Medan Banjir Lagi

MENGAPA MEDAN BANJIR LAGI?
Oleh: M. Anwar Siregar


Keheranan masyarakat di Medan dan Sumatera Utara semakin membingungkan karena menimbulkan bermacam pertanyaan, kenapa Kota Medan masih mampu menyabet gelar Adipura padahal kota ini termasuk kota ”manyomak”, hampir setiap hari saya menemukan jalan berlubang, sungai-sungai kecil bermunculan jika hujan datang sebentar saja dan bau busuk menyengat hidung karena berserakannya sampah-sampah di sekitar parit yang tersumbat, taman-taman tergenang banyak air dan belum lagi tumpukan sampah menggunung dipersimpangan jalan disekitar pasar-pasar yang sering kali terlambat di angkut.
Terlihat panorama ini hampir di sudut setiap di kota Medan, lewat rute jalan mana saja. Pedagang kaki lima seenaknya menutup saluran air dan belum lagi melewati badan jalan dan serempangan membuka dagangan di ruas jalan yang tertera jelas imbauan tidak boleh berdagang di lokasi tersebut.Beraninya lagi, berdagang tepat dilokasi jalan protokol utama yang banyak dilewati kendaraan.
Aneh bin ajaib, sebuah kalimat terlontar dari para turis yang berkunjung ke kota Medan, entah parameter apa yang digunakan dalam sistim penilaian Adipura untuk sebuah kota besar seperti kota Medan ini, penataan ruang kota Medan sebuah contoh yang tidak bagus atau tidak ideal bagi kota di Sumatera Utara, tetapi bisa juga sebagai contoh pelajaran untuk menata tata ruang bagi kota-kota lainnya dalam mengatasi “manyomak” tersebut, salah satunya bagaimana mengendalikan problematika klasik banjir sebagai penyakit kutukan yang harus dipikir oleh pemko Medan, dan mungkin Medan satu-satunya kota besar di Indonesia yang saya ketahui sebagai kota yang disebut beberapa warganya menjadi kota peraih Adipura yang pura-pura nan rupawan.
Hukum Sebab Akibat
Dalam usianya yang mencapai 746 tahun saat ini, Medan seharus mampu mengatasi tantangan problematika tata ruangnya dengan memanfaatkan potensi yang ada, membatasi penghancuran lahan hijau hanya sebuah izin pembukaan lokasi hunian dan perhotelan. Medan sebenarnya bisa mengurangi debit limpasan air banjir, walau kekurangan lahan untuk lokasi pembukaan taman hijau dalam skala besar.
Membahas masalah lingkungan hidup dan banjir di kota Medan dari prespektif sains geologi lingkungan dan spirit pecinta lingkungan saat dibutuhkan. Karena akhir-akhir ini sering kita melihat bencana alam melanda Indonesia, khususnya di Kota Medan adalah banjir, dan pengurangan daerah rawa-rawa sebagai zona resapan air disebabkan oleh tindakan manusia yang membahayakan diri sendiri dan makhluk lainnya sehingga akan menimbulkan hukum alam yaitu ada sebab dan akibat atau dikenal aksi-reaksi. 
Alam itu atau bumi itu sebenarnya makhluk bernyawa seperti manusia, mereka tidak suka di rusak dengan alasan dalih pembangunan apa saja akan secara pasti memberikan akibat atau reaksi dari alam seperti terjadinya bencana tanah longsor beserta dampak bencana ikutannya.
Dan beberapa kawasan Desa disekitar pinggiran perbatasan kota Medan kini telah mengalami perubahan yang sangat signifikan. Hasil jelajah ke 21 kecamatan yang penulis lakukan itu tampak hilangnya beberapa daerah-daerah rawa sebagai zona resapan air, mulai dari perbatasan Medan dengan Deli Serdang, Medan dengan Binjai. 
Tumbuh pesat pembangunan kawasan hunian dan industri yang menggunakan beton dan nyaris tidak menyisakan  lahan-lahan yang menjadi taman atau sanggahan hijau berubah menjadi jalur ekonomi “coklat” akibat adanya pelebaran jalan lintas antar Propinsi, yang termasuk jalur rawan macet dan menghasilkan kantong-kantong emisi.
Dengan banyaknya kehilangan jalur hijau penyerap emisi maka alam memberikan “hukuman” berupa panas yang menyengat, kekeringan dan kekurangan air, banjir bandang dan penurunan permukaan tanah dan daya resap struktur batuan dasar akan berubah luntur dapat memberikan pukulan telak bagi stabilisasi kekuatan bangunan di sekitarnya, pada akhirnya akan mempercepat laju rambat gelombang sesimik kepermukaan serta dapat menimbulkan efek guncangan berganda dan likuafaksi tanah.
Gambar : Begini lah banjir landa kota besar di Indonesia termasuk Medan, 
(Sumber : Youtube) 
Tanah Kosong Berbasis Biopori
Perubahan peruntukan kawasan hutan dan alih fungsi lahan pertanian menjadi isu yang sangat mendesak menyangkut sumber ketahanan pangan yang semakin terbatas. Dan zona peruntukan lahan berada di kawasan desa yang masih hijau dan idealnya sebagai zona sanggahan hijau bagi pembangunan ekonomi hijau seperti lahan pertanian abadi, terdesak akibat pergerusan pembangunan pemukiman rumah di sekitar perbatasan Medan dan kota sekitarnya.
Banyak langkah pencegahan problematika masalah banjir di kota di Sumatera Utara, dan Indonesia pada umumnya. Yang paling sederhana adalah memperluas dan memperdalam daerah-daerah resapan air sebagai biopori, dengan terlebih dulu lakukan kajian teknis geologis air daerah tersebut. 
Jika diidentifikasi daerah rawan banjir tahunan maka selanjutnya dilakukan perencanaan pembangunan biopori air di tanah lahan kosong dan lokasi tidak terpaku pada satu kawasan tetapi berbeda pada tiap kecamatan untuk menampung air permukaan agar termanfaatkan dengan baik. 
Biopori dapat juga digunakan bagi daerah pemukiman atau perumahan, buat juga sumur resapan dengan jarak antara 100 m di jalur hijau. Namun hal ini belum banyak dilakukan di berbagai kota di Pulau Sumatera khususnya Medan, tata ruangnya belum berketahanan banjir dan tidak berbasis ekologi hijau secara luas.
Hasil pengamatan penulis di beberapa kecamatan yang terlanda banjir, banyak tanah kosong yang tidak terlihat pada jalur padat lalu lintas atau tertutup kawasan pemukiman.
Di tiap kecamatan dapat dimanfaatkan sebagai kawasan tata ruang berbasis geologis air, dengan memanfaatkan posisi jarak Sungai Deli dan Babura untuk menyalurkan air ke sungai tersebut atau dapat dijadikan sebagai lokasi biopori raksasa atau basis kantong berkumpulnya air. 
Penyerapan dibantu oleh berbagai jenis ekologi hijau, sehingga Pemko Medan tidak perlu menunggu pemerintah tetangga (Deli Serdang atau Tanah Karo) untuk memperbaiki tutupan lahan hijau yang mengalami penggundulan.
Pengerukan parit menjelang musim hujan tidak selalu bermanfaat, karena tidak berkelanjutan dan hasil kerukan selalu terlambat dipindahkan serta justrusnya semakin memperparah ruang jalan sehingga menimbulkan kemacetan lalu lintas apalagi di musim hujan.
Berbasis Kantong Parkir Air
Yang paling sederhana lagi adalah memperluas dan memperdalam daerah yang telah diidentifikasi memiliki tanah yang berkemampuan menyerap air lebih cepat yang bisa dipakai sebagai parkir air berupa sungai-sungai berukuran kecil di dalam tanah, ditutup lalu dialirkan ke sekitar sungai besar dengan terlebih dahulu melakukan perbaikan kondisi sungai yang membelah kawasan perkotaan dan pemukiman. 
Selain parkir air, pembuatan kanal atau saluran drainase dengan sistim biopori yang lebih banyak dengan jarak tertentu dengan menyelaraskan sumber-sumber air permukaan, menyelaraskan juga posisi saluran drainase ke suatu titik kantong air. Saluran drainase air harus terdapat sebuah biopori di dalamnya berjarak tertentu agar terserap dan tersaring cepat oleh tanah, menyalurkan ke pusat titik kantong air baik didalam permukaan yaitu CAT (cekungan air tanah) maupun dipermukaan seperti sungai-sungai yang telah diperlebar dengan berbagai ekologi ruang hijau terbuka disekitar sempadan atau DAS.
Dengan memperhatikan peranan lintasan geologis air maka problematika bencana banjir dapat dikendalikan sebagai mitigasi banjir berkelanjutan bagi tata ruang kota Medan sehingga Pemko tidak perlu mengeruk parit busuk, agar tidak berulang kembali banjir.***
Penulis adalah Enviromentalist-Geologist. Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer
Sudah dipublikasi di Harian "ANALISA" Medan 12 Februari 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pembangunan Berbasis Informasi Kerentanan Geologis : Geologi Mitigasi

Membangun Tata Ruang Kota Tahan Bencana : Geologi Mitigasi

Euforia Demokrasi Di Indonesia