Bencana geologi Kepung Jakarta : Geologi Disaster
Gambar : ini salah satu gambaran banjir di Jakarta (sumber gambar dari berbagai sumber)
BENCANA GEOLOGI KEPUNG JAKARTA
Oleh M. Anwar Siregar
Wajah Jakarta di abad 21 ini semakin runyam akibat tidak
tertata dengan baik, pembangunan fisiknya banyak menghabiskan ruang hijau yang
terlihat belum terpenujinya amanah UU No 27 Tengang Tata Ruang yang
menggariskan sekitar 30 persen luas wilayah harus terdapat Ruang Hijau Terbuka,
ruang yang ada sekarang hanya menghasilkan ruang bencana banjir menahun. Dan
adalah fakta yang selalu menghantui ibukota, penataan ruang pemukiman dan tata
ruang hijau semakin terbatas, transportasi massal yang tidak efektif,
peningkatan jumlah penduduk semakin tinggi, eskalasi urbanisasi tidak pernah
menurun serta ancaman degradasi air bersih, kerentanan fisik sebagai sumber
utama bahaya baik secara alamiah (natural disaster) berupa ancaman gempa
dari Sumatera dan Jawa Barat maupun kapasitas kepadatan penduduk yang semakin
rapat dengan eskalasi pembangunan dalam tata ruang yang semakin terbatas (man
made disaster).
PERSPEKTIF BENCANA
Jakarta layak dipindahkan secepatnya jika tidak mau
disebut kota dengan seribu bencana, perspektif masyarakat terhadap kondisi tata
ruang lingkungan geologi kota Jakarta dipengaruhi oleh pola pembangunan fisik
yang tidak berwawasan bencana geologi, perspektif pertama menyebutkan faktor
pemanfaatan aturan zonasi lingkungan hijau terhadap struktur tata ruang wilayah
Ibukota tidak tegas, terbentuk kawasan kumuh di daerah sempadan sungai atau
daerah aliran sungai (DAS). Itupun baru di realisasi setelah berulangkali
terjadi banjir dengan menggusur pemukiman. Pembangunan struktur keruangan
merusak tata ruang air, terjadi kekeringan air dan laju penurunan permukaan
tanah 2-8 cm per tahun mendekati permukaan air laut di beberapa wilayah di
utara Jakarta oleh peningkatan pembangunan infratruktur fisik berat didaerah
hijau. Terjadi penurunan dan kekuarangan sumber daya air baru bersikap dan
bertindak tangan besi, ini telah diperaga Ahok selaku Gubernurm berbeda sekali
dengan pendahulunya.
Kedua, Faktor struktur fisik bangunan di Jakarta berada
di daerah rawan bencana geologi, umumnya tidak dirancang tahan gempa dan
banyak tidak mengikuti building code, yang merupakan peraturan panduan
rancang bangun suatu kawasan untuk pengendalian pemanfaatan ruang suatu rencana
tata bangunan dan lingkungan, rencana investasi apabila terjadi bencana dalam
rekonstruksi dan rehabilitasi. Fakta, begitu banyaknya ditemukan kejadian
bencana amblesan badan jalan tol, runtuhnya sebuah jembatan dan badan jalan
raya di sekitar daerah pantai yang mengalami intrusi air laut. Perlu tindakan
kajian geologi bawah permukaan karena mengingat kekuatan tanah di Jakarta
termasuk tanah deposit vulkanik dan alluvial pantai.
Ketiga, faktor sifat geoteknis tanah tempat struktur
fisik bangunan dalam aturan building code yang ditempatkan pada zona rawan kegempaan
yang sangat berpengaruh terhadap kekuatan dan pergeseran tanah dan batuan,
terdapat proses geologi tata ruang Kuarter, masih terus mengalami perubahan
lingkungan oleh geodinamika tektonik dan vulkanik kegempaan di sekitar Selat
Sunda, di daratan Jawa Barat, di Laut Jawa dan Samudera Indonesia.
Perspektif keempat, wilayah Jakarta rentan mengalami
empat golongan utama kerusakan akibat gempa apabila dari faktor point tiga
terjadi dan dampaknya pada faktor point 1 dan 2 yaitu : 1. Terjadi ground
shaking (efek goncangan berganda), adalah gerakan tanah akibat gempa yang
merupakan unsur utama penyebab keruntuhan struktur bangunan. 2. Likuafaksi,
adalah kehilangan strength pada pasir yang jenuh air akibat pembebanan
siklik. Kondisi ini menyebabkan penurunan dan pergerakan lateral dari pondasi.
Contoh kejadian ini banyak bangunan di Jakarta dibangun di lokasi yang telah
diidentifikasi berpotensi mengalami likuafaksi seperti di Jakarta Utara dan
sebagian Jakarta Barat, tanahnya terdiri dari tanah alluvial dan vulkanik. 3.
Bila terjadi gempa kuat dalam radius 100 kilometer ke dalam Jakarta akan
membangkitkan “sesar-sesar tidur” menjadi bidang patahan (fault rupteure)
yang aktif, dapat menggangu kekuatan pondasi bangunan yang tidak dirancang
tahan gempa oleh pergerakan seismik dalam lajur gerak horizontal dan vertikal.
4. Terbentuknya pola landslide bawah permukaan sebagai akibat dari
pergerakan terjadinya gempa, karena tanah di kota Jakarta adalah tanah yang
bersifat “lembek” maka dipastikan struktur pondasi bangunan dan struktur
geologi bawah permukaan akan ada mengalami “gangguan kekuatan” menyebabkan
gerakan tanah dan likuafaksi yang luas.
Beberapa asumsi bencana masyarakat menyebutkan Jakarta
sebagai kota “sumpet” dan memiliki tingkat kerentanan tinggi yaitu pertama
tidak memiliki pedoman pengendalian bahaya bencana untuk pencegahan bencana
banjir setiap tahun. Tanya, bagaimana kalau terjadi gempa? Dipastikan akan
terjadi sejumlah miskomunikasi karena mengurus banjir dan kemacetan saja sudah
“cari kambing hitam”.
Asumsi kedua, Jakarta calon kota tenggelam karena begitu
derasnya arus urbanisasi dan pembangunan yang terus menerus terbangunkan
sehingga terjadi penggalian tanah di lokasi daerah tangkapan air bersih dan
zona daerah hijau serta pesisir pantai diatas tanah lunak, dan air mudah masuk
dan menekan kekuatan tanah yang terdiri dari tanah rombahkan yang tidak padat
yaitu tanah hasil produktif letusan gunungapi Pangarango, Gunung Gede dan
Gunung Salak di Jawa Barat. Jakarta dianggap sebagai kota dengan tingkat
penurunan tanah permukaan yang cukup “kencang” di Indonesia, dan mendekati air
laut padahal gempa belum keras “menimpa” wilayah kota Jakarta.
Asumsi ketiga, menyebutkan Ibukota tidak memiliki tata
ruang tahan gempa yang mumpuni sehingga dianggap sebagai “kota ladang
pembantaian” jika terjadi bencana gempa dan tsunami karena sampai saat ini kota
Jakarta belum memiliki daerah pengaman untuk segala jenis bencana geologi dan
klimatologis.
Asumsi keempat, Jakarta kota dengan banyak tumpukan sampah,
sampah dikota Jakarta itu jika dikumpulkan lebih tinggi permukaannya dan lokasi
tempat pembuangan sampah di Jakarta sangat minim, dan membawa sampah itu ke
daerah tetangganya, Bekasi dan Jawa Barat. Dengan tumpukan yang banyak terdapat
di Kalibata dan Ciliwung, maka banjir tahunan sering datang menyapa dan
lagi-lagi sia-sia pembangunan yang ada, tertunda akibat banjir dan keindahan
Jakarta semakin jelek dan jorok. Jangan lupa, posisi Jakarta dikepung berbagai
sungai besar yang membelah Jakarta dan permukaannya sangat rendah dipermukaan
Laut dan mari kita lihat apa bukti studi pembangunan banjir yang dilakukan
Pemprov DKI ke Belanda, apa bisa membuktikan Jakarta kota bebas banjir dari
dampak tumpukan sampah-sampah banjir?
Musim banjir sekarang sudah masuk ke wilayah Jakarta dan diprediksi akan semakin meningkat curah hujan pada akhir 2015 dan awal tahun 2016.
GEMPA BAWAH PERMUKAAN
Jakarta sebentar lagi menyandang sebutan “kota bencana”.
Penataan ruang Ibukota sangat mendesak untuk di integrasi dalam tata ruang
multi bencana, karena ada kecenderungan bahwa perencana dan pengambilan
keputusan seringkali mengabaikan faktor bencana geologi bawah permukaan pada
pemanfaatan ruang sehingga menjadi akar permasalahan penataan ruang di kemudian
hari.
Tidak ada sinkronisasi dalam penataan ruang bawah
permukaan dengan ruang atas permukan dalam kajian geologi struktur seismik
kegempaan lokal yang meliputi beberapa aspek keteknikan geologi antara lain : Pertama,
aspek kajian teknis pembuatan peta geologi tata ruang kota bawah tanah untuk
infrastruktur berat tidak disesuaikan dengan kondisi geologi tektonik dan
stratigrafi yang berguna untuk mengetahui arah lintasan sesar-sesar aktif dalam
mengantisipasi kerentanan pondasi bangunan bawah dan pondasi bangunan atas
terhadap gaya tekan beban maksimun pondasi bangunan. Seluruh kota di Indonesia
belum memiliki peta rancang pembangunan infrastruktur fisik bawah permukaan,
dan selama ini lebih banyak peta tata ruang fisik diatas permukaan.
Kedua, aspek pengaturan kajian zonasi
geologi terhadap peta tata ruang permukaan, banyak bangunan diletakkan di
daerah hijau yang berpotensi menghasilkan bencana pada faktor geologi gempa
yaitu ground shaking. Peta tersebut berfungsi sebagai arahan untuk
pengendalian pemanfaatan lahan dalam mereduksi potensi bencana. Ketiga,
aspek percepatan akselarasi seismik pada data peta kerentanan geologis tinggi
belum mencantum berbagai permodelan tingkat kecepatan rambat goyang gempa
mencapai permukaan dari berbagai jenis tanah dan batuan terhadap bangunan yang
telah terbangunkan di Jakarta, tingkat perambatan gelombang sangat tinggi
dengan akselarasi tambahan energi goyang menjadi 4-5 kali lebih besar. Bila
pusat gempa 100 km ke permukaan cekungan Jakarta, maka daya goyang gempa bisa
meningkat sampai 30 kali.
Beberapa literatur menyebutkan ancaman kebencanaan
geologi terhadap pusat aktivitas perkotaan Jakarta dapat dilihat dari ancaman
patahan Baribis di utara Jawa Barat menuju Jakarta. Disekitar Bogor terdapat
sesar naik (uplift) kearah selatan ke kota Jakarta, bangkit bila
intensitas gempa yang kian meningkat di zona patahan aktif di sepanjang Pantai
Barat Sumatera, menuju Ibukota secara tiba-tiba.
Bencana kabut asap konon hampir atau masuk sebentar ke
wilayah Jakarta?Bagaimana dengan gempa berskala kecil sering dirasakan
masyarakat Jakarta dari gempa di sekitar Selat dan Banten? Jakarta tidak dan
belum siap menghadapi bencana geologis dan klimatologis.
Pada hematnya Jakarta semakin tak layak jadi Ibukota,
pusat pemerintahan harus dipindahkan ke daerah lain yang dianggap layak sebagai
pusat pemerintahan RI yang baru, pusat pemerintahan yang baru harus merupakan
solusi yang ideal bagi penataan ruang antar wilayah nasional dan percepatan
pembangunan untuk mengatasi kesenjangan dalam integritas Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
M. Anwar
Siregar, Ir
Enviromental Geolog,
Pemerhati Masalah Lingkungan dan Geosfer,
Komentar
Posting Komentar