13 Nov 2013

Ironi UU Hijau Di Era Kabut Asap


IRONI UU “HIJAU” DI ERA KABUT ASAP
Oleh M. Anwar Siregar
Dalam konteks daya dukung lingkungan, ketersediaan lahan di beberapa pulau besar dalam pengembangan investasi perluasan lahan perkebunan telah mengalami overshoot, yakni terlampauinya kapasitas dan kemampuan ketersediaan lahan sehingga mendorong invasi ke daerah terlarang ke kawasan hutan lindung dan sempadan sungai untuk memenuhi kebutuhan perluasan areal konsesi perkebunan.
Data kajian Kementerian Lingkungan Hidup, mengindikasikan bahwa beberapa Propinsi di Sumatera telah melampaui daya dukung untuk perluasan perkebunan sehingga pemanfaatan ruang lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahan [land capability]. Lahan rawan pada areal longsor, seharusnya tidak dibuka untuk pertanian tanaman pangan tanpa bantuan teknologi secara tepat atau pemanfaatan yang tidak sesuai akibatnya, terjadi kerusakan lahan yang sangat sulit untuk direhabilitasi, efek dominonya adalah bencana banjir, longsor serta krisis pangan seperti yang terjadi dibeberapa daerah di Indonesia.
Gambar 1 Kiri : Penambangan pasir di daerah hutan untuk perluasan perkebunan dan penimbunan badan jalan, dan gambar 2 kanan, bekas penambangan tanah di bukit yang belum direklamasi, keduanya merupakan lokasi yang penambangan yang sama (Dok Foto Penulis, 2013)
DILEMA UU HIJAU
Fenomena berkurangnya fungsi kawasan hutan lindung di Indonesia memang tidak mudah diatasi. Mengingat terdapat hierarki kewenangan maupun hubungan horizontal antar pemerintahan, yang selama ini belum mempunyai sinergi yang kuat untuk memecahkan masalah-masalah di lapangan. Disamping itu juga terdapat sejumlah peraturan perundangan yang belum mendukung terwujudnya sinergi dimaksud, bahkan cenderung implementasinya tidak sinkron satu sama lain
Disharmonisasi UU yang berhubungan tata kelola dengan lingkungan hijau dapat dilihat dari beberapa penafsiran aturan UU dalam beberapa pasal oleh pelaku usaha dan masyarakat antara lain; UU Pertambangan [izin kuasa pertambangan umum], UU Penataan Ruang terhadap pemanfaatan ruang disekitar kawasan hutan [RTH], UU kehutanan terhadap izin pinjam dan pelepasan areal kawasan Hutan Pakai [HP] dan Hutan Lindung [HL] untuk peruntukan lain dan UU Perkebunan terhadap izin usaha perkebunan bagi perusahaan perkebunan dengan ketersediaan luas konsesi dan UU Lingkungan Hidup terhadap sanksi bagi pelaku pencemaran, perusakan dan pembakaran hutan di kawasan RTH yang tidak efektif, belum lagi beberapa peraturan daerah yang masih tumpang tindih dengan kegunaan ruang hijau publik.
Jika disimak beberapa pasal dan ayat setiap UU Penataaan Ruang No 26 Tahun 2007 dan UU No 41 Tahun 1999 tentang kehutanan khususnya dalam hal pemahaman tentang Kawasan Penataan Ruang Wilayah/Daerah, Ruang Terbuka Hijau [RTH] didalam kawasan hutan sangat bertentangan dengan kondisi sangat ini dan menguntungkan bagi penguasaan areal hutan yang lebih luas. Banyak pemanfaatan ruang tidak sesuai implementasi dilapangan untuk kebutuhan aktivitas kehidupan termasuk kedalam pemanfaatan ruang-ruang bagi kebutuhan konservasi alam yang sering berbenturan dengan kebutuhan areal perluasan konsesi pertambangan dan perkebunan dalam suatu kawasan hutan dengan variasi jenis eksploitasi ruangnya dapat dipandang sebagian mendekati nol untuk pemulihan kesediakala, yang berkaitan dengan tujuan pelestarian alam hutan.
Begitu juga dalam pemanfaatan ruang-ruang areal kebutuhan hutan industri untuk budidaya mengalami eksploitasi yang begitu kejam demi perluasan kegiatan pertanian atau sebaliknya untuk perluasan pengembangan kawasan industri serta pengembangan kawasan lahan perkotaan sehingga menimbulkan beban tinggi bagi kebutuhan ruang pemukiman, aktivitas serta mobilitas manusia dengan kawasan hutan sehingga menimbulkan masalah yang rumit karena beralihfungsinya lahan hutan untuk kegiatan-kegiatan pengembangan ekonomi industri dan pertambangan.
Dalam UU pertambangan, banyak izin perusahaan pertambangan di Indonesia dicabut karena melanggar aturan izin perlindungan lingkungan, izin usaha pertambangan [IUP] dicabut karena tidak melaksanakan aturan dan kajian amdal, karena biasanya perusahaan pertambangan tidak mau membuang waktu jika telah mendapatkan izin eksplorasi, yang diartikan sebagai mulainya operasi pertambangan sejak izin diterbitkan dengan melakukan pengeboran di titik-titik eksplorasi secara sepihak tanpa menunggu izin pinjam pakai kawasan HL atau HP dalam kawasan hutan. Selain itu, sedikit sekali perusahaan pertambangan mau melakukan penghijauan kembali atau reboisasi pada lereng hutan dan pengawasan secara ketat terhadap pembuangan limbah.
Hal ini telah menimbulkan ironi, kawasan hutan berubah menjadi kawasan pertambangan, kawasan pertambangan berubah menjadi kawasan pemukiman ilegal dalam suatu kawasan pertambangan yang tidak sesuai perencanaan tata hunian wilayah, mengalami penurunan kualitas daya dukung lingkungan dan luas ruang daerah mengalami penurunan seluas 30 persen hingga 55 persen dari zona peruntukkan daerah hijau.
Dalam kaitan hal tersebut diatas, terjadi tumpang tindih penafsiran dalam UU No. 24 Tahun 1992 menjadi UU No. 26 Tahun 2007 tentang Pengaturan Ruang yang sangat berkaitan dengan keberadaan fungsi hutan dengan berlandaskan pada peraturan dan kebijakan kehutanan seperti UU No. 5 Tahun 1998 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Keanekaragaman Hayati dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Begitu juga Peraturan Pasal 36 UU No 4 Tahun 2009 tentang perizinan pertambangan yang harus dipahami para pengusaha pertambangan dengan aturan izin pinjam pakai kawasan hutan, aturan Wilayah Izin Usaha Pertambangan [WIUP] dalam PP 23 Tahun 2010 Pasal 14 Ayat 2 harus tetap mengikuti aturan yang dikeluarkan UPT kehutanan dan sesuaikan dengan peta Tata Guna Hak Kesepakatan [TGHK].
IRONI KABUT ASAP
Yang lebih ironis lagi adalah koordinasi perizinan perkebunan dan pertambangan di dalam kawasan hutan antar instansi terkait tidak sesuai dengan aturan perundangan sehingga menimbulkan masalah pelik. Terlihat dari UU Pertambangan No. 4 Tahun 2009 tidak menyebutkan koordinasi dengan Kementerian Kehutanan jika calon areal tambang bersentuhan dengan kawasan hutan. Parahnya lagi diperkuat dengan PP No. 23 Tahun 2010 tentang pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara tidak menyebutkan rekomendasi Kementerian Kehutanan dalam penerbitan izin usaha pertambangan. Demikian juga UU Perkebunan No. 18 Tahun 2004 yang hanya mengurus status tanah areal perkebunan [Pasal 9].
Diperparah lagi, Unit Pelaksana Teknis kehutanan di daerah yang rawan kabut asap sering tidak dilibatkan dalam pengurusan izin perkebunan dan pertambangan yang berada di kawasan hutan sehingga memunculkan kisruh dalam pendayagunaan sumber daya alam berdampak pada terkeruknya sumber daya hutan secara illegal dan berkurangnya luas areal hutan. Contoh kasus di Bima, Madina dan beberapa daerah lainnya
Jika menelaah berbagai pasal dan ayat ataupun aturan izin usaha, baik untuk izin usaha pertambangan dan izin usaha perkebunan yang ada dalam beberapa aturan perundangan yang berhubungan dengan daerah hijau, maka inilah sebagian aturan pemerintah yang sangat berjasa mengantarkan negeri ini sebagai raja polutan terbesar di Asia Tenggara. Sebagian besar peraturan perundangan yang ada termasuk peraturan daerah/perda yang berhubungan dengan lingkungan hijau saat ini umumnya bersifat eksploitatif dan tidak koloboratif dengan kondisi permasalahan yang ada.
Sebab, jika dilihat dari faktor ekonomi, semua aturan UU tersebut tidak satupun memberikan keuntungan dalam pemulihan lebih luas bagi daya dukung ekologi akibat tekanan kapitalisme dan liberalisasi yang justrunya memberikan penurunan pendapatan karena produksi tidak berlanjut karena areal pemanfaatan telah mengalami pengrusakan, contoh paling jelas adalah pemanfaatan areal perkebunan dan kehutanan. Apabila terjadi ketidakseimbangan daya dukung ekologis maka akan terjadi kerusakan tata ruang ketersediaan air.
Jika hal ini masih berlanjut ke 10 tahun mendatang, maka akan dikhawatirkan menimbulkan bencana kabut asap tahunan tanpa surut dan berbagai elemen kehidupan dan tata ruang Indonesia akan mengalami dampak yang lebih parah dengan kehilangan luas daratan, cuaca semakin buruk menghantui kehidupan manusia.

M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan, Energi-Geosfer, 
Tulisan ini sudah di Publikasi di HARIAN ANALISA MEDAN, Bulan September 2013

Tata Ruang Botol KNIA : Geologi Mitigasi

TATA RUANG BOTOL, KNIA DIKAMBINGHITAMKAN
Oleh M. Anwar Siregar
Dilihat dari perkembangan kemajuan kota Medan saat ini benar-benar luar biasa, dari sebuah Dusun menjelma menjadi kota Metropolitan terbesar ke tiga di Indonesia, dalam usia 423 tahun Medan ternyata kini menjadi kota banjir tahunan, kota dengan seribu masalah, baik transportasi lalu lintas, infrastruktur utilitas, ekologi hijau, pemukiman fisik dan master plan tata ruang khusus rehabilitasi lahan tidak ada serta pemetaan jaringan hunian akibat eskalasi urbanisasi ke daerah sanggahan bencana.
Tingkat kesemrawutan transportasi semakin memuncak dalam lima tahun terakhir sejak pembangunan lebih terpusat kedalam inti kota , kemudian melingkar ke wilayah pinggiran, pola pembangunan ini tidak terealisasi dengan baik. Kehadiran bandara baru yaitu Kuala Namu International Airport (KNIA) ternyata lambat diantisipasi bagi para perencana pembangunan fisik Pemko Medan terutama bagaimana mengantisipasi kepadatan lalu lintas di kawasan Lapangan Merdeka dan Jalan Bukit Barisan ke perbatasan, bukankah Bandara KNIA itu sudah di siapkan bersatu dengan pembangunan jaringan transportasi lain?
Perlu dipertanyakan kenapa hal itu bisa terjadi? Bukankah visi pembangunan ke depan sudah tergambarkan dari pembangunan terpusat ke dalam, sehingga ada tata ruang tidak seimbang dengan pembangunan dipinggiran. Menyebabkan terbatasnya lahan hijau didalam wilayah kota Medan, akhir dari semua ini dapat Anda lihat sejak tahun 1997 Medan sudah mulai berlangganan kemacetan menuju ke inti kota, begitu juga ketika menuju ke daerah perbatasan kota satelit atau kota sub urban terdekat.
MANAJEMEN TATA RUANG
Faktor prasarana jalan penghubung ke KNIA disebut-sebut sebagai faktor biang keladi dari kemacetan dimana-mana diwilayah Medan seperti terlihat kemacetan hingga saat ini sebenarnya bagian dari keterlambatan antisipasi sejak Kuala Namu mulai dibangun. Kalau mau cari akar permasalahan kemacetan di kota Medan dapat dilihat dari kualitas manajemen perencanaan jalan jembatan atau transportasi, manajemen penataan ruang lingkungan ekologi, manaejemen tata ruang hunian dan pemerintahan, manajemen penataan lingkungan industri serta manajemen rehabilitasi keseimbangan tata ruang terpakai untuk pengembangan sumber-sumber daya kota.
Manajemen perencanaan jalan transportasi dan pembangunan infrastruktur fisik seperti fly over di kawasan inti kota Medan ini paling terlambat dipikirkan dan seharusnya sudah masuk daftar pembangunan sebagai antisipasi kedatangan penumpang dari luar kota sehingga kemacetan di kawasan pusat pemerintahan kota Medan itu dapat diminimalisasi, bukan menghancurkan zona hijau yang kini berubah menjadi kawasan kuliner jika melihat letak posisi geografis Kuala Namu berada di kawasan yang menghadap Selat Malaka dengan prasarana angkutan kereta api yang terdapat di kawasan inti Medan, dan kita sudah mengetahui bahwa di kawasan itu termasuk kawasan paling tersibuk di inti kota Medan.
Sepanjang tengah badan jalan protokol utama di wilayah Medan seharusnya sudah dibangun jalur fly over seperti jembatan fly over Pasupati Bandung dikawasan jalan Balai Kota, Iman Bonjol, Raden Saleh ataupun Putri Hijau ke Gabsut, yang memanjang dan melingkar serta menghubungkan titik-titik kemacetan dengan beberapa pintu masuk keluar ke stasiun besar kereta api Medan maupun ke kawasan Belawan serta jalan tol Tembung, tidak mengorbankan lahan milik masyarakat hanya untuk pelebaran jalan. Wilayah koridor sisi badan jalan dapat juga berguna untuk keselamatan pejalan kaki dan pedestrian lainnya,
Manejemen penataan ruang lingkungan hijau salah satu sumber kemacetan di Medan, hujan satu jam saja dapat “membangun model sungai terbaru” di dalam kawasan inti kota. Ini salah satu indikator kerentanan geologis lokal yang dapat membahayakan situasi transportasi menuju ke stasiun atau halte terdekat ke bandara KNIA, terlihat kurangnya pemahaman mitigasi yang digunakan dalam membangun antar ruang hijau dengan bangunan fisik masyarakat dan pemerintahan serta swasta. Persentase kawasan terbangun harus ada ruang hijau diantara beberapa bangunan fisik dengan perbandingan 1 hektar lahan RTH terpisah diantara 10-15 bangunan fisik terbangun, selain itu kepadatan bangunan harus terdapat ruang biopori, jarak bangunan konstruksi dengan jarak sempadan sungai harus diberi ruang maksimal 12 meter. Fungsi daerah ini sebagai media keseimbangan daerah air dan dapat juga dimanfaat dalam zona terbatas untuk jaringan utilitas bawah tanah serta jaringan PDAM.
Model tata ruang ekologi zaman Belanda kini tidak ada lagi di kawasan Petisah, Kesawan dan Sambu, ketika itu dibuat selalu ada kawasan hijau yang menganut sistim keseimbangan antara luas bangunan yang memisahkan lokasi pemerintahan, lokasi hunian, kuliner dan parkir dengan luas kawasan hijau serta pedestrian sehingga tidak akan ditemukan lahan saling tumpang tindih. Yang nampak sekarang disekitar stasiun besar kereta api itu sudah semakin berkurang dan Medan telah diidentifikasi hanya memiliki daerah resapan hijau sebanyak 12 persen, jauh dari yang diamanahkan UU seluas 30 persen. Sehingga berdampak bencana banjir musiman, memperparah situasi transportasi antar ruang dalam kota.
KOORDINASI BOTOL
Perlu koordinasi antar Pemda disekitar wilayah tempat keberadaan bandar KNIA sangat penting, bertujuan untuk mengendalikan kemacetan di perbatasan kota terutama efek peningkatan kapasitas jasa transportasi dalam suatu tata ruang Mebidang, memerlukan kajian terhadap dampak pembangunan jalan dan infrastruktur yang menyertainya yaitu sistim kesatuan drainase dan pola banjir yang melibatkan pergeseran dan perusakan atau okupasi ruang terbuka hijau di segala lini yang berhubungan dengan lingkungan air, ruang parkir dan median jalan yang berhubungan dengan jaringan utilitas yang masih tumpang tindih
Koordinasi tata ruang transportasi sangat penting dalam memetakan persoalan kesemrawutan infrstruktur jalan dengan kondisi pemukiman, drainase, dan sistim perparkiran tanpa harus menghancurkan ekologi hijau. Dengan memetakan desain pola pergerakan kawasan suatu geografis yang membentuk suatu kondisi hunian maka pembuatan master plan akan lebih mudah sehingga dinamika transportasi akan ditemukan solusi yang tepat bagi proyek besar berikutnya tanpa harus mencari kambing hitam akibat terjadinya kemacetan seperti sekarang.
Kemacetan mulai nampak di inti kota Medan, menerus ke kawasan selatan Medan terutama sebelas titik ruang kemacetan yang penulis catat antara lain dikawasan PDAM menerus dan melewati Rumah Sakit ke Simpang Raya hingga Makam Pahlawan, selanjutnya ke Simpang Limun menerus ke Sp. Samsat dan Sp. Marindal menerus ke fly over Amplas. Lalu pergerakan lambat terjadi lagi di kawasan perbatasan mulai dari Poldasu jika terjadi banjir, menerus ke Simpang Ujung Serdang-wilayah Deli Serdang lalu ke gerbang tol Tamora dan Simpang kayu besar menerus ke Simpang Kota Tamora melewati jembatan Belumai.
Kemacetan terjadi juga dari arah Sp. Pos Padang Bulan ke Kampung Baru-Deli Tua terus ke Sp Marindal untuk ke Tamora, semua pergerakan tersebut menuju ke satu titik dan mengingatkan penulis pada bentuk leher botol, menyumbat, sempit dan tidak ada ruang alternatif, bukan berpencar dengan beberapa ruas terbuka menuju ke KNIA.
Jadi, ketika KNIA beroperasi terjadi kemacetan dan diperparah lagi oleh tata ruang wilayah di kota Sub Urban di perbatasan kota Medan, pemerintahan di kota tersebut tidak memiliki pola tata ruang yang mengantisipasi perkembangan kemajuan fisik transportasi kota Medan terutama dalam pembangunan fly over dan jalan lingkar dalam maupun lingkar luar yang masih terbatas dan dapat mengantisipasi masuk kendaraan ke dalam kota Medan serta menuju ke KNIA. Jadi, janganlah mencari kambinghitam dengan membidik KNIA, yang diperlukan sangat ini adalah pembangunan beberapa fly over di perbatasan Medan dengan kota satelitnya.
 
M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer, Tulisan ini sudah di publikasi di HARIAN ANALISA MEDAN Bulan Oktober 2013

Jawaban Problematika Byar Pet

JAWABAN PROBLEMATIKA ENERGI BYAR PETT
Oleh M. Anwar Siregar
Energi di Indonesia merupakan kebutuhan primer yang dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat dan sangat pelik dalam pengaturan serta penggunaannya dalam pembangunan di Indonesia, berbagai pengaturan yang telah dilakukan sering menimbulkan dilematis, karena di satu sisi pemerintah ingin melakukan penghematan dan tunduk pada intervensi asing dan lain waktu pemerintah juga berkeinginan menghapus subsidi akibat tekanan liberalisasi sehingga menimbulkan gejolak di tengah masyarakat.
Bermuara pada satu persoalan yang sebenarnya tidak akan terjadi jika Pemerintah dari dulu memanfaatkan berbagai sumber daya energi yang tersedia di alam bumi Indonesia, dapat memberikan manfaat besar bagi pembangunan sumber daya manusia, peningkatan ekonomi devisa dan infrastruktur fisik serta jaringan energi yaitu memassalkan energi baru terbarukan [EBT].
SUBSIDI BBM
Energi merupakan salah satu tulang punggung utama bagi perkembangan ekonomi peradaban global, juga sebagai faktor utama kemajuan pembangunan bangsa yang membutuhkan ketersediaan dan ketahanan energi. Hal ini mendorong setiap Negara selalu mengupayakan pasokan energi harus terus meningkat dan stabil, hemat dan efisien. Namun yang terjadi di Indonesia kebalikkan, menghasilkan definisif, dan boros akibat peningkatan konsumsi BBM di tanah air serta penimbunan dan penyeludupan keluar negeri berdampak pada byar pett tiap hari, melemahkan daya saing bangsa ditingkat global, berakhir dengan hilangnya identitas kedaulatan atas penguasaan sumber-sumber daya energi sebagai jiwa pembangunan.
Gambaran tersebut dapat dilihat dari kemampuan Indonesia memproduksi minyak sebesar 345 juta barel, mengekspor minyak mentah sebesar 130 juta barel, mengimpor minyak mentah sebesar 103 juta barel dan Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar 124 juta barel pada tahun 2010 (Sumber ESDM 2011) dan mengkonsumsi 423 barel. Terdapat defisit sebesar 97 juta barel per tahun sehingga mendorong pemerintah Indonesia melakukan impor minyak mentah dan impor produk BBM yang diberikan pemerintah kepada Pertamina dalam bentuk aliran uang yang banyak kelemahannya, diantaranya subsidi BBM tidak tepat menjangkau kelompok masyarakat miskin di daerah pendalaman terpencil dan umumnya di kota besar yang mendapat subsidi sehingga menimbulkan ketidakadilan. Selain itu, mendorong Pertamina lebih tidak efisien dalam menyediakan BBM di berbagai daerah di tanah air.
Lebih baik pemerintah tidak lagi melakukan pembatasan tetapi mempersiapkan alternatif yang lebih baik dan membumikan secara tegas yaitu pertama, menghapus saja liberalisasi migas sebagai jalan terbaik untuk meningkatkan daya saing industri dalam negeri agar tidak membebani APBN tiap tahun. Hal ini dilakukan karena besarnya kebutuhan industri akan ketersediaan bahan bakar. Sebab, berdasarkan beberapa literatur yang ada yang diperoleh dari Pertamina untuk industri seperti PLN, maka kebutuhan BBM mencapai 2,3 juta kilo liter [kl] per tahunnya dari kebutuhan yang tersedia hanya mencapai 2.1 juta kl. Sedangkan ditingkat industri kebutuhan BBM yang diberikan mencapai 2 juta kl per tahun, dan telah melampaui kebutuhan yang diinginkan mencapai 2.5 juta kl.
Kedua, alternatif lain untuk pengurangan ketergantungan subsidi BBM secara bertahap antara lain dapat diupayakan memberikan kepastian bagi pelaku ekonomi yang bergerak di sektor energi dengan memberikan rangsangan insentif ekonomi untuk pengembangan energi baru terbarukan dalam lima tahun untuk jangka pendek, serta fit atau feed in tariff bagi kontraktor energi dalam jangka 20 tahun operasi khusus bagi daerah tersulit dari jaringan PLN.
DIVERIFIKASI EBT
BBM bersubsidi telah lama merugikan perekonomian Indonesia, sebenarnya dapat dihilangkan atau disembuhkan melalui berbagai upaya pendekatan pengurangan subsidi BBM, selain tersebut diatas yaitu diverifikasi energi, melakukan konservasi energi, efisiensi sistim infrastruktur penyediaan BBM serta menguranginya lamanya kebijakan harga energi nasional.
Cadangan minyak bumi Indonesia terus menurun, pada tahun 1974 sebesar 15.000 metrik barrel (MB), pada tahun 2000 sekitar 5.123 MB, dan tahun 2004 menjadi sekitar 4.301 MB, sehingga ketersediaan BBM akan menjadi sangat langkah dan perlu pengembangan diverifikasi energi harus digalakkan lebih luas untuk segala sektor kehidupan agar dapat mengendalikan bencana energi di masa mendatang, peningkatan diverifikasi energi merupakan salah satu jawaban yang paling tepat untuk mengatasi gejolak subsidi BBM maupun byar pett yang sering dilakukan PLN dalam kurun dua bulan terakhir ini.
Sebabnya, Indonesia memiliki potensi cadangan energi hijau yang merupakan syarat energi baru terbarukan yang sangat besar, yaitu cadangan panas bumi, Jawaban untuk kelangkahan BBM dan byar pett antara lain, pertama kemungkinan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi dengan input produksi sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui dengan memperhatikan kemampuan substitusi input produksi yang lain yaitu diverifikasi energi baru terbarukan atau EBT serta adanya perubahan teknologi yaitu teknologi inovasi. Kedua, hasil penelitian studi Resources for the Future (RFF), menyebutkan stok yang tersedia berkurang dengan sangat cepat akibat konsumsi yang terus meningkat, sehingga menimbulkan kelangkahan dipasaran. Penyebabnya, dampak dari beragamnya jenis energi yang dipakai, mendorong terjadi efek monopoli. Itulah yang sering terlihat di Indonesia, byar pett dengan berbagai alasan.
Diverifikasi energi akan memberikan jawaban yang paling kontekstual untuk mengurangi ketergantungan dan kelangkahan energi dipasaran yang bersumber dari energi fosil. Sebab, akan memberikan pemulihan atas sumber-sumber daya yang tidak dapat diperbaharui untuk meningkatkan kapasitas cadangan minyak Indonesia terus menurun, serta memberikan berbagai pilihan energi bagi kalangan industri produktif sekaligus meredam byar pett dalam lima tahun terakhir ini.
Diverifikasi energi akan membentuk ketangguhan dan ketahanan energi dan pangan, membentuk kemandirian energi tiap desa-desa di Indonesia karena semua desa di Indonesia memiliki jenis-jenis energi tersendiri sebagai basis untuk membangun kekuatan sumber daya yang berkualitas.
Diverifikasi energi dapat diberikan melalui pengembangan sumber-sumber energi baru seperti bioethanol, biodiesel, panas bumi, mikrohidro, biomassa, tenaga surya, tenaga angin, limbah, nuklir, gelombang air, air permukaan dan lain lain. Dan menyentuh segala aspek kehidupan sosial ekonomi dan lingkungan serta teknologi.
Gambar : Panas bumi salah satu jawaban pyar pet bagi sumber listrik yang belum dimanfaatkan secara optimal penggunaannya untuk kesejahteraan rakyat. Lokasi Foto : Panas bumi Sibayak-Sumatera Utara (Sumber : Dokumen Foto Penulis, 2011)
JAWABAN UU
Langkah diverifikasi untuk investasi EBT antara lain : Pertama. Jangan persulit izin-izin EBT, pameo di Indonesia jika mudah kenapa dipersulit, langkah ini membuat banyak investor jadi ketakutan, bukan tidak ada tertarik menanam modal di bidang energi. Penyakit ini telah memberikan pukulan telak dengan terjadi skandal suap SKK migas, pemerintah harus menciptakan iklim bisnis sehat untuk mencegah bahaya ketergantungan BBM, maka patuhi aturan UU sebagai SOP yang mumpuni.
Kedua, tingkatkan energi bauran diatas 50 persen dari total pasokan energi nasional, kalau perlu gunakan UU konservasi EBT lebih keras lagi seperti yang dilakukan pemerintah China dan Brasil. Ketiga, merivisi UU migas dan UU mineral dan batubara (minerba), kembali ke akar bangsa untuk mengelola kekuatan energi itu agar di kuasai negara sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945 dan UU No. 30 tahun 2007 Tentang Energi yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk memperoleh energi dan merupakan kewajiban pemerintah untuk melakukan pengelolaan sehingga ketersediaan energi dapat terjamin.Yang terjadi sekarang byar pett setiap hari.
M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan, Energi-Geosfer, Tulisan ini sudah dipublikasi di HARIAN ANALISA MEDAN

9 Okt 2013

Mencegah Bencana Energi :Geologi Recources

MENCEGAH BENCANA ENERGI 
Oleh M. Anwar Siregar
Harga minyak bumi dunia masih tinggi hingga akhir tahun 2012, menembus  95 dollar US/barel, yang telah memberikan dampak besar bagi perekonomian Indonesia . Dampak ini telah kita lihat dengan meningkatnya antrian panjang di beberapa SPBU, bagian dari kelemahan kebijakan energi pemerintah yang belum juga mau membangun infrastruktur energi yang lebih baik dari yang ada sekarang.
Infrastruktur energi dan diverifikasi serta konservasi energi baru terbarukan merupakan titik lemah bagian dari penyediaan sumber-sumber energi baru bagi kemaslahatan umat yang menjadi sorotan bagi keberlanjutan pembangunan sektor ekonomi energi dan merupakan bagian dari bom waktu jika tidak diupayakan pembangunan infrastruktur energi yang lebih baik.
EFEK BENCANA
Bayang-bayang kehancuran pondasi energi mulai terlihat kentara dari sejak orde reformasi dengan puncaknya adalah dengan lahirnya UU Migas tahun 2001 yang merupakan puncak awal kehancuran pondasi energi Indonesia, dengan telah terjadinya penguasaan sumber-sumber daya alam energi, pertambangan migas dan kehutanan serta kelautan di Indonesia baik di hulu maupun di hilir oleh pihak asing.
Kebijakan pemerintah yang patuh pada intervensi asing itu telah menimbulkan berbagai persoalan ekonomi di dalam negeri, antara lain gonjang-ganjing politik yang berdampak luas pada kehidupan riil rakyat Indonesia, karena kondisi ini memperparah kondisi ekonomi maupun yang lainnya, salah satunya adalah privatisasi BUMN, lepasnya berbagai BUMN ke pihak asing akibat dampak tindakan dari salah satu point LoI IMF yang berisikan 1.243 tindakan yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah di dalam berbagai bidang maupun tekanan Negara pendonor keuangan seperti Bank Dunia, efek domino liberalisasi dapat dirasakan oleh peningkatan kenaikkan penambahan utang luar negeri dalam jumlah besar mencapai 35 miliar dollar AS hingga ke tahun 2009, utang Negara terus bertambah tanpa surut waktu hingga mencapai 1.000 triliun rupiah akhir tahun 2010, tidak secara langsung Indonesia terjajah secara fisik.
Dalam periode penghancuran pondasi ekonomi energi akibat tekanan liberalisasi migas dari tahun 2001 hingga ke tahun 2007, maka sejak itu Indonesia harus membayar utang Rp 150-170 triliun yang difungsikan untuk pembangkrutan keuangan ekonomi sehingga pembangunan infrastruktur fisik dan SDM mengalami kendala yang sangat signifikan dengan lemahnya kemampuan pemerintah dalam membangun jaringan infrastruktur energi, kemiskinan yang semakin tinggi berdampak pada kualitas sumber daya manusia yang semakin terpinggirkan dan kualitas daya saing rendah di dunia kerja global.
Kenaikkan harga BBM-TDL serta efek dari kenaikkan tersebut merupakan bencana energi tahap ke dua mulai terasa sejak tahun 2008 ke lima tahun depan ini setelah penguasaan saham-saham BUMN, sumber daya migas, air dan hutan yang telah mencapai 80 persen oleh pihak asing dengan munculnya peningkatan kemiskinan, pengangguran, penurunan kualitas infrastruktur fisik dan utang Negara telah menembus diatas 1.100 triliun rupiah [data tahun 2012].
Gejala malapetaka ini akan terus berlanjut dengan hilangnya kemampuan negeri ini dalam “merecovery” sumber-sumber energi terbarukan serta dalam membangun jaringan infrastruktur akibat dampak liberalisasi penguasaan sumber daya alam oleh invasi asing menguasai konsesi hingga mencapai 80 persen, kehancuran lingkungan sangat berbanding terbalik dari keuntungan yang di dapat oleh Pemerintah dan Rakyat Indonesia. Bukti ini dapat dilihat di Papua, Riau maupun di Aceh dan Kaltara.
Jaringan infrstruktur energi di Indonesia sangat kontras dan tidak menunjukkan identitas sebagai Negara yang memiliki potensi energi yang berlimpah, perbandingan yang tidak seimbang antara lain : 1] jumlah sebaran potensi energi dengan panjang jaringan penyaluran atau pipa ke pusat-pusat distribusi energi migas ke lokasi industri. 2]. Gas bumi dan panas bumi merupakan bahan bakar energi yang terbesar cadangannya dibanding energi dari bahan bakar fosil lainnya seperti batubara dan minyak bumi masih tertinggal dalam pembangunan jaringan infrastruktur energi.
3]. Selain itu, hilangnya kemampuan Negara sebagai pengekspor migas dunia akibat dampak tahapan pertama sejak mulai tahun 2007 dengan terjadinya penurunan produksi migas, puncaknya memasuki tahun 2011 Pertamina terus terdesak untuk melakukan kebijakan impor migas akibat over kuota. Over kuato yang di lakukan pemerintah melalui Pertamina dengan cara mencicil belum juga mampu mengurangi kekurangan pasokan BBM sebagai sumber energi utama bagi kelangsungan industri, tranportasi dan rumah tangga. Penyebabnya, sering mengalami kebocoran akibat lemahnya pengawasan lapangan. Mendorong Indonesia sebagai Negara pengimpor migas terbesar di Asia Tenggara sejak tahun 2008.
MENCEGAH BENCANA ENERGI
Dari gambaran tersebut, sudah saatnya Indonesia mengubah sistim pemakaian energi konvensional ke energi baru terbarukan jika melihat kondisi penurunan produksi minyak dan gas bumi dan saat ini telah mengubah posisi Indonesia dari Negara pengekspor migas menjadi negara pengimpor migas, bencana energi dapat terjadi jika cadangan migas tidak memenuhi kebutuhan energi masyarakat terutama yang paling besar dalam pemakaiannya sehari-hari adalah industri transportasi dan industri produktif.
Kenaikkan harga minyak bumi yang tinggi dapat juga menimbulkan ketegangan karena menimbulkan anarkis akibat pengurangan jam kerja dengan kata lain pemecatan hubungan kerja sebagai akibat dari kian sulitnya stok bahan bakar minyak dan gas dapat juga mendorong sebuah bencana akibat kelangkaan energi gas, semata disebabkan oleh pemenuhan kebutuhan ekonomi. Pasokan di sebuah Negara selalu dalam stabil ataupun ada peningkatan, sedangkan di Indonesia kebalikan, yang ada pengurangan, penyeludupan, dan penimbunan sehingga melambungkan harga dan berefek kepada kepentingan masyarakat luas.
Terlepas dari hal tersebut, kini harus menjadi pemikiran pemerintah dalam mengatasi gejala-gejala kemunduran pasokan energi pasca kenaikkan BBM yang dapat menyebabkan bencana krisis energi dan berdampak pada perkembangan dan kemajuan ekonomi pembangunan jika tidak diupayakan pencegahan, beberapa harapan yang dapat mengurangi ketergantungan pada energi konvensional yang menjadi tugas kerja pemerintah sebagai berikut :
Pertama, mekanisme pengembangan energi alternatif harus dimassalkan sekarang dengan memberikan intensif kemudahan pajak dan perizinan bagi investor, masa pembayaran pajak pengembangan energi baru bagi investor dapat dikutip setelah berhasil memasarkan produksi. Hal ini penting, agar ada kenyamanan dan kepastian berusaha bagi iklim investasi, sehingga pungutan liar dapat dicegah.
Kedua, melakukan efisiensi kebijakan distribusi BBM dengan biaya produksi, aspek pemakaian, ketersediaan dan nilai komersial sesuai kondisi geografis suatu daerah di Indonesia . agar dapat menghasilkan nilai input atas produksi. Karena di masa sekarang distribusi BBM berasal dari kran impor minyak maka pemerintah khususnya Pertamina wajib memperketat pengawasan dari dalam tubuh maupun di luar lapangan.
Ketiga, pengawasan pemakaian konsumsi dengan ketersediaan [stock], yaitu pengawasan secara melekat mulai dari pengendalian harga ditingkat eceran, bertujuan untuk menekan penyeludupan minyak ke negara lain walau harga telah dinaikkan tetapi untuk ukuran antar Negara Asia Tenggara masih dianggap rendah, yang dapat berakibat pengurangan pasokan minyak di dalam negeri. Pengawasan harus dilakukan secara kontinu bukan di saat kondisi normal, terutama didaerah perbatasan dengan membentuk satuan tugas pengawasan penertiban dan pengendalian ataupun pusat pengawasan pemberantasan illegal migas yang bertugas secara terus menerus.
Keempat, menyiapkan dan membentuk Undang-undang Konservasi Energi untuk menggalakkan pemakaian energi ramah lingkungan, hemat energi untuk kehidupan dan kesejahteraan, menyusun landasan teknik konservasi di berbagai daerah, efisiensi pemakaian energi yang lebih besar dengan memberikan insentif yang berujung pada peningkatan bobot peran pemakaian energi terhadap perekonomian nasional.
Point terakhir inilah yang perlu diperhatikan pemerintah karena gaungnya belum terlalu bergema dan penolakkan kenaikkan harga BBM-bahan bakar minyak akan terus selalu hadir dengan demo yang besar-besaran dan kadang berakhir anarkis.
 
M. Anwar Siregar
Geolog, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer, Tulisan ini Sudah di Publikasi pada HARIAN WASPADA, MEDAN, BuLAN Juni 2013

Investasi Lahan Terabaikan : Geologi Mitigasi

PEMULIHAN LAHAN, INVESTASI TERABAIKAN
Oleh M. Anwar Siregar
Pentingnya dilakukan kajian lahan yang detail dan memiliki nilai investasi ekonomi bagi perencanaan tata ruang lahan untuk menghindari risiko kerugian yang ditimbulkan akibat bencana alam. Bahwa memahami keadaan lingkungan adalah faktor utama yang menentukan kerentanan terhadap bahaya alam dan pembangunan di masa mendatang. Kerusakan lingkungan akibat laju pembangunan fisik telah diakui sebagai salah satu dari faktor-faktor kunci yang berperan meningkatnya korban jiwa manusia, kerugian harta benda dan ekonomi yang ditimbulkan oleh bahaya dan merupakan kajian georisk.
TERBATASNYA LAND RECOVERY
Globalisasi industri telah membawa perkembangan sosial ekonomi maupun fisik pada tata ruang perkotaan dan antar wilayah di berbagai kota di Indonesia, konsumsi pertumbuhan kebutuhan primer dan sekunder telah membawa berbagai dampak bencana. Hal ini tercermin antara lain dengan semakin meningkatnya permintaan lahan untuk kawasan industri dan pemukiman-pemukiman baru, serta pembukaan areal perkebunan baru sebagai konsekuensi dari laju peningkatan penanaman modal berbagai usaha dan jasa, yang suatu kelak menimbulkan ironisasi bencana yang kini melanda berbagai masyarakat dan tata ruang kota di Indonesia.
Kajian dan pengelolaan kerentanan fisik bencana harus dijadikan PR kota-kota di Sumut dan Indonesia, bahwa pengelolaan tata ruang lahan daerah yang telah mengalami bencana alam harus diupayakan juga zonasi lahan rehabilitasi sebagai keberlanjutan tata ruang, mengingat tata ruang yang ada lebih difokuskan pada pengadaan master plan tata ruang baru tanpa mempersiapkan agunan tata ruang rehabilitasi, mengingat terbatasnya zonasi lahan yang ada di tiap kota di Sumut maka perlu mempertimbangkan aspek bahaya dari berbagai investasi proyek besar, perlu dilakukan kajian seleksi prioritas pembangunan dalam tata ruang, perlu dilakukan survey investigation design komprehensif yang di lengkapi dengan detail engineering design tata guna lahan yang terbatas yang sesuai dengan kondisi geologi bawah permukaan dan geologi permukaan setempat secara terukur serta menata kaji ulang tata ruang kumuh di sekitar dan bantaran DAS sebagai investasi land recovery terbatas.
KAJIAN LAHAN
Dari terbatasnya lahan untuk pemulihan akibat tata ruang yang diprioritaskan mengalami kehancuran bencana maka perlu dilakukan kajian sistimatika tata ruang untuk aktivitas industri dan pemukiman manusia serta tata ruang untuk kawasan lahan pertanian abadi bagi penopang kebutuhan dan ketahanan pangan bagi manusia, disingkapi secara serius, mengingat semakin terbatasnya lahan yang ada dan di faktor kondisikan lagi oleh keadaan tingkat kerawanan dan kerentanan tatanan geologi daerah di Indonesia yang erat kaitannya dalam pemanfaatan dan perencanaan master plan tata ruang wilayah secara detail.
Mengkaji tingkat kerentanan dan kerawanan infrastruktur fisik dalam lingkungan tata guna lahan dari risiko bencana sangat penting, karena dengan mengetahui tingkat kerentanan infrastruktur suatu sarana kawasan tertentu dalam tata ruang lahan akan dapat memberikan gambaran perkiraan tingkat kerusakan terhadap hasil pembangunan fisik bila ada faktor berbahaya tertentu.
Sebagai contoh, penggundulan hutan di sekitar bantaran dan daerah aliran sungai oleh proses pelebaran pembangunan lantai dan lahan ruang parkir suatu pembangunan fisik akan mengakibatkan adanya pengendapan di dasar sungai, sehingga menyebabkan bahaya kekeringan dan banjir yang lebih parah. Pengelolaan reklamasi sungai yang tidak baik dan pengurugan tebing sungai untuk pelebaran dan penutupan ekologi hutan di bantaran sungai merupakan kunci “penyakit bahaya bencana banjir” tahunan. Studi kasus di Jakarta dapat dilihat pada tata ruang pantai utara dan kawasan Ciliwung yang membelah Jakarta. Gambaran serupa ada juga di Medan, dapat dilihat di lokasi banjir daerah elit perumahan Gubernur menerus ke kawasan Medan Maimun yang di belah oleh Sungai Deli dan Sungai Kwala.
Bencana tersebut bisa ditimbul oleh berbagai proyek-proyek besar dan setiap bantaran sungai telah kehilangan akar hijau, dan hal ini merupakan bagian dari proses pengkajian lingkungan dan perlu diperhitungkan lagi bagi ruang lahan hijau yang masih “perawan” dalam perancangan dan perencanaan tata ruang di masa mendatang. Mengukur berbagai manfaat-manfaat pengurangan risiko dalam pemberian izin kelayakan fisik proyek yang stabilitas tanahnya telah diidentifikasi rentan bencana untuk mendukung manajemen lingkungan yang lebih baik.
Bantaran DAS dan sekitar areal pemukiman ke zona ekologi tata ruang air atau daerah tangkapan air dijadikan zona pemulihan lahan, zona ekologi hijau terbuka, zona rehabilitasi sebagai agunan tata guna lahan di masa depan, sebagai cadangan multifungsi dan berdaya guna dalam mengatasi perubahan dinamika pertumbuhan dan laju eksponsional penduduk dan industri dalam suatu kota.
RECOVERY INVESTASI
Rehabilitasi lahan di Indonesia sampai sekarang belum termasuk bagian terpenting dalam pembangunan dan pemetaan tata ruang wilayah kota, yang lebih difokuskan pada inti dan pemanfaatan tata ruang fisik, sehingga rehabilitasi ruang masih terabaikan.
Perlu dilakukan langkah-langkah pengendalian keterbatasan tata ruang yang telah mengalami dampak bencana sebagai rujukan untuk mendukung pemulihan tata guna lahan yang telah mengalami penghancuran akibat laju pembangunan dan bencana alam dalam ekologi ruang terbuka hijau, yang akan mengukur kemampuan lingkungan dalam mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, khususnya dalam mendukung kapasitas pengadaan tata guna lahan dimasa depan oleh arus pembangunan agar tidak berdampak terhadap penurunan fungsi lingkungan itu sendiri, baik dalam bentuk kerusakan maupun pencemaran, maka rehabilitasi lahan perlu disusun berdasarkan pemetaan zonasi yang rinci lalu dibuat dalam peraturan zonasi yang wajib ditaati sebagai pengendalian kerusakan lingkungan yang kebih parah.
Pemetaan investasi land recovery dan penyusunan peraturan zonasi didasarkan pada rencana tata ruang harus berkorelasi dengan kondisi fisik yang ada. Tujuan akhir dari pemulihan tata guna lahan adalah 1, untuk menghindari kerusakan lingkungan dalam tata ruang yang telah ada dan memberikan pemulihan bagi tata guna lahan yang telah mengalami kehancuran bencana untuk mencapai kesehatan, keseimbangan dan perlindungan kualitas lokal sebagai investasi masa depan.
Kedua, untuk mengendalikan pemanfaatan lahan hijau secara berlebihan agar tidak mengganggu zona hijau, kasus kejadian bencana kabut asap adalah salah satu penyebab berlebihan dalam mengejar keuntungan bisnis sehingga konsesi yang diberikan diabaikan, dampak yang ditimbulkan sudah jelas, merusak properti yang ada, mengganggu laju pertumbuhan ekonomi, terjadinya degradasi daya dukung lingkungan, tidak adanya lahan untuk zona air berkelanjutan.
Ketiga, pemulihan lahan juga dapat fungsikan untuk memelihara dan memantapkan kondisi lingkungan sebagai upaya pelestarian kualitas yang ada sehingga dapat memberikan sumbangsih untuk pemeliharaan properti sebagai investasi jangka panjang, menghindarkan tumpang tindih penggunaan lahan untuk sarana fisik ringan dan berat dalam mencegah bahaya dan ancaman bencana. Keempat, pemulihan lahan juga sabagai berfungsi sebagai cadangan tata guna lahan bagi kebutuhan manusia untuk keberlanjutan dan ketahahanan pangan, keseimbangan air bersih dan kebutuhan publik lainnya.
Membangun suatu kawasan dengan bangunan industri yang ada harus tersedia pula lahan yang kosong sebagai zona pembeda, fungsinya harus ada zona keseimbangan untuk menjaga kota dari ancaman kekeringan, banjir dan zona sanggahan bencana yang luas arealnya harus seimbang dengan luas penggunaan lahan yang ada atau yang difungsikan sebagai tata ruang aktivitas publik.
Membangun suatu kawasan investasi untuk aktivitas pelayanan masyarakat umum dengan gedung kantor pemerintahan harus dibangun secara terpisah dengan menyediakan dan harus ditemukan ada ruang terbuka hijau sesuai luas areal peruntukan kegiatan umum dan pemerintahan, sehingga ditemukan keselarasan pemulihan kegiatan alam.
M. Anwar Siregar
Geolog, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer. Tulisan ini sudah di Publikasi di HARIAN ANALISA MEDAN, Bulan Agustus 2013

Building Code Aceh-China :Geologi Mitigasi

PEMBELAJARAN BUILDING CODE GEMPA ACEH-CHINA
Oleh : M. Anwar Siregar
               
Efek penjalaran seismik dari gerak lempeng bumi terus berdenyut untuk mencari keseimbangan maka akan ada pijakan batuan bergeser dengan terjadi lagi bencana gempa kembar di wilayah Tiongkok barat laut hari senin 22 Juli 2013, gempa berkekuatan 6.6 SR dan 5.6 SR dengan kedalaman yang sangat dangkal, semuanya di bawah 11 kilometer [versi USGS], sehingga bangunan diatas mudah mengalami distabilitas pondasi dan pilar konstruksi mengalami keretakan kekuatan, dan telah menewaskan lebih 73 orang dan melukai 600 orang lainnya [dari berbagai sumber].
GEMPA ACEH-CHINA
Gempa kuat yang terjadi di Aceh Tengah menjelang ramadhan 03 Juli akibat pergeseran Sesar Sumatera pada segmen Aceh-Tripa yang membelah daratan tinggi Aceh bagian dari pergerakan Lempeng Eurasia sekitar 10-27 mm/tahun, bila diasumsikan bahwa Sesar Sumatera yang memiliki potensi gempa adalah 15 km, maka akan bisa dihitung kekuatan gempa untuk akumulasi energi 100 tahun dan 200 tahun dengan anggapan zona kunciannya mencapai 100 persen. 

 Gambar : Sisa-sisa jalan menuju Calang, Aceh Barat yang menyusuri tebing di tepi pantai. Perlu rekonstruksi building code dan pemetaan daerah rawan tsunami untuk pembangunan infrastruktur jalan berbasis building code di Aceh (Sumber gambar : Foto: SR. Wittiri, Geomagz, edisi bulan Desember 2011)
Dari beberapa literatur, menyebutkan sejak dari tahun 1892-2013, telah terjadi 26 kali gempa darat dengan skala 6 Magnitudo sepanjang Sesar Sumatera dan 8 diantaranya pernah berlangsung di daratan Gayo Lues. Memberikan catatan peringatan bahwa di zona tersebut masih akan terjadi pengumpulan energi gempa yang perlu diwaspadai karena ada dua faktor jenis gempa terbaru akibat efek dari gempa besar Samudera pada tahun 2004 yaitu pertama terdapat seismik gap dalam bentuk zona a-seismik normal yang bergerak lambat dalam ratusan tahun, lalu mengalami penguncian hampir sempurna akibat berbagai tekanan dan kedua dalam bentuk a-seismik robekan dampak dari penekanan per area yang membentuk kawasan seismik gap baru serta berhubungan langsung dari pecahan lempengan yang bergeser, mengubah deformasi pusat gempa daratan terdahulu, sewaktu-waktu dapat melepaskan energi gempa di daratan yang lebih besar akibat dari pergerakan aktif Lempeng Indo-Australia ke Utara Asia.
Gempa di daratan Pulau Sumatera sering berlangsung di bagian Utara wilayah Aceh, semakin mendesak melengkung mendekati daratan Semananjung Asia sehingga akan selalu ada daya rusak gempa karena Patahan Seumelium di Timur Aceh terpisahkan oleh Selat Malaka yang memiliki karakteristik hantaran seismik yang kencang menuju ke patahan besar Burma. Bukti sejarah dalam tahun 2008-2013 Aceh berulang kali dicabik gempa antara lain gempa kembar April 2012 dengan kekuatan mencapai 8.6 SR dengan pola sesar geser, gempa Pidie bulan Mei dengan intensitas mencapai 6.0 SR, lalu disusul gempa Gayo Lues dengan kekuatan 6.6 SR di Bulan Juli. Semua gempa tersebut merusak bangunan dan menelan korban jiwa.
Karakteristik gempa daratan Sumatera ternyata hampir mirip dengan gempa yang terjadi didaratan China, di Tiongkok terdapat beberapa zona patahan besar daratan antara lain Patahan Besar Postdam yang meliputi India, Pakistan, China dan sebagian Burma yang membelah tinggian Tibet, patahan besar Longmen Shan dan Patahan Lembah Sichuan. Pusat gempa yang terjadi hari Senin itu berada di daratan antara batas daratan Tinggi Tibet dengan Lembah Sichuan [sumber USGS], dampak dari relaksasi pergerakan lempeng tektonik terhadap patahan Longmen Shan sepanjang 242 km yang menghasilkan getaran sejauh 150 kilometer di lembah Gunung Longmen Shan.
Gempa yang sering berlangsung di daratan China merupakan akumulasi dari tabrakan antara Lempeng India yang bergerak ke Utara ke daratan Benua Asia menimbulkan medan energi stress diperbatasan antara Lempeng Longmen Shan dengan Patahan Tinggi Tibet untuk menperpendek jarak kawasan antar lembah, merupakan bagian rangkaian plateau [daratan tinggi dengan lembah yang curam serta sempit], menuju Asia sehingga dataran tinggi Tibet bergeser ke Timur daratan China dengan menekan ruas patahan lembah Sichuan, segmen-segmen patahan di China umumnya dicirikhaskan oleh lembah-lembah terjal dengan tebing terpisah dekat, membentuk jalur daratan curam. Gempa daratan dikontrol juga oleh pergerakan beberapa lempeng kecil, dipisahkan oleh berbagai lembah kecil yang terjal dengan kedalaman dangkal sebagai zona terlemah dan terkunci.
Pusat gempa daratan di China selalu berlangsung di segmen Patahan Sichuan dan segmen Patahan Longmen Shan dengan kekuatan gempa diatas 6.0-8.0 SR. Bukti sejarah dapat dilihat pada kejadian gempa Lushan mei 2008, kekuatan mencapai 7.9 SR lalu tiga bulan kemudian terjadi gempa Sichuan dengan kekuatan gempa 6.1 SR. Pada tahun 2010 terjadi gempa Yushu dengan 7.1 Mw serta gempa Yunnan-Guizhaou tahun 2012 dengan kekuatan 5.7 SR dan April 2013 terjadi gempa Sichuan berkekuatan 7.0 SR.
BUILDING CODE GEMPA
Dari gambaran antara kedua zona gempa daratan yang berbeda, seharusnya kita telah belajar sejarah gempa, bahwa setiap terjadi bencana gempa bumi akan selalu ada korban dan meluluhlantakan kota dan menghancurkan sendi kehidupan sosial budaya masyarakat akibat hilangnya elemen kapasitas SDM, untuk melepaskan diri dari trauma psikologis gempa dalam hitungan detik.
Gambaran gempa yang terjadi di Aceh dan China sangat kontras dengan apa yang terjadi jika gempa bumi berlangsung di Jepang, umumnya bangunan di Jepang di buat dengan teknologi building code, tingkat daya rusak gempa di Jepang adalah paling tertinggi di muka bumi. Memang Jepang telah mengalami pukulan telak dalam kejadian serangan gempa bulan Maret 2011 yang meluluhlantakan kawasan Pantai Timur Jepang oleh terjangan tsunami diatas kekuatan 8.9 SR.
Namun, jika dibandingkan dengan gempa Aceh dan China, hal itu tidak seberapa, baru gempa kecil saja kedua negara ini langsung mengalami kehancuran fisik, coba jika diatas 8.0 SR maka dipastikan Lembah Gayo dan Lembah Sichuan akan mengalami penghancuran akibat longsoran yang maha dahsyat, memotong geometri lereng gunung Longmen Shan sebagai pengganti tsunami ke dasar sungai untuk menenggelam wilayah yang tidak berbasis mikrozonasi kegempaan lokal yang tercakup dalam zoning regulation map dan bangunan tidak berbasis building code.
Maka Jepang sudah harus dijadikan model bagaimana menghadapi gempa sepanjang hari dengan membangun hunian tetap dengan konstruksi bangunan tahan gempa dengan selalu belajar dari pengalaman sejarah bencana gempa sehingga Jepang sangat ini terbaik dalam pembangunan infrastruktur gedung bertingkat tahan gempa, selalu berbasis building code yang dilandaskan dengan kondisi tatanan geologi percepatan puncak batuan dasar dengan kekuatan bangunan yang membentuk wilayah dimana bangunan fisik yang akan dibangun.
Sebenarnya China pernah mencatat sejarah hebat dalam gempa besar daratan Tangshan tahun 1976 yang mampu mendeteksi datangnya gempa dan mengevakuasi penduduk tanpa ada korban namun beberapa tahun kemudian kejadian gempa datang menghancurkan kota industri di Tangshan dengan korban diatas 200 ribu jiwa karena tidak dikontrol oleh konstruksi building code.
Standart operating procedure [SOP] adalah salah satu bagian penerapan untuk building code yang dapat disosialisasikan dalam bentuk kegiatan non fisik yaitu kepada setiap masyarakat, baik pemilik rumah dan gedung bertingkat untuk mengetahui tingkat resiko yang ditimbulkan apabila bangunan tidak berstandart building code maka pentingnya SOP harus dipraktekan jika bangunan sudah terlanjurkan terbangunkan dan begitu juga pelaksanaan evakuasi dilapangan.
Penerapan rekonstruksi berbasis building code dalam bentuk fisik yaitu dimulai ketika membedah rumah yang rusak serta perkuatan bangunan bagi bangunan yang masih utuh pada pembangunan konstruksi pondasi dan elemen bangunan lainnya dan harus menjadi prioritas utama dalam setiap bantuan dana gempa.
Jadi Aceh dan China rupanya belum mengimplementasikan pelajaran sejarah bencana di masa lalu, maka kita lihat pada kejadian gempa sekarang bahwa kaidah building code belum membumi dan masyarakat masih beranggapan bahwa gempa bumi adalah pembunuh alamiah nomor satu yang sangat ditakuti, sebenarnya tidak. Yang berbicara adalah kualitas dan kemampuan bangunan berlandaskan peta seismik batuan dan konstruksi building code
Rehabilitasi dan rekonstruksi tata ruang Aceh akibat tsunami 2004 sebenarnya masuk kedalam tiga patahan daratan yaitu Aceh-Tripa-Seumelium belum berketahanan gempa, maka akan selalu ada korban dan kerugian harta benda yang mahal jika Aceh tercabik gempa lagi.
M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer. Tulisan ini Sudah di Publikasi di HARIAN ANALISA MEDAN, Agustus 2013

12 Sep 2013

Ketahanan Gempa Aceh :Geologi Disaster

MEMBANGUN KAPASITAS DAN KETAHANAN GEMPA ACEH
Oleh M. Anwar Siregar
Dalam tahun 2013, Aceh mengalami gempa cukup kuat untuk sekian kali dan ini masih akan berlanjut serta terus mengalami bencana korban yang lebih besar, terlihat dari gambaran visualisasi media elektronik bahwa pembangunan prasarana fisik belum menunjukan standar building code dan masyarakat banyak belum memahami kondisi tempat mereka berpijak di daerah rawan bencana seperti gempa bumi, dan perlu sosialisasi lebih kontinu dalam membangun kapasitas dan ketangguhan bencana di Aceh.
Salah satu saat ini yang harus menjadi pusat perhatian masyarakat dan pemerintah NAD adalah membangun ketahanan dan pengurangan resiko bencana. Fokus pembangunan sosial dalam membangun kapasitas merupakan bagian dari karakter pembentukan ketahanan bangsa yang harus merupakan bagian dari kerangka strategis untuk mengidentifikasi berbagai persoalan pembangunan bangsa terutama di Aceh dalam menghadapi berbagai musibah bencana seperti terjadi sekarang ini, yang memiliki kapasitas fungsi dan tanggung jawab untuk mencegah terjadinya kekurangan kapasitas SDM yang merupakan bagian dari sumber daya ketahanan bangsa yang terdiri ekonomi, politik, sosial dan budaya yang secara potensial memiliki integrasi yang kuat untuk membangun ketahanan bangsa dalam menghadapi tantangan bencana universal.
KETAHANAN INSTITUSI
Salah satu pilar untuk memperkuat mitigasi kekuatan bangsa di Aceh dalam menghadapi berbagai tantangan alam dan pembangunan adalah suatu manajemen yang komprehensif untuk memperkuat ketahanan sosial masyarakat Aceh. Manajemen yang dikhususkan pada perencanaan manajemen resiko bencana, dikhususkan lagi pada pembangunan kapasitas sosial dalam suatu sistem institusi yang menyediakan dan memudahkan pemerintah daerah dengan tingkat kerentanan dan kerawanan daerah yang tinggi, yaitu 1. rancangan kerangka kerja institusi dan legal formal untuk menyampaikan sistem manajemen resiko bencana. 2. Penggabungan program pelatihan manajemen resiko bencana ke dalam proses internal pemerintah serta aktivitas bisnis masyarakat secara sistematis, untuk diimplementasikan ke dalam legal formal, institusi yang terkait misal BNPB, BPBD, SAR, Bansos dan Dinkes serta terintegrasi terhadap sistem pengurangan resiko bencan meliputi beberapa elemen sebagai berikut : 1. Identifikasi bencana dan kerentanannya serta evaluasi resiko bencana tersebut, 2. Strategi pengurangan bencana yang bersumber dari wilayah dan dimiliki oleh pemegang kebijakan.
3. Seperangkat peraturan, perundang-undangan dan regulasi yang menyediakan kerangka kerja yang komprehensif untuk intraksi antara berbagai organisasi dan institusi yang berbeda. 4. Mekanisme koordinasi institusi yang kuat antar lintas sektoral. 5. Sistem yang solid untuk mengendalikan pemenuhan dan penguatan code dan standar konstruksi bangunan yang aman, 6. Perencanaan tata guna lahan dan pemukiman yang menggabungkan kepedulian akan bencana dan pengurangan resiko di daerah yang telah diidentifikasi tingkat kerawannnya. 7. Membangun kekuatan teknologi informasi dan komunikasi dengan pola sebaran rata pada daerah elektabilitas rawan bencana tinggi, bertujuan untuk peningkatan kualitan pendidikan kebencanaan geologi dan upaya peningkatan kesadaran masyarakat akan bencana, pendidikan lingkungan untuk keberlanjutan hidup sumber daya manusia dan sumber daya alam. 8. Pelatihan manajemen dan rehabilitasi serta logistik kedaruratan untuk meningkatkan kesiapsiagaan aparatur dan masyarakat dalam menekan korban bencana sesuai dengan kondisi lapangan [disari dan dimodifikasi dari berbagai workshop serta diklat manajemen dan infomasi mitigasi bencana geologi yang pernah penulis ikuti].
Manajemen ini sebaiknya disampaikan langsung kepada masyarakat ditingkat pemerintahan terendah yaitu Desa sebagai upaya membangun desa-kota yang tangguh bencana, upaya manajemen masyarakat berbasis masyarakat yang lebih membumi.
KETANGGUHAN KOTA
Untuk memperkuat dan meredam efek negatif bencana di perkotaan di Aceh dan Indonesia secara umum adalah mensosialisasi standart rencana tata ruang wilayah kota berdasarkan posisi geografis kota di permukaan bumi melalui penelitian, pemetaan dan desain keteknikan infrastruktur fisik bangunan agar selaras dengan karakteristik geologinya tempat berpijak kekuatan bangunan fisik buatan manusia.
Program pembangunan kota di Aceh wajib diimplementasi dan sosialisasi kepada publik. Membangun ketangguhan kota harus melalui pola kontinjensi melalui penjelasan yang paling mungkin untuk dilema klasik bagi perencana, yaitu haruskah Anda menyusun rencana untuk kejadian yang paling sering atau yang paling merusak namun jarang terjadi? [sumber : Twigg [2005] dan Choularton [2007], artinya harus menyusun area-area daerah rawan kota untuk penanggulangan bencana secara menyeluruh dengan berkoordinasi berbagai lembaga institusi penanggulangan bencana dan ketataruangan wilayah. Penyampaian informasi, peralatan, teknik untuk mengurang resiko dan merespon resiko bencana gempa bumi yang setiap saat terjadi.
Hal ini nampak belum berjalan dengan baik di Aceh dan Indonesia, terlihat cerita koordinasi belum profesional dan miskomunikasi masing sering terjadi sehingga kota dan masyarakat belum tangguh bencana.
MEMPERKUAT KAPASITAS
Memperkuat ketahanan institusi masih diperlukan upaya ketahanan masyarakat dalam membangun kapasitas agar mampu mengurangi korban jiwa dan infrastruktur fisik. Memperkuat kapasitas yaitu memperkuat kemampuan masyarakat untuk lepas dan terlepas dari tekanan yang melingkupi lingkungan tempat mereka beraktivitas dari kerawanan dan kerentanan bencana.
Untuk memperkuat kekuatan dan ketahanan Aceh dalam menghadapi berbagai tantangan musibah bencana dapat dilakukan pemetaan arkeologi sosial kemiskinan sebagai point yang kritis dalam menekan dimensi kekuatan moral etis terutama yang berhubungan dengan politik dan institusionalisasi untuk merefleksikan pembangunan fisik yang adil sehingga mendorong mobilisasi sumber daya ekonomi, sosial dan budaya yang dapat menekan aktivitas masyarakat yang hidup di daerah rawan bencana, diimplementasikan dalam strategis perencanaan pembangunan fisik melalui kebijakan publik.
Hal semacam ini merupakan upaya untuk mendamaikan nilai-nilai tradisi yang bersifat lokal dengan nilai-nilai universal yang tak terhindarkan misalnya mengenai perencanaan pembangunan di daerah bencana, bencana gempa di Bener Meriah dan Simeulue serta wilayah Kecamatan Aceh lainnya sudah harus mewujudkan perpaduan mitigasi budaya dengan konstruksi building code serta strategis ketataruangan wilayah baik yang berbasis pengembangan kota dan berbasis pola kohesif yang berhubungan dengan aktivitas bisnis yang memanfaatkan investasi lahan. Sangat perlu diperhatikan pemerintah setempat sebagai upaya untuk membangun kekuatan dan ketangguhan kota melalui pembangunan kualitas sumber daya manusia.
Artinya, memang tidak ada satu pun kehidupan masyarakat Indonesia sekarang ini, bahkan masyarakat tradisional sekalipun yang tidak terkontaminasi oleh efek negatif modernisasi. Dengan pengertian lain, upaya penggalian nilai-nilai lokal yang memuat unsur tradisi lama yang menjaga keselarasan relasi manusia dengan alam memang dibutuhkan saat ini di Indonesia secara umum dan Aceh secara khusus untuk membangun kapasitas SDM sesuai dengan karaktersitik geologi Indonesia yang tangguh. Hanya saja tidak bisa dipungkiri bahwa perubahan keadaan lingkungan sosial dimana masyarakat Aceh di Kabupaten yang baru beberapa tahun dimekarkan itu mengalami proses modernisasi juga perlu dipertimbangkan untuk memperkuat mitigasi kekuatan dan ketahanan bangsa.
Selain hal tersebut diatas, membangun kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana diperlukan kerjasama yang lebih luas antar stakeholder untuk melakukan suatu aksi yang bersifat lokal untuk mengurangi resiko bencana yaitu memberikan bantuan kekuatan teknis bangunan bagi bangunan yang dianggap paling rapuh menghadapi bencana, seperti bedah rumah dalam suatu program pengembangan perumahan dalam suatu kecamatan di mana kecamatan tersebut masuk wilayah rawan gempa.
Diharapkan kedepan, bangunan fisik di Aceh dapat mengurangi jumlah kerugian material dan korban bencana jiwa.
M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer. Tulisan ini sudah dipublikasi pada HARIAN ANALISA MEDAN.

Populer

Laut Indonesia darurat sampah

  LAUT INDONESIA DARURAT SAMPAH Oleh M. Anwar Siregar   Laut Indonesia banyak menyediakan banyak hal, bagi manusia terutama makanan ...