Nov 17, 2015

Bencana geologi Kepung Jakarta : Geologi Disaster

Gambar : ini salah satu gambaran banjir di Jakarta (sumber gambar dari berbagai sumber)


BENCANA GEOLOGI KEPUNG JAKARTA
Oleh M. Anwar Siregar
Wajah Jakarta di abad 21 ini semakin runyam akibat tidak tertata dengan baik, pembangunan fisiknya banyak menghabiskan ruang hijau yang terlihat belum terpenujinya amanah UU No 27 Tengang Tata Ruang yang menggariskan sekitar 30 persen luas wilayah harus terdapat Ruang Hijau Terbuka, ruang yang ada sekarang hanya menghasilkan ruang bencana banjir menahun. Dan adalah fakta yang selalu menghantui ibukota, penataan ruang pemukiman dan tata ruang hijau semakin terbatas, transportasi massal yang tidak efektif, peningkatan jumlah penduduk semakin tinggi, eskalasi urbanisasi tidak pernah menurun serta ancaman degradasi air bersih, kerentanan fisik sebagai sumber utama bahaya baik secara alamiah (natural disaster) berupa ancaman gempa dari Sumatera dan Jawa Barat maupun kapasitas kepadatan penduduk yang semakin rapat dengan eskalasi pembangunan dalam tata ruang yang semakin terbatas (man made disaster).
PERSPEKTIF BENCANA
Jakarta layak dipindahkan secepatnya jika tidak mau disebut kota dengan seribu bencana, perspektif masyarakat terhadap kondisi tata ruang lingkungan geologi kota Jakarta dipengaruhi oleh pola pembangunan fisik yang tidak berwawasan bencana geologi, perspektif pertama menyebutkan faktor pemanfaatan aturan zonasi lingkungan hijau terhadap struktur tata ruang wilayah Ibukota tidak tegas, terbentuk kawasan kumuh di daerah sempadan sungai atau daerah aliran sungai (DAS). Itupun baru di realisasi setelah berulangkali terjadi banjir dengan menggusur pemukiman. Pembangunan struktur keruangan merusak tata ruang air, terjadi kekeringan air dan laju penurunan permukaan tanah 2-8 cm per tahun mendekati permukaan air laut di beberapa wilayah di utara Jakarta oleh peningkatan pembangunan infratruktur fisik berat didaerah hijau. Terjadi penurunan dan kekuarangan sumber daya air baru bersikap dan bertindak tangan besi, ini telah diperaga Ahok selaku Gubernurm berbeda sekali dengan pendahulunya.
Kedua, Faktor struktur fisik bangunan di Jakarta berada di daerah rawan bencana geologi, umumnya tidak dirancang  tahan gempa dan banyak tidak mengikuti building code, yang merupakan peraturan panduan rancang bangun suatu kawasan untuk pengendalian pemanfaatan ruang suatu rencana tata bangunan dan lingkungan, rencana investasi apabila terjadi bencana dalam rekonstruksi dan rehabilitasi. Fakta, begitu banyaknya ditemukan kejadian bencana amblesan badan jalan tol, runtuhnya sebuah jembatan dan badan jalan raya di sekitar daerah pantai yang mengalami intrusi air laut. Perlu tindakan kajian geologi bawah permukaan karena mengingat kekuatan tanah di Jakarta termasuk tanah deposit vulkanik dan alluvial pantai.
Ketiga, faktor sifat geoteknis tanah tempat struktur fisik bangunan dalam aturan building code yang ditempatkan pada zona rawan kegempaan yang sangat berpengaruh terhadap kekuatan dan pergeseran tanah dan batuan, terdapat proses geologi tata ruang Kuarter, masih terus mengalami perubahan lingkungan oleh geodinamika tektonik dan vulkanik kegempaan di sekitar Selat Sunda, di daratan Jawa Barat, di Laut Jawa dan Samudera Indonesia.
Perspektif keempat, wilayah Jakarta rentan mengalami empat golongan utama kerusakan akibat gempa apabila dari faktor point tiga terjadi dan dampaknya pada faktor point 1 dan 2 yaitu : 1. Terjadi ground shaking (efek goncangan berganda), adalah gerakan tanah akibat gempa yang merupakan unsur utama penyebab keruntuhan struktur bangunan. 2. Likuafaksi, adalah kehilangan strength pada pasir yang jenuh air akibat pembebanan siklik. Kondisi ini menyebabkan penurunan dan pergerakan lateral dari pondasi. Contoh kejadian ini banyak bangunan di Jakarta dibangun di lokasi yang telah diidentifikasi berpotensi mengalami likuafaksi seperti di Jakarta Utara dan sebagian Jakarta Barat, tanahnya terdiri dari tanah alluvial dan vulkanik. 3. Bila terjadi gempa kuat dalam radius 100 kilometer ke dalam Jakarta akan membangkitkan “sesar-sesar tidur” menjadi bidang patahan (fault rupteure) yang aktif, dapat menggangu kekuatan pondasi bangunan yang tidak dirancang tahan gempa oleh pergerakan seismik dalam lajur gerak horizontal dan vertikal. 4. Terbentuknya pola landslide bawah permukaan sebagai akibat dari pergerakan terjadinya gempa, karena tanah di kota Jakarta adalah tanah yang bersifat “lembek” maka dipastikan struktur pondasi bangunan dan struktur geologi bawah permukaan akan ada mengalami “gangguan kekuatan” menyebabkan gerakan tanah dan likuafaksi yang luas.
Beberapa asumsi bencana masyarakat menyebutkan Jakarta sebagai kota “sumpet” dan memiliki tingkat kerentanan tinggi yaitu pertama tidak memiliki pedoman pengendalian bahaya bencana untuk pencegahan bencana banjir setiap tahun. Tanya, bagaimana kalau terjadi gempa? Dipastikan akan terjadi sejumlah miskomunikasi karena mengurus banjir dan kemacetan saja sudah “cari kambing hitam”.
Asumsi kedua, Jakarta calon kota tenggelam karena begitu derasnya arus urbanisasi dan pembangunan yang terus menerus terbangunkan sehingga terjadi penggalian tanah di lokasi daerah tangkapan air bersih dan zona daerah hijau serta pesisir pantai diatas tanah lunak, dan air mudah masuk dan menekan kekuatan tanah yang terdiri dari tanah rombahkan yang tidak padat yaitu tanah hasil produktif letusan gunungapi Pangarango, Gunung Gede dan Gunung Salak di Jawa Barat. Jakarta dianggap sebagai kota dengan tingkat penurunan tanah permukaan yang cukup “kencang” di Indonesia, dan mendekati air laut padahal gempa belum keras “menimpa” wilayah kota Jakarta.
Asumsi ketiga, menyebutkan Ibukota tidak memiliki tata ruang tahan gempa yang mumpuni sehingga dianggap sebagai “kota ladang pembantaian” jika terjadi bencana gempa dan tsunami karena sampai saat ini kota Jakarta belum memiliki daerah pengaman untuk segala jenis bencana geologi dan klimatologis.
Asumsi keempat, Jakarta kota dengan banyak tumpukan sampah, sampah dikota Jakarta itu jika dikumpulkan lebih tinggi permukaannya dan lokasi tempat pembuangan sampah di Jakarta sangat minim, dan membawa sampah itu ke daerah tetangganya, Bekasi dan Jawa Barat. Dengan tumpukan yang banyak terdapat di Kalibata dan Ciliwung, maka banjir tahunan sering datang menyapa dan lagi-lagi sia-sia pembangunan yang ada, tertunda akibat banjir dan keindahan Jakarta semakin jelek dan jorok. Jangan lupa, posisi Jakarta dikepung berbagai sungai besar yang membelah Jakarta dan permukaannya sangat rendah dipermukaan Laut dan mari kita lihat apa bukti studi pembangunan banjir yang dilakukan Pemprov DKI ke Belanda, apa bisa membuktikan Jakarta kota bebas banjir dari dampak tumpukan sampah-sampah banjir?
Musim banjir sekarang sudah masuk ke wilayah Jakarta dan diprediksi akan semakin meningkat curah hujan pada akhir 2015 dan awal tahun 2016.
GEMPA BAWAH PERMUKAAN
Jakarta sebentar lagi menyandang sebutan “kota bencana”. Penataan ruang Ibukota sangat mendesak untuk di integrasi dalam tata ruang multi bencana, karena ada kecenderungan bahwa perencana dan pengambilan keputusan seringkali mengabaikan faktor bencana geologi bawah permukaan pada pemanfaatan ruang sehingga menjadi akar permasalahan penataan ruang di kemudian hari.
Tidak ada sinkronisasi dalam penataan ruang bawah permukaan dengan ruang atas permukan dalam kajian geologi struktur seismik kegempaan lokal yang meliputi beberapa aspek keteknikan geologi antara lain : Pertama, aspek kajian teknis pembuatan peta geologi tata ruang kota bawah tanah untuk infrastruktur berat tidak disesuaikan dengan kondisi geologi tektonik dan stratigrafi yang berguna untuk mengetahui arah lintasan sesar-sesar aktif dalam mengantisipasi kerentanan pondasi bangunan bawah dan pondasi bangunan atas terhadap gaya tekan beban maksimun pondasi bangunan. Seluruh kota di Indonesia belum memiliki peta rancang pembangunan infrastruktur fisik bawah permukaan, dan selama ini lebih banyak peta tata ruang fisik diatas permukaan.
Kedua, aspek pengaturan kajian zonasi geologi terhadap peta tata ruang permukaan, banyak bangunan diletakkan di daerah hijau yang berpotensi menghasilkan bencana pada faktor geologi gempa yaitu ground shaking. Peta tersebut berfungsi sebagai arahan untuk pengendalian pemanfaatan lahan dalam mereduksi potensi bencana. Ketiga, aspek percepatan akselarasi seismik pada data peta kerentanan geologis tinggi belum mencantum berbagai permodelan tingkat kecepatan rambat goyang gempa mencapai permukaan dari berbagai jenis tanah dan batuan terhadap bangunan yang telah terbangunkan di Jakarta, tingkat perambatan gelombang sangat tinggi dengan akselarasi tambahan energi goyang menjadi 4-5 kali lebih besar. Bila pusat gempa 100 km ke permukaan cekungan Jakarta, maka daya goyang gempa bisa meningkat sampai 30 kali.
Beberapa literatur menyebutkan ancaman kebencanaan geologi terhadap pusat aktivitas perkotaan Jakarta dapat dilihat dari ancaman patahan Baribis di utara Jawa Barat menuju Jakarta. Disekitar Bogor terdapat sesar naik (uplift) kearah selatan ke kota Jakarta, bangkit bila intensitas gempa yang kian meningkat di zona patahan aktif di sepanjang Pantai Barat Sumatera, menuju Ibukota secara tiba-tiba.
Bencana kabut asap konon hampir atau masuk sebentar ke wilayah Jakarta?Bagaimana dengan gempa berskala kecil sering dirasakan masyarakat Jakarta dari gempa di sekitar Selat dan Banten? Jakarta tidak dan belum siap menghadapi bencana geologis dan klimatologis.
Pada hematnya Jakarta semakin tak layak jadi Ibukota, pusat pemerintahan harus dipindahkan ke daerah lain yang dianggap layak sebagai pusat pemerintahan RI yang baru, pusat pemerintahan yang baru harus merupakan solusi yang ideal bagi penataan ruang antar wilayah nasional dan percepatan pembangunan untuk mengatasi kesenjangan dalam integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia.
M. Anwar Siregar, Ir
Enviromental Geolog, Pemerhati Masalah Lingkungan dan Geosfer,

No comments:

Post a Comment

Related Posts :