19 Mei 2014

Kota Berbasis Ekologi Enerhi Hijau : Geologi Mitigasi

KOTA BERBASIS EKOLOGI ENERGI HIJAU
Oleh M. Anwar Siregar
Faktor terpenting dalam permasalahan lingkungan sebuah kota adalah besarnya populasi manusia atau kecepatan laju pertambahan penduduk, sebab dengan tingkat pertambahan penduduk yang tinggi, kebutuhan pangan dan bahan bakar industri serta transportasi akan meningkat, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya perubahan kondisi lingkungan kota. Strategi yang diperlukan dalam pembangunan kota hemat energi adalah efisiensi, intensifikasi, konservasi, revitalisasi di dalam upaya menyelaraskan pembangunan kembali kota (sustainable urban redevelopment movement). Beberapa klaim bahwa kota berbasis energi akan mengurangi ketergantungan pada mobil pribadi, perlindungan pada daerah pori-pori dan daerah hijau, akses yang lebih baik kepada fasilitas dan layanan kota dengan lokasi hunian yang berbasis ekologi.
ENERGI HIJAU
Sumber daya geologi yang dimanfaatkan sebagai penghasil energi sebuah kota, terbentuk di alam baik secara langsung maupun tidak langsung, yaitu dengan memanfaatkan kemampuan sumber daya manusia dalam menciptakan teknologi agar dapat dirubah dan dikonversikan menjadi energi kehidupan. Energi diperlukan bagi setiap kota dan makhluk di bumi karena memiliki kemampuan melakukan usaha atau kerja. Sumber daya geologi yang dapat digunakan sebagai energi yaitu minyak bumi, gas alam, batubara, panas bumi, air, mineral radioaktif, angin, gelombang air laut, dan radiasi matahari
Yang perlu diperhatikan dalam pembangunan dan perencanaan kota inti, satelit dan suburban yang berbasis energi hijau adalah pencemaran udara, ada 9 jenis bahan pencemaran udara dari bahan bakar energi yang dianggap penting, tiga diantaranya sangat dominan dan banyak dilepaskan pada saat pembakaran bahan bakar fosil, yaitu : kelompok Oksida carbon yang terdiri dari atas carbon monoksida [CO] dan karbon dioksida [CO], kelompok Oksida sulfur yang terdiri atas sulfur dioksida [S] dan sulfur trioksida [SO] serta kelompok Oksida nitrogen yang terdiri atas nitrogen oksida [NO], dan dinitrogen oksida [N2O].
Energi hijau diperlukan dalam upaya menekan laju CO2 di udara, Energi hijau adalah energi bersih, ramah terhadap lingkungan, polutannya tidak menambah beban lingkungan biosfer dan geosfer. Energi ini bisa berasal dari air, hydrotermal, hydropower, geothermal, angin, matahari, sampah, biomassa, biofuel, hingga pemanfaatan gelombang panas matahari dan air laut. Terbatasnya sumber energi fosil yang menyebabkan perlunya pengembangan energi terbarukan dan konservasi energi hijau [non-fosil] yang berasal dari alam dan dapat diperbaharui.
Dengan penggunaan energi hijau merupakan bagian dari konsep kota hemat energi juga merupakan salah satu konsep perencanaan kota hunian yang humanis, harus terintegrasi dengan stasiun transportasi dan prasarana fasilitas publik agar dapat mencapai kota ramah lingkungan.
EKOLOGI HIJAU
Proses pemanasan bumi yang menimbulkan perubahan iklim telah memberikan ancaman kehancuran bumi yang sebenarnya, ancaman itu berasal dari konsentrasi yang makin bertambah dari karbon dioksida (CO2) dan gas rumah kaca. Bahaya besar yang mengancam umat manusia dan biosfer adalah pertambahan panas yang dipompa kedalam lingkungan lebih cepat dari yang dapat dipancarkan kembali ke ruang angkasa, semakin tinggi peningkatan temperatur bumi semakin besar perubahan karakteristik permukaan bumi yaitu lapisan es kutub akan menyusut, kekeringan dan penenggelaman beberapa pulau, dan sangat membahayakan bagi Pulau-pulau kecil di Indonesia.
Pada tingkatan global, kota-kota yang ada dan tumbuh berkembang sekarang, hampir semua indikator itu bersifat negatif, karena tidak berbasis energi hijau dengan pola arsitekstur tata ruang hijau berupa penataan lingkungan eko-geologi dan green construction sehingga akan ada dampak. Sebagai contoh, misalnya sekitar 20 hingga 30 persen spesies tumbuh-tumbuhan dan hewan berisiko punah di Indonesia jika temperatur meningkat lagi naik 2,7 derajat Fahrenheit atau setara 1,5 derajat Celcius. Hal ini cukup mengkhawatirkan karena wilayah Indonesia menyimpan potensi aneka hayati dan flora sebagai keseimbangan utama paru-paru bumi di dunia.
Krisis ekologi perlu dimasukkan sebagai faktor utama dalam pembangunan kota yang berbasis hijau dengan mengutamakan semua lingkungan tata ruang harus terdapat dan berbasis ekologi hijau berupa taman kompleks perumahan, halaman rumah yang hijau, taman paru-paru kota, taman/koridor jalan, taman evakuasi, taman sanggahan bencana, taman pertanian dan kehutanan abadi serta taman tata ruang air berkelanjutan. Dengan konsep berbasis ekologi energi hijau disetiap wilayah kota yang berbentuk kota Suburban maupun sebagai rangkaian kota Satelit akan memberikan efek pengurangan energi ke lingkungan berupa penekanan pemakaian kendaraan pribadi, mendorong penduduk untuk naik sepeda, berjalan kaki, mengurangi pemakaian pendingin buatan seperti AC, rumah tanpa AC. Membatasi penggunaan AC mobil pribadi.
Pembangunan tata ruang ekologi harus juga mempertimbangkan pembangunan hunian vertikal maupun horizontal sebagai sarana kebutuhan sosial ekonomi terutama konsep fungsi lahan campur yaitu mendekatkan lahan fungsi hunian dengan fasilitas pelayanan umum dengan jarak tempuh yang hemat waktu yang memungkinkan kendaraan non motorisasi seperti berjalan kaki, bersepeda dengan tatanan ruang hijau yang menyejukan serta dimudahkan dengan sarana transportasi misalnya stasiun yang bersistem transit dengan lokasi layanan fasilitas publik agar dapat mereduksi mobilitas kendaraan dan mereduksi dana transportasi.
TRANSPORTASI HEMAT
Penggunaan energi alternatif bagi sarana transportasi dari energi hijau terbarukan dapat memberikan sumbangan yang sangat signifikan bagi lingkungan di bumi dalam menahan laju kerusakan lapisan ozon di geostrosfer, pengurangan efek rumah kaca dan penurunan kerusakan degradasi ekologi lingkungan dan mencegah kerusakan sumber-sumber daya hayati dan pengurangan tingkat keasaman air hujan dan mengendalikan pola sirkulasi air bawah dan atas permukaan.
Kebijakan transportasi dan tata guna lahan yang erat dengan ide kota kompak yang menunjukkan pentingnya melihat kondisi perkembangan kota yaitu salah satu adalah pola pergerakan/transport, dan pola tata guna lahan. Namun hal ini, belum terlihat jelas di berbagai kota di Sumatera Utara, contoh yang paling dekat kota Mebidang-Karo [Medan, Binjai, Deli Serdang, dan Karo] atau Juga Mebidang-Segisisi [Sergai, Tebing Tinggi, Simalungun dan Pematang Siantar], wilayah diperbatasan kota ini harusnya memiliki pengkoordinasian layanan publik terdekat, banyak ditemukan dan dibangun rumah tumbuh. Memerlukan mobilitas transportasi yang tinggi, sebagai contoh, perhatikan aktivitas masyarakat setiap hari jam kerja dari pinggir ke inti kota yang berjarak ke tujuan sejauh 15-45 km, dengan waktu antara 20-60 menit dalam keadaan normal.
Mobilitas masyarakat modern ditandai dengan semakin berkembangnya sarana dan prasarana transportasi yang menghubungkan antar wilayah. Kepadatan kendaraan yang menggunakan bahan bakar minyak [BBM] perlu diperhitungkan dalam mengendalikan dampaknya terhadap krisis lingkungan, yaitu pola kenaikan emisi polutan sisa pembakatan BBM ke lingkungan. Dan kita sudah tahu, situasi ketika memasuki daerah tujuan sering ditemukan antrian panjang kendaraan yang banyak menghasilkan polutan dari pemanasan dan pemborosan bahan bakar yang menjadi bentuk pencemaran udara ke lingkungan hidup, terdapat penggunaan 75 persen energi berasal dari sumber-sumber pemakaian BBM.
Kenaikan densitas penduduk ini perlu disertai dengan usaha penyatuan berbagai macam kegiatan dalam area yang sama (mixed use development), sehingga penduduk yang tinggal di mana pun di dalam kota akan mampu terlayani secara baik oleh sebuah sistem unit transportasi. Sistem transportasi umum yang intensif akan membantu dalam menyelesaikan masalah kerusakan lingkungan dalam kota akibat transportasi manusia, selain mendorong berbagai kegiatan kota lebih aktif.
Besaran dan akses kota mutlak diperlukan. Sebagai pengendali jarak maupun waktu tempuh kegiatan kota sekaligus usaha untuk memudahkan pengkoordinasian (smart urban management). Medan harusnya menjadi pioner bagi kota disekitarnya, karena sebagian penduduknya bermukim dikawasan pinggiran dan bekerja di inti kota dengan mendata akses mobilitas para pekerja yang sesuai dengan kondisi tempat keberadaan waktu yang diperlukan.
M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer, Tulisan ini sudah dimuat Pada Bulan Januari 2014 di Harian ANALISA MEDAN
Boleh Copas tetapi tulis sumbernya jika untuk Penulisan Blog dan keperluan lainnya

Membangun Ketangguhan Energi


MEMBANGUN KETANGGUHAN ENERGI MEREDAM KRISIS
Oleh M. Anwar Siregar
Sudah saatnya Indonesia memanfaatkan potensi energi baru terbarukan yang sangat besar. Mengingat kapasitas pembangkit listrik PLN dalam usia 69 tahun hanya mencapai 40.000 MW. Memanfaatkan potensi pembangkit panas bumi atau geothermal yang bisa diproduksi hingga 30 MW atau bisa menghasilkan listrik hingga 150 tahun ke depan.
Selain itu, dari sumber daya air Indonesia menyimpan potensi lebih besar lagi yakni bisa menghasilkan listrik mencapai 75.000 MW atau bisa menghasilkan listrik hingga 100 tahun ke depan. Potensi di hitung dari 50.000 MW dari PLTS. feed in tariff [Fif] untuk PLTS US   S 25 sen per KWh selama 20 tahun.
Dari beberapa perhitungan yang dilakukan beberapa peneliti, bahwa dalam waktu lima tahun ke depan, kebutuhan akan energi konvensional akan terus bertambah dan akan menimbulkan bahaya krisis karena keterbatasan ketersediaan semakin menipis tajam, faktor kebutuhan ini akan menentukan ketangguhan bangsa dalam mengatasi krisis energi terutama krisis solar dan gas. Dilain pihak, kebutuhan energi alternatif juga akan menimbulkan dilematis karena ada penambahan penggunaan semakin bertambah tajam dalam kurun tiga tahun ke depan apabila pemassalan tidak dilakukan sedini sekarang dalam kurun lima tahun karena hal ini juga menentukan kekuatan bangsa dalam keberlanjutan pembangunan ekoonomi ke depan
Faktor kebutuhan energi alternatif yang akan menentukan ketangguhan bangsa ini dalam mengatasi krisis energi, terutama krisis gas yang akhir-akhir ini menjadi sumber masalah bagi beberapa kalangan industri di Indonesia sehingga meningkatkan jumlah kemiskinan akibat dampat dari PHK massal.
Masalah kenaikan bahan bakar gas [BBG] sudah menujukan suatu masalah yang sangat membutuhkan perhatian sungguh-sungguh karena hal ini diluar kemampuan sumber daya ekonomi masyarakat sebagian kalangan masyarakat ekonomi bawah.
Pembangunan sangat ini memerlukan keberlanjutan ekonomi yang terus bergerak signifikan, yang sebenarnya masih sangat rentan terhadap pengaruh global. Agar dapat mengendalikan krisis energi maka pembangunan ekonomi di Indonesia membutuhkan keberlanjutan pembangunan energi, dan prioritas utama seharusnya diletakan adalah pembangunan energi alternatif sehingga kebutuhan energi dapat teratasi tanpa harus menunggu terpenuhnya kebutuhan energi dalam 10 tahun ke depan. Sebab, akan menimbulkan berbagai gejolak dan mengancam keutuhan NKRI kedepan.
PEMBANGUNAN ENERGI
Upaya ini membutuhkan strategi pelaksanaanya, diantaranya ada empat hal yang perlu diperhatikan yaitu pertama, pemerataan pemakaian energi alternatif di berbagai daerah terpencil di seluruh Indonesia. Sebab, hampir semua daerah di Indonesia memiliki berbagai potensi sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan, berikan insentif dan modal padat karya dan pembimbingan kualitas SDM untuk membangun energi baru terbarukan sehingga akan menghasilkan output yang lebih berkualitas pada kehidupan bangsa dan lingkungan alam.
Kedua, partisipasi masyarakat dan swasta dalam pengadaan perngembangan pembangunan energi alternatif dalam upaya mengurangi jumlah pemakaian energi konvensional sekaligus mengurangi dampak lingkungan, ketiga keanekaragaman energi harus ditingkatkan lagi, terutama meningkatkan energi bauran mencapai lebih dari 50 persen sehingga BBM tidak menjadi energi utama pembangunan ekonomi saat ini dan dalam 5 tahun sudah harus menjadi primadona pembangunan di bidang industri dan masyarakat. Penggunaan dan pasokan energi alternatif ini harus menjadi bagian dari pembangunan ekonomi saat ini. Tujuannya sudah jelas, agar bangsa ini tidak mengalami kebangkrutan sumber daya alam dan energi karena mengingat peningkatan populasi penduduk di Indonesia semakin rentan terhadap kebutuhan energi listrik. Jika Pemerintah membutuhkan kemampuan untuk mempertahankan laju keberhasilan pembangunan ekonomi dengan bertumpuh kepada keunggulan energi non fosil maka harus melakukan konservasi dan diverifikasi energi secara tegas, keras sebagai jawaban atas krisis energi listrik dan juga sebagai upaya untuk menekan laju kemiskinan akibat dampak kenaikan tarif dasar listrik.
Keempat perlu integrasi berbagai kekuatan untuk menahan gempur kekuatan energi asing dengan menempatkan negara harus mampu menciptakan push factor atau dorongan untuk menciptakan serta memberikan semangat kemandirian energi dan untuk memperbaiki tatanan pengelolaan energi serta mendorong semangat pencarian energi alternatif terbarukan untuk peningkatan kesejahteraan.
MENGATASI KRISIS GAS
Gerakan konservasi energi gas yang lebih luas dan kontinu, bukan secarik lembaran kertas peraturan Pemerintah, instruksi Presiden maupun perda-perda lainnya tetapi bumikan peraturan UU Konservasi yang lebih luas, lebih tegas, lebih mengikat dan menekan segala sektor kehidupan agar dapat dijalankan sungguh-sungguh sehingga kita tidak akan sering melihat antrian panjang di SPBU atau pun dipangkalan distribusi gas, padahal negeri ini adalah penghasil gas yang terbesar di muka bumi, jangan menimbulkan ironisasi di tengah masyarakat, karena negeri ini sering jadi bahan tertawaan negara lain. Kaya SDA kenapa mesti hidup sengsara dan antrian panjang berjam-jam, ini sangat memalukan.
Di Indonesia ada sindiran : ”kalau bisa dipersulit kenapa tidak”. Bukti ini dapat dilihat jika ada investor membutuhkan perizinan cepat namun kadang izin itu dipersulit dengan maksud supaya mendapat upeti sehingga biaya menjadi lebih mahal. Disamping itu Perusahaan Multinasional kebanyakan melarang penyogokan sehingga izin menjadi berlarut-larut. Langkah yang baik dilakukan oleh segenap pemerintahan di Indonesia tanpa harus memanfaatkan euforia desentralisasi otonomi daerah dibidang perizinan adalah pertama, menciptakan iklim bisnis pembangunan energi yang sehat dengan keadilan pembagian porsi keuntungan ekonomi energi untuk rakyat Indonesia. Kedua langkah pengembangan energi alternatif dengan keringanan pajak agar alih dana dan teknologi dapat dipercepat sehingga cabang-cabang produksi yang penting menguasai kepentingan hidup orang banyak dapat memberikan kesejahteraan rakyat dan maka pengurusan energi dapat dilaksanakan dengan benar oleh negara.
Ketiga, cabang produksi migas dan batubara serta sumber daya mineral lainnya yang termasuk kategori strategis dan sebagian vital harus dibedakan secara khusus terutama tidak boleh diperdagangkan sembarangan seperti komoditas devisa lainnya, keuntungan konsesi yang dibagi dengan perusahaan asing harus diatas 75 persen karena selama ini keuntungan itu tidak pernah cukup mengatasi kerusakan lingkungan dan beban rehabilitasi dan rekonstruksi lingkungan dampak pembangunan pertambangan besar umumnya berasal dari APBN sehingga perusahaan asing sering disebut “cuci tangan” dan selain itu, keuntungan sering raib karena dirampok para spekulan dan mafia migas.
Keempat, transfer teknologi dan sumber daya manusia harus secepatnya dengan memprioritaskan perusahaan nasional untuk mengelola lapangan migas di Indonesia bagian dari integrasi kekuatan bangsa untuk jiwa pembangunan ekonomi sehingga dapat meredam krisis produksi sekaligus juga menekan kenaikan harga minyak bumi yang tinggi, sering menyebabkan dan menimbulkan ketegangan karena pemerintah mengalami dilematis dalam penyediaanya yang telah diatur dalam APBN setiap tahun.
Kelima, penghapusan subsidi BBM merupakan salah satu upaya alternatif untuk menghilangkan ketergantungan pada energi fosil, dan mendorong upaya memassalkan energi biofuel dan energi baru terbarukan. Maka faktor muklat untuk mengatasi ketegangan ini dan meredam eskalasi krisis adalah membangun energi terbarukan sebagai pilihan masa depan Indonesia yang paling tepat, sekaligus mengubah ketergantungan terhadap subsidi bahan bakar minyak yang semakin mahal, dilakukan secara bertahap-tahap dalam kurun lima tahun, dengan melihat keberhasilan sosialisasi alih minah ke gas yang sudah terealisasi dengan baik walau disertai hambatan seperti terbatasnya tabung gas, ledakan dan kebakaran namun pelan tapi pasti berhasil mengurangi ketergantungan dengan sumber BBM dan minah.
Terakhir, bahwa pembangunan energi itu sangat luas karena menyangkut aspek pembangunan berkelanjutan berbagai aspek kehidupan bangsa yaitu aspek keberlanjutan ekologi, ekonomi, sosial budaya, politik, sumber daya manusia dan alam serta pertahanan dan keamanan bangsa untuk siap dan tangguh menghadapi berbagai jenis model penjajahan asing.
M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer, Tulisan ini sudah dimuat di Harian ANALISA MEDAN, bulan Februari 2014

27 Jan 2014

Mitigasi Investasi Gunungapi : GEOLOGI MITIGASI

MITIGASI INVESTASI GUNUNGAPI SUMUT
Oleh : M. Anwar Siregar
Dari hasil pengamatan dan penelitian penulis, dapat diambil kesimpulan bahwa daerah yang memiliki gunungapi ternyata masih rentan mengalami musibah bencana, bahwa sebagian kota di Sumatera Utara belum siap dan belum mampu mengevaluasi, serta mereview untuk memberikan arahan sosialisasi serta strategi pengendalian penanggulangan bencana gunungapi secara kontinu. Masyarakat yang berada di kawasan rawan bencana letusan gunungapi masih beranggapan bahwa kejadian bencana dalam suatu KRB III tidak perlu memperhatikan peta penyebaran inforamsi geologi daerah rawan bencana gunungapi dan tetap beraktivitas.
Bahwa daerah gunungapi di Sumut masih belum memiliki daya konstruktif terhadap daya tahan bencana dan investasi jangka panjang dapat dilihat dari berbagai segi instrumen antara lain : pola tata ruang investasi yang tidak tegas, manajemen sosialisasi mitigasi penanggulangan letusan gunungapi yang belum terukur serta kemampuan sumber daya manusia dan teknologi yang masih terbatas.
INVESTASI KRB
Data sejarah bencana sangat penting dalam menganalisis tingkat risiko yang ditimbulkan dari berbagai bencana geologis khususnya letusan gunungapi, letusan gunungapi sebenarnya sudah dapat diketahui dan gejala visual yang akan terjadi dapat diketahui secara dini, namun jumlah korban masih tetap saja ada dalam jumlah besar. Penyebab utamanya adalah pola pembangunan fisik dalam tata ruang yang sudah diidentifikasi tingkat kerawanannya dan biasanya sudah dipetakan dan dimasukan kedalam suatu peta risko bencana gunungapi yaitu Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB).
Peta tata ruang KRB mencakup suatu standar prosedur tetap (protap) atau SOP yang sudah baku, dan memuat suatu pedoman yang harus dipatuhi oleh pemerintah, pelaku usaha atau investor dan masyarakat dalam suatu Kabupaten dan antisipasi bagi Kabupaten tetangganya. Peta KRB dapat digunakan sebagai acuan untuk modal investasi pembangunan infrastruktur fisk dan pariwisata, juga sebagai landasan pembangunan daerah tata ruang detail wilayah.
Yang menjadi sumber masalah investasi jangka panjang bagi tata ruang didaerah rawan bencana gunung api adalah bagaimana memperhitungkan 7 (tujuh) gunungapi yang ada di Sumut dan sebagian gunungapinya masih berstatus kelas type B, dan umumnya “malas” naik kelas, sehingga akan membahayakan jika terjadi letusan. Ini perlu menjadi renungan bagi perencana pembangunan, ketika terjadi letusan gunungapi Sinabung pertama kali pemerintah Sumut tidak siap, sebab peta KRB dibuat jika gunungapi sudah meletus, maka baru diketahui daerah mana lintasan erupsi, Peta Keretanan Geologis Tinggi (KGT) dan peta anomali gunungapi banyak diantaranya belum ada. Permasalahan lainnya bagi investasi tata ruang gunungapi yakni, jarang dibuat pembuatan infrastruktur fisik mitigasi karena ketidakadaan data erupsi sehingga Sumut belum dianggap daerah tangguh bencana gunungapi serta diperparah oleh sikap masyarakat beranggapan wilayah ini tidak akan terjadi lagi letusan, sangat membahayakan dan dapat menyebabkan korban mencapai 45 persen dari total jumlah penduduk yang mendiami suatu kota yang dekat dengan gunungapi, jangkauan erupsi/letusan gunungapi bisa mencapai minimal 5 km maksimal 21 km tergantung tingkat kekuatan letusan gunungapi. Studi kasus ini bisa diambil dari pelajaran gunungapi Sinabung.
SOSIALIASASI MITIGASI
Selain pola tata ruang investasi KRB, maka sosialisasi mitigasi bencana gunungapi belum menjadi bagian dari budaya hidup bagi masyarakat Sumut yang berada dalam jangkauan erupsi sejauh maksimal 21 km. Bahwa mitigasi bencana gunungapi bagian dari manajemen bencana (disaster management) atau manajemen darurat (emergency management). Manajemen bencana meliputi : penyiapan, dukungan, dan pembangunan kembali suatu masyarakat yang terkena bencana alam (natural disaster) atau bencana buatan (man-made disaster). Manajemen sosialisasi mitigasi bencana gunungapi adalah suatu proses yang harus diselenggarakan terus menerus oleh segenap pribadi, kelompok, dan komunitas dalam mengelola seluruh bahaya (hazards) melalui usaha-usaha meminimalkan akibat dari bencana yang mungkin timbul dari bahaya tersebut, karena gunungapi sudah diketahui kapan mengeluarkan erupsi/letusan (plumed), maka perlu diadakan secara kontinu pengenalan tentang bahaya, daerah aman, daerah kawasan rawan dan daerah zona risiko erupsi. Namun hal ini belum terbumikan.
Masyarakat Sumut harus memahami mitigasi bencana gunungapi pertama, sebagai upaya untuk pengurangan resiko atau sosialisasi resiko individu, kedua, sebagai wahana sosialisasi informasi geologi untuk pengurangan kerentanan bahaya atau bencana lingkungan lokal dalam suatu tata ruang di daerah rawan bencana, serta ketiga, sebagai upaya manajemen edukasi untuk mereduksi-menekan jumlah korban material dan fisik dan keempat, sebagai upaya mendorong masyarakat untuk memahami geologi sebagai sumber pengembangan sumber daya manusia dalam pembangunan berkelanjutan.
PELAJARAN BERIKUTNYA
Sumut harus bercermin dari pengalaman tahun 2010 dan 2013, walau baru satu gunungapi yang meletus dan naik kelas, yaitu Sinabung dari mimpi lama sekitar 400 tahun lebih. Sinabung memperlihatkan gejala alam agar manusia belajar dari multi resiko bencana alam setelah gempa besar Nias, banjir dan musibah lingkungan. Tujuannya sudah jelas, agar pemerintah dan masyarakat Sumut arif dalam memahami hidup dan beraktivitas disekitar gunungapi dapat membahaya keselamatan serta dapat mengganggu kondisi gunungapi itu sendiri.
Hikmah yang diambil dari letusan Sinabung bagi pemerintah daerah Kabupaten/Kota adalah agar menyusun kebijakan yang tegas dalam perencana pembangunan tata ruang investasi lahan yang mengikuti tingkatan bahaya dalam pola tata ruang KRB, menjadi prosedur tetap dalam memberikan izin kelayakan pembangunan fisik investasi yaitu dari tingkatan bahaya KRB III (tinggi), KRB II (menengah) dan KRB I (rendah). Memperkirakan arah erupsi gunungapi dengan mempelajari karakteristik geologi letusan gunungapi dimasa lalu, berguna sebagai pedoman pengendalian investasi pembangunan ditingkat lokal, mencegah penurunan daya tahan investasi fisik serta peningkatan ketahanan sosial ekonomi untuk menghadapi kejutan eksternal (external shock) bencana berikutnya, berkaitan langsung dengan upaya lokal dengan karakter lokal sehingga membutuhkan manajemen informasi geospasial yang memadai.
Disiplin menjalankan aturan SOP yang sudah ditetapkan dalam peta KRB, maupun peta KGT untuk mengurangi resiko bencana gunungapi di Sumut suatu saat nanti, yaitu pertama, meningkatkan manajemen sosialisasi bencana gunungapi bagian dari program pembangunan, kedua meningkatkan kesadaran dan membangun kapasitas mitigasi bencana melalui penataan ruang yang berada dalam zona KRB dan zona resiko letusan gunungapi yang banyak melibatkan aspek sosial, budaya dan teknis secara simultan.
Sehingga Sumut tangguh dan cemerlang dalam membangun pengurangan resiko bencana letusan gunungapi di perkotaan yang dapat menjangkau wilayah inti dan pesisir perkotaan, serta cerdas memahami gejala-gejala alam gunungapi karena sebagian besar tata ruang kota di Sumut banyak masyarakatnya menetap di kawasan pegunungan dimana proses geologis masih berlangsung kembali, membutuhkan pemahaman karakteristik kebencanaan yang berlangsung didaerah tersebut sebagai upaya untuk mempersiapkan cetak jejak masa lalu, masa kini dan masa sekarang dalam bentuk informasi peta daerah rawan bencana untuk landasan pembangunan fisik.
Sadar akan kondisi lingkungan gunungapi, akan membuat manyarakat lebih waspada dengan resiko yang dihadapi maka pelatihan dan simulasi mitigasi harus diadakan secara teratur berbasis masyarakat dan memasukan kedalam kurikulum pendidikan dasar sesuai dengan budaya kearifan lokal yang membentuk karakter masyarakat Sumut disekitar gunungapi.
M. Anwar Siregar
Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer-Kelautan.

Pentingnya Tata Ruang Megathrust Gempa Aceh : Geologi Mitigasi

PENTINGNYA TATA RUANG MEGATHRUST GEMPA ACEH
Oleh : M. Anwar Siregar
Semakin terbukti, Aceh sangat memerlukan standar building code segala jenis pembangunan fisik untuk menyesuaikan kondisi percepatan puncak batuan atau PGA. Gempa Aceh tidak akan berhenti walau sesaat, dan menunjukkan bahwa seismitas energi dikawasan ini masih akan terus melepaskan energi akibat ketidakseimbangnya zona-zona energi penyerapan seismik diperbatasan lempeng, yang menyusun kerak bumi di tepi kontinen lempeng Eurasia, dan diketahui bahwa selama belum ditemukan keseimbangan isotatis maka gerak dinamis lempeng bumi akan selalu memacarkan suatu pendesakan dan “pengumpulan tenaga dalam gempa” yang akan berdenyut seperti nadi darah yang tersumbat untuk kemudian meletus atau dilepaskan secara tiba-tiba, dan merupakan gambaran ke gempa megathrust yang lebih besar lagi kekuatan dapat mencapai lebih 8,5 SR, megathrust merupakan karakter gempa yang selama ini menjadi identik zona gempa di bagian utara sumatera.
KARAKTER GEMPA NAD
Blok gempa di Aceh-Simeulue ataupun daratan gempa Singkil-Meulaboh-Pidie-Kutacane-Sabang merupakan wilayah kegempaan paling teraktif di kawasan pantai barat maupun daratan Sumatera dengan periode pelepasan energi sangat singkat dengan zona penyerapan energi paling rendah diantara tiga zona subduksi megathrust yang ada di Pantai Barat Sumatera yang mengalami pengoyakan yang lebih mendalam dengan tingkat PGA [peak ground acceleration] atau tingkat goncangan tanah suatu tempat karena pengaruh batuan dasar diatas 7 Mw. Nilai PGA ini seharusnya digunakan dalam penentuan tata ruang gempa melalui pemetaan mikrozonasi gempa untuk kekuatan infrastruktur building code di suatu kawasan rawan gempa di Aceh dan Indonesia secara umum.
 


Gambar : Dinamika umum tektonik Indonesia diperlihatkan oleh respon Kepulauan Indonesia terhadap pergerakan relatif tiga lempeng bumi dari data GPS (Global Positioning System). Panah besar merah adalah kecepatan gerak dari lempeng. Panah-panah hitam menunjukkan kecepatan gerak dari lokasi tempat pengukuran monumen GPS antara tahun 1989 dan 2002 (sumber dari Bock, 2003).

Karakter yang biasanya membentuk mekanisme gempa besar di wilayah Aceh-Simeulue adalah mekanisme pergerakan/pergeseran lempeng akibat tumbukan lempeng besar yang menghasilkan deformasi sesar vertikal (thrust fault). Sesar vertikal dikarakterkan oleh pergerakan lempeng kerak bumi yang saling bertumbukan dan membentuk zona subduksi yang menimbulkan gaya yang bekerja baik horizontal maupun vertikal, efek dari model gerak sesar vertikal ini membentuk pegunungan lipatan, jalur gunungapi/magmatik, persesaran batuan, dan jalur gempa bumi serta terbentuknya wilayah tektonik tertentu.
Karakter gempa lainnya yang terdapat di kawasan Aceh-Simeulue adalah banyak ditemukan lembah-lembah maut berhadapan langsung dengan palung-palung laut dalam, merupakan gambaran umum gempa-gempa besar di masa mendatang karena pantai-pantai yang berhadapan langsung dengan pembenturan antar lempeng didasar laut. Hasil penelitian ilmuwan membuktikan hal tersebut, menemukan bahwa akibat gempa Aceh sejak tahun 2004 banyak ditemukan lembah-lembah maut di Laut Aceh disekitar zona subduksi Aceh menuju Palung Laut Dalam Andaman-Nikobar dengan kedalaman bervariasi antara 40-60 km, menyebabkan tsunami sering terjadi dengan karakter tunjaman mencapai dibawah 10 derajat kelandaian.
Penyebabnya karena lantai samudera di Pulau Sumatera lebih muda termasuk di kawasan subduksi Aceh-Andaman-Nias-Simeulue, terbentuk terpadatan dan sering mengalami daur ulang kerak bumi sekitar 55 juta tahun daripada Pulau Jawa, sedangkan usia lantai samudera di bawah Pulau Jawa sekitar 100 juta tahun dan jarang mengalami perubahan dan pergeseran kerak bumi yang menghasilkan gempa megathrust.
Dengan karakter usia muda, maka daya apungnya masih tinggi, densitasnya lebih ringan dan lantainya lebih landai serta aktif lebih bergerak dan menyusup dengan sudut penunjaman yang lebih landai sehingga akan menimbulkan gaya gesekan yang lebih kuat dengan skala gempa rata-rata mencapai diatas 7 SR.
Lanjutan bahaya gempa dizona subduksi konvergensi masih menerus menekan daratan Aceh di tiga titik patahan sumatera yaitu Segmen Tripa, Segmen Aceh dan Segmen Seulimeum, gempa Bener Meriah berpusat di daratan di segmen tripa dan merupakan gempa sesar geser, tetapi juga terjadi sekarang disekitar kawasan gempa a-seismik, gempa-gempa yang masih sering terjadi di Aceh di daratan merupakan wilayah dari gempa a-seismik akibat dari fracture atau kawasan mengalami investigasi gempa kuat dalam zone terdekat zona gempa terdahulu dikenal sebagai investigator fracture zone [IFZ] yang menimbulkan gempa akibat tekanan sesar geser dampak dari deformasi gempa Aceh 2004 yang memicunya menjadi aktif. Gempa sekarang dalam kurung empat bulan merupakan indikasi adanya INF di daratan yang bersambung dengan zona INF subduksi.
Coba perhatikan kondisi tata ruang kota-kota yang berada dalam lingkungan geomorfologi di dataran patahan Tripa-Seumelium, lembah tektonik Gayo, di daratan pegunungan ini akan terlihat kondisi tanah yang mudah terbelah dan terkoyak, dan daerah ini di perkirakan terdapat gempa a-seismik yang telah melakukan penguncian lebih 50 tahun dan dapat menghasilkan kondisi peretakan kulit bumi yang dikenal dengan istilah saat ini yaitu investigator fracture zone (IFZ), kemunculan berdampak dari tekanan pecahan gempa megatrush 2004.
TATA RUANG
Dengan melihat gambaran karakter magathrust Aceh-Simeulue, dan adanya indikasi IFZ tertekan menuju ke zona subduksi Simeulue oleh gerak sesar geser atas yang dapat menimbulkan tsunami ke daratan, menekan beberapa segmen patahan Aceh, maka perencana tata ruang wajib mencermati hal ini, dan menyesesuaikan geomorfologi fisik bagi tata ruang kota yang wilayahnya bersentuhan dan terbelah serta berada di kawasan tinggi Alas, Gayo dan Leuser dalam pembangunan rehabilitasi dan rekonstruksi gempa tahun 2013, mengingat gempa tahun 2004 itu kini memasuki priode ulang gempa diatas 10 tahun.
Pemahaman karakteristik tata ruang megathrust gempa Aceh-Simeulue sangat penting dalam pembangunan tata ruang di Propinsi NAD untuk mengurangi bencana, jika bisa dimulai tahun depan, karena hal ini tidak terlihat pada rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh akibat gempa tahun 2004 lalu, belum menunjukkan suatu perencanaan tata ruang yang berketahanan gempa yang tangguh, masih ada ruang atau lahan yang telah diidentifikasi sebagai daerah rawan tsunami masih tetap ditempati dengan membangun prasarana hotel menjorok ke pantai, begitu juga standar fisik infrastruktur jalan dan jembatan masih mudah mengalami efek gempa yaitu efek goncangan berganda, fleixsure dan likuafaksi akibat pembangunan yang tidak sesuai prosedur tetap standar teknis pembangunan jembatan. Masih terlihat beberapa kawasan pantai di Aceh dan Kabupaten di Aceh seperti Simeulue, Pidie dan Bener Meriah belum terbentengkan oleh prasarana bangunan tahan gempa dan sarana pertahanan struktural fisik berupa pemecah gelombang tsunami.
Tidaklah mengherankan terjadi gempa lagi, masih akan ada korban dalam jumlah besar. Siapkah Rakyat Aceh dan Indonesia menghadapi megathrust berikutnya jika perilaku pembangunan tata ruang belum juga mencerminkan karakter tata ruang yang humanis dengan bencana, tidak mencerminkan pelajaran sejarah kebencanaan geologi gempa di masa lalu? Nestapa hanya menunggu waktu. Jadi, gempa Aceh bulan Oktober 2013 merupakan salah satu gempa yang memberikan contoh, bahwa bagaimana pentingnya tata ruang dan konstruksi bangunan tahan gempa dalam mengurangi dampak bahaya, dengan guncangan kekuatan gempa 5,6 SR saja sudah banyak rumah mengalami kehancuran dan sarana jalan terbelah sepanjang lima meter.
Dengan kata lainnya, Rekonstruksi NAD 2004 lalu belum tangguh menghadapi gempa besar berikutnya.
M. Anwar Siregar
Geolog, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer, Tulisan ini sudah dimuat di HARIAN ANALISA MEDAN, 2013

31 Des 2013

Mitigasi Budaya Lokal Benteng Bencana : Gelogi Mitigasi

MITIGASI BUDAYA LOKAL, BENTENG TANGGUH BENCANA LINGKUNGAN
Oleh M. Anwar Siregar
Sejarah selalu berulang, justru kita yang tidak pernah sadar dan malas belajar, apakah yang dilakukan ketika terjadi gempa, tusnami, gerakan tanah, banjir dan gunung api meletus dan pemerintah berkewajiban menunjukkan kinerja dalam pembangunan sistim manajemen darurat dan mitigasi yang lebih baik, sehingga kejadian bencana letusan gunung api Sinabung tidak menimbulkan permasalahan psikologis bagi masyarakat di daerah rawan bencana.
Namun terjadi lagi hal tragis menimpa masyarakat, yang sebenarnya sejarah telah berulangkali mengingatkan agar bangsa ini untuk mempersiapkan segala-galanya, dan pemerintah memiliki tingkat kepekaan untuk merenungkan suatu kehidupan yang baik bagi rakyatnya bahwa bangsa Indonesia akan selalu terus hidup dan akrab dengan bencana.
Kondisi alam dan keberagaman budaya di Indonesia merupakan kekayaan dan sekaligus potensi bencana jika tidak dikelola dengan tepat, terkait dengan potensi bencana alam merupakan ancaman kehilangan sumber generasi penerus, jika di kaitkan dengan kondisi budaya maka elemen ini perlu diperkuat dalam upaya pengendalian korban dan kehancuran lingkungan. Indonesia memiliki keragaman sosial budaya, etnis, agama, kepercayaan serta kondisi ekonomi dan politik yang merupakan kekayaan bangsa. Kemajemukan ini sekaligus juga berpotensi sumber bencana lingkungan, jika dikelola dengan baik dengan kearifan yang menjadi sumber budaya karakter bangsa.
KETAHANAN SOSIAL
Francis Fukuyama dalam bukunya Trust: The Social Virtues and The Creation of Properity yang diterbitkan tahun 1995, menjelaskan bagaimana pengalaman berbagai bangsa bahwa hanya masyarakat dengan kepercayaan sosial yang tinggi dan memelihara keeratan sosial komunitasnya yang akan mampu mencapai kejayaan ekonomi pada zaman kompetisi bebas saat ini. Jika di lihat dari sudut budaya timur, terutama dalam konteks ketahanan masyarakat Indonesia dalam menghadapi berbagai tantangan bencana alam yang selalu terjadi sepanjang tahun, maka kepercayaan dan keeratan sosial bisa menjadi benteng yang kuat dalam harmonisasi dengan lingkungan dan pemimpin untuk bersama menghadapi berbagai persoalan yang melanda bangsa terutama menghadapi secara berutun musibah bencana alam.
Keeratan sosial merupakan dasar yang erat kaitannya dengan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, jika pemerintah memberi contoh yang baik maka masyarakat akan memberikan suatu kepercayaan yang utuh.
Twigg, J. 2007 dalam bukunya Characteristics of A Disaster-Resillient Community, mendefinisikan ketahanan masyarakat sebagai : Pertama, kapasitas untuk meyerap tekanan atau kekuatan-kekuatan yang menghancurkan melalui perlawanan atau adaptasi. Kedua, kapasitas untuk mengelola atau mempertahankan fungsi-fungsi dan struktur-struktur dasar tertentu, selama kejadian-kejadian yang mendatangkan malapetaka, dan ketiga kapasitas untuk memulihkan diri atau melenting balik setelah terjadinya bencana.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka ketahanan yang melingkupi suatu masyarakat yang membentuk karakater yang telah tertanam dari suatu bangsa perlu dijadikan budaya hidup dalam menghadapi berbagai macam ancaman bahaya. Untuk memenuhi karakter tersebut perlu diupayakan identifikasi pengembangan sosial kemasyarakatan sebagai agenda tindak lanjut untuk membangun kapasitas negara yang bersinergi dengan penguatan kapasitas masyarakat.
KEARIFAN BUDAYA LOKAL
Masyarakat kita sesungguhnya masih memiliki warisan berharga peninggalan nenek moyang yakni tradisi yang beragam dalam menjaga keseimbangan alam atau dikenal sebagai kearifan lokal [local wisdom] ini dapat digunakan untuk kepentingan masyarakat dalam mitigasi bencana alam dalam mengembangkan dan meningkatkan kewaspadaan masyarakat. Pelajaran sejarah yang telah banyak ditinggalkan oleh masyarakat ternyata masih mumpuni di era canggih adalah tentang memahami kondisi pembangunan rumah tempat tinggal didaerah rawan gempa dan tsunami seperti di Nias dan Simeulue, merupakan parameter budaya lokal yang sangat penting di era pembangunan saat ini.
Pengalaman masyarakat di Pulau Simeulue di Aceh dan Nias perlu mendapatkan perhatian. Mereka memiliki semacamfolklore yang terinternalisasi menjadi kearifan lokal, apa yang harus dilakukan jika terjadi gempa. Makanya, sewaktu terjadi tsunami, jumlah korban agak minimal di sana. Rumah tradisional Nias tidak satupun mengalami kehancuran ketika terjadi gempa-tsunami maut Aceh-Nias tahun 2004, 2005 dan 2007.
Pemahaman terhadap kearifan lokal masyarakat menyangkut bencana akan menjadi satu input penting dalam proses mitigasi bencana. Diperlukan upaya untuk mensinergikan rancangan-rancangan aktivitas yang didesain dengan pertimbangan-pertimbangan ilmiah serta nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang ada di masyarakat. Melalui proses tersebut, akan terjadi transfer pengetahuan mengenai kebencanaan kepada masyarakat
Selain pemahaman kearifan lokal tsunami berupa Rumah Adat di Nias dan Simeulue, kita dapat belajar kearifan lokal dari budaya Bali yang menghormati keharmonisasi dengan ekologi lingkungan tempat mereka beraktivitas, yaitu konsep Tri Hita Karana atau tiga penyebab kebaikan yang dianut dan digunakan oleh masyarakat Bali dalam kaitan yang berhubungan dengan tata lingkungan dan perumahannya yang sangat kental dengan kearifan alam dalam menjaga keseimbangan ekologis.
Kearifan lokal masyarakat Sulawesi Selatan, yang membangun konstruksi kaki rumah berbentuk panggung tinggi diatas tanah yang dibangun disekitar pantai, yang diselaras dengan arah kedatangan arus gelombang laut dan mengurangi efek penjalaran seismik ke bangunan, begitu juga rumah-rumah adat dan kearifan yang membungkus budaya masyarakat Dayak Kalimantan. Semua hal ini seharusnya dijadikan introspeksi dalam membangun konstruksi rumah tahan gempa serta harmonisasi dengan alam.
BENTENG TANGGUH
Kemudian parameter penting lainnya adalah kebijakan prinsip keadilan lingkungan yang melibatkan masyarakat yang merupakan asumsi yang paling mendasar dalam menyusun upaya mitigasi. Karena semakin banyak masyarakat yang terlibat, akan semakin muda melakukan upaya mitigasi. Salah satu bentuknya adalah memberikan peran serta kepada masyarakat dan berusaha menjelaskan tentang mitigasi itu dengan cara sederhana, Rancangan kebijakan yang hanya sekedar merespon persoalan jangka pendek bukanlah solusi yang tepat dalam menjaga kesinambungan daya tahan masyarakat, khususnya mereka yang tinggal di wilayah rentan bencana. Perumusan visi dan perencanaan agenda dalam penyusunan kebijakan bukan hanya sekedar melihat konteks ‘bencana’ dan kerusakan lingkungan sebagai masalah ekologis dan ekonomi semata, melainkan juga masalah yang bersifat sosial, politis dan kultural.
Artinya, prinsip ‘keadilan lingkungan’ memuat pula norma dan nilai kultural dalam penerapan aturan dan regulasi yang mendukung pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Parameter ketiga yaitu prinsip keadilan sosial, justru akan memiliki ‘daya guna’ ketika masyarakat mulai menyadari potensi yang mereka miliki, baik potensi yang berpengaruh pada kerentanan maupun kekuatan dalam mengelola hubungan produktifnya dengan lingkungan alam. Efek ‘daya guna’ itu hanya akan muncul apabila masyarakat merasa bahwa ‘prinsip keadilan lingkungan’ adalah ‘kebutuhan’ mereka, bukan suatu ideologi yang dipaksakan tanpa memberikan daya manfaat apapun bagi keberlanjutan hidup dan kesejahteraan mereka sendiri.
Oleh karena itu, diperlukan upaya gerakan sosial yang bertujuan untuk mereformasi lingkungan hidup juga berorientasi pada upaya untuk mereformasi struktur kuasa yang melingkupi berbagai kebijakan yang berdampak baik secara langsung maupun tidak langsung pada lingkungan hidup dan lingkungan manusia itu sendiri dalam membentuk benteng tangguh bencana sosial dan bencana alam.
Dengan mengedepankan pendekatan mobilisasi partisipasi masyarakat yang memiliki basis di dalam komunitas, maka masyarakat akan memiliki kesadaran kritis, daya sensitif dalam mewaspadai potensi bencana alam di wilayah mereka tinggal, termasuk bagaimana menangani dampak bencana alam melalui upaya peningkatan kemampuan kapasitas sumber daya untuk mengkonsolidasikan sumber daya di tingkat lokal.
M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer, Tulisan ini sudah diterbitkan Pada Harian ANALISA Medan bulan Oktober 2013

Banjir dan Okupasi Pelestarian RTH

BANJIR DAN OKUPASI PELESTARIAN RTH
Oleh M. Anwar Siregar
Derasnya urbanisasi ke wilayah kota-kota besar di Indonesia telah memacu perkembangan pemukiman yang cenderung menyimpang dari RUTRK dan konsep pembangunan yang berkelanjutan. Banyaknya kawasan-kawasan rendah seperti rawa dan danau yang semula berfungsi sebagai tempat penampungan air serta bantaran sungai yang berubah menjadi pemukiman, ditambah dengan kebiasaan masyarakat yang membuang sampah ke sungai makin memperburuk kondisi lingkungan.
AKAR BANJIR
Jika dilihat dari akar permasalahan, banjir yang terjadi di berbagai kawasan di Indonesia tidak hanya disebabkan oleh faktor biofisik seperti curah hujan yang tinggi dan bentuk topografi lahan, tetapi juga sangat terkait dengan masalah sosial, ekonomi dan politik. Secara teknis masalah tersebut menyebabkan perubahan penggunaan dan penutupan lahan oleh berbagai pembangunan fisik konstruksi seperti pengembangan pemukiman baru yang menyebabkan fungsi peresapan air oleh keterbatasan zonasi ekologi hijau pada daerah hulu dan fungsi atusan pada daerah tengah dan hilir tidak berfungsi secara optimal akibat telah mengalami gangguan perambatan lahan hijau sehingga aliran permukaan semakin deras melaju tanpa hambatan.
Daerah aliran sungai kini telah banyak mengalami fungsi, dan diperlukan upaya untuk menekan dan merehabilitasi keadaan DAS dan bantaran sungai ke sedia kala agar fungsi utama dalam peresapan tetap normal dan optimal dalam menjaga keseimbangan tata ruang siklus air. Perencanaan pembangunan kawasan ekologi di DAS merupakan rencana tindak lanjut jangka panjang mengingat sebaran masyarakat yang mendiami  dan menggunakan lahan yang seharusnya merupakan wilayah konservasi telah berubah fungsi menjadi basis produktivitas ekonomi yang banyak terlihat di kota-kota besar di Indonesia.
Gambaran ini dapat di lihat pada kasus kejadian banjir di Medan, tata ruang wilayahnyanya di apit dan dibelah oleh tiga sungai besar dengan beberapa cabang anak sungai. Kondisi fisik bantaran sungai di kota Medan telah mengalami perubahan fungsi hutan dan merupakan gambaran banjir tahunan dengan laju kepadatan bangunan dan urbanisasi penduduk cukup tinggi. Coba perhatikan, ada bangunan nekat di bangun di sekitar bantaran sungai tanpa ada dukungan zona ekologi sebagai zona sanggahan banjir atau sebagai fungsi zona hutan. Karakter hutan di sekitar sungai telah hilang dan berganti menjadi dinding beton yang tidak akan pernah mampu mendukung fungsi utama dari karakteristik ekologi hutan.
Akar permasalahan lain yang menyebab banjir tahunan adalah aktivitas produksi manusia berupa penambangan bahan galian C yang mengakibatkan erosi sehingga terjadi bencana banjir dan longsor bukan hanya berlangsung diwilayah resapan air di hulu sungai melainkan juga di wilayah DAS yang mengarah ke hilir sehingga luas sungai bergeser dan mengalami penyempitan DAS ini dikarenakan semakin meluasnya wilayah pemukiman dan pembangunan gedung perhotelan di pinggiran sungai dan juga perubahan fungsi tanah yang telah mengalami pengurugan ke tanah dasar bagi suatu lahan pertanian.
OKUPASI RTH
Dari yang telah dikemukan di depan, tergambar suatu dilema dalam pengembangan penataan ruang kota bagi persoalan pengendalian kerusakan ruang terbuka hijau terutama mencegah bencana banjir di perkotaan, pengendalian kerusakan Daerah Aliran Sungai [DAS] dengan laju urbanisasi di kota-kota besar di Indonesia sebagai akibat dari pembangunan lebih berorientasikan pada daerah perkotaan. Dengan pola pembangunan yang demikian menjadikan laju urbanisasi berjalan cepat, dan terjadi proses transformasi sosial yang mengubah morfologi fisik perkotaan oleh beberapa faktor, yaitu aksesbilitas dari peningkatan pembangunan infrastruktur fisik bagi akses ekonomi masyarakat urban menuju ke kota seperti pembangunan pelabuhan dan jalan darat. Aksesbilitas aliran investasi yang mendorong peningkatan produktivitas kota seperti penanaman saham swasta dalam pembangunan mall, dan pusat-pusat kegiatan yang mendorong laju kerusakan/okupasi ruang terbuka hijau dan akses terbuka dalam sistim pemerintahan otonomi sehingga mendorong masyarakat terkonsentrasikan ke pusat-pusat kota di Ibukota Provinsi, mendorong pengalih fungsikan ruang perkotaan yang menimbulkan dilematis bagi pelestariannya.
Secara tegas, pelarangan okupasi terhadap ruang terbuka hijau dan hutan bantaran DAS di berbagai wilayah kota telah diatur dalam peraturan perundangan, baik UU pengairan, UU Tata Ruang, UU kehutanan, dan UU Pertambangan dan Geologi serta UU Lingkungan, yang inti dari aturan tersebut hampir seragam dan bermuara dalam satu kesatuan penyelamatan sumber daya hijau, bahwa pelarangan, pelanggaran, perusakan dan penghancuran kawasan hijau di kanan-kiri suatu sungai, hutan lindung, penentuan koefisien zona bangunan dan zonasi sanggahan bencana harus tersedia suatu ”ruang hijau” dengan meminimalisir interior bangunan fisik, jarak ruang hijau harus tersedia minimal 50 meter dari suatu DAS, atau 100 meter untuk zona sanggahan bencana pertambangan dari segala aktivitas pembangunan fisik dan kehidupan manusia yang tidak boleh diganggu gugat oleh kegiatan apapun.
PELESTARIAN RTH
Hutan tropis di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini telah mengalami penurunan luasan hutan, kini tinggal 123,46 juta hektar dengan perincian kawasan suaka alam dan perairan hanya sekitara 23.239.815,57 ha, hutan lindung 29.100.016,02 ha, hutan produksi dan hutan konservasi 13.670.535.00 ha dan lain-lain 14 juta ha. Dari data tersebut, maka perkembangan penurunan luas kawasan hutan dalam dua dasawarsa telah terjadi konversi kawasan hutan (termasuk taman hutan nasional yang masuk dalam RTH) menjadi kawasan non hutan seluas hampir 34 juta hektar. Berarti setiap tahun rata-rata laju kerusakan hutan mencapai 1.7 juta hektar (sumber Kementerian Kehutanan, 2003 dan 2007).
Dari gambaran penyebaran luas hutan, dapat disimpulkan besarnya konstribusi pengelolaan dan pemanfaatan taman hutan yang menjadi ruang terbuka hijau di perkotaan sebagai salah satu kerangka pembangunan tata ruang lingkungan nasional saat ini perlu diupayakan langkah untuk menekan arus urbanisasi agar daerah RTH tidak mengalami okupasi semakin luas dengan pola pembangunan yang seimbang dan merata di perdesaan. Masyarakat desa dapat meningkatkan kualitas diri melalui pengembangan berbagai keterampilan ekonomi serta berbagai inovasi pembangunan sumber daya manusia.
Selain tersebut diatas, langkah pelestarian ruang terbuka hijau dari dampak okupasi dapat kita lakukan dengan sederhana antara lain : pertama, dari diri kita untuk lingkungan, dengan cara 1. Tanam tanaman yang disenangi dan tidak membahayakan warga kota, 2. Tanaman yang ditanam mampu tumbuh pada lingkungan marjinal dan tahan terhadap gangguan serta tidak mudah tumbang.
Kedua, Mematuhi tata ruang lingkungan yang telah ditetapkan, dengan cara 1. Tidak melebihi batas koefisien bangunan yang terbangun di daerah sempadan sungai, dan jika perlu sisipkan ruang semeter untuk mencegah longsoran tebing dengan menanam pohon yang akar yang kuat dan menyerap air dan oksigen untuk daerah sekitarnya. 2. Menyisipkan ruang terbuka untuk pelebaran ruang hijau terbuka pada kawasan pemukiman padat sebagai antisipasi daerah resapan air hujan dan biopori air. Ketiga. Menjaga dan mensosialisasikan taman unik yang memiliki catatan sejarah masa lalu seperti geopark atau biodiversity serta mempertahankan sekuatnya keberadaan taman kota yang ada, agar ditemukan kondisi keserasian antara bangunan dan ekologi lingkungan.
Sesungguhnya RTH memainkan peran dalam pengendalian bahaya banjir di perkotaan, yang sangat krusial bagi sistim lingkungan global adalah sebagai paru-paru kota, sebagai pemenuhan konsentrasi karbon, sekaligus wadah interaksi sosial dan aset ekonomi untuk kegitan rekreasi.
M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer, Tulisan ini sudah dimuat pada Harian ANALISA Medan Bulan November 2013

Populer

Laut Indonesia darurat sampah

  LAUT INDONESIA DARURAT SAMPAH Oleh M. Anwar Siregar   Laut Indonesia banyak menyediakan banyak hal, bagi manusia terutama makanan ...