Ancaman Tambang dan Laut Indonesia
ANCAMAN KEDAULATAN
SUMBER DAYA TAMBANG DAN LAUT
Oleh M. Anwar Siregar
Masalah perbatasan wilayah laut yang
dilanggar beberapa Negara pencuri ikan dan masuknya patroli pantai Negara asing
ke yuridiksi laut Indonesia
kini manjadi ranah politik, Hal semacam kejadian ini tak bisa dianggap sepele
karena menyangkut kedaulatan sebuah bangsa. Ramainya kembali kasus Ambalat saat itu akibat provokasi kapal-kapal Malaysia, Vietnam serta Tiongkok yang masuk
perairan Indonesia di laut Natuna menjadi hal krusial untuk diselesaikan agar
bangsa ini memiliki harkat dan martabat yang tinggi di mata negara lain. Secara politik,
keberadaan pulau-pulau perbatasan maritim memiliki nilai strategis karena
menyangkut posisi tawar Indonesia di mata dunia internasional
Wilayah-wilayah laut
tersebut memiliki kegunaan yang dapat menciptakan kesejahteraan Warga Negara
Indonesia melalui terjaminnya pemanfaatan potensi Sumber Daya Alam seperti
kegiatan perikanan, eksplorasi, dan eksploitasi lepas pantai (off-shore),
wisata bahari, transportasi laut dan berbagai kegiatan lainnya. Sebagai
negara kepulauan Indonesia
mempunyai hak-hak berdaulat yang eksklusif atas kekayaan alam di kawasan landas
kontinennya dan kekayaan alam itu adalah milik negara. Akinat adanya
penguasaan, maka setiap kegiatan di landas kontinen Indonesia
seperti eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber kekayaan alam, harus dilakukan
sesuai denga kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia.
BATAS KONTINEN
Penetapan batas wilayah dan yurisdiksi negara
merupakan hal yang sangat penting dan strategis sekaligus sensitif, karena
berkaitan dengan pengaturan permasalahan kedaulatan (sovereignity), hak-hak
berdaulat (sovereign rights) dan yurisdiksi (jurisdiction) terhadap zona-zona
maritim suatu negara sebagaimana diatur dalam United Nations Convention on the
Law of the Sea atau Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982). Adapun batas-batas
maritim yang tertuang dalam Konvensi Hukum Laut 1982 meliputi batas-batas
perairan pedalaman (internal waters), perairan kepulauan (archipelagic waters),
laut territorial (territorial sea), batas-batas perairan Zona Ekonomi Eksklusif
(Economic Exclusive Zone), dan batas-batas landas kontinen (Continental Shelf).
Dasar laut di banyak tempat
dipisahkan dari tanah di pantai oleh lereng kontinen yang menurut istilah
geologis merupakan bagian dari kontinen itu sendiri. Lereng kontinen luasnya
berkisar beberapa ratus kilometer persegi dan mempunyai kedalaman sekitar 50
hingga 550 meter. Lereng kontinen di beberapa tempat menyimpan deposit minyak
dan gas bumi serta sebagai sumber daya alam hayati. Oleh sebab itu, banyak
negara pantai yang menuntut eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam laut di
landas kontinen negaranya.
Teori Mahan tersebut telah membuktikan bahwa bukan jumlah penduduk
semata-mata yang membuat suatu bangsa berjaya, melainkan jumlah penduduk yang
berorientasi ke laut dan yang ditopang oleh pemerintah yang memperhatikan dunia
Baharinya.
Dalam UNCLOS 1982 dikenal beberapa
macam garis pangkal, yaitu : 1. Garis pangkal normal (normal baseline). 2.
Garis pangkal lurus (straight baseline). 3. Garis pangkal penutup (closing
line). 4. Garis pangkal kepulauan (archipelagic baseline)
Dalam UNCLOS 1982 tercantum batas
terluar dari landas kontinen tidak boleh melebihi garis kedalaman 2500 m
ditambah jarak 100 mil laut, atau melebihi garis 350 mil laut dari garis
pangkal darimana laut teritorial diukur. Dengan adanya pembatasan tersebut,
maka diperlukan pengukuran batimetrik untuk memperoleh garis kedalaman 2500 m.
Setelah didapatkan garis kedalaman tersebut bandingkan dengan pembatas 350 mil
laut dari garis pangkal, kemudian dipilih batas landas kontinen yang terjauh. Setiap
negara diperbolehkan memilih dari dua kriteria tersebut untuk mendapatkan batas
landas kontinen yang maksimal. Analisis terhadap perjanjian yang telah ada
berkaitan dengan Landas Kontinen Indonesia dapat dirangkum sebagai
berikut :
a. Indonesia – Australia
Perjanjian yang dibuat antara Indonesia dengan Australia
menghasilkan ketentuan yang merugikan Indonesia. Kerugian tersebut muncul
karena tidak ditegakkannya prinsip coextensive
principle. Batas landas kontinen Australia masuk kedalam batas ZEE (Zona Ekonomi
Eksklusif) Indonesia, hal
ini menyebabkan batas landas kontinen lebih dekat ke pantai Indonesia. Dengan ditegakkannya co-extensive
principle batas landas kontinen Indonesia seharusnya berimpit
dengan batas ZEE.
Berdasarkan identifikasi,
baru batas maritim antara Indonesia
dengan Australia
yang telah lengkap disepakati. Sementara batas maritim dengan negara tetangga
lain baru dilakukan penetapan batas-batas Dasar Laut (Landas Kontinen) dan
sebagian batas laut wilayah. Untuk menegakkan kedaulatan dan hukum di wilayah
yurisdiksi Indonesia
diperlukan penetapan batas-batas maritim secara lengkap. Penetapan batas ini
dilakukan berdasarkan ketentuan Hukum Laut Internasional, yang diatur dalam
Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982) yang telah diratifikasi
pemerintah Indonesia melalui UU No 17 tahun 1985.
b. Indonesia – Malaysia
Perjanjian batas landas kontinen
dengan Malaysia
masih menggunakan UNCLOS 1958 sebagai acuan. Terdapat persetujuan yang
merugikan Indonesia
dimana garis batas landas kontinen antara kedua negara lebih dekat ke pantai
Indonesia di Selat Malaka (perjanjian menggunakan prinsip median line).
c. Indonesia – Vietnam
Perjanjian antara Indonesia dengan Vietnam belum dapat menyelesaikan
batas landas kontinen kedua negara. Jarak antar pulau yang berdekatan antara kedua negara
tidak lebih dari 245 mil laut. Vietnam bersikeras untuk tidak menggunakan
UNCLOS 1982 sebagai acuan secara menyeluruh.
d. Indonesia – Palau
Untuk menarik
suatu batas ZEE yang adil, mengingat jarak antara P. Helen (pulau paling
Selatan Palau) dengan P. Fani/P.P. Asia kurang dari 400 mil laut, maka
sebaiknya diterapkan metode sama jarak (equidistance).
e. Indonesia – Philipina
Perjanjian
antara Indonesia dan Philipina masih belum berhasil menetapkan batas landas
kontinen antara kedua negara. Tertundanya perjanjian antara kedua negara ini
lebih disebabkan karena belum akuratnya titik pangkal yang digunakan oleh
Philipina.
Akan tetapi
berdasarkan jarak antara kedua negara di Utara Sulawesi kemungkinan besar
perundingan penentuan batas landas kontinen antara kedua negara ditetapkan berdasarkan
prinsip median line.
ANCAMAN
SUMBER DAYA PERBATASAN
Pulau – Pulau Kecil Perbatasan
(PPKB) yang berada di kawasan perbatasan Negara jumlahnya
mencapai 92 buah pulau. Menurut
pasal 8 UU No. 43 Tahun 2008 tentang Negara Wilayah yakni secara yurisdiksi
berbatasan dengan wilayah yurisdiksi Australia, Filipina, India, Malaysia,
Papua Nugini, Palau, Thailand, Timor Leste, dan Vietnam. Pulau – pulau tersebut
memiliki nilai strategis secara geo-politik, geoekonomi, geografi maupun
geo-kultural.
Banyak riset geologi laut berkaitan langsung
atau tidak langsung dengan penilaian potensi sumberdaya alam di dasar laut,
sesuai dengan meningkatnya kebutuhan akan mineral tertentu dan berkurangnya
jumlah cadangan di darat karena telah tereksplorasi. Zona ekonomi eksklusif
atau Exclusive Economic Zone (EEZ)
yang terbentang dari garis pantai melintasi paparan benua (continental shelf), bahkan hingga menjangkau bagian kerak samudera,
memberikan banyak peluang dan tantangan terhadap eksplorasi dan ekploitasi
mineral di laut. Kawasan ZEE mengandung cadangan sumberdaya metal dalam jumlah
besar, seperti kobalt, mangaan dan nikel di kerak samudera dalam bentuk kerak
permukaan (pavements) dan bijih (nodules); dan konsentrasi mineral berat
seperti emas dan platina di tubuh pasir yang dijumpai di kawasan pesisir. Para peneliti juga menemukan daerah-daerah yang
mengandung minyakbumi. Minyak dan gasbumi umumnya hanya terbatas pada cekungan
pengendapan sedimen tua di kerak kontinen dimana terdapat endapan sedimen darat
dan sedimen organik yang tebal.
Potensi
Kelautan di republik ini sungguh sangat berlimpah baik di nearshore
maupun di offshore, di mana industri maritim merupakan industri
yang sangat menantang (world wide business). Kawasan laut
memiliki dimensi pengembangan yang lebih luas dari daratan karena mempunyai
keragaman potensi alam yang dapat dikelola. Beberapa sektor kelautan seperti
perikanan, perhubungan laut, pertambangan sudah mulai dikembangkan walaupun
masih jauh dari potensi yang ada.
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia,
terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan
luas laut sekitar 3,1 juta km2. Luas laut tersebut masih bertambah sesuai
dengan hasil ratifikasi UNCLOS 1982 yang memberikan hak dan kewenangan kepada Indonesia
untuk memanfaatkan Zona Ekonomi Eksklusif seluas 2,7 juta km2. Wilayah lautan
yang luas tersebut menjadikan Indonesia
mempunyai kekayaan dan keanekaragaman hayati (biodiversity) terbesar di dunia
dengan komponen ekosistem pesisir, meliputi: hutan mangrove, terumbu karang,
dan padang
lamun.
Salah satu sumberdaya kelautan yang potensial untuk digarap
adalah terumbu karang. Indonesia
memiliki sekitar 50.000 km2 ekosistem terumbu karang yang tersebar di seluruh
wilayah perairan Nusantara. Potensi lestari sumberdaya perikanan yang
terkandung di dalamnya diperkirakan sebesar 80.802 ton/km2/tahun (Dahuri dkk,
1996). Terumbu
karang yang masih utuh juga menampilkan pemandangan yang sangat indah.
Keindahan tersebut merupakan potensi wisata bahari yang belum dimanfaatkan
secara optimal.
Implementasi dari ratifikasi tersebut adalah diperlukannya
pengelolaan terhadap batas maritim yang meliputi Batas Laut dengan negara
tetangga dan Batas Laut dengan Laut Bebas. Adapun batas-batas maritim Republik
Indonesia dengan negara tetangga, mencakup Batas Laut Wilayah (Territorial
Sea), batas perairan ZEE, batas Dasar Laut atau Landas Kontinen. Belum
selesainya penentuan batas maritim antara pemerintah Indonesia dengan negara
tetangga menjadikan daerah perbatasan rawan konflik. Gejala itu dimanfaatkan
Tiongkok untuk menggolkan finishing illegal dengan sembilan garis batas yang
tidak diakui Pengadilan Tinggi Arbitrase Internasional serta Vietnam yang terus
menerus memasuki wilayah Pengairan Teritorial Indonesia di Laut Natuna.
PERKUATKAN ALKI
Manfaat yang didapatkan Indonesia dari ALKI adalah 1)
Indonesia menjadi bagaian penting dari terwujudnya sebuah ‘peradaban’ yang
berhubungan dengan lautan. 2) Indonesia menjadi bagian penghubung penting dari
Eurasian Blue Belt. 3) Indonesia mengambil peranan sangat besar dalam Global
Logistic Support System dan khususnya terkait dengan SLOCS (Sea Lanes Of
Vommunications) dan COWOC (Consolidated Ocean Web Of Communication). 4) Wilayah
lautan dan ALKI Indonesia menjadi penghubung penting dalam HASA (Highly Accesed
Sea Areas) dimana ketiga lautan yaitu India, Southeast dan South Pacific
bertemu didalamnya dan 5) Terkait dengan World Shipping yang melintasi ALKI
dengan muatan Dry Cargo maupun Liquid Cargo.
Sudah saatnya Indonesia memanfaatkan ALKI dengan memperkuat armada laut Indonesia, apalagi saat ini China sangat berambisi menguasai Laut China Selatan di Utara dan Barat Natuna dengan "mendampingi" para Nelayan mereka ke menerobos teritorial Indonesia. Natuna adalah wilayah NKRI yang harus dijaga dan merupakan harga mati, dan juga berlaku diseluruh wilayah NKRI.
Komentar
Posting Komentar