagi kekuatan dapat mencapai lebih 8,5 SR, megathrust merupakan karakter gempa yang selama ini menjadi identik zona gempa di bagian utara sumatera.
KARAKTER GEMPA NAD
Blok gempa di Aceh-Simeulue ataupun daratan gempa Singkil-Meulaboh-Pidie-Kutacane-Sabang merupakan wilayah kegempaan paling teraktif di kawasan pantai barat maupun daratan Sumatera dengan periode pelepasan energi sangat singkat dengan zona penyerapan energi paling rendah diantara tiga zona subduksi megathrust yang ada di Pantai Barat Sumatera yang mengalami pengoyakan yang lebih mendalam dengan tingkat PGA [peak ground acceleration] atau tingkat goncangan tanah suatu tempat karena pengaruh batuan dasar diatas 7 Mw. Nilai PGA ini seharusnya digunakan dalam penentuan tata ruang gempa melalui pemetaan mikrozonasi gempa untuk kekuatan infrastruktur building code di suatu kawasan rawan gempa di Aceh dan Indonesia secara umum.
 


Gambar : Dinamika umum tektonik Indonesia diperlihatkan oleh respon Kepulauan Indonesia terhadap pergerakan relatif tiga lempeng bumi dari data GPS (Global Positioning System). Panah besar merah adalah kecepatan gerak dari lempeng. Panah-panah hitam menunjukkan kecepatan gerak dari lokasi tempat pengukuran monumen GPS antara tahun 1989 dan 2002 (sumber dari Bock, 2003).

Karakter yang biasanya membentuk mekanisme gempa besar di wilayah Aceh-Simeulue adalah mekanisme pergerakan/pergeseran lempeng akibat tumbukan lempeng besar yang menghasilkan deformasi sesar vertikal (thrust fault). Sesar vertikal dikarakterkan oleh pergerakan lempeng kerak bumi yang saling bertumbukan dan membentuk zona subduksi yang menimbulkan gaya yang bekerja baik horizontal maupun vertikal, efek dari model gerak sesar vertikal ini membentuk pegunungan lipatan, jalur gunungapi/magmatik, persesaran batuan, dan jalur gempa bumi serta terbentuknya wilayah tektonik tertentu.
Karakter gempa lainnya yang terdapat di kawasan Aceh-Simeulue adalah banyak ditemukan lembah-lembah maut berhadapan langsung dengan palung-palung laut dalam, merupakan gambaran umum gempa-gempa besar di masa mendatang karena pantai-pantai yang berhadapan langsung dengan pembenturan antar lempeng didasar laut. Hasil penelitian ilmuwan membuktikan hal tersebut, menemukan bahwa akibat gempa Aceh sejak tahun 2004 banyak ditemukan lembah-lembah maut di Laut Aceh disekitar zona subduksi Aceh menuju Palung Laut Dalam Andaman-Nikobar dengan kedalaman bervariasi antara 40-60 km, menyebabkan tsunami sering terjadi dengan karakter tunjaman mencapai dibawah 10 derajat kelandaian.
Penyebabnya karena lantai samudera di Pulau Sumatera lebih muda termasuk di kawasan subduksi Aceh-Andaman-Nias-Simeulue, terbentuk terpadatan dan sering mengalami daur ulang kerak bumi sekitar 55 juta tahun daripada Pulau Jawa, sedangkan usia lantai samudera di bawah Pulau Jawa sekitar 100 juta tahun dan jarang mengalami perubahan dan pergeseran kerak bumi yang menghasilkan gempa megathrust.
Dengan karakter usia muda, maka daya apungnya masih tinggi, densitasnya lebih ringan dan lantainya lebih landai serta aktif lebih bergerak dan menyusup dengan sudut penunjaman yang lebih landai sehingga akan menimbulkan gaya gesekan yang lebih kuat dengan skala gempa rata-rata mencapai diatas 7 SR.
Lanjutan bahaya gempa dizona subduksi konvergensi masih menerus menekan daratan Aceh di tiga titik patahan sumatera yaitu Segmen Tripa, Segmen Aceh dan Segmen Seulimeum, gempa Bener Meriah berpusat di daratan di segmen tripa dan merupakan gempa sesar geser, tetapi juga terjadi sekarang disekitar kawasan gempa a-seismik, gempa-gempa yang masih sering terjadi di Aceh di daratan merupakan wilayah dari gempa a-seismik akibat dari fracture atau kawasan mengalami investigasi gempa kuat dalam zone terdekat zona gempa terdahulu dikenal sebagai investigator fracture zone [IFZ] yang menimbulkan gempa akibat tekanan sesar geser dampak dari deformasi gempa Aceh 2004 yang memicunya menjadi aktif. Gempa sekarang dalam kurung empat bulan merupakan indikasi adanya INF di daratan yang bersambung dengan zona INF subduksi.
Coba perhatikan kondisi tata ruang kota-kota yang berada dalam lingkungan geomorfologi di dataran patahan Tripa-Seumelium, lembah tektonik Gayo, di daratan pegunungan ini akan terlihat kondisi tanah yang mudah terbelah dan terkoyak, dan daerah ini di perkirakan terdapat gempa a-seismik yang telah melakukan penguncian lebih 50 tahun dan dapat menghasilkan kondisi peretakan kulit bumi yang dikenal dengan istilah saat ini yaitu investigator fracture zone (IFZ), kemunculan berdampak dari tekanan pecahan gempa megatrush 2004.
TATA RUANG
Dengan melihat gambaran karakter magathrust Aceh-Simeulue, dan adanya indikasi IFZ tertekan menuju ke zona subduksi Simeulue oleh gerak sesar geser atas yang dapat menimbulkan tsunami ke daratan, menekan beberapa segmen patahan Aceh, maka perencana tata ruang wajib mencermati hal ini, dan menyesesuaikan geomorfologi fisik bagi tata ruang kota yang wilayahnya bersentuhan dan terbelah serta berada di kawasan tinggi Alas, Gayo dan Leuser dalam pembangunan rehabilitasi dan rekonstruksi gempa tahun 2013, mengingat gempa tahun 2004 itu kini memasuki priode ulang gempa diatas 10 tahun.
Pemahaman karakteristik tata ruang megathrust gempa Aceh-Simeulue sangat penting dalam pembangunan tata ruang di Propinsi NAD untuk mengurangi bencana, jika bisa dimulai tahun depan, karena hal ini tidak terlihat pada rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh akibat gempa tahun 2004 lalu, belum menunjukkan suatu perencanaan tata ruang yang berketahanan gempa yang tangguh, masih ada ruang atau lahan yang telah diidentifikasi sebagai daerah rawan tsunami masih tetap ditempati dengan membangun prasarana hotel menjorok ke pantai, begitu juga standar fisik infrastruktur jalan dan jembatan masih mudah mengalami efek gempa yaitu efek goncangan berganda, fleixsure dan likuafaksi akibat pembangunan yang tidak sesuai prosedur tetap standar teknis pembangunan jembatan. Masih terlihat beberapa kawasan pantai di Aceh dan Kabupaten di Aceh seperti Simeulue, Pidie dan Bener Meriah belum terbentengkan oleh prasarana bangunan tahan gempa dan sarana pertahanan struktural fisik berupa pemecah gelombang tsunami.
Tidaklah mengherankan terjadi gempa lagi, masih akan ada korban dalam jumlah besar. Siapkah Rakyat Aceh dan Indonesia menghadapi megathrust berikutnya jika perilaku pembangunan tata ruang belum juga mencerminkan karakter tata ruang yang humanis dengan bencana, tidak mencerminkan pelajaran sejarah kebencanaan geologi gempa di masa lalu? Nestapa hanya menunggu waktu. Jadi, gempa Aceh bulan Oktober 2013 merupakan salah satu gempa yang memberikan contoh, bahwa bagaimana pentingnya tata ruang dan konstruksi bangunan tahan gempa dalam mengurangi dampak bahaya, dengan guncangan kekuatan gempa 5,6 SR saja sudah banyak rumah mengalami kehancuran dan sarana jalan terbelah sepanjang lima meter.
Dengan kata lainnya, Rekonstruksi NAD 2004 lalu belum tangguh menghadapi gempa besar berikutnya.
M. Anwar Siregar
Geolog, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer, Tulisan ini sudah dimuat di HARIAN ANALISA MEDAN, 2013

31 Des 2013

Mitigasi Budaya Lokal Benteng Bencana : Gelogi Mitigasi

MITIGASI BUDAYA LOKAL, BENTENG TANGGUH BENCANA LINGKUNGAN
Oleh M. Anwar Siregar
Sejarah selalu berulang, justru kita yang tidak pernah sadar dan malas belajar, apakah yang dilakukan ketika terjadi gempa, tusnami, gerakan tanah, banjir dan gunung api meletus dan pemerintah berkewajiban menunjukkan kinerja dalam pembangunan sistim manajemen darurat dan mitigasi yang lebih baik, sehingga kejadian bencana letusan gunung api Sinabung tidak menimbulkan permasalahan psikologis bagi masyarakat di daerah rawan bencana.
Namun terjadi lagi hal tragis menimpa masyarakat, yang sebenarnya sejarah telah berulangkali mengingatkan agar bangsa ini untuk mempersiapkan segala-galanya, dan pemerintah memiliki tingkat kepekaan untuk merenungkan suatu kehidupan yang baik bagi rakyatnya bahwa bangsa Indonesia akan selalu terus hidup dan akrab dengan bencana.
Kondisi alam dan keberagaman budaya di Indonesia merupakan kekayaan dan sekaligus potensi bencana jika tidak dikelola dengan tepat, terkait dengan potensi bencana alam merupakan ancaman kehilangan sumber generasi penerus, jika di kaitkan dengan kondisi budaya maka elemen ini perlu diperkuat dalam upaya pengendalian korban dan kehancuran lingkungan. Indonesia memiliki keragaman sosial budaya, etnis, agama, kepercayaan serta kondisi ekonomi dan politik yang merupakan kekayaan bangsa. Kemajemukan ini sekaligus juga berpotensi sumber bencana lingkungan, jika dikelola dengan baik dengan kearifan yang menjadi sumber budaya karakter bangsa.
KETAHANAN SOSIAL
Francis Fukuyama dalam bukunya Trust: The Social Virtues and The Creation of Properity yang diterbitkan tahun 1995, menjelaskan bagaimana pengalaman berbagai bangsa bahwa hanya masyarakat dengan kepercayaan sosial yang tinggi dan memelihara keeratan sosial komunitasnya yang akan mampu mencapai kejayaan ekonomi pada zaman kompetisi bebas saat ini. Jika di lihat dari sudut budaya timur, terutama dalam konteks ketahanan masyarakat Indonesia dalam menghadapi berbagai tantangan bencana alam yang selalu terjadi sepanjang tahun, maka kepercayaan dan keeratan sosial bisa menjadi benteng yang kuat dalam harmonisasi dengan lingkungan dan pemimpin untuk bersama menghadapi berbagai persoalan yang melanda bangsa terutama menghadapi secara berutun musibah bencana alam.
Keeratan sosial merupakan dasar yang erat kaitannya dengan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, jika pemerintah memberi contoh yang baik maka masyarakat akan memberikan suatu kepercayaan yang utuh.
Twigg, J. 2007 dalam bukunya Characteristics of A Disaster-Resillient Community, mendefinisikan ketahanan masyarakat sebagai : Pertama, kapasitas untuk meyerap tekanan atau kekuatan-kekuatan yang menghancurkan melalui perlawanan atau adaptasi. Kedua, kapasitas untuk mengelola atau mempertahankan fungsi-fungsi dan struktur-struktur dasar tertentu, selama kejadian-kejadian yang mendatangkan malapetaka, dan ketiga kapasitas untuk memulihkan diri atau melenting balik setelah terjadinya bencana.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka ketahanan yang melingkupi suatu masyarakat yang membentuk karakater yang telah tertanam dari suatu bangsa perlu dijadikan budaya hidup dalam menghadapi berbagai macam ancaman bahaya. Untuk memenuhi karakter tersebut perlu diupayakan identifikasi pengembangan sosial kemasyarakatan sebagai agenda tindak lanjut untuk membangun kapasitas negara yang bersinergi dengan penguatan kapasitas masyarakat.
KEARIFAN BUDAYA LOKAL
Masyarakat kita sesungguhnya masih memiliki warisan berharga peninggalan nenek moyang yakni tradisi yang beragam dalam menjaga keseimbangan alam atau dikenal sebagai kearifan lokal [local wisdom] ini dapat digunakan untuk kepentingan masyarakat dalam mitigasi bencana alam dalam mengembangkan dan meningkatkan kewaspadaan masyarakat. Pelajaran sejarah yang telah banyak ditinggalkan oleh masyarakat ternyata masih mumpuni di era canggih adalah tentang memahami kondisi pembangunan rumah tempat tinggal didaerah rawan gempa dan tsunami seperti di Nias dan Simeulue, merupakan parameter budaya lokal yang sangat penting di era pembangunan saat ini.
Pengalaman masyarakat di Pulau Simeulue di Aceh dan Nias perlu mendapatkan perhatian. Mereka memiliki semacamfolklore yang terinternalisasi menjadi kearifan lokal, apa yang harus dilakukan jika terjadi gempa. Makanya, sewaktu terjadi tsunami, jumlah korban agak minimal di sana. Rumah tradisional Nias tidak satupun mengalami kehancuran ketika terjadi gempa-tsunami maut Aceh-Nias tahun 2004, 2005 dan 2007.
Pemahaman terhadap kearifan lokal masyarakat menyangkut bencana akan menjadi satu input penting dalam proses mitigasi bencana. Diperlukan upaya untuk mensinergikan rancangan-rancangan aktivitas yang didesain dengan pertimbangan-pertimbangan ilmiah serta nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang ada di masyarakat. Melalui proses tersebut, akan terjadi transfer pengetahuan mengenai kebencanaan kepada masyarakat
Selain pemahaman kearifan lokal tsunami berupa Rumah Adat di Nias dan Simeulue, kita dapat belajar kearifan lokal dari budaya Bali yang menghormati keharmonisasi dengan ekologi lingkungan tempat mereka beraktivitas, yaitu konsep Tri Hita Karana atau tiga penyebab kebaikan yang dianut dan digunakan oleh masyarakat Bali dalam kaitan yang berhubungan dengan tata lingkungan dan perumahannya yang sangat kental dengan kearifan alam dalam menjaga keseimbangan ekologis.
Kearifan lokal masyarakat Sulawesi Selatan, yang membangun konstruksi kaki rumah berbentuk panggung tinggi diatas tanah yang dibangun disekitar pantai, yang diselaras dengan arah kedatangan arus gelombang laut dan mengurangi efek penjalaran seismik ke bangunan, begitu juga rumah-rumah adat dan kearifan yang membungkus budaya masyarakat Dayak Kalimantan. Semua hal ini seharusnya dijadikan introspeksi dalam membangun konstruksi rumah tahan gempa serta harmonisasi dengan alam.
BENTENG TANGGUH
Kemudian parameter penting lainnya adalah kebijakan prinsip keadilan lingkungan yang melibatkan masyarakat yang merupakan asumsi yang paling mendasar dalam menyusun upaya mitigasi. Karena semakin banyak masyarakat yang terlibat, akan semakin muda melakukan upaya mitigasi. Salah satu bentuknya adalah memberikan peran serta kepada masyarakat dan berusaha menjelaskan tentang mitigasi itu dengan cara sederhana, Rancangan kebijakan yang hanya sekedar merespon persoalan jangka pendek bukanlah solusi yang tepat dalam menjaga kesinambungan daya tahan masyarakat, khususnya mereka yang tinggal di wilayah rentan bencana. Perumusan visi dan perencanaan agenda dalam penyusunan kebijakan bukan hanya sekedar melihat konteks ‘bencana’ dan kerusakan lingkungan sebagai masalah ekologis dan ekonomi semata, melainkan juga masalah yang bersifat sosial, politis dan kultural.
Artinya, prinsip ‘keadilan lingkungan’ memuat pula norma dan nilai kultural dalam penerapan aturan dan regulasi yang mendukung pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Parameter ketiga yaitu prinsip keadilan sosial, justru akan memiliki ‘daya guna’ ketika masyarakat mulai menyadari potensi yang mereka miliki, baik potensi yang berpengaruh pada kerentanan maupun kekuatan dalam mengelola hubungan produktifnya dengan lingkungan alam. Efek ‘daya guna’ itu hanya akan muncul apabila masyarakat merasa bahwa ‘prinsip keadilan lingkungan’ adalah ‘kebutuhan’ mereka, bukan suatu ideologi yang dipaksakan tanpa memberikan daya manfaat apapun bagi keberlanjutan hidup dan kesejahteraan mereka sendiri.
Oleh karena itu, diperlukan upaya gerakan sosial yang bertujuan untuk mereformasi lingkungan hidup juga berorientasi pada upaya untuk mereformasi struktur kuasa yang melingkupi berbagai kebijakan yang berdampak baik secara langsung maupun tidak langsung pada lingkungan hidup dan lingkungan manusia itu sendiri dalam membentuk benteng tangguh bencana sosial dan bencana alam.
Dengan mengedepankan pendekatan mobilisasi partisipasi masyarakat yang memiliki basis di dalam komunitas, maka masyarakat akan memiliki kesadaran kritis, daya sensitif dalam mewaspadai potensi bencana alam di wilayah mereka tinggal, termasuk bagaimana menangani dampak bencana alam melalui upaya peningkatan kemampuan kapasitas sumber daya untuk mengkonsolidasikan sumber daya di tingkat lokal.
M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer, Tulisan ini sudah diterbitkan Pada Harian ANALISA Medan bulan Oktober 2013

Banjir dan Okupasi Pelestarian RTH

BANJIR DAN OKUPASI PELESTARIAN RTH
Oleh M. Anwar Siregar
Derasnya urbanisasi ke wilayah kota-kota besar di Indonesia telah memacu perkembangan pemukiman yang cenderung menyimpang dari RUTRK dan konsep pembangunan yang berkelanjutan. Banyaknya kawasan-kawasan rendah seperti rawa dan danau yang semula berfungsi sebagai tempat penampungan air serta bantaran sungai yang berubah menjadi pemukiman, ditambah dengan kebiasaan masyarakat yang membuang sampah ke sungai makin memperburuk kondisi lingkungan.
AKAR BANJIR
Jika dilihat dari akar permasalahan, banjir yang terjadi di berbagai kawasan di Indonesia tidak hanya disebabkan oleh faktor biofisik seperti curah hujan yang tinggi dan bentuk topografi lahan, tetapi juga sangat terkait dengan masalah sosial, ekonomi dan politik. Secara teknis masalah tersebut menyebabkan perubahan penggunaan dan penutupan lahan oleh berbagai pembangunan fisik konstruksi seperti pengembangan pemukiman baru yang menyebabkan fungsi peresapan air oleh keterbatasan zonasi ekologi hijau pada daerah hulu dan fungsi atusan pada daerah tengah dan hilir tidak berfungsi secara optimal akibat telah mengalami gangguan perambatan lahan hijau sehingga aliran permukaan semakin deras melaju tanpa hambatan.
Daerah aliran sungai kini telah banyak mengalami fungsi, dan diperlukan upaya untuk menekan dan merehabilitasi keadaan DAS dan bantaran sungai ke sedia kala agar fungsi utama dalam peresapan tetap normal dan optimal dalam menjaga keseimbangan tata ruang siklus air. Perencanaan pembangunan kawasan ekologi di DAS merupakan rencana tindak lanjut jangka panjang mengingat sebaran masyarakat yang mendiami  dan menggunakan lahan yang seharusnya merupakan wilayah konservasi telah berubah fungsi menjadi basis produktivitas ekonomi yang banyak terlihat di kota-kota besar di Indonesia.
Gambaran ini dapat di lihat pada kasus kejadian banjir di Medan, tata ruang wilayahnyanya di apit dan dibelah oleh tiga sungai besar dengan beberapa cabang anak sungai. Kondisi fisik bantaran sungai di kota Medan telah mengalami perubahan fungsi hutan dan merupakan gambaran banjir tahunan dengan laju kepadatan bangunan dan urbanisasi penduduk cukup tinggi. Coba perhatikan, ada bangunan nekat di bangun di sekitar bantaran sungai tanpa ada dukungan zona ekologi sebagai zona sanggahan banjir atau sebagai fungsi zona hutan. Karakter hutan di sekitar sungai telah hilang dan berganti menjadi dinding beton yang tidak akan pernah mampu mendukung fungsi utama dari karakteristik ekologi hutan.
Akar permasalahan lain yang menyebab banjir tahunan adalah aktivitas produksi manusia berupa penambangan bahan galian C yang mengakibatkan erosi sehingga terjadi bencana banjir dan longsor bukan hanya berlangsung diwilayah resapan air di hulu sungai melainkan juga di wilayah DAS yang mengarah ke hilir sehingga luas sungai bergeser dan mengalami penyempitan DAS ini dikarenakan semakin meluasnya wilayah pemukiman dan pembangunan gedung perhotelan di pinggiran sungai dan juga perubahan fungsi tanah yang telah mengalami pengurugan ke tanah dasar bagi suatu lahan pertanian.
OKUPASI RTH
Dari yang telah dikemukan di depan, tergambar suatu dilema dalam pengembangan penataan ruang kota bagi persoalan pengendalian kerusakan ruang terbuka hijau terutama mencegah bencana banjir di perkotaan, pengendalian kerusakan Daerah Aliran Sungai [DAS] dengan laju urbanisasi di kota-kota besar di Indonesia sebagai akibat dari pembangunan lebih berorientasikan pada daerah perkotaan. Dengan pola pembangunan yang demikian menjadikan laju urbanisasi berjalan cepat, dan terjadi proses transformasi sosial yang mengubah morfologi fisik perkotaan oleh beberapa faktor, yaitu aksesbilitas dari peningkatan pembangunan infrastruktur fisik bagi akses ekonomi masyarakat urban menuju ke kota seperti pembangunan pelabuhan dan jalan darat. Aksesbilitas aliran investasi yang mendorong peningkatan produktivitas kota seperti penanaman saham swasta dalam pembangunan mall, dan pusat-pusat kegiatan yang mendorong laju kerusakan/okupasi ruang terbuka hijau dan akses terbuka dalam sistim pemerintahan otonomi sehingga mendorong masyarakat terkonsentrasikan ke pusat-pusat kota di Ibukota Provinsi, mendorong pengalih fungsikan ruang perkotaan yang menimbulkan dilematis bagi pelestariannya.
Secara tegas, pelarangan okupasi terhadap ruang terbuka hijau dan hutan bantaran DAS di berbagai wilayah kota telah diatur dalam peraturan perundangan, baik UU pengairan, UU Tata Ruang, UU kehutanan, dan UU Pertambangan dan Geologi serta UU Lingkungan, yang inti dari aturan tersebut hampir seragam dan bermuara dalam satu kesatuan penyelamatan sumber daya hijau, bahwa pelarangan, pelanggaran, perusakan dan penghancuran kawasan hijau di kanan-kiri suatu sungai, hutan lindung, penentuan koefisien zona bangunan dan zonasi sanggahan bencana harus tersedia suatu ”ruang hijau” dengan meminimalisir interior bangunan fisik, jarak ruang hijau harus tersedia minimal 50 meter dari suatu DAS, atau 100 meter untuk zona sanggahan bencana pertambangan dari segala aktivitas pembangunan fisik dan kehidupan manusia yang tidak boleh diganggu gugat oleh kegiatan apapun.
PELESTARIAN RTH
Hutan tropis di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini telah mengalami penurunan luasan hutan, kini tinggal 123,46 juta hektar dengan perincian kawasan suaka alam dan perairan hanya sekitara 23.239.815,57 ha, hutan lindung 29.100.016,02 ha, hutan produksi dan hutan konservasi 13.670.535.00 ha dan lain-lain 14 juta ha. Dari data tersebut, maka perkembangan penurunan luas kawasan hutan dalam dua dasawarsa telah terjadi konversi kawasan hutan (termasuk taman hutan nasional yang masuk dalam RTH) menjadi kawasan non hutan seluas hampir 34 juta hektar. Berarti setiap tahun rata-rata laju kerusakan hutan mencapai 1.7 juta hektar (sumber Kementerian Kehutanan, 2003 dan 2007).
Dari gambaran penyebaran luas hutan, dapat disimpulkan besarnya konstribusi pengelolaan dan pemanfaatan taman hutan yang menjadi ruang terbuka hijau di perkotaan sebagai salah satu kerangka pembangunan tata ruang lingkungan nasional saat ini perlu diupayakan langkah untuk menekan arus urbanisasi agar daerah RTH tidak mengalami okupasi semakin luas dengan pola pembangunan yang seimbang dan merata di perdesaan. Masyarakat desa dapat meningkatkan kualitas diri melalui pengembangan berbagai keterampilan ekonomi serta berbagai inovasi pembangunan sumber daya manusia.
Selain tersebut diatas, langkah pelestarian ruang terbuka hijau dari dampak okupasi dapat kita lakukan dengan sederhana antara lain : pertama, dari diri kita untuk lingkungan, dengan cara 1. Tanam tanaman yang disenangi dan tidak membahayakan warga kota, 2. Tanaman yang ditanam mampu tumbuh pada lingkungan marjinal dan tahan terhadap gangguan serta tidak mudah tumbang.
Kedua, Mematuhi tata ruang lingkungan yang telah ditetapkan, dengan cara 1. Tidak melebihi batas koefisien bangunan yang terbangun di daerah sempadan sungai, dan jika perlu sisipkan ruang semeter untuk mencegah longsoran tebing dengan menanam pohon yang akar yang kuat dan menyerap air dan oksigen untuk daerah sekitarnya. 2. Menyisipkan ruang terbuka untuk pelebaran ruang hijau terbuka pada kawasan pemukiman padat sebagai antisipasi daerah resapan air hujan dan biopori air. Ketiga. Menjaga dan mensosialisasikan taman unik yang memiliki catatan sejarah masa lalu seperti geopark atau biodiversity serta mempertahankan sekuatnya keberadaan taman kota yang ada, agar ditemukan kondisi keserasian antara bangunan dan ekologi lingkungan.
Sesungguhnya RTH memainkan peran dalam pengendalian bahaya banjir di perkotaan, yang sangat krusial bagi sistim lingkungan global adalah sebagai paru-paru kota, sebagai pemenuhan konsentrasi karbon, sekaligus wadah interaksi sosial dan aset ekonomi untuk kegitan rekreasi.
M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer, Tulisan ini sudah dimuat pada Harian ANALISA Medan Bulan November 2013

13 Nov 2013

Ironi UU Hijau Di Era Kabut Asap


IRONI UU “HIJAU” DI ERA KABUT ASAP
Oleh M. Anwar Siregar
Dalam konteks daya dukung lingkungan, ketersediaan lahan di beberapa pulau besar dalam pengembangan investasi perluasan lahan perkebunan telah mengalami overshoot, yakni terlampauinya kapasitas dan kemampuan ketersediaan lahan sehingga mendorong invasi ke daerah terlarang ke kawasan hutan lindung dan sempadan sungai untuk memenuhi kebutuhan perluasan areal konsesi perkebunan.
Data kajian Kementerian Lingkungan Hidup, mengindikasikan bahwa beberapa Propinsi di Sumatera telah melampaui daya dukung untuk perluasan perkebunan sehingga pemanfaatan ruang lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahan [land capability]. Lahan rawan pada areal longsor, seharusnya tidak dibuka untuk pertanian tanaman pangan tanpa bantuan teknologi secara tepat atau pemanfaatan yang tidak sesuai akibatnya, terjadi kerusakan lahan yang sangat sulit untuk direhabilitasi, efek dominonya adalah bencana banjir, longsor serta krisis pangan seperti yang terjadi dibeberapa daerah di Indonesia.
Gambar 1 Kiri : Penambangan pasir di daerah hutan untuk perluasan perkebunan dan penimbunan badan jalan, dan gambar 2 kanan, bekas penambangan tanah di bukit yang belum direklamasi, keduanya merupakan lokasi yang penambangan yang sama (Dok Foto Penulis, 2013)
DILEMA UU HIJAU
Fenomena berkurangnya fungsi kawasan hutan lindung di Indonesia memang tidak mudah diatasi. Mengingat terdapat hierarki kewenangan maupun hubungan horizontal antar pemerintahan, yang selama ini belum mempunyai sinergi yang kuat untuk memecahkan masalah-masalah di lapangan. Disamping itu juga terdapat sejumlah peraturan perundangan yang belum mendukung terwujudnya sinergi dimaksud, bahkan cenderung implementasinya tidak sinkron satu sama lain
Disharmonisasi UU yang berhubungan tata kelola dengan lingkungan hijau dapat dilihat dari beberapa penafsiran aturan UU dalam beberapa pasal oleh pelaku usaha dan masyarakat antara lain; UU Pertambangan [izin kuasa pertambangan umum], UU Penataan Ruang terhadap pemanfaatan ruang disekitar kawasan hutan [RTH], UU kehutanan terhadap izin pinjam dan pelepasan areal kawasan Hutan Pakai [HP] dan Hutan Lindung [HL] untuk peruntukan lain dan UU Perkebunan terhadap izin usaha perkebunan bagi perusahaan perkebunan dengan ketersediaan luas konsesi dan UU Lingkungan Hidup terhadap sanksi bagi pelaku pencemaran, perusakan dan pembakaran hutan di kawasan RTH yang tidak efektif, belum lagi beberapa peraturan daerah yang masih tumpang tindih dengan kegunaan ruang hijau publik.
Jika disimak beberapa pasal dan ayat setiap UU Penataaan Ruang No 26 Tahun 2007 dan UU No 41 Tahun 1999 tentang kehutanan khususnya dalam hal pemahaman tentang Kawasan Penataan Ruang Wilayah/Daerah, Ruang Terbuka Hijau [RTH] didalam kawasan hutan sangat bertentangan dengan kondisi sangat ini dan menguntungkan bagi penguasaan areal hutan yang lebih luas. Banyak pemanfaatan ruang tidak sesuai implementasi dilapangan untuk kebutuhan aktivitas kehidupan termasuk kedalam pemanfaatan ruang-ruang bagi kebutuhan konservasi alam yang sering berbenturan dengan kebutuhan areal perluasan konsesi pertambangan dan perkebunan dalam suatu kawasan hutan dengan variasi jenis eksploitasi ruangnya dapat dipandang sebagian mendekati nol untuk pemulihan kesediakala, yang berkaitan dengan tujuan pelestarian alam hutan.
Begitu juga dalam pemanfaatan ruang-ruang areal kebutuhan hutan industri untuk budidaya mengalami eksploitasi yang begitu kejam demi perluasan kegiatan pertanian atau sebaliknya untuk perluasan pengembangan kawasan industri serta pengembangan kawasan lahan perkotaan sehingga menimbulkan beban tinggi bagi kebutuhan ruang pemukiman, aktivitas serta mobilitas manusia dengan kawasan hutan sehingga menimbulkan masalah yang rumit karena beralihfungsinya lahan hutan untuk kegiatan-kegiatan pengembangan ekonomi industri dan pertambangan.
Dalam UU pertambangan, banyak izin perusahaan pertambangan di Indonesia dicabut karena melanggar aturan izin perlindungan lingkungan, izin usaha pertambangan [IUP] dicabut karena tidak melaksanakan aturan dan kajian amdal, karena biasanya perusahaan pertambangan tidak mau membuang waktu jika telah mendapatkan izin eksplorasi, yang diartikan sebagai mulainya operasi pertambangan sejak izin diterbitkan dengan melakukan pengeboran di titik-titik eksplorasi secara sepihak tanpa menunggu izin pinjam pakai kawasan HL atau HP dalam kawasan hutan. Selain itu, sedikit sekali perusahaan pertambangan mau melakukan penghijauan kembali atau reboisasi pada lereng hutan dan pengawasan secara ketat terhadap pembuangan limbah.
Hal ini telah menimbulkan ironi, kawasan hutan berubah menjadi kawasan pertambangan, kawasan pertambangan berubah menjadi kawasan pemukiman ilegal dalam suatu kawasan pertambangan yang tidak sesuai perencanaan tata hunian wilayah, mengalami penurunan kualitas daya dukung lingkungan dan luas ruang daerah mengalami penurunan seluas 30 persen hingga 55 persen dari zona peruntukkan daerah hijau.
Dalam kaitan hal tersebut diatas, terjadi tumpang tindih penafsiran dalam UU No. 24 Tahun 1992 menjadi UU No. 26 Tahun 2007 tentang Pengaturan Ruang yang sangat berkaitan dengan keberadaan fungsi hutan dengan berlandaskan pada peraturan dan kebijakan kehutanan seperti UU No. 5 Tahun 1998 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Keanekaragaman Hayati dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Begitu juga Peraturan Pasal 36 UU No 4 Tahun 2009 tentang perizinan pertambangan yang harus dipahami para pengusaha pertambangan dengan aturan izin pinjam pakai kawasan hutan, aturan Wilayah Izin Usaha Pertambangan [WIUP] dalam PP 23 Tahun 2010 Pasal 14 Ayat 2 harus tetap mengikuti aturan yang dikeluarkan UPT kehutanan dan sesuaikan dengan peta Tata Guna Hak Kesepakatan [TGHK].
IRONI KABUT ASAP
Yang lebih ironis lagi adalah koordinasi perizinan perkebunan dan pertambangan di dalam kawasan hutan antar instansi terkait tidak sesuai dengan aturan perundangan sehingga menimbulkan masalah pelik. Terlihat dari UU Pertambangan No. 4 Tahun 2009 tidak menyebutkan koordinasi dengan Kementerian Kehutanan jika calon areal tambang bersentuhan dengan kawasan hutan. Parahnya lagi diperkuat dengan PP No. 23 Tahun 2010 tentang pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara tidak menyebutkan rekomendasi Kementerian Kehutanan dalam penerbitan izin usaha pertambangan. Demikian juga UU Perkebunan No. 18 Tahun 2004 yang hanya mengurus status tanah areal perkebunan [Pasal 9].
Diperparah lagi, Unit Pelaksana Teknis kehutanan di daerah yang rawan kabut asap sering tidak dilibatkan dalam pengurusan izin perkebunan dan pertambangan yang berada di kawasan hutan sehingga memunculkan kisruh dalam pendayagunaan sumber daya alam berdampak pada terkeruknya sumber daya hutan secara illegal dan berkurangnya luas areal hutan. Contoh kasus di Bima, Madina dan beberapa daerah lainnya
Jika menelaah berbagai pasal dan ayat ataupun aturan izin usaha, baik untuk izin usaha pertambangan dan izin usaha perkebunan yang ada dalam beberapa aturan perundangan yang berhubungan dengan daerah hijau, maka inilah sebagian aturan pemerintah yang sangat berjasa mengantarkan negeri ini sebagai raja polutan terbesar di Asia Tenggara. Sebagian besar peraturan perundangan yang ada termasuk peraturan daerah/perda yang berhubungan dengan lingkungan hijau saat ini umumnya bersifat eksploitatif dan tidak koloboratif dengan kondisi permasalahan yang ada.
Sebab, jika dilihat dari faktor ekonomi, semua aturan UU tersebut tidak satupun memberikan keuntungan dalam pemulihan lebih luas bagi daya dukung ekologi akibat tekanan kapitalisme dan liberalisasi yang justrunya memberikan penurunan pendapatan karena produksi tidak berlanjut karena areal pemanfaatan telah mengalami pengrusakan, contoh paling jelas adalah pemanfaatan areal perkebunan dan kehutanan. Apabila terjadi ketidakseimbangan daya dukung ekologis maka akan terjadi kerusakan tata ruang ketersediaan air.
Jika hal ini masih berlanjut ke 10 tahun mendatang, maka akan dikhawatirkan menimbulkan bencana kabut asap tahunan tanpa surut dan berbagai elemen kehidupan dan tata ruang Indonesia akan mengalami dampak yang lebih parah dengan kehilangan luas daratan, cuaca semakin buruk menghantui kehidupan manusia.

M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan, Energi-Geosfer, 
Tulisan ini sudah di Publikasi di HARIAN ANALISA MEDAN, Bulan September 2013

Tata Ruang Botol KNIA : Geologi Mitigasi

TATA RUANG BOTOL, KNIA DIKAMBINGHITAMKAN
Oleh M. Anwar Siregar
Dilihat dari perkembangan kemajuan kota Medan saat ini benar-benar luar biasa, dari sebuah Dusun menjelma menjadi kota Metropolitan terbesar ke tiga di Indonesia, dalam usia 423 tahun Medan ternyata kini menjadi kota banjir tahunan, kota dengan seribu masalah, baik transportasi lalu lintas, infrastruktur utilitas, ekologi hijau, pemukiman fisik dan master plan tata ruang khusus rehabilitasi lahan tidak ada serta pemetaan jaringan hunian akibat eskalasi urbanisasi ke daerah sanggahan bencana.
Tingkat kesemrawutan transportasi semakin memuncak dalam lima tahun terakhir sejak pembangunan lebih terpusat kedalam inti kota , kemudian melingkar ke wilayah pinggiran, pola pembangunan ini tidak terealisasi dengan baik. Kehadiran bandara baru yaitu Kuala Namu International Airport (KNIA) ternyata lambat diantisipasi bagi para perencana pembangunan fisik Pemko Medan terutama bagaimana mengantisipasi kepadatan lalu lintas di kawasan Lapangan Merdeka dan Jalan Bukit Barisan ke perbatasan, bukankah Bandara KNIA itu sudah di siapkan bersatu dengan pembangunan jaringan transportasi lain?
Perlu dipertanyakan kenapa hal itu bisa terjadi? Bukankah visi pembangunan ke depan sudah tergambarkan dari pembangunan terpusat ke dalam, sehingga ada tata ruang tidak seimbang dengan pembangunan dipinggiran. Menyebabkan terbatasnya lahan hijau didalam wilayah kota Medan, akhir dari semua ini dapat Anda lihat sejak tahun 1997 Medan sudah mulai berlangganan kemacetan menuju ke inti kota, begitu juga ketika menuju ke daerah perbatasan kota satelit atau kota sub urban terdekat.
MANAJEMEN TATA RUANG
Faktor prasarana jalan penghubung ke KNIA disebut-sebut sebagai faktor biang keladi dari kemacetan dimana-mana diwilayah Medan seperti terlihat kemacetan hingga saat ini sebenarnya bagian dari keterlambatan antisipasi sejak Kuala Namu mulai dibangun. Kalau mau cari akar permasalahan kemacetan di kota Medan dapat dilihat dari kualitas manajemen perencanaan jalan jembatan atau transportasi, manajemen penataan ruang lingkungan ekologi, manaejemen tata ruang hunian dan pemerintahan, manajemen penataan lingkungan industri serta manajemen rehabilitasi keseimbangan tata ruang terpakai untuk pengembangan sumber-sumber daya kota.
Manajemen perencanaan jalan transportasi dan pembangunan infrastruktur fisik seperti fly over di kawasan inti kota Medan ini paling terlambat dipikirkan dan seharusnya sudah masuk daftar pembangunan sebagai antisipasi kedatangan penumpang dari luar kota sehingga kemacetan di kawasan pusat pemerintahan kota Medan itu dapat diminimalisasi, bukan menghancurkan zona hijau yang kini berubah menjadi kawasan kuliner jika melihat letak posisi geografis Kuala Namu berada di kawasan yang menghadap Selat Malaka dengan prasarana angkutan kereta api yang terdapat di kawasan inti Medan, dan kita sudah mengetahui bahwa di kawasan itu termasuk kawasan paling tersibuk di inti kota Medan.
Sepanjang tengah badan jalan protokol utama di wilayah Medan seharusnya sudah dibangun jalur fly over seperti jembatan fly over Pasupati Bandung dikawasan jalan Balai Kota, Iman Bonjol, Raden Saleh ataupun Putri Hijau ke Gabsut, yang memanjang dan melingkar serta menghubungkan titik-titik kemacetan dengan beberapa pintu masuk keluar ke stasiun besar kereta api Medan maupun ke kawasan Belawan serta jalan tol Tembung, tidak mengorbankan lahan milik masyarakat hanya untuk pelebaran jalan. Wilayah koridor sisi badan jalan dapat juga berguna untuk keselamatan pejalan kaki dan pedestrian lainnya,
Manejemen penataan ruang lingkungan hijau salah satu sumber kemacetan di Medan, hujan satu jam saja dapat “membangun model sungai terbaru” di dalam kawasan inti kota. Ini salah satu indikator kerentanan geologis lokal yang dapat membahayakan situasi transportasi menuju ke stasiun atau halte terdekat ke bandara KNIA, terlihat kurangnya pemahaman mitigasi yang digunakan dalam membangun antar ruang hijau dengan bangunan fisik masyarakat dan pemerintahan serta swasta. Persentase kawasan terbangun harus ada ruang hijau diantara beberapa bangunan fisik dengan perbandingan 1 hektar lahan RTH terpisah diantara 10-15 bangunan fisik terbangun, selain itu kepadatan bangunan harus terdapat ruang biopori, jarak bangunan konstruksi dengan jarak sempadan sungai harus diberi ruang maksimal 12 meter. Fungsi daerah ini sebagai media keseimbangan daerah air dan dapat juga dimanfaat dalam zona terbatas untuk jaringan utilitas bawah tanah serta jaringan PDAM.
Model tata ruang ekologi zaman Belanda kini tidak ada lagi di kawasan Petisah, Kesawan dan Sambu, ketika itu dibuat selalu ada kawasan hijau yang menganut sistim keseimbangan antara luas bangunan yang memisahkan lokasi pemerintahan, lokasi hunian, kuliner dan parkir dengan luas kawasan hijau serta pedestrian sehingga tidak akan ditemukan lahan saling tumpang tindih. Yang nampak sekarang disekitar stasiun besar kereta api itu sudah semakin berkurang dan Medan telah diidentifikasi hanya memiliki daerah resapan hijau sebanyak 12 persen, jauh dari yang diamanahkan UU seluas 30 persen. Sehingga berdampak bencana banjir musiman, memperparah situasi transportasi antar ruang dalam kota.
KOORDINASI BOTOL
Perlu koordinasi antar Pemda disekitar wilayah tempat keberadaan bandar KNIA sangat penting, bertujuan untuk mengendalikan kemacetan di perbatasan kota terutama efek peningkatan kapasitas jasa transportasi dalam suatu tata ruang Mebidang, memerlukan kajian terhadap dampak pembangunan jalan dan infrastruktur yang menyertainya yaitu sistim kesatuan drainase dan pola banjir yang melibatkan pergeseran dan perusakan atau okupasi ruang terbuka hijau di segala lini yang berhubungan dengan lingkungan air, ruang parkir dan median jalan yang berhubungan dengan jaringan utilitas yang masih tumpang tindih
Koordinasi tata ruang transportasi sangat penting dalam memetakan persoalan kesemrawutan infrstruktur jalan dengan kondisi pemukiman, drainase, dan sistim perparkiran tanpa harus menghancurkan ekologi hijau. Dengan memetakan desain pola pergerakan kawasan suatu geografis yang membentuk suatu kondisi hunian maka pembuatan master plan akan lebih mudah sehingga dinamika transportasi akan ditemukan solusi yang tepat bagi proyek besar berikutnya tanpa harus mencari kambing hitam akibat terjadinya kemacetan seperti sekarang.
Kemacetan mulai nampak di inti kota Medan, menerus ke kawasan selatan Medan terutama sebelas titik ruang kemacetan yang penulis catat antara lain dikawasan PDAM menerus dan melewati Rumah Sakit ke Simpang Raya hingga Makam Pahlawan, selanjutnya ke Simpang Limun menerus ke Sp. Samsat dan Sp. Marindal menerus ke fly over Amplas. Lalu pergerakan lambat terjadi lagi di kawasan perbatasan mulai dari Poldasu jika terjadi banjir, menerus ke Simpang Ujung Serdang-wilayah Deli Serdang lalu ke gerbang tol Tamora dan Simpang kayu besar menerus ke Simpang Kota Tamora melewati jembatan Belumai.
Kemacetan terjadi juga dari arah Sp. Pos Padang Bulan ke Kampung Baru-Deli Tua terus ke Sp Marindal untuk ke Tamora, semua pergerakan tersebut menuju ke satu titik dan mengingatkan penulis pada bentuk leher botol, menyumbat, sempit dan tidak ada ruang alternatif, bukan berpencar dengan beberapa ruas terbuka menuju ke KNIA.
Jadi, ketika KNIA beroperasi terjadi kemacetan dan diperparah lagi oleh tata ruang wilayah di kota Sub Urban di perbatasan kota Medan, pemerintahan di kota tersebut tidak memiliki pola tata ruang yang mengantisipasi perkembangan kemajuan fisik transportasi kota Medan terutama dalam pembangunan fly over dan jalan lingkar dalam maupun lingkar luar yang masih terbatas dan dapat mengantisipasi masuk kendaraan ke dalam kota Medan serta menuju ke KNIA. Jadi, janganlah mencari kambinghitam dengan membidik KNIA, yang diperlukan sangat ini adalah pembangunan beberapa fly over di perbatasan Medan dengan kota satelitnya.
 
M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer, Tulisan ini sudah di publikasi di HARIAN ANALISA MEDAN Bulan Oktober 2013

Populer

Laut Indonesia darurat sampah

  LAUT INDONESIA DARURAT SAMPAH Oleh M. Anwar Siregar   Laut Indonesia banyak menyediakan banyak hal, bagi manusia terutama makanan ...