23 Jun 2014

Relevankah Hari Lingkungan

MASIHKAH RELEVAN HARI RAYA LINGKUNGAN?
Oleh : M. Anwar Siregar
Berbagai kasus kejadian bencana lingkungan dimasa lalu hingga ke masa sekarang, sudah harus dijadikan pembelajaran agar pemerintah lebih optimal menyampaikan data dan informasi bencana ketataruangan lingkungan. Pemerintah wajib terus memberikan pemahaman edukasi bencana lingkungan bukan saja pada hari-hari peringatan lingkungan seperti Hari Air, Hari Bumi, Hari Hutan, Hari Lingkungan dan Hari Tata Ruang sejak dini kepada masyarakat, agar dapat mereduksi efek kerugian dan jumlah kehancuran fisik akibat bencana lingkungan.
Pemerintah belum optimal memanfaatkan data dan informasi geologi spatial sebagai dasar pembangunan fisik, seharusnya menjadi fokus utama pembangunan ketataruangan wilayah yang berketahanan bencana,meredam trauma psikologis bencana di Indonesia karena eskalasi bencana lingkungan tidak pernah berhenti. Pemerintah dan masyarakat tidak perlu merenung terus tetapi mengimplementasikan secepatnya karena bencana maut hadir setiap saat.
KESADARAN SEMU
Rakyat Indonesia perlu ditanamkan kesadaran tentang pentingnya siaga bencana lingkungan terutama bencana lingkungan yang disebabkan oleh bencana oleh banjir, longsor dan angin puting beliung yang sering terjadi di Indonesia, bahwa Indonesia berada di daerah rawan bencana alam dan merupakan ancaman konstan yang dapat hadir dan menghancurkan setiap saat bukan dalam arti teoritis dalam sehari, tetapi dalam implementasi yang lebih luas, memahami dalam arti yang arif dan beretika lingkungan disertai gerakan moral berbagai komponen, bukan kesadaran semu yang tergambarkan dalam acara seremonial, habis mengikuti acara lantas kembali ke sikap semula, tidak malas mengikuti aturan yang sudah dibuat, misalnya membuang puntung rokok sembarang saja tidak merasa bersalah, itu baru contoh kecil.
Bila dianologikan lebih luas, maka lihatlah di hutan-hutan Indonesia, menganggap kebakaran dan kebanjiran itu hal biasa, reboisasi setengah hati karena kesadaran komoditas yang lebih utama atau pencapaian finasial ekonomi yang lebih berbicara, berakhir konflik kepentingan dan bencana kesengsaraan rakyat. Keduanya selaras dan tak terpisahkan sehingga penurunan kualitas sumber daya manusia dan sumber daya finansial.
Akibat rendahnya tingkat kesadaran dalam memahami bencana lingkungan, maka kita sering mendengar suara nyanyian duka yang sahdu mengiris kalbu, di timur kita bertemu korban bencana banjir, lalu di barat kita bersua kesedihan bencana kematian tsunami dahsyat lalu di utara bumi Indonesia kita lihat bencana kekotoran alam akibat kebakaran hutan dan sumber daya hayati dan di selatan terjadi suara gemuruh di dalam perut gunung yang memancarkan hawa panas kemarahan sehingga Bumi Pertiwi menangis tiada henti.
Apakah pemerintah harus bertindak atau masyarakat yang malas? Jika melihat fakta dilapangan, Pemerintah sangat lamban sedangkan masyarakat sekarang tidak mengharapkan pemerintah karena sudah mengetahui kinerja birokrasi, masyarakat lebih peka dibanding pemerintah sehingga berinisiatif bergerak mengusahakan evakuasi tanpa harus menunggu bantuan. Contoh sederhana, bila terjadi gempa masyarakat langsung berlari ke daratan tinggi, sedang informasi baru tiba setengah jam.
SEPERTI MANUSIA
Bumi, jika di gambar dari sudut karikatur, akan nampak seperti manusia nenek tua yang penuh dengan perban akibat luka-luka yang ditanggungnya, mulai dari kepala hingga ke kaki, akibat penghancuran dan penembakan unsur radioaktif nuklir, baik ke dalam tubuh bumi maupun ke luar angkasa, namun kenapa manusia belum sadar akibat dampak yang ditimbulkan sedang manusia itu telah diberi akal sehat untuk memahami kondisi “sakit” yang ditanggung Bumi?
Seperti manusia yang sudah tua dan membungkuk serta duduk di atas kursi roda karena dia telah kehilangan sumber daya-tenaga yang habis terkuras ketika di masa muda atau masih segar terus memfosir tenaga tanpa ada istirahat sejenak, menganggap hal ini akan kembali ke wujud semula, dampak dari keegoisan masa muda yang tidak menganggap perawatan [reklamasi-reboisasi-diverfisikasi] tidak terlalu penting, kenapa manusia masih serakah hanya untuk mengejar pencapaian kekayaan ekonomi tanpa memperhitungkan segala  hal yang akan terjadi di masa mendatang sedangkan manusia tahu bahwa dia telah diajarkan atau belajar serta memahami lingkungan?
Seperti manusia, Bumi juga adalah makhluk yang diciptakan Allah demi keselarasan alam semesta, jika Bumi diganggu atau disakiti, maka bumi juga seperti makhluk lainnya akan melampiaskan kemurkaannya, seperti manusia, Bumi juga bersujud di hadapan Sang Khalik, menjaga hukum-hukum alam yang telah ditentukan oleh Maha Pencipta, namun kenapa masih ada pelanggaran etika moral dan hukum demi lingkungan?
Seperti manusia, Bumi juga membutuhkan waktu untuk memulihkan diri, membutuhkan bernapas agar kondisi selalu sehat, tidak merusak dirinya dengan penghancuran tenaga, jika tidak menemukan keseimbangan maka lingkungan di Bumi akan mengalami gangguan keseimbangan yang berakhir pada kerugian serta penderitaan hidup yang panjang, dan mungkin saja berakhir dengan malapetaka kiamat kecil tanpa menunggu kiamat besar dari Sang Pencipta. Namun kenyataan yang terjadi sampai ke detik ini, masih juga ada perbedaan pandangan hidup, baik politik, hukum dan kehormatan demi mengejar sebagai yang terunggul, menghancurkan kondisi lingkungan dengan berbagai macam cara yang telah terbukti membuat bumi murka dan diambang lamunankah?
MASIHKAH RELEVAN?
Hari hutan selalu dirayakan bulan Maret, hari Bumi di bulan April, dan hari Lingkungan di Bulan Juni setiap tahun sekali dengan acara seremonial. Namun pembalakan, penggundulan dan pembakaran hutan serta penghancuran maupun pemborosan sumber daya energi yang tidak dapat diperbaharui terus berlangsung sehingga lapisan geosfer bumi setiap hari masih mengalami kerusakan dan ini banyak berlangsung diwilayah Indonesia dalam kurun waktu 20 tahun terakhir telah menimbulkan bencana baru, yaitu sebagai negeri penghasil polutan nomor tiga di dunia. Indonesia dikenal juga sebagai negeri bencana, tidak salah jika menambahkan predikat bencana lagi yakni negeri bencana penghasil bencana kabut asap “terbaik” di Asia Tenggara, sedang upaya meregulasi pemakaian sumber-sumber daya hijau belum optimal sebagai salah satu upaya untuk mencegah kerusakan kondisi bumi. Jadi masihkah relevan perayaan hari Lingkungan itu jika dimana-mana masih berlangsung penghancuran kondisi lingkungan Bumi?
Bahwa kita sudah mengatahui bersama, hutan merupakan sumber daya terbatas, bahwa tanah di Taman Hutan itu memiliki karakteristik umum adalah tanah pembawa air, tumbuh-tumbuhannya merupakan tumbuhan keseimbangan daya serap udara dan memiliki kemampuan keseimbangan penataan pola dan distribusi air yang teratur bagi berbagai makhluk hidup didalamnya, berfungsi sebagai penjaga keseimbangan alam, sebagai paru-paru bumi tetapi kenapa masih ada penghancuran hutan bumi? Masih pentingkah acara seremonial itu?     
HARUS SADAR SEKARANG
Peristiwa bencana lingkungan tidak mungkin dihindari, tetapi yang dapat kita lakukan adalah memperkecil terjadinya korban jiwa, harta maupun lingkungan. Banyaknya korban jiwa maupun harta benda dalam peristiwa bencana lingkungan yang selama ini terjadi di Indonesia, lebih sering disebabkan kurangnya kesadaran dan pemahaman pemerintah maupun masyarakat terhadap potensi kerentanan bencana serta upaya mitigasinya di daerah rawan bencana.
Dengan tingkat pemahaman bencana lingkungan geologi dan hidrometeorologi, maka Indonesia dapat menekan angka jumlah korban di dalam negeri serta mengurangi efeknya terhadap dunia global maupun dapat juga menekan biaya rehabilitasi dan rekonstruksi lingkungan di daerah rawan bencana. Implementasi hari raya lingkungan harus benar-benar dibumikan dalam kehidupan masyarakat, agar masyarakat mengerti daerah-daerah yang mana lebih baik dikembangkan untuk sarana aktivitas kehidupan dalam ruang dan waktu, sehingga masyarakat telah membentuk zona ketahanan bencana yang berbasis masyarakat.
M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan-Energi Geosfer, Tulisan ini sudah dipublikasi di Harian ANALISA MEDAN, JUNI 2014

http://analisadaily.com/lingkungan/news/masih-relevankah-perayaan-hari-lingkungan/36306/2014/06/08 

Meminimalisasi Bencana banjir Kota Berbasis Geologis Air : Geologi Mitigasi

MEMINIMALISASI BENCANA BANJIR KOTA BERBASIS GEOLOGIS AIR
Oleh M. Anwar Siregar
Membangun kota berbasis banjir memerlukan perencanaan lahan, dan merupakan masalah klasik di perkotaan yang semakin kompleks, karena menyangkut berbagai aspek antara lain urbanisasi, lingkungan dan sosial masyarakat serta inkonsistensi dalam menegakkan kebijakan penataan ruang khusus lahan RTH, sehingga menimbulkan semrawutan dengan terbentuknya model tata ruang “lawan” yaitu tata ruang kumuh, terbentuknya kawasan pedagang kaki lima dan berakhir dengan kerumitan sistim drainase kota, sistim transportasi dan sistim kesehatan lingkungan.
BERBASIS EKOLOGI LAHAN DAS
Membangun kota berbasis geologis air dapat diupayakan salah satunya antara lain dengan belajar penataan ekologi lahan banjir model Ekologi RTH Belanda di daerah lahan DAS. Perkembangan pesat pembangunan sekarang dengan diiringi pertambahan penduduk disekitar bantaran sungai membawa dampak penurunan fungsi bantaran sungai di DAS secara alamiah sebagai retarding pond, sebagai stabilitas morfologi dan sebagai komponen retensi hidroulis yang dikenal sebagai retensi tebing, dasar sungai, alur sungai serta erosi sedimentasi dan banjir yang tidak akan dapat diminimalisir oleh sungai sendiri karena telah mengalami penurunan kualitas lingkungan sehingga ancaman bencana banjir dan longsoran selalu akan hadir setiap saat.
Model ekologi RTH di kota besar di Belanda memanfaatkan kelebihan dan kelimpahan air dengan memperbanyak daerah lahan hijau yang sempit sebagai keseimbangan dengan laju peningkatan bangunan disekitar bantaran DAS [daerah aliran sungai] sebagai daerah tangkapan air, daerah resapan, lalu disulap menjadi daerah space eco-tourisme, maka pendangkalan dan penurunan kekuatan tanah di DAS dapat diminimalisasi dampaknya bagi keberlanjutan tata ruang air di daerah kawasan padat, setiap bangunan harus menyediakan daerah resapan, baik di hulu maupun di hilir terutama daerah bantaran DAS dan pantai/laut sesuai dengan kondisi tatanan geologi topografinya.
Setiap lokasi bangunan pemerintahan, pemukiman dan kuliner serta lahan parkir harus menyisipkan ruang terbuka hijau apabila pembangunan itu di bangun di sekitar daerah ”kumpulan air”, daerah kumpulan air itu lalu di tata jenis tumbuhan yang sesuai dengan karakter pengakaran tanah di sekitar sungai, berfungsi sebagai penahan longsor alamiah dengan kombinasi penahan longsoran beton. Prinsipnya, harus ada RTH dalam RTH, atau berlapis-lapis, berguna untuk menyerap air jika kemampuan kapasitas sungai telah melebihi kapasitas debit. Model berlapis ini akan terdapat daerah rawa-rawa hijau, daerah sumur resapan berjarak 30-50 meter dari DAS, lalu sisipan jalan untuk pedestarian akan terdapat sumur biopori.
Refleksi pertahanan banjir bagi kota dalam ancaman penenggelaman akibat banjir bandang adalah pertahanan model serangan tsunami, dibuat berlapis-lapis dalam tata ruang, yang paling utama adalah pembangunan kawasan hijau di daerah sempit dan kumuh. Namun hal ini semakin berkurang, kalau kita identifikasi setiap kota yang berlangganan banjir hanya memiliki sekitar 12-15 persen daerah resapan hijau.
BERBASIS SEJUTA SUMUR RESAPAN
Idealnya, kota-kota di Indonesia memiliki daerah sejuta sumur resapan, ataupun minimal 30 persen sesuai UU No. 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang dan Kota, sehingga curah hujan yang tinggi di kota besar dapat terserap dan mengendalikan sebagian banjir, sebagian gerakan geologis air menuju sumber-sumber penampungan air seperti Kanal dan Situ atau Danau air alamiah.
Kota dengan karakter geologi yang terbentuk oleh berbagai cekungan sungai, berada dipinggiran pembenturan lempeng [kota pantai berbatas dengan laut, yang kaya sumber air permukaan, topografi rendah dengan sejajar atau di bawah permukaan air laut] dan geomorfologi kawasan rendah perlu mengembangkan sejuta sumur resapan dengan melakukan kajian dan identifikasi geologis air sungai yang melingkupi kota-kota besar di Indonesia. Kita akan selalu menemukan fakta geohidrologis, berupa sungai yang membelah bawah permukaan kota besar, data informasinya selalu diabaikan sehingga daerah hijau yang berada diatas permukaan sering ’dihabisi’ walau lebarnya hanya 15 meter dengan panjang 100 meter sering berdiri bangunan beton.
Tidak mengherankan, banjir tahunan melanda Jakarta. Sebab, telah diidentifikasi bahwa Jakarta di lewati lebih 10 sungai, Medan di lewati 7 sungai besar, Semarang di lewati 6 sungai, Bandung, Manado dan Jambi dibelah 4 sungai besar, semua kota tersebut sebagian daratannya berhadapan langsung dengan batimetri/topografi laut atau pantai, sehingga limpasan air sungai hanya terserap di daratan sekitar 20-30 persen jika tatanan drainase buruk, kanal terbatas, ekologi DAS di bawah 12 persen, selebihnya mengalir menjadi limpasan air bandang sehingga menjadi masalah klasik tahunan yang sangat merugikan segala aktivitas kota dan manusia.
Sumur resapan merupakan salah satu solusi yang dapat mengurangi tingkat kebencanaan banjir dan sumur resapan bisa dibuat pada tiap bangunan yang telah terbangun, pemerintah wajib mensosialisasikan bagi pembangunan gedung baru, harus menyediakan sumur resapan minimal terdapat dua lokasi. Sumur resapan dapat sebagai bagian dari izin mendirikan bangunan baru di lokasi pemukiman dengan membuat taman sumur resapan dan sumur biopori. Air yang berlebihan ketika curah hujan tinggi dapat ditampung dan mengalir ke sumber-sumber air bawah permukaan atau cekungan air tanah [CAT], limpasan air dapat diminimalisasi menjadi nilai ekonomis sekaligus mengisi CAT yang tingkat produktivitasnya rendah dan dipergunakan sebagai cadangan air berkelanjutan.
BERBASIS KANAL BANJIR
Salah satu aspek pembangunan fisik kota yang selalu dilupakan atau diabaikan adalah fakta hidrologis dan manajemen air yang sangat berkaitan dengan terjadinya banjir di perkotaan dan erat hubungannya dengan kesatuan wilayah [CAT] dengan DAS. Dengan memahami sistim DAS yang merupakan sebidang lahan dalam menampung air hujan dan mengalir ke satu titik oulet maka perlu pengembangan jaringan kanal banjir dengan memperhatikan batas topologi hamparan wilayah aliran air yang sama di satu punggung bukit, apakah di sungai, danau atau laut sebagai daerah tangkapan air.
Kota yang memiliki keterbatasan lahan dan topografi rendah dapat membangun kanal-kanal banjir di perbatasan, karena umumnya bencana banjir datang dari daerah pinggiran punggung perbukitan sesuai karakteristik DAS, hal ini perlu dilakukan karena derasnya pembangunan fisik tidak sebanding dengan penyediaan tata guna lahan di kota baik dalam bentuk lahan rehabilitasi maupun lahan peruntukan fisik, setiap bulan selalu ada laju pembangunan gedung sebanyak 3- 4 gedung dalam jarak radius maksimal 200 meter, dan menyerap ruang ekologi hijau mencapai 400 meter. Setiap satu gedung telah mengurangi daerah resapan sekitar 8-10 persen dari luas persil yang ada di sekitar bangunan fisik diperkotaan. Ini salah satu penyebab banjir di kota besar di Indonesia.
BERBASIS DRAINASE BIOPORI
Buruknya sistim drainase berdampak pada kerugian, gambaran ini masih ada hubungan dengan sistim pengelolaan air dengan manejemen tata ruang kota. Dari beberapa literatur menyebutkan 80 persen atau 350 kota dari total 485 kota di Indonesia di bangun disekitar sumber-sumber air seperti sekitar DAS, danau, tepi pantai dan sungai besar yang tidak memperhatikan kualitas habitat sungai.
Solusi lainnya untuk mencegah banjir dengan nilai ekonomis adalah membuat drainase model baru yang selaras dan berhubungan dengan sumber-sumber air. Model drainase yang ada sekarang umumnya dibuat dalam bentuk drainase biasa dan tumpah tindih dengan drainase limbah dan air hujan, serta cukup untuk menampung air seperti kita lihat sekarang namun tidak menyerap dan menyimpan air.
Model drainase biopori yang penulis maksudkan adalah drainase yang dapat berfungsi menyerap, menyimpan dan mengalirkan air di bawah permukaan secara alamiah melalui sistim biopori yang di buat di dalam drainase dengan memperhitungkan kapasitas dan debit drainase ke lokasi sumber air bersih serta memperhatikan jenis stratigrafi tanah drainase agar penyerapan air lebih cepat ke sumber batuan induk aquifer melalui proses geologis airi dan hidrogeologis akan disalurkan secara merata dibawah permukaan bumi.
Model drainase biopori masih jarang dibuat di kota besar Indonesia, Medan bisa menjadi ujung tombak untuk memulai pembangunannya. Pasti bisa.
M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer, 
Tulisan ini sudah dipublikasi di HARIAN ANALISA MEDAN

19 Mei 2014

Kota Berbasis Ekologi Enerhi Hijau : Geologi Mitigasi

KOTA BERBASIS EKOLOGI ENERGI HIJAU
Oleh M. Anwar Siregar
Faktor terpenting dalam permasalahan lingkungan sebuah kota adalah besarnya populasi manusia atau kecepatan laju pertambahan penduduk, sebab dengan tingkat pertambahan penduduk yang tinggi, kebutuhan pangan dan bahan bakar industri serta transportasi akan meningkat, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya perubahan kondisi lingkungan kota. Strategi yang diperlukan dalam pembangunan kota hemat energi adalah efisiensi, intensifikasi, konservasi, revitalisasi di dalam upaya menyelaraskan pembangunan kembali kota (sustainable urban redevelopment movement). Beberapa klaim bahwa kota berbasis energi akan mengurangi ketergantungan pada mobil pribadi, perlindungan pada daerah pori-pori dan daerah hijau, akses yang lebih baik kepada fasilitas dan layanan kota dengan lokasi hunian yang berbasis ekologi.
ENERGI HIJAU
Sumber daya geologi yang dimanfaatkan sebagai penghasil energi sebuah kota, terbentuk di alam baik secara langsung maupun tidak langsung, yaitu dengan memanfaatkan kemampuan sumber daya manusia dalam menciptakan teknologi agar dapat dirubah dan dikonversikan menjadi energi kehidupan. Energi diperlukan bagi setiap kota dan makhluk di bumi karena memiliki kemampuan melakukan usaha atau kerja. Sumber daya geologi yang dapat digunakan sebagai energi yaitu minyak bumi, gas alam, batubara, panas bumi, air, mineral radioaktif, angin, gelombang air laut, dan radiasi matahari
Yang perlu diperhatikan dalam pembangunan dan perencanaan kota inti, satelit dan suburban yang berbasis energi hijau adalah pencemaran udara, ada 9 jenis bahan pencemaran udara dari bahan bakar energi yang dianggap penting, tiga diantaranya sangat dominan dan banyak dilepaskan pada saat pembakaran bahan bakar fosil, yaitu : kelompok Oksida carbon yang terdiri dari atas carbon monoksida [CO] dan karbon dioksida [CO], kelompok Oksida sulfur yang terdiri atas sulfur dioksida [S] dan sulfur trioksida [SO] serta kelompok Oksida nitrogen yang terdiri atas nitrogen oksida [NO], dan dinitrogen oksida [N2O].
Energi hijau diperlukan dalam upaya menekan laju CO2 di udara, Energi hijau adalah energi bersih, ramah terhadap lingkungan, polutannya tidak menambah beban lingkungan biosfer dan geosfer. Energi ini bisa berasal dari air, hydrotermal, hydropower, geothermal, angin, matahari, sampah, biomassa, biofuel, hingga pemanfaatan gelombang panas matahari dan air laut. Terbatasnya sumber energi fosil yang menyebabkan perlunya pengembangan energi terbarukan dan konservasi energi hijau [non-fosil] yang berasal dari alam dan dapat diperbaharui.
Dengan penggunaan energi hijau merupakan bagian dari konsep kota hemat energi juga merupakan salah satu konsep perencanaan kota hunian yang humanis, harus terintegrasi dengan stasiun transportasi dan prasarana fasilitas publik agar dapat mencapai kota ramah lingkungan.
EKOLOGI HIJAU
Proses pemanasan bumi yang menimbulkan perubahan iklim telah memberikan ancaman kehancuran bumi yang sebenarnya, ancaman itu berasal dari konsentrasi yang makin bertambah dari karbon dioksida (CO2) dan gas rumah kaca. Bahaya besar yang mengancam umat manusia dan biosfer adalah pertambahan panas yang dipompa kedalam lingkungan lebih cepat dari yang dapat dipancarkan kembali ke ruang angkasa, semakin tinggi peningkatan temperatur bumi semakin besar perubahan karakteristik permukaan bumi yaitu lapisan es kutub akan menyusut, kekeringan dan penenggelaman beberapa pulau, dan sangat membahayakan bagi Pulau-pulau kecil di Indonesia.
Pada tingkatan global, kota-kota yang ada dan tumbuh berkembang sekarang, hampir semua indikator itu bersifat negatif, karena tidak berbasis energi hijau dengan pola arsitekstur tata ruang hijau berupa penataan lingkungan eko-geologi dan green construction sehingga akan ada dampak. Sebagai contoh, misalnya sekitar 20 hingga 30 persen spesies tumbuh-tumbuhan dan hewan berisiko punah di Indonesia jika temperatur meningkat lagi naik 2,7 derajat Fahrenheit atau setara 1,5 derajat Celcius. Hal ini cukup mengkhawatirkan karena wilayah Indonesia menyimpan potensi aneka hayati dan flora sebagai keseimbangan utama paru-paru bumi di dunia.
Krisis ekologi perlu dimasukkan sebagai faktor utama dalam pembangunan kota yang berbasis hijau dengan mengutamakan semua lingkungan tata ruang harus terdapat dan berbasis ekologi hijau berupa taman kompleks perumahan, halaman rumah yang hijau, taman paru-paru kota, taman/koridor jalan, taman evakuasi, taman sanggahan bencana, taman pertanian dan kehutanan abadi serta taman tata ruang air berkelanjutan. Dengan konsep berbasis ekologi energi hijau disetiap wilayah kota yang berbentuk kota Suburban maupun sebagai rangkaian kota Satelit akan memberikan efek pengurangan energi ke lingkungan berupa penekanan pemakaian kendaraan pribadi, mendorong penduduk untuk naik sepeda, berjalan kaki, mengurangi pemakaian pendingin buatan seperti AC, rumah tanpa AC. Membatasi penggunaan AC mobil pribadi.
Pembangunan tata ruang ekologi harus juga mempertimbangkan pembangunan hunian vertikal maupun horizontal sebagai sarana kebutuhan sosial ekonomi terutama konsep fungsi lahan campur yaitu mendekatkan lahan fungsi hunian dengan fasilitas pelayanan umum dengan jarak tempuh yang hemat waktu yang memungkinkan kendaraan non motorisasi seperti berjalan kaki, bersepeda dengan tatanan ruang hijau yang menyejukan serta dimudahkan dengan sarana transportasi misalnya stasiun yang bersistem transit dengan lokasi layanan fasilitas publik agar dapat mereduksi mobilitas kendaraan dan mereduksi dana transportasi.
TRANSPORTASI HEMAT
Penggunaan energi alternatif bagi sarana transportasi dari energi hijau terbarukan dapat memberikan sumbangan yang sangat signifikan bagi lingkungan di bumi dalam menahan laju kerusakan lapisan ozon di geostrosfer, pengurangan efek rumah kaca dan penurunan kerusakan degradasi ekologi lingkungan dan mencegah kerusakan sumber-sumber daya hayati dan pengurangan tingkat keasaman air hujan dan mengendalikan pola sirkulasi air bawah dan atas permukaan.
Kebijakan transportasi dan tata guna lahan yang erat dengan ide kota kompak yang menunjukkan pentingnya melihat kondisi perkembangan kota yaitu salah satu adalah pola pergerakan/transport, dan pola tata guna lahan. Namun hal ini, belum terlihat jelas di berbagai kota di Sumatera Utara, contoh yang paling dekat kota Mebidang-Karo [Medan, Binjai, Deli Serdang, dan Karo] atau Juga Mebidang-Segisisi [Sergai, Tebing Tinggi, Simalungun dan Pematang Siantar], wilayah diperbatasan kota ini harusnya memiliki pengkoordinasian layanan publik terdekat, banyak ditemukan dan dibangun rumah tumbuh. Memerlukan mobilitas transportasi yang tinggi, sebagai contoh, perhatikan aktivitas masyarakat setiap hari jam kerja dari pinggir ke inti kota yang berjarak ke tujuan sejauh 15-45 km, dengan waktu antara 20-60 menit dalam keadaan normal.
Mobilitas masyarakat modern ditandai dengan semakin berkembangnya sarana dan prasarana transportasi yang menghubungkan antar wilayah. Kepadatan kendaraan yang menggunakan bahan bakar minyak [BBM] perlu diperhitungkan dalam mengendalikan dampaknya terhadap krisis lingkungan, yaitu pola kenaikan emisi polutan sisa pembakatan BBM ke lingkungan. Dan kita sudah tahu, situasi ketika memasuki daerah tujuan sering ditemukan antrian panjang kendaraan yang banyak menghasilkan polutan dari pemanasan dan pemborosan bahan bakar yang menjadi bentuk pencemaran udara ke lingkungan hidup, terdapat penggunaan 75 persen energi berasal dari sumber-sumber pemakaian BBM.
Kenaikan densitas penduduk ini perlu disertai dengan usaha penyatuan berbagai macam kegiatan dalam area yang sama (mixed use development), sehingga penduduk yang tinggal di mana pun di dalam kota akan mampu terlayani secara baik oleh sebuah sistem unit transportasi. Sistem transportasi umum yang intensif akan membantu dalam menyelesaikan masalah kerusakan lingkungan dalam kota akibat transportasi manusia, selain mendorong berbagai kegiatan kota lebih aktif.
Besaran dan akses kota mutlak diperlukan. Sebagai pengendali jarak maupun waktu tempuh kegiatan kota sekaligus usaha untuk memudahkan pengkoordinasian (smart urban management). Medan harusnya menjadi pioner bagi kota disekitarnya, karena sebagian penduduknya bermukim dikawasan pinggiran dan bekerja di inti kota dengan mendata akses mobilitas para pekerja yang sesuai dengan kondisi tempat keberadaan waktu yang diperlukan.
M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer, Tulisan ini sudah dimuat Pada Bulan Januari 2014 di Harian ANALISA MEDAN
Boleh Copas tetapi tulis sumbernya jika untuk Penulisan Blog dan keperluan lainnya

Membangun Ketangguhan Energi


MEMBANGUN KETANGGUHAN ENERGI MEREDAM KRISIS
Oleh M. Anwar Siregar
Sudah saatnya Indonesia memanfaatkan potensi energi baru terbarukan yang sangat besar. Mengingat kapasitas pembangkit listrik PLN dalam usia 69 tahun hanya mencapai 40.000 MW. Memanfaatkan potensi pembangkit panas bumi atau geothermal yang bisa diproduksi hingga 30 MW atau bisa menghasilkan listrik hingga 150 tahun ke depan.
Selain itu, dari sumber daya air Indonesia menyimpan potensi lebih besar lagi yakni bisa menghasilkan listrik mencapai 75.000 MW atau bisa menghasilkan listrik hingga 100 tahun ke depan. Potensi di hitung dari 50.000 MW dari PLTS. feed in tariff [Fif] untuk PLTS US   S 25 sen per KWh selama 20 tahun.
Dari beberapa perhitungan yang dilakukan beberapa peneliti, bahwa dalam waktu lima tahun ke depan, kebutuhan akan energi konvensional akan terus bertambah dan akan menimbulkan bahaya krisis karena keterbatasan ketersediaan semakin menipis tajam, faktor kebutuhan ini akan menentukan ketangguhan bangsa dalam mengatasi krisis energi terutama krisis solar dan gas. Dilain pihak, kebutuhan energi alternatif juga akan menimbulkan dilematis karena ada penambahan penggunaan semakin bertambah tajam dalam kurun tiga tahun ke depan apabila pemassalan tidak dilakukan sedini sekarang dalam kurun lima tahun karena hal ini juga menentukan kekuatan bangsa dalam keberlanjutan pembangunan ekoonomi ke depan
Faktor kebutuhan energi alternatif yang akan menentukan ketangguhan bangsa ini dalam mengatasi krisis energi, terutama krisis gas yang akhir-akhir ini menjadi sumber masalah bagi beberapa kalangan industri di Indonesia sehingga meningkatkan jumlah kemiskinan akibat dampat dari PHK massal.
Masalah kenaikan bahan bakar gas [BBG] sudah menujukan suatu masalah yang sangat membutuhkan perhatian sungguh-sungguh karena hal ini diluar kemampuan sumber daya ekonomi masyarakat sebagian kalangan masyarakat ekonomi bawah.
Pembangunan sangat ini memerlukan keberlanjutan ekonomi yang terus bergerak signifikan, yang sebenarnya masih sangat rentan terhadap pengaruh global. Agar dapat mengendalikan krisis energi maka pembangunan ekonomi di Indonesia membutuhkan keberlanjutan pembangunan energi, dan prioritas utama seharusnya diletakan adalah pembangunan energi alternatif sehingga kebutuhan energi dapat teratasi tanpa harus menunggu terpenuhnya kebutuhan energi dalam 10 tahun ke depan. Sebab, akan menimbulkan berbagai gejolak dan mengancam keutuhan NKRI kedepan.
PEMBANGUNAN ENERGI
Upaya ini membutuhkan strategi pelaksanaanya, diantaranya ada empat hal yang perlu diperhatikan yaitu pertama, pemerataan pemakaian energi alternatif di berbagai daerah terpencil di seluruh Indonesia. Sebab, hampir semua daerah di Indonesia memiliki berbagai potensi sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan, berikan insentif dan modal padat karya dan pembimbingan kualitas SDM untuk membangun energi baru terbarukan sehingga akan menghasilkan output yang lebih berkualitas pada kehidupan bangsa dan lingkungan alam.
Kedua, partisipasi masyarakat dan swasta dalam pengadaan perngembangan pembangunan energi alternatif dalam upaya mengurangi jumlah pemakaian energi konvensional sekaligus mengurangi dampak lingkungan, ketiga keanekaragaman energi harus ditingkatkan lagi, terutama meningkatkan energi bauran mencapai lebih dari 50 persen sehingga BBM tidak menjadi energi utama pembangunan ekonomi saat ini dan dalam 5 tahun sudah harus menjadi primadona pembangunan di bidang industri dan masyarakat. Penggunaan dan pasokan energi alternatif ini harus menjadi bagian dari pembangunan ekonomi saat ini. Tujuannya sudah jelas, agar bangsa ini tidak mengalami kebangkrutan sumber daya alam dan energi karena mengingat peningkatan populasi penduduk di Indonesia semakin rentan terhadap kebutuhan energi listrik. Jika Pemerintah membutuhkan kemampuan untuk mempertahankan laju keberhasilan pembangunan ekonomi dengan bertumpuh kepada keunggulan energi non fosil maka harus melakukan konservasi dan diverifikasi energi secara tegas, keras sebagai jawaban atas krisis energi listrik dan juga sebagai upaya untuk menekan laju kemiskinan akibat dampak kenaikan tarif dasar listrik.
Keempat perlu integrasi berbagai kekuatan untuk menahan gempur kekuatan energi asing dengan menempatkan negara harus mampu menciptakan push factor atau dorongan untuk menciptakan serta memberikan semangat kemandirian energi dan untuk memperbaiki tatanan pengelolaan energi serta mendorong semangat pencarian energi alternatif terbarukan untuk peningkatan kesejahteraan.
MENGATASI KRISIS GAS
Gerakan konservasi energi gas yang lebih luas dan kontinu, bukan secarik lembaran kertas peraturan Pemerintah, instruksi Presiden maupun perda-perda lainnya tetapi bumikan peraturan UU Konservasi yang lebih luas, lebih tegas, lebih mengikat dan menekan segala sektor kehidupan agar dapat dijalankan sungguh-sungguh sehingga kita tidak akan sering melihat antrian panjang di SPBU atau pun dipangkalan distribusi gas, padahal negeri ini adalah penghasil gas yang terbesar di muka bumi, jangan menimbulkan ironisasi di tengah masyarakat, karena negeri ini sering jadi bahan tertawaan negara lain. Kaya SDA kenapa mesti hidup sengsara dan antrian panjang berjam-jam, ini sangat memalukan.
Di Indonesia ada sindiran : ”kalau bisa dipersulit kenapa tidak”. Bukti ini dapat dilihat jika ada investor membutuhkan perizinan cepat namun kadang izin itu dipersulit dengan maksud supaya mendapat upeti sehingga biaya menjadi lebih mahal. Disamping itu Perusahaan Multinasional kebanyakan melarang penyogokan sehingga izin menjadi berlarut-larut. Langkah yang baik dilakukan oleh segenap pemerintahan di Indonesia tanpa harus memanfaatkan euforia desentralisasi otonomi daerah dibidang perizinan adalah pertama, menciptakan iklim bisnis pembangunan energi yang sehat dengan keadilan pembagian porsi keuntungan ekonomi energi untuk rakyat Indonesia. Kedua langkah pengembangan energi alternatif dengan keringanan pajak agar alih dana dan teknologi dapat dipercepat sehingga cabang-cabang produksi yang penting menguasai kepentingan hidup orang banyak dapat memberikan kesejahteraan rakyat dan maka pengurusan energi dapat dilaksanakan dengan benar oleh negara.
Ketiga, cabang produksi migas dan batubara serta sumber daya mineral lainnya yang termasuk kategori strategis dan sebagian vital harus dibedakan secara khusus terutama tidak boleh diperdagangkan sembarangan seperti komoditas devisa lainnya, keuntungan konsesi yang dibagi dengan perusahaan asing harus diatas 75 persen karena selama ini keuntungan itu tidak pernah cukup mengatasi kerusakan lingkungan dan beban rehabilitasi dan rekonstruksi lingkungan dampak pembangunan pertambangan besar umumnya berasal dari APBN sehingga perusahaan asing sering disebut “cuci tangan” dan selain itu, keuntungan sering raib karena dirampok para spekulan dan mafia migas.
Keempat, transfer teknologi dan sumber daya manusia harus secepatnya dengan memprioritaskan perusahaan nasional untuk mengelola lapangan migas di Indonesia bagian dari integrasi kekuatan bangsa untuk jiwa pembangunan ekonomi sehingga dapat meredam krisis produksi sekaligus juga menekan kenaikan harga minyak bumi yang tinggi, sering menyebabkan dan menimbulkan ketegangan karena pemerintah mengalami dilematis dalam penyediaanya yang telah diatur dalam APBN setiap tahun.
Kelima, penghapusan subsidi BBM merupakan salah satu upaya alternatif untuk menghilangkan ketergantungan pada energi fosil, dan mendorong upaya memassalkan energi biofuel dan energi baru terbarukan. Maka faktor muklat untuk mengatasi ketegangan ini dan meredam eskalasi krisis adalah membangun energi terbarukan sebagai pilihan masa depan Indonesia yang paling tepat, sekaligus mengubah ketergantungan terhadap subsidi bahan bakar minyak yang semakin mahal, dilakukan secara bertahap-tahap dalam kurun lima tahun, dengan melihat keberhasilan sosialisasi alih minah ke gas yang sudah terealisasi dengan baik walau disertai hambatan seperti terbatasnya tabung gas, ledakan dan kebakaran namun pelan tapi pasti berhasil mengurangi ketergantungan dengan sumber BBM dan minah.
Terakhir, bahwa pembangunan energi itu sangat luas karena menyangkut aspek pembangunan berkelanjutan berbagai aspek kehidupan bangsa yaitu aspek keberlanjutan ekologi, ekonomi, sosial budaya, politik, sumber daya manusia dan alam serta pertahanan dan keamanan bangsa untuk siap dan tangguh menghadapi berbagai jenis model penjajahan asing.
M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer, Tulisan ini sudah dimuat di Harian ANALISA MEDAN, bulan Februari 2014

27 Jan 2014

Mitigasi Investasi Gunungapi : GEOLOGI MITIGASI

MITIGASI INVESTASI GUNUNGAPI SUMUT
Oleh : M. Anwar Siregar
Dari hasil pengamatan dan penelitian penulis, dapat diambil kesimpulan bahwa daerah yang memiliki gunungapi ternyata masih rentan mengalami musibah bencana, bahwa sebagian kota di Sumatera Utara belum siap dan belum mampu mengevaluasi, serta mereview untuk memberikan arahan sosialisasi serta strategi pengendalian penanggulangan bencana gunungapi secara kontinu. Masyarakat yang berada di kawasan rawan bencana letusan gunungapi masih beranggapan bahwa kejadian bencana dalam suatu KRB III tidak perlu memperhatikan peta penyebaran inforamsi geologi daerah rawan bencana gunungapi dan tetap beraktivitas.
Bahwa daerah gunungapi di Sumut masih belum memiliki daya konstruktif terhadap daya tahan bencana dan investasi jangka panjang dapat dilihat dari berbagai segi instrumen antara lain : pola tata ruang investasi yang tidak tegas, manajemen sosialisasi mitigasi penanggulangan letusan gunungapi yang belum terukur serta kemampuan sumber daya manusia dan teknologi yang masih terbatas.
INVESTASI KRB
Data sejarah bencana sangat penting dalam menganalisis tingkat risiko yang ditimbulkan dari berbagai bencana geologis khususnya letusan gunungapi, letusan gunungapi sebenarnya sudah dapat diketahui dan gejala visual yang akan terjadi dapat diketahui secara dini, namun jumlah korban masih tetap saja ada dalam jumlah besar. Penyebab utamanya adalah pola pembangunan fisik dalam tata ruang yang sudah diidentifikasi tingkat kerawanannya dan biasanya sudah dipetakan dan dimasukan kedalam suatu peta risko bencana gunungapi yaitu Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB).
Peta tata ruang KRB mencakup suatu standar prosedur tetap (protap) atau SOP yang sudah baku, dan memuat suatu pedoman yang harus dipatuhi oleh pemerintah, pelaku usaha atau investor dan masyarakat dalam suatu Kabupaten dan antisipasi bagi Kabupaten tetangganya. Peta KRB dapat digunakan sebagai acuan untuk modal investasi pembangunan infrastruktur fisk dan pariwisata, juga sebagai landasan pembangunan daerah tata ruang detail wilayah.
Yang menjadi sumber masalah investasi jangka panjang bagi tata ruang didaerah rawan bencana gunung api adalah bagaimana memperhitungkan 7 (tujuh) gunungapi yang ada di Sumut dan sebagian gunungapinya masih berstatus kelas type B, dan umumnya “malas” naik kelas, sehingga akan membahayakan jika terjadi letusan. Ini perlu menjadi renungan bagi perencana pembangunan, ketika terjadi letusan gunungapi Sinabung pertama kali pemerintah Sumut tidak siap, sebab peta KRB dibuat jika gunungapi sudah meletus, maka baru diketahui daerah mana lintasan erupsi, Peta Keretanan Geologis Tinggi (KGT) dan peta anomali gunungapi banyak diantaranya belum ada. Permasalahan lainnya bagi investasi tata ruang gunungapi yakni, jarang dibuat pembuatan infrastruktur fisik mitigasi karena ketidakadaan data erupsi sehingga Sumut belum dianggap daerah tangguh bencana gunungapi serta diperparah oleh sikap masyarakat beranggapan wilayah ini tidak akan terjadi lagi letusan, sangat membahayakan dan dapat menyebabkan korban mencapai 45 persen dari total jumlah penduduk yang mendiami suatu kota yang dekat dengan gunungapi, jangkauan erupsi/letusan gunungapi bisa mencapai minimal 5 km maksimal 21 km tergantung tingkat kekuatan letusan gunungapi. Studi kasus ini bisa diambil dari pelajaran gunungapi Sinabung.
SOSIALIASASI MITIGASI
Selain pola tata ruang investasi KRB, maka sosialisasi mitigasi bencana gunungapi belum menjadi bagian dari budaya hidup bagi masyarakat Sumut yang berada dalam jangkauan erupsi sejauh maksimal 21 km. Bahwa mitigasi bencana gunungapi bagian dari manajemen bencana (disaster management) atau manajemen darurat (emergency management). Manajemen bencana meliputi : penyiapan, dukungan, dan pembangunan kembali suatu masyarakat yang terkena bencana alam (natural disaster) atau bencana buatan (man-made disaster). Manajemen sosialisasi mitigasi bencana gunungapi adalah suatu proses yang harus diselenggarakan terus menerus oleh segenap pribadi, kelompok, dan komunitas dalam mengelola seluruh bahaya (hazards) melalui usaha-usaha meminimalkan akibat dari bencana yang mungkin timbul dari bahaya tersebut, karena gunungapi sudah diketahui kapan mengeluarkan erupsi/letusan (plumed), maka perlu diadakan secara kontinu pengenalan tentang bahaya, daerah aman, daerah kawasan rawan dan daerah zona risiko erupsi. Namun hal ini belum terbumikan.
Masyarakat Sumut harus memahami mitigasi bencana gunungapi pertama, sebagai upaya untuk pengurangan resiko atau sosialisasi resiko individu, kedua, sebagai wahana sosialisasi informasi geologi untuk pengurangan kerentanan bahaya atau bencana lingkungan lokal dalam suatu tata ruang di daerah rawan bencana, serta ketiga, sebagai upaya manajemen edukasi untuk mereduksi-menekan jumlah korban material dan fisik dan keempat, sebagai upaya mendorong masyarakat untuk memahami geologi sebagai sumber pengembangan sumber daya manusia dalam pembangunan berkelanjutan.
PELAJARAN BERIKUTNYA
Sumut harus bercermin dari pengalaman tahun 2010 dan 2013, walau baru satu gunungapi yang meletus dan naik kelas, yaitu Sinabung dari mimpi lama sekitar 400 tahun lebih. Sinabung memperlihatkan gejala alam agar manusia belajar dari multi resiko bencana alam setelah gempa besar Nias, banjir dan musibah lingkungan. Tujuannya sudah jelas, agar pemerintah dan masyarakat Sumut arif dalam memahami hidup dan beraktivitas disekitar gunungapi dapat membahaya keselamatan serta dapat mengganggu kondisi gunungapi itu sendiri.
Hikmah yang diambil dari letusan Sinabung bagi pemerintah daerah Kabupaten/Kota adalah agar menyusun kebijakan yang tegas dalam perencana pembangunan tata ruang investasi lahan yang mengikuti tingkatan bahaya dalam pola tata ruang KRB, menjadi prosedur tetap dalam memberikan izin kelayakan pembangunan fisik investasi yaitu dari tingkatan bahaya KRB III (tinggi), KRB II (menengah) dan KRB I (rendah). Memperkirakan arah erupsi gunungapi dengan mempelajari karakteristik geologi letusan gunungapi dimasa lalu, berguna sebagai pedoman pengendalian investasi pembangunan ditingkat lokal, mencegah penurunan daya tahan investasi fisik serta peningkatan ketahanan sosial ekonomi untuk menghadapi kejutan eksternal (external shock) bencana berikutnya, berkaitan langsung dengan upaya lokal dengan karakter lokal sehingga membutuhkan manajemen informasi geospasial yang memadai.
Disiplin menjalankan aturan SOP yang sudah ditetapkan dalam peta KRB, maupun peta KGT untuk mengurangi resiko bencana gunungapi di Sumut suatu saat nanti, yaitu pertama, meningkatkan manajemen sosialisasi bencana gunungapi bagian dari program pembangunan, kedua meningkatkan kesadaran dan membangun kapasitas mitigasi bencana melalui penataan ruang yang berada dalam zona KRB dan zona resiko letusan gunungapi yang banyak melibatkan aspek sosial, budaya dan teknis secara simultan.
Sehingga Sumut tangguh dan cemerlang dalam membangun pengurangan resiko bencana letusan gunungapi di perkotaan yang dapat menjangkau wilayah inti dan pesisir perkotaan, serta cerdas memahami gejala-gejala alam gunungapi karena sebagian besar tata ruang kota di Sumut banyak masyarakatnya menetap di kawasan pegunungan dimana proses geologis masih berlangsung kembali, membutuhkan pemahaman karakteristik kebencanaan yang berlangsung didaerah tersebut sebagai upaya untuk mempersiapkan cetak jejak masa lalu, masa kini dan masa sekarang dalam bentuk informasi peta daerah rawan bencana untuk landasan pembangunan fisik.
Sadar akan kondisi lingkungan gunungapi, akan membuat manyarakat lebih waspada dengan resiko yang dihadapi maka pelatihan dan simulasi mitigasi harus diadakan secara teratur berbasis masyarakat dan memasukan kedalam kurikulum pendidikan dasar sesuai dengan budaya kearifan lokal yang membentuk karakter masyarakat Sumut disekitar gunungapi.
M. Anwar Siregar
Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer-Kelautan.

Pentingnya Tata Ruang Megathrust Gempa Aceh : Geologi Mitigasi

PENTINGNYA TATA RUANG MEGATHRUST GEMPA ACEH
Oleh : M. Anwar Siregar
Semakin terbukti, Aceh sangat memerlukan standar building code segala jenis pembangunan fisik untuk menyesuaikan kondisi percepatan puncak batuan atau PGA. Gempa Aceh tidak akan berhenti walau sesaat, dan menunjukkan bahwa seismitas energi dikawasan ini masih akan terus melepaskan energi akibat ketidakseimbangnya zona-zona energi penyerapan seismik diperbatasan lempeng, yang menyusun kerak bumi di tepi kontinen lempeng Eurasia, dan diketahui bahwa selama belum ditemukan keseimbangan isotatis maka gerak dinamis lempeng bumi akan selalu memacarkan suatu pendesakan dan “pengumpulan tenaga dalam gempa” yang akan berdenyut seperti nadi darah yang tersumbat untuk kemudian meletus atau dilepaskan secara tiba-tiba, dan merupakan gambaran ke gempa megathrust yang lebih besar lagi kekuatan dapat mencapai lebih 8,5 SR, megathrust merupakan karakter gempa yang selama ini menjadi identik zona gempa di bagian utara sumatera.
KARAKTER GEMPA NAD
Blok gempa di Aceh-Simeulue ataupun daratan gempa Singkil-Meulaboh-Pidie-Kutacane-Sabang merupakan wilayah kegempaan paling teraktif di kawasan pantai barat maupun daratan Sumatera dengan periode pelepasan energi sangat singkat dengan zona penyerapan energi paling rendah diantara tiga zona subduksi megathrust yang ada di Pantai Barat Sumatera yang mengalami pengoyakan yang lebih mendalam dengan tingkat PGA [peak ground acceleration] atau tingkat goncangan tanah suatu tempat karena pengaruh batuan dasar diatas 7 Mw. Nilai PGA ini seharusnya digunakan dalam penentuan tata ruang gempa melalui pemetaan mikrozonasi gempa untuk kekuatan infrastruktur building code di suatu kawasan rawan gempa di Aceh dan Indonesia secara umum.
 


Gambar : Dinamika umum tektonik Indonesia diperlihatkan oleh respon Kepulauan Indonesia terhadap pergerakan relatif tiga lempeng bumi dari data GPS (Global Positioning System). Panah besar merah adalah kecepatan gerak dari lempeng. Panah-panah hitam menunjukkan kecepatan gerak dari lokasi tempat pengukuran monumen GPS antara tahun 1989 dan 2002 (sumber dari Bock, 2003).

Karakter yang biasanya membentuk mekanisme gempa besar di wilayah Aceh-Simeulue adalah mekanisme pergerakan/pergeseran lempeng akibat tumbukan lempeng besar yang menghasilkan deformasi sesar vertikal (thrust fault). Sesar vertikal dikarakterkan oleh pergerakan lempeng kerak bumi yang saling bertumbukan dan membentuk zona subduksi yang menimbulkan gaya yang bekerja baik horizontal maupun vertikal, efek dari model gerak sesar vertikal ini membentuk pegunungan lipatan, jalur gunungapi/magmatik, persesaran batuan, dan jalur gempa bumi serta terbentuknya wilayah tektonik tertentu.
Karakter gempa lainnya yang terdapat di kawasan Aceh-Simeulue adalah banyak ditemukan lembah-lembah maut berhadapan langsung dengan palung-palung laut dalam, merupakan gambaran umum gempa-gempa besar di masa mendatang karena pantai-pantai yang berhadapan langsung dengan pembenturan antar lempeng didasar laut. Hasil penelitian ilmuwan membuktikan hal tersebut, menemukan bahwa akibat gempa Aceh sejak tahun 2004 banyak ditemukan lembah-lembah maut di Laut Aceh disekitar zona subduksi Aceh menuju Palung Laut Dalam Andaman-Nikobar dengan kedalaman bervariasi antara 40-60 km, menyebabkan tsunami sering terjadi dengan karakter tunjaman mencapai dibawah 10 derajat kelandaian.
Penyebabnya karena lantai samudera di Pulau Sumatera lebih muda termasuk di kawasan subduksi Aceh-Andaman-Nias-Simeulue, terbentuk terpadatan dan sering mengalami daur ulang kerak bumi sekitar 55 juta tahun daripada Pulau Jawa, sedangkan usia lantai samudera di bawah Pulau Jawa sekitar 100 juta tahun dan jarang mengalami perubahan dan pergeseran kerak bumi yang menghasilkan gempa megathrust.
Dengan karakter usia muda, maka daya apungnya masih tinggi, densitasnya lebih ringan dan lantainya lebih landai serta aktif lebih bergerak dan menyusup dengan sudut penunjaman yang lebih landai sehingga akan menimbulkan gaya gesekan yang lebih kuat dengan skala gempa rata-rata mencapai diatas 7 SR.
Lanjutan bahaya gempa dizona subduksi konvergensi masih menerus menekan daratan Aceh di tiga titik patahan sumatera yaitu Segmen Tripa, Segmen Aceh dan Segmen Seulimeum, gempa Bener Meriah berpusat di daratan di segmen tripa dan merupakan gempa sesar geser, tetapi juga terjadi sekarang disekitar kawasan gempa a-seismik, gempa-gempa yang masih sering terjadi di Aceh di daratan merupakan wilayah dari gempa a-seismik akibat dari fracture atau kawasan mengalami investigasi gempa kuat dalam zone terdekat zona gempa terdahulu dikenal sebagai investigator fracture zone [IFZ] yang menimbulkan gempa akibat tekanan sesar geser dampak dari deformasi gempa Aceh 2004 yang memicunya menjadi aktif. Gempa sekarang dalam kurung empat bulan merupakan indikasi adanya INF di daratan yang bersambung dengan zona INF subduksi.
Coba perhatikan kondisi tata ruang kota-kota yang berada dalam lingkungan geomorfologi di dataran patahan Tripa-Seumelium, lembah tektonik Gayo, di daratan pegunungan ini akan terlihat kondisi tanah yang mudah terbelah dan terkoyak, dan daerah ini di perkirakan terdapat gempa a-seismik yang telah melakukan penguncian lebih 50 tahun dan dapat menghasilkan kondisi peretakan kulit bumi yang dikenal dengan istilah saat ini yaitu investigator fracture zone (IFZ), kemunculan berdampak dari tekanan pecahan gempa megatrush 2004.
TATA RUANG
Dengan melihat gambaran karakter magathrust Aceh-Simeulue, dan adanya indikasi IFZ tertekan menuju ke zona subduksi Simeulue oleh gerak sesar geser atas yang dapat menimbulkan tsunami ke daratan, menekan beberapa segmen patahan Aceh, maka perencana tata ruang wajib mencermati hal ini, dan menyesesuaikan geomorfologi fisik bagi tata ruang kota yang wilayahnya bersentuhan dan terbelah serta berada di kawasan tinggi Alas, Gayo dan Leuser dalam pembangunan rehabilitasi dan rekonstruksi gempa tahun 2013, mengingat gempa tahun 2004 itu kini memasuki priode ulang gempa diatas 10 tahun.
Pemahaman karakteristik tata ruang megathrust gempa Aceh-Simeulue sangat penting dalam pembangunan tata ruang di Propinsi NAD untuk mengurangi bencana, jika bisa dimulai tahun depan, karena hal ini tidak terlihat pada rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh akibat gempa tahun 2004 lalu, belum menunjukkan suatu perencanaan tata ruang yang berketahanan gempa yang tangguh, masih ada ruang atau lahan yang telah diidentifikasi sebagai daerah rawan tsunami masih tetap ditempati dengan membangun prasarana hotel menjorok ke pantai, begitu juga standar fisik infrastruktur jalan dan jembatan masih mudah mengalami efek gempa yaitu efek goncangan berganda, fleixsure dan likuafaksi akibat pembangunan yang tidak sesuai prosedur tetap standar teknis pembangunan jembatan. Masih terlihat beberapa kawasan pantai di Aceh dan Kabupaten di Aceh seperti Simeulue, Pidie dan Bener Meriah belum terbentengkan oleh prasarana bangunan tahan gempa dan sarana pertahanan struktural fisik berupa pemecah gelombang tsunami.
Tidaklah mengherankan terjadi gempa lagi, masih akan ada korban dalam jumlah besar. Siapkah Rakyat Aceh dan Indonesia menghadapi megathrust berikutnya jika perilaku pembangunan tata ruang belum juga mencerminkan karakter tata ruang yang humanis dengan bencana, tidak mencerminkan pelajaran sejarah kebencanaan geologi gempa di masa lalu? Nestapa hanya menunggu waktu. Jadi, gempa Aceh bulan Oktober 2013 merupakan salah satu gempa yang memberikan contoh, bahwa bagaimana pentingnya tata ruang dan konstruksi bangunan tahan gempa dalam mengurangi dampak bahaya, dengan guncangan kekuatan gempa 5,6 SR saja sudah banyak rumah mengalami kehancuran dan sarana jalan terbelah sepanjang lima meter.
Dengan kata lainnya, Rekonstruksi NAD 2004 lalu belum tangguh menghadapi gempa besar berikutnya.
M. Anwar Siregar
Geolog, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer, Tulisan ini sudah dimuat di HARIAN ANALISA MEDAN, 2013

Populer

Laut Indonesia darurat sampah

  LAUT INDONESIA DARURAT SAMPAH Oleh M. Anwar Siregar   Laut Indonesia banyak menyediakan banyak hal, bagi manusia terutama makanan ...