Jul 13, 2016

Air Tanah Gunung Api



Ketahanan Air Tanah
Wilayah Gunung Api
Oleh: Hendarmawan

Potensi sumber daya air Indonesia sebenarnya melimpah. Sebagaimana disebutkan UNESCO (2003), Indonesia mempunyai curah hujan tahunan sekitar 2.600-2.700 mm/tahun, atau menurut laporan BMG (2003), antara 996 hingga 4.927 mm/tahun. Tidak mengherankan, seperti dinyatakan dalam worldwater.org, Indonesia memiliki potensi ketersediaan sumber daya air terbesar keempat di dunia setelah Brasil, Rusia dan Kanada, yaitu mencapai 2.838 miliar m3/tahun. Potensi itu bersumber baik dari sungai, danau, waduk, rawa, air tanah dangkal (shallow wells), air tanah dalam (deep wells), maupun mata air. Namun, gejala kekurangan air masih juga terasa dimanamana, terutama di musim kemarau. Hal ini menguatkan kembali fakta bahwa masalah ketahanan air yang telah dinyatakan oleh pemerintah sebagai salah satu agenda prioritas nasional sejak Desember 2013 itu, masih ada.
ARTIKEL
Tingginya curah hujan dan banyaknya potensi sumber air tidak serta-merta menjadi harapan dan manfaat yang menjanjikan. Berbagai potensi sumber air kita belum mampu mencegah kekeringan di musim kemarau, dan banjir di musim hujan. Padahal sangat jelas, Tuhan menurunkan air hujan sebagai rahmat bagi semua makhluk di bumi. Dengan air yang cukup, keperluan air untuk masyarakat terpenuhi, produksi pertanian tetap terjaga sehingga ketahanan pangan nasional dapat terealisasi, kebutuhan air untuk industri dan pertanian pun terlayani. Berbagai masalah sumber daya air ini menyadarkan kita, sekaligus menggugah perhatian para pemangku kepentingan terkait, untuk segera membuat langkah yang aktual di lapangan.
Karena air merupakan sumber daya alam yang sangat vital dan diperlukan oleh berbagai sektor (pertanian, perikanan, industri, perkotaan, energi, perhubungan, pariwisata, dll) dari hulu hingga hilir, langkah nyata pengelolaan air sangat memerlukan koordinasi berbagai pihak. Jika tidak, maka konflik kepentingan dapat terjadi atau semakin meruncing. Terlebih saat ini, sumber daya air tidak dapat lagi hanya dipandang sebagai barang sosial, namun sudah menjadi barang ekonomi.
Salah satu sumber air yang perlu mendapat perhatian dalam koordinasi tesebut adalah air tanah di wilayah gunung api mengingat potensinya yang tinggi. Dari hasil survei tahun 2007 berdasarkan data cekungan air tanah, diketahui potensi sumber daya air tanah Indonesia mencapai 4.700 miliar m3/tahun yang jumlah terbesarnya tersimpan dalam endapan volkanik atau produk gunung api.
Akar Permasalahan
Dalam memperkuat pengelolaan sumber daya air yang menyeluruh (holistik) dan berwawasan lingkungan, berbagai sektor dan keahlian pasti terlibat di dalamnya. Untuk skala regional Indonesia, penelaahan dapat dimulai dengan siklus hidrologi. Dalam sirkulasi air di bumi, bagian air yang langsung berhubungan dengan aktivitas kita adalah air permukaan dan air tanah. Bila kita merujuk pada data air permukaan di Indonesia, terunjuk tingkat persentase hampir 100% terbaharui, yakni sekitar 98% dari TARWR (total actual renewable water resources).
Sementara itu, bagaimana dengan persentase air tanah yang terbaharui? Data memperlihatkan tingkat yang terlalu minim, hanya sekitar 16% air mengisi reservoir air tanah di Indonesia. Nilai persentase air terbaharui untuk air tanah yang kecil dapat berimplikasi pada bertambahnya air permukaan yang sangat besar.
Di sisi lain, kebutuhan air, khususnya air tanah, terus meningkat. Hal ini menyebabkan penyusutan atau berkurangnya cadangan air tanah, dan daya rusak air pun terjadi berupa banjir, penurunan tanah (subsidence), atau penurunan kualitas air tanah karena intrusi air laut. Meskipun data tersebut masih perlu diklarifikasi, ketersediaan sumber daya air tanah juga cenderung menurun, terutama di kota-kota besar, sebagaimana banyak diberitakan.
Pertanyaannya, apakah Indonesia tidak mempunyai reservoir air tanah yang luas? Salah satu reservoir air tanah yang cukup besar adalah wilayah pegunungan.
Secara geologi, bentang alam pegunungan bisa berupa wilayah gunung api (pegunungan volkanik) dan pegunungan tersusun atas batuan sedimen. Bentang alam ini dicirikan oleh tingkat curah hujan yang tinggi. Tidak mengherankan, pegunungan mempunyai potensi kuantitas sumber daya air yang besar. Perbandingan
air yang ada di permukaan terhadap air yang meresap sangat tergantung pada porositas (jumlah ruang dalam
butiran batuan) dan permeabilitas (kemampuan batuan meloloskan air) dari komposisi batuan yang ada, serta
tentu saja kondisi lingkungan di wilayah resapan. Secara empiris, wilayah gunung api muda yang
mempunyai tingkat peresapan air tinggi berbeda dengan pegunungan yang tersusun oleh batuan tua, yaitu batuan berumur Tersier (Miosen-Pliosen) atau sebelum Kuater (Plistosen-sekarang). Endapan gunung api tua, terlebih sedimen tua, menunjukkan tingkat peresapan air yang sangat kecil. Kekhasan wilayah gunung api dengan struktur dan tekstur batuannya ini tidak hanya sebagai sumber potensi kebencanaan (apabila gunung api itu meletus, misalnya), namun juga berfungsi sebagai suatu tangki raksasa penyimpan air, baik di permukaan maupun air di bawah permukaan.
Indonesia merupakan negara yang mempunyai wilayah gunung api aktif dan tak aktif terluas yang tersebar dari ujung Sumatra hingga Maluku. Tidak bisa dipungkiri bahwa lokasi kota-kota besar atau berbagai wilayah
pengembangan kota di Indonesia selalu berdekatan atau terletak di hamparan pedataran endapan gunung api.
Pemenuhan kebutuhan airnya, baik kebutuhan seharihari penduduk, pertanian, maupun industri, sangat
menggantungkan pada sumber daya air dari wilayah gunung api.
Seiring dengan pembangunan dan perkembangan ekonomi yang meningkat, perubahan tata ruang ke arah
lereng gunung api pun terjadi. Pemerintah pusat dan daerah sudah mengeluarkan peraturan dan berbagai kebijakan dalam rangka pengelolaan sumber daya air, misalnya dalam kasus Bopuncur. Namun, tetap saja kita masih sering mendengar kejadian mata air mengering, pasokan air terganggu, air sungai sudah tidak mengalir lagi di musim kemarau, penurunan muka air tanah terus
berlangsung, hingga banjir kiriman.
Dalam banyak kebijakan dan pengelolaan sumber daya air dari beberapa wilayah, banyak hal yang menjadi
masalah. Pertama, menyamakan lapisan batuan pembawa air (akuifer) mulai dari hulu hingga ke hilir wilayah
gunung api tanpa mempertimbangkan kerumitan batuan di wilayah gunung api yang sangat berbeda-beda dibanding pola endapan batuan sedimen, baik struktur maupun tekstur. Pada jarak yang relatif dekat batuan bisa berubah jenisnya yang berarti berubah permeabilitas (tingkat kemampuan meloloskan air) dan kesarangan atau porositas. Peta yang diacu memang sangat terbatas, yakni peta geologi dan hidrogeologi regional. Kedua, dalam penentuan daerah resapan air masih banyak menggunakan cara konvensional (kualitatif) dan masuk ke dalam kebijakan tata ruang. Sebagai akibat dari masalah-masalah itu, perhitungan nilai atau potensi bersih (net potency) sumber daya air jenis air tanah ini menjadi terlalu tinggi (overestimate), atau sebaliknya terlalu rendah (underestimate) untuk air permukaan. Akibat lebih lanjut, kebijakan untuk pembuatan resapan buatan (artificial recharge) dan reboisasi pun menjadi tidak tepat lokasi.
Pengelolaan sumber daya air di wilayah gunung api memerlukan penelitian yang rinci. Air mengalir melalui ruang antar butir batuan (sistem media berpori) atau rekahan (sistem media terekahkan), sehingga pengetahuan dan pemahaman sistem recharge-discharge atau sistem input-output air di wilayah ini harusnya sangat jelas. Namun, rujukan (buku-buku, makalah ilmiah, dll) yang mengetengahkan hidrogeologi gunung api masih sangat terbatas, kalaupun ada boleh dibilang dengan jari tangan, dan itu pun hanya bersifat umum.
Oleh karena itu, Asosiasi Hidrogeologi Internasional (IAH) sangat mendorong dan mendukung pemunculan
makalah-makalah hidrogeologi gunung api.
Studi Komprehensif Air Tanah di Wilayah Gunung Api
Penelaahan beberapa sistem resapan-luahan (rechargedischarge) daerah volkanik telah dilakukan sejak 18 tahun terakhir. Daerah penelitiannya antara lain wilayah Cekungan Bandung, G. Salak, lereng G. Gede Pangrango, Jawa Barat; daerah G Karang, Banten; Gunung Sibayak (Brastagi) dan Binjai, Sumatra Utara; gunung api sekitar Magelang, Jawa Tengah; dan wilayah Gunung Batur (Bali). Melalui pemantauan yang relatif panjang, yaitu setahun di setiap wilayah tersebut, diperoleh sejumlah model yang dapat menjadi dasar pengelolaan sumber daya air di wilayah gunung api.
Penelitian air tanah gunung api yang rinci di suatu wilayah perlu ditunjang oleh beberapa studi sebagai alat
analisis hidrogeologi, yaitu survei topografi, analisis GIS (geographic information system), dan lainnya. Survei topografi merupakan kegiatan pengukuran setiap titik studi yang didasarkan pada peta topografi dan peta citra
satelit, dan pengolahan datanya dilakukan dengan metode analisis GIS. Penelusuri daerah aliran sungai (DAS) dan identifikasi ukuran-ukuran jaringan air yang terdapat didalamnya juga perlu dilakukan. Untuk itu, surveinya didekati dengan studi hidrologi.
Dengan demikian, sistem air permukaan dan interaksinya dengan sistem air tanah yang berkembang di daerah penelitian dapat ditelaah. Berikutnya, dilakukan kajian geologi wilayah gunung api yang didukung oleh kajian geofisika guna mengetahui gambaran kondisi bawah permukaan tanah secara akurat. Dengan cara ini maka informasi struktur geologi maupun lapisan pembawa air (akuifer) yang berkembang dapat diketahui dengan jelas. Selanjutnya, studi hidrokimia dan hidro-isotop air tanah dilakukan agar dapat diketahui asal air tanah dan perilaku dari air tanah yang mengalir. Sintesa atas berbagai kajian tersebut akan memberikan pengetahuan hidrogeologi yang komprehensif dengan pemahaman yang baik mulai dari kondisi sistem resapanluahan air tanah, laju resapan air tanah, sampai konsep model hidrogeologi daerah penelitian.
Geologi dan Geofisik Wilayah Gunung Api
Pendekatan pemetaan geologi di lapangan dilaksanakan melalui traversing, yaitu suatu kegiatan observasi singkapan batuan. Pengambilan contoh untuk diuji di laboratorium dalam rangka identifikasi batuan jugadilakukan. Pengelompokan batuan sebagaimana menurut Bronto (2006), mengacu pada pembagian oleh Bogie & Mackenzie, 1998. Dalam klasifikasi ini fasies gunung api dibagi ke dalam fasies sentral, fasies proksimal, fasies medial, dan fasies distal. Istilah “fasies” batuan bermakna suatu tubuh batuan yang memiliki kombinasi ciri yang khas berdasarkan batuan penyusun dan struktur sedimen, bahkan struktur biologinya, sehingga dapat dibedakan fasies atas, tengah, dan bawah; atau, fasies terdekat (proksimal), fasies medial (pertengahan), dan fasies distal (terjauh) dari sumber asal, yaitu pusat letudan gunung api, dalam kaitannya dengan endapan wilayah gunung api.
Fasies proksimal endapan wilayah gunung api ditandai dengan asosiasi batuan sekitar puncak gunung api berupa perselingan aliran lava dengan breksi piroklastika dan terkadang tersingkap aglomerat. Di ujung fasies ini seringkali dijumpai mata air yang cukup besar debitnya dan mengairi sungai. Ke arah hilir biasanya ditemukan breksi piroklastika dan tuf sangat dominan, dan breksi lahar yang dikenal sebagai fasies medial. Pada fasies ini berkembang celah dan sistem rekahan yang cenderung ditandai dengan banyaknya resapan air ke arah batuan di bawahnya. Seiring dengan bentang alamnya yang agak melandai, di wilayah fasies medial ini biasanya berkembang permukiman penduduk. Endapan gunung api di sekitar kaki gunung disebut
fasies distal yang didominasi oleh breksi lahar, breksi fluviatil, konglomerat, batupasir, dan batulanau. Melalui
pemboran inti, perselingan batuan-batuan tersebut sering dijumpai. Pemunculan mata air dengan debit besar sering pula dijumpai saat lapisan batuan tersebut mengalami pengaruh patahan.
Hasil pemetaan geologi dan pengukuran geofisik selanjutnya dianalisis untuk melihat berbagai gambaran di bawah permukaan tanah. Satu hal yang sangat penting terkait dengan model adalah penggambaran (delineasi) batas-batas cekungan air tanah. Sebaran cekungan air tanah digambarkan secara rinci guna mengetahui perilaku air di dalam tanah atau batuan. Luasan cekungan air tanah juga memberi informasi akan cadangan dan sistem resapan-luasan sumber daya air.

Pola fasies endapan gunung api yang mengontrol aliran air tanah.

Sumber: Bogie & Mackenzie, 1998.

Analisis Hidrokimia dan Hidro-isotop Air Tanah
Pada umumnya penentuan daerah resapan air tanah di Indonesia lebih didasarkan pada pendekatan konvensional seperti tinggi rendahnya topografi dan penampang tanah dan batuan bawah permukaan saja. Beberapa penelitian memang sudah menambahkan metode delineasi daerah resapan tersebut melalui pendekatan analisis isotop air tanah – yaitu unsur yang berisfat radioaktif dan diketahui laju peluruhannya – untuk memastikan masuknya air dan mendelineasi daerah resapan (recharge zone).
Bagaimanapun, penelitian terdahulu di Indonesia yang menggunakan isotop stabil air tanah masih menimbulkan keraguan. Hal ini disebabkan pencontohan yang dilakukan tidak dilaksanakan secara periodik berdasarkan musim yang ada di Indonesia. Di pihak lain, posisi dan luas wilayah resapan akan menentukan jumlah air yang masuk ke dalam lapisan tanah batuan yang mengandung air tanah. Sebagai akibatnya, terjadi salah penaksiran, yaitu terlalu besar (overestimate) atau terlalu kecil (underestimate) dalam perhitungan kesetimbangan air (water balance). Masalah merupakan bagian akar permasalahan tulisan ini.
Fritz dan Fontes (1981) juga IAEA menyatakan bahwa melalui analisis kandungan isotof 18O (oksigen) dan isotof 2H (deuterium) dalam air tanah dan air hujan secara berkala, maka asal usul air dapat dideteksi. Hasil perhitungan analisis isotof 18O dan deuterium mengacu kepada standar internasional, yaitu SMOW (Standard
Mean Ocean Water). Standar SMOW sebagai acuan memiliki nilai rasio 18O/16O dan D/H adalah nol (0). Hasil
perhitungan analisis rasio 18O/16O dan D/H dinyatakan dalam rasio relatif (δ) dengan satuan per mil.
Dari hasil analisis data akan dapat ditentukan berturutturut indeks kandungan isotop pada tiap stasiun (amount
effect), garis meteorik lokal dan hubungan kandungan isotop terhadap elevasi (ketinggian). Kemudian indeks
kandungan isotop (meanweight) 18O dan 2H pada setiap stasiun dihitung berdasarkan suatu persamaan yang akan menganalisis kandungan isotop dan jumlah curah hujan pada pengamatan setiap bulannya.
Hasil simulasi isotop dipadukan dengan hasil kandungan
 

Pola fasies endapan gunung api yang mengontrol aliran air tanah.

Sumber: Bogie & Mackenzie, 1998.

ion yang umum dalam air alami seperti Na+, K+, Ca++, Mg++, Cl-, CO3 2-=, HCO3 - dan SO4
2-=. Dominasi kation dan anion tersebut ditentukan dengan diagram trilinear
Piper (1944). Hasilnya digunakan untuk memastikan hasil kandungan isotop stabil air tanah. Melalui metode ini, fasies air tanah yang dihasilkan dapat digunakan dalam memverifikasi penafsiran geologi. Daerah resapan yang lokasi tepatnya telah dapat ditentukan dan perhitungan sebaran luasnya cukup mendekati kenyataan akan memberikan hasil perhitungan input air yang lebih akurat. Dengan cara itu, kuantitas masukan air di suatu wilayah dapat ditetapkan. Bukan tidak mungkin bahwa data taksiran untuk penentuan besaran air yang masuk ke dalam reservoir yang

Model hidrogeologi Gunung Salak relatif mewakili model lainnya.

digunakan dalam pengelolaan sumber daya air selama ini, terlalu berlebihan. Akibatnya, terjadi ketimpangan debit aman dalam suatu wilayah yang jauh di atas kapasitas yang ada. Penting untuk diketahui bahwa data kasar air hujan yang meresap di wilayah gunung api menunjukkan 21% hingga 37% dari total air hujan yang jatuh di wilayah tersebut.
Hasil-hasil pengetahuan hidrogeologi gunung api dari penelitian yang disebutkan di atas setidaknya membuat
pengelolaan sumber daya air harus lebih hati-hati. Wilayah yang selama ini telah berkembang eksploitasi air tanah besar-besaran di daerah distal, tempat berkembang industri dan pengguna air tanah lainnya, sangat ditentukan oleh air yang berasal dari daerah fasies medial.
Sementara itu wilayah medial ini seringkali sudah menjadi pemukiman. Oleh karena itu, diperlukan kearifan lokal dalam program konservasi sumber daya air untuk menjaga air tetap meresap di wilayah tersebut. Selanjutnya, model konservasi air tanah yang didasarkan pada pengetahuan fasies batuan gunung api dan daerah resapan-luahan ini perlu menjadi bahan pertimbangan dalam penentuan tata ruang wilayah. Dengan demikian, sumber daya air yang berkelanjutan di wilayah gunung api akan memberi kemampuan dan kapasitas potensi air yang dapat dimanfaatkan oleh kegiatan manusia untuk kegiatan sosial ekonomi di sekitarnya.
Perlu Tindakan Segera
Terdapat beberapa hal paling penting tentang air tanah di wilayah gunung api. Pertama, nilai persentase terbaharui air tanah yang kecil merefleksikan kepastian kelangkaan air di musim kemarau dan air permukaan
yang bertambah besar di musim hujan (banjir). Kegiatan konservasi yang melibatkan berbagai sektor termasuk
masyarakat di dalamnya sudah tidak dapat ditunda lagi. Kedua, manajemen sumber daya air yang konvensional perlu ditunjang dengan pemahaman hidrogeologi yang terukur melalui pendekatan studi yang komprehensif.
Dengan cara ini, maka penentuan daerah resapan untuk keperluan konservasi dan luas cekungan jauh lebih akurat dan pasti alias tidak berubah-ubah. Dengan demikian, perhitungan kesetimbangan air akan lebih mendekati kenyataan, dan kepastian serta ketepatan daerah konservasi akan mendukung penentuan tata ruang wilayah. Ketiga, hasil-hasil studi atau kajian hidrogeologi di wilayah gunung api menunjukkan potensi
yang besar dalam pengelolaan sumber daya air.
Di antaranya, potensi itu menjadi dasar dalam menyelesaikan kelangkaan air di musim kemarau dan menurunkan air permukaan – sehingga tidak menjadi banjir - di musim hujan. Potensi lainnya, dilihat dari jumlah gunung api Indonesia yang mencapai 127 buah atau 30% luas dataran Indonesia. Keberadaan gunung api yang seringkali di dekat – atau tidak jauh dari - kota-kota dan wilayah perkembangan ekonomi, apabila potensi sumber daya airnya dikelola dengan baik sumber daya air, maka wilayah gunung api dapat menjadi sumber ketahanan air nasional.
Tulisan ini disarikan dari orasi pengukuhan Guru Besar penulis. Penulis adalah Guru Besar Fakultas Teknik Geologi Universitas

Sumber : Geomagz edisi 0503092015
Padjadjaran.

No comments:

Post a Comment

Related Posts :