Bencana Besar Kegempaan
INDONESIA MASIH DALAM ANCAMAN BENCANA BESAR KEGEMPAAN
Oleh : M. Anwaw Siregar
Bencana gempa tsunami seharusnya dijadikan
refleksi untuk perencanaan pembangunan kawasan hunian perencanaan pembangunan
tata ruang detail wilayah bagi kota-kota di Indonesia. Dengan bantuan informasi
geologi sebagai ujung tombak pembangunan keruangan wilayah dengan berbasis
kegempaan lokal, baik dari gempa tektonik maupun dari gempa vulkanik yang dapat
dilakukan dengan bantuan penelitian peta dasar geologi dan topografi serta GPS.
Kenyataan saat ini, ancaman bencana alam geologi
di Indonesia sejak awal tahun 2006 semakin jelas dengan adanya banjir akibat
pembalakan hutan-hutan tropis, gempa tektonik akibat pembenturan Lempeng Benua
dengan Lempeng Pulau Di Maluku dan Sulawesi telah menghasilkan kerusakan dan
bersamaan juga meningkatnya aktivitas dapur magma di 12 gunung berapi di
Indonesia berubah status aman menjadi waspada dan 2 gunung api dalam status siaga yang menghasilkan gempa vulkanik yang tinggi di
Kawasan Barat dan Timur Indonesia yang dapat menghasilkan bencana yang lebih
besar dari yang terdahulu?Siapkah Indonesia mengahadapinya?
Dengan kondisi bangsa yang masih dalam keadaan krisis dan setiap ada masalah timbul tenggelam dan menguap begitu saja tanpa
ada realisasi yang pasti dalam memecahkan persoalan keadaan lingkungan, potensi
pulau-pulau terdepan dan sumber-sumber daya alam yang seharusnya diolah dengan
kemampuan sendiri untuk kesejahteraan rakyatnya. Yang pada akhirnya dapat
digunakan untuk pembangunan mitigasi yang komprehensif (yang luas dan
menyeluruh) untuk mengamankan wilayah dan mengurangi jumlah korban bencana di
Indonesia.
SIKLUS BENCANA STRATEGIS
Bahwa siklus bencana itu selalu kembali pada
daerah yang sama dengan intensitas yang berbeda dan lempeng bumi masih dalam
proses menuju keseimbangan tetap. Selama proses itu belum tetap maka
akan selalu terjadi pembenturan, penghancuran, pergeseran dan pemisahan antar
lempeng yang menyebabkan terjadinya bencana seperti gempa dan tsunami.
Gempa di Iran pada tahun 2000 hanya berselang 6
tahun dengan gempa yang terjadi lagi pada bulan Februari 2006 dengan kekuatan 6.4 Skala Richter (SR) dengan korban 1000 jiwa.
Melihat waktu terjadinya begitu singkat, maka dapat diprediksi bahwa ada
bencana yang berlangsung dalam periode waktu (pelepasan energi
ketegangan) selama 10-20 tahun, 100-200 tahun, 300-400 tahun dan ada
dalam periode singkat seperti yang terjadi di Iran disebabkan struktur geologi yang sangat rentan bencana. Untuk Indonesia terdapat dikawasan Pantai Barat Sumatera, lihatlah gempa Aceh-Simeulue 2001, 2002, ,2005 dan Nias
2004-2005. Bengkulu, 2000, 2002, 2005.
Semua pusat gempa terletak dilautan yang dapat
menghasilkan gempa strategis besar bagi wilayah Indonesia yang belum pernah
terjadi dengan meliputi areal yang sangat luas berupa gempa tsunami dengan
diiringi gempa vulkanik di daratan. Hal ini dapat dikondisikan oleh beberapa
faktor yang menempatkan wilayah Indonesia dalam ancaman bencana
besar gempa strategis.
Dapat terjadi melalui bencana di Pantai Pesisir
Barat dan Timur Indonesia yang menjangkau wilayah yang luas di Asia Tenggara
serta terdapatnyalebih dari 15 pusat gempa-gempa besar dengan tiga pergerakan
lempeng besar benuadengan terjadinya gempa kuat di Utara Pulau Sumatera melalui
patahan pada lempeng kecil Burma (micro plate Burma) yang menyebabkan gempa
strategis dan penghancuran lempeng pada Paparan Sahul oleh Lempeng Carolina
Pasifik dengan Lempeng Indo-Australia serta tertekannya Lempeng Philipina
dengan adanya retakan diperbatasan lempeng dimana terdapat Palung Laut Dalam
Mindanau.
Faktor tersebut adalah Pertama, faktor waktu.
Kedua, faktor geologi daerah tertentu. Ketiga, faktor geografis kegempaan
(daerah pertemuaan kegempaan).
WAKTU
Faktor ancaman bencana dimulai dari Faktor waktu sudah disebutkan dengan
pola pengulangan siklus berupa masa pelepasan energi. Dilihat oleh pertemuaan
lempeng bumi yang akan mengakumulasi energi pada ruas perbatasan/pinggir
lempeng dalam puluhan, ratusan hingga ribuan tahun yang dapat memunculkan
gempa-gempa pada kawasan tertentu pada waktuwaktu tertentu diakibatkan oleh
pembenturan dan pemisahan antar lempeng yang terus menerus dalam ratusan tahun.
Bila energi itu sudah diambang kritis karena batuan tidak bisa terus menerus
menahan tekanan akan mengalami pematahan, yang akan keluar berupa gelombang
seismik dan dikenla sebagai goncangan gempa. Saat ini, akumulasi energi gempa
terpusatkan pada daerah Kepulauan Mentawai di Pantai Barat Sumatera dan
diketahui telah melewati masa siklus kegempaan selama lebih 100 tahun sejak
tahun 1883. Adanya gempa-gempa ddaratan Sumatera Barat dalam kurun 6 bulan
terakhir ini dapat memicu gempa besar disekitarnya karena faktor struktur
geologi.
Faktor Struktur Geologi, yaitu tatanan geologi yang membentuk wilayah secara lokal maupun hubungan
secara regional seperti jenis batuan dan struktur sesar (patahan) aktif lokal
yang membentuk kondisi geologi disekitarnya seperti adanya zona penunjaman yang
menghasilkan gempa bumi di masa mendatang. Faktor ini telah terlihat dengan
terjadinya gempa di Kawasan Timur Indonesia seperti gempa Ambon, gempa Palu.
Sedangkan gempa yang melanda tanah Karo dan
Tapanuli merupakan pendesakan Lempeng Samudera terhadap Lempeng Sunda yang
bagian dari sub Lempeng Benua dan merupakan gema yang sangat berbahaya karena
terdapat struktur geologi lokal yang sangat rumit di SUMUT yang dapat memicu
gempa vulkanik dan tektonik yaitu diwilayah Tumor (puncak) Batak dan Patahan
Semangko. Tumor Batak itu sendiri merupakan sisa letusan gunungapi Toba Purba
yang mesti diwaspadai tingkat kerentanannya. Masa siklusnya sudah semakin
dekat.
Faktor Geografis
sebagai sumber gempa bumi besar yang dapat mengancam kota-kota di Indonesia dan
kawasan Asia Tenggara yaitu, pertama,
ancaman bencana besar terletak pada gugusan Kepulauan Mentawai sebagai sumber penyimpanan energi gempa yang
besar dan berupa ancaman strategis di cekungan muka busur Sumatera (Pantai
Barat Sumatera), seperti yang telah dialami oleh Meksiko mealui gempa-gempa
strategis di Pantai Barat Amerika yang berjarak 400 km dari pusat gempa yang
menghancurkan kota Meksiko yang bukan daerah kegempaan dengan 8.0 SR. Dan
selama lima bulan terakhir ini gempa di sekitar blok Mentawai-Enggano sering
terjadi ”goyangan” dengan intensitas 5.8-6.4 SR. Ini mengingatkan kita kepada
gempa-gempa di Utara Sumatera di Aceh selalu diawali oleh gempagempa skala
sedang hingga puncaknya pada 2004 di Aceh-Nias.
Kedua, ancaman besar
lainnya di Kawasan Barat Indonesia dengan terjadinya
penurunan dan penghancuran permukaan di Palung Laut Jawa yang sepanjang patahan
regional Pantai Barat Indonesia dengan adanya gempa gunung vulkanik di bawah
laut yang masih aktif. Ketiga, terjadi pematahan lempeng kecil dengan
pusat gempa di wilayah Kepulauan Andaman dan Palung Laut Dalam di Nikobar
hingga menuju ke Utara Sumatera yang terdesak oleh lempeng Indo-Australia di
Burma. Keempat, terjadi perubahan batimetri atau topografi kelautan di Pantai Timur
Sumatera akibat pengangkatan dan penurunan permukaan oleh gempa-gempa di
kawasan tersebut sebagai sarana jalan tanpa hambatan bagi ”air bah” ke daratan
Sumatera dan Semenanjung Malaya.
Kelima, ancaman
bencana strategis yang menghancurkan sebagian wilayah Kawasan Timur Indonesia
berasal dari kehancuran lempeng di
Paparan Sahul oleh dua lempeng besar yaitu Lempeng Australia dan Lempeng
Carolina-Pasifik dan pemakaran dan peretakan lempeng di Patahan Sulawesi dan
Banda Neira (Provinsi Maluku dan Maluku Utara) oleh tekanan Lempeng Philipina-
Pasifik dengan terjadinya berulangkali pelepasan energi kegempaan di kawasan
tersebut.
Gempa yang terjadi pada tanggal 29 Januari 2006
dan Maret 2006 di Kepulauan Maluku masih berhubungan dangan patahan regional
Pasifik. Patahan yang baru sepanjang 3 kilometer di Pantai Timur Pulau Ambon
(Analisa, 12 Februari 2006) masih berhubungan langsung dengan patahan lokal di
Patahan Makian-Toledo di Halmahera sebagai batas patahan regional Lempeng
Pasifik yang melingkar berbentuk mangkok dapat menghancurkan sebagian permukaan
lempeng di Kepulauan Halmahera dan Pulau Ambon yang memang rentan gempa. Terakhir
terjadi gempa di sekitar Pulau Buru dengan skala 5.8 SR tanggal 14 Maret 2006.
Masa siklus kegempaan besar didaerah ii sebenarnya sudah lewat yakni sekitar
tahun 1888 lalu pernah terjadi bencana di sekitar Pulau Buru (Kepulauan Banda
Neira) dengan magnitudo di atas 8.0 SR.
Keenam, termasuk kumpulan titik-titik lemah bola bumi yaitu daerah pertemuan, perbatasan serta
pusat subduksi kegempaan besar antara perbatasan patahan regional Pantai Barat
Indonesia dengan lautan di Kawasan Pantai Timur Indonesia serta dengan Laut
Philipina terdapat palung laut dalam dan beberapa gunung berapi/vulkanik yang
masik aktif dibawah laut di Utara Irianjaya Barat yang dapat memicu pusat-pusat
gempa di tiga kawasan tersebut. Sebagian pulau yang ada terbentuk oleh sebagian
material vulkanik disekitar Laut Banda dan dapat menghasilkan tsunamis. Efek
guncangan akan terasa hingga ke Benua Amerika Selatan.
Semua bencana strategis tersebut diatas merupakan
ancaman bencana seri kedua bagi Indonesia diabad ke 21.
PERLUNYA
KESIAPAN MITIGASI
Kota besar di Indonesia yang berada di pesisir
pantai Samudera Hindia dan Pasifik sudah harus mempersiapkan sistem pengaman
bencana strategis dari ancaman dari dua arah patahan di Utara Pantai Barat
Indonesia di Pulau Sumatera dan di Selatan Kawasan Timur Indonesia di sekitar
Kepulauan Maluku dan Irianjaya Barat yang telah memunculkan gempa-gempa kekuatan
sedang dibawah 6.0 SR dalam kurun enem buulan terakhir ini sebagai peringatan
bagi kita untuk mewaspadainya.
Gempa Aceh sebagai pelajaran berharga telah
mengingatkan kita sebelum bencana itu terjadi sudah ada gempa yang sangat
merusak hingga puncaknya di Bulan Desember 2004 dan Maret 2005. Maka diperlukan
penelitian geologi kegempaan lokal dalam pengembangan tata ruang wilayah daerah
setiap kota di Indonesia dalam mempersiapkan kondisi kehiduapan terhadap
ancaman bencana secara dini selain teknologi peringatan dini. Jangan setelah
terjadi bencana, baru dipersiaplam semua.
Hancurnya sebuah kota dalam menghadapi ”serangan
fajar” dapat ditimbulkan oleh perencanaan pembangunan infrastruktur dan sistem
pengaman bencana yang tidak memperhatikan beberapa aspek informasi kerentanan
geologis yaitu Pertama, Pembangunan
lokasi sarana fisik tidak berbasis informasi geologi keteknikan gempa, yang
mencakup studi kelayakan yang komprehensif pada areal konstruksi.
Kedua, Pembangunan ruangan wilayah tidak
memperhitungkan dan tidak bertumpuk pada resiko bencana gempa yang mungkin atau
akan terjadi. Ketiga, tidak
memperhitungkan ketinggian dan kekuatan tanah dalam menghadapi gerakan tanah
untuk pembangunan infrastruktur.
Diketahui rata-rata ketinggian tata ruang
permukaan topografi kota-kota di Indonesia sebagai lahan infrastruktur untuk
kehidupan masyarakat, pemerintahan serta swasta umumnya pada kawasan yang
morfologinya (bentangalam) rendah ke laut, sangat rentan terhadap ancaman
tsunami dari Pantai Barat dan Timur Sumatera karena ketinggian topografinya
antara 10-20 meter dari permukaan air laur, tinggi gelombang tsunami dapat
mencapai sekitar 30 meter dan rata-rata 15 meter mencapai ke daratan. Contohnya
tsunami di Aceh dengan ketinggian 15 meter dengan ketinggian daratan pantainya
sekitar 7 meter, hasilnya Kota Banda Aceh hancur.
Keempat, hancurnya sistem ekologis alamiah pantai yang
terpenting bagi pengaman bencana tsunami seperti mangrove dan terumbu karang.
Ini banyak terlihat di Pulau Batam dan Kepri dan diperparah pergerusan pasir
laut yang menyebabkan Pulau Nipah hampir tenggelam. Pelajaran berharga untuk
tidak merusak ekosistem alam.
Oleh karena itu, Kota di Indonesia sudah harus
mengupayakan sistem bencana dini untuk mengatisipasi ancaman yang sudah dibahas
didepan. Setiap perencanaan pembangunan di segala sektor sudah harus memahami
siklus bencana. Maka untuk mengurangi dampak bencana ada baiknya
memperhitungkan segala risiko. Bahwa setiap kota bukan saja ada bangunan
infrastruktur fisik, tetapi harus ada kehadiran sistem pengaman bencana dengan
berlandaskan pada pembangunan berbasis kegempaan lokal yaitu Pertama, mutlak memperhitungkan dengan cermat daerah kerentanan geologis terhadap
kawasan hunian kehidupan dalam kerangka ruang dan waktu bukan disaat tidak
adannya bencana. Untuk mencegah kehancuran yang lebih parah.
Kedua, perlunya
standarisasi pembangunan kawasan dengan melakukan pemetaan kegempaan mikro
untuk meminimalisasikan risiko gempa strategis, berfungsi sebagai arahan
petunjuk pembangunan (code building) yang berdasarkan peta kegempaan lokal.
Tujuannya dapat mengembangkan pembangunan fisik yang berkelanjutan tanpa
menguras dana pembangunan dan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan
teknologi dini yang lenig baik. Ketiga,
Mempersiapkan masyarakat yang siap menghadapi ancaman bencana dan membangun
tata ruang wilayah yang minimal tahan menghadapi bencana dalam jangka waktu
cukup lama.
Diharapkan Pemerintah Propinsi di seluruh
Indonesia sudah mempersiapkan pembangunan berbasis kegempaan untuk mengurangi dampak
kerugian dan korban jiwa. Karena
kehancuran sebuah kota, akan menambah beban pembangunan dan tumpukan
utang-utang kepada generasi yang belum lahir.
Diterbitkan Surat Kabar Harian ”ANALISA” Medan, tanggal 4 April 2006
Komentar
Posting Komentar