Nov 9, 2015

Belum Habis Asap Banjir Datang


Gambar : Medan Banjir, sedangkan Kabut Asap kiriman dari Tetangga masih belum hilang, banjir yang terjadi di salah satu sudut kota Medan di Sp Limun (Foto Penulis).

BELUM HABIS ASAP DATANG BANJIR
Oleh M. Anwar Siregar
 
Mari kita lihat bagaimana pemerintah mengatasi kabut asap dan bencana banjir yang sudah melanda beberapa kota walau hujan hanya ”sesaat”

Pembangunan saat ini, lebih memfokuskan pada pencapaian ekonomi, terlihat dari eskalasi pemanfaatan sumber daya alam—yang menimbulkan bencana kabut asap dan pencemaran ke lingkungan di udara, air, tanah dan keanekaragaman hayati, sumber daya alam—bukanlah sesuatu yang dapat digunakan secara berlebihan sehingga menimbulkan masalah lingkungan dan tata ruang hijau.
Jika selama ini konsep pembangunan berkelanjutan diyakini sebagai suatu prinsip yang memperhatikan daya dukung lingkungan, dan menjamin masa depan kehidupan manusia, maka penerapan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi, dan akuntabilitas menjadi sangat penting. Selama ini aktualisasi dari prinsip-prinsip tersebut secara efektif memang belum mampu menjawab permasalahan tingginya laju degradasi lingkungan. Karenanya negara selaku pelaku mesti bertanggungjawab atas terjadinya bencana ekologi yang kian massif. Dan terbukti kabut asap selalu datang hadir dalam lingkungan bumi Indonesia, bukan sekedar ”menyapa” tapi mencemoohkan dalam bentuk bencana ekologi.
Percayalah, belum habis bencana ekologi kabut asap dipastikan pada akhir dan awal tahun ada kemungkinan bencana ekologi akan terjadi. Tunggu tanggal mainnya karena ini merupakan sebuah ”film alam” yang sudah didokumentasi teratur. Siapkan saja modal biaya tak terduga yang akan muncul ”main” di kota Anda.

Kelanjutan Asap
Indonesia adalah salah satu negara yang menandatangai deklarasi pembangunan berkelanjutan—salah satu sasarannya menjamin kelestarian lingkungan dengan mengintegrasi prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam kebijakan dan program ataupun mengurangi hilangnya keanekaragaman hayati serta mengurangi setengah proporsi penduduk tanpa akses keberlanjutan terhadap pemanfaatan air minum yang aman serta salinitas lingkungan bersih.
Pembangunan yang menghasilkan kabut asap berkelanjutan biasanya berhubungan dengan kawasan hijau—seperti terjadi di Sumatera Selatan, Riau, Jambi dan Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat—merupakan eskalasi pencaplokan kawasan hijau mencapai ratusan hektar dengan metode pembakaran kolektif. Ditambah lagi dengan melakukan penghancuran ruang sempadan hijau antara lokasi yang mengandung bahan tambang dengan lokasi sumber daya hutan primer melalui berbagai cara. Antara lain meregulasi izin luas konsesi hutan, mengubah aturan kebijakan berbagai UU lingkungan, tata ruang dan kehutanan dengan menekan perubahan peruntukan tata ruang dan urusan di balik ”mental”.
Faktor utama mengapa kabut asap belum pernah tuntas setiap tahun hadir, adalah etika kebijakan pemerintah dalam mengatur tata ruang pertambangan, perkebunan dan kawasan hutan lindung yang saling tumpang tindih. Kebijakan pemerintah banyak ”membunuh” ruang-ruang hijau, terlihat hampir merata di berbagai kota di Indonesia. Ratusan hektar hutan dikorbankan hanya untuk pencapaian ekonomi kapitalis yang keuntungannya hanya dapat dinikmati segelintir orang.
Namun bencana kabut asap lebih banyak dinikmati masyarakat luas akibat penyebaran ke udara mencapai berton-ton miliar emisi, implikasinya di berbagai bidang sosial dan kesehatan kini semakin terasa. Indonesia semakin kehilangan luasan hektar lahan hutan, meningkatnya derajat keasaman air hujan dan terjadinya penurunan tingkat kesuburan tanah serta peningkatan suhu rata-rata di kota besar meningkat 0.5 derajat per tahun menjadikan suhu bumi semakin panas.
Keyakinan masyarakat menyebutkan, kelanjutan kabut asap 2015 akan lebih parah dibandingkan tahun 1997, dimana hutan Indonesia dijerabu mencapai 2 juta hektar secara langsung melalui metode pembakaran lahan dan hutan—selain kebakaran alamiah seperti kemarau di beberapa kota di Pulau Jawa sehingga mengantarkan bangsa Indonesia sebagai negara penghasil emisi karbon ”terbaik” pertama di muka bumi dengan ”mengalahkan” China.
Yang menjadi pertanyaan kita, untuk apa pemerintah mengikuti forum lingkungan, iklim dan energi jika standar pengendalian bencana emisi yang berasal dari penghancuran lingkungan namun tidak mampu mencegah sedini mungkin. Untuk apa ikut meratifikasi berbagai peraturan politik lingkungan internasional dan berbagai persoalan lingkungan serta kehutanan lainnya jika masih menghasilkan berton-ton kelanjutan kabut asap, emisi dari berbagai sumber? Apakah benar pada setiap periode pemerintahan berganti terdapat model pembangunan ekonomi hijau, laut biru atau istilah lainnya? Kenyataan kita lihat hampir di seluruh tanah air yang terjadi adalah penghancuran ruang.
Sebuah ruang saat penting sebagai sumber aktivitas bagi manusia, ruang adalah bagian sumber daya yang harus dijaga, yang meliputi semua aspek yang ada di permukaan bumi atau alam semesta. Harus ada keselarasan, namun yang terjadi Indonesia saat ini adalah kabut asap dan banjir, dua bencana lingkungan yang merupakan lagu klasik dengan aransemen selalu berubah dengan datang silih berganti.

Pembangunan Ekonomi Coklat
Pembangunan energi yang meningkat itu juga telah menimbulkan efek bagi ruang, merupakan bagian dari sumber daya alam yaitu adanya peningkatan laju urbanisasi di kota besar. Maka tidak mengherankan, begitu banyak sumber ”energi emisi” yang selalu terus meningkat mengotori ruang udara di kota-kota besar di Indonesia lalu menghasilkan sumber bencana baru yaitu: bencana pencemaran tanah dan air bersih.
Penggunaan energi, penghancuran hutan dan pencemaran air dan udara serta tanah di bumi tersebar merata di atas dan di bawah permukaan bumi Indonesia sehingga menimbulkan kesan pembangunan ekonomi coklat berkelanjutan karena telah menimbulkan berbagai macam efek bagi keberlangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya.
Gambar : Pembangunan Ekonomi Coklat yang menghasilkan asap berkabut di mana-mana
(sumber : Tribun Regional)

Berbagai kajian juga menyebutkan dan memberikan kesimpulan bahwa pertumbuhan ekonomi konvensional telah menyebabkan deforestasi hutan akibat permintaan dan pemanfaatan sumber daya lingkungan dari hutan yang melebihi ketersediaan yang terbatas, telah menyebabkan kerusakan hutan semakin meningkat. Bahwa kabut asap dari pembakaran hutan ada hubungan dengan pertumbuhan ekonomi terutama akses pembukaan lahan perkebunan dan pertambangan.
Kajian ini menyebutkan juga bahwa pembukaan lahan perkebunan memerlukan investasi lahan yang luas, menggerus sumber-sumber daya yang ada dalam kawasan hijau berdampak negatif terhadap iklim investasi dan perdagangan, mengurangi pertumbuhan ekonomi serta menciptakan distorsi dalam pengeluran anggaran pemerintah untuk sektor publik, yang pada gilirannya dapat menaikkan tingkat kemiskinan.
Persoalan pembangunan ekonomi coklat yang menghasilkan bencana ekologi ini semakin parah jika izin akan dipermudahkan. Salah satunya adalah faktor mental dalam menjalankan konsistensi aturan. Hanya untuk mendapatkan investasi yang besar pemerintah jangan mengorbankan lingkungan hijau terutama hutan Indonesia sebagai paru-paru dunia. Dan mari kita lihat bagaimana pemerintah mengatasi kabut asap dan bencana banjir sekarang sudah melanda beberapa kota walau hujan hanya ”sesaat”, hanya untuk mengejar keuntungan investasi.

Datang Banjir
Sudah terbukti, belum habis kabut asap, telah datang banjir kecil sebagai pemanasan di beberapa kota besar di Indonesia. Karena beberapa hari lalu, jelang akhir September dan awal Oktober 2015 hujan deras melanda kota besar Medan, sebagian wilayah udaranya kebetulan juga terkena dampak kabut asap, mengingatkan penulis dari literatur gambar letusan gunungapi Tambora, Medan bagaikan sudah masuk malam.
Dua bencana itu membuktikan pemerintah belum sanggup mengatasi pembangunan yang berbasis natural dan man made disaster di kota besar di Indonesia. Jika tidak, maka Medan tidak akan mengalami bencana kabut asap terutama khususnya bencana banjir. Pembangunan tata ruang drainase yang sangat buruk, pembelajaran siklus alam yang tanda-tandanya datang teratur ternyata tidak diantisipasi dengan baik dari pengambil kebijakan untuk membangun infrastruktur tata ruang fisik yang lebih baik. Maka muncullah sungai-sungai kecil yang suatu saat menjadi ganas.Menyusul sekarang Bandung, sebentar lagi Jakarta, Semarang dan Manado. Jadi siapkan modal biaya kesehatan karena akan berlangsung ”film bencana alam” di kota Anda
Oleh M. Anwar Siregar
Penulis adalah Enviromnetalist Geologist, Bekerja Di Tapsel.

Diterbitkan HARIAN WASPADA MEDAN
http://www.waspadamedan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=44683:belum-habis-asap-datang-banjir-&catid=59:opini&Itemid=215

No comments:

Post a Comment

Related Posts :