Aug 18, 2016

Disintegrasi Baqngsa di Antara Presiden



DISINTEGRASI BANGSA DIANTARA PERGANTIAN PRESIDEN
Oleh : M. Anwar Siregar

Indonesia sejak merdeka telah memiliki empat Presiden dan lebih setengah kumlah wakil presiden ternyata belum juga sanggup membangun demokrasi yang adil dan bersih dari intrik-intrik kotor politik, setelah lepas dari cengkeraman Belanda bangsa ini ternyata mengalami cengkeraman baru berupa geliat politik kotor dengan dalih kepentingan rakyat, namun kenyataan yang kita lihat adalah pembantaian lawan politik, penangkapan yang bernuansa politik maupun juga dengan cara melakukan penyumbatan kran demokrasi agar genggaman kekuasaan tetap berlanjut entah kapan akan berakhir.
Semua presiden di Indonesia telah menunjukkan masing-masing semangat demokrasi mereka menurut versi dan arahan yang mereka inginkan. Ke empat presiden RI ini telah mencoba mempratikan semangat dan kemampuan demokrasi kepada rakyat. Ir.  Soekarno terkenal dengan semangat demokrasi “terpimpin”, setelah beliau dilengserkan dengan surat sakti yang sampai sekarang belum ketahuan juntrungannya oleh Soeharto dengan memperkenalkan semangat demokrasi Pancasila bagi seluruh rakyat Indonesia maupun juga kepada partai-partai politik bila tidak ingin di cap “komunis”, berganti kemudian dari pemerintah orba berlanjut kepemerintahan transisi reformasi dibawah pimpinan anak “emasnya”. Dalam waktu singkat BJ Habibie meneruskan dan memperkentalkan demokrasi sang suhu dengan demokrasi pancasila yang lebih democrat dengan membuka dan mempersilahkan partai-partai dibentuk tanpa batas-batas. Namun ia pun terjungkal ditangan para reformis (yang dianggap dirinya begitu) dengan terpilihnya Gus Dur dengan semangat baru untuk membentuk Indonesia baru beserta demokrasi paling moderen namun dibarengi sikap yang controversial.
Belum dua tahun memimpin Negara ini, Gus Dur belum juga mampu mengendalikan keamanan dan ketertiban masyarakat terhadap anarkis, kerusuhan dan penjarahan diberbagai daerah. Akumulasi ini dimulai dari konflik elite politik yang maunya mementingkan kepentingan partai politiknya.
Kemampuan aparat dalam menyelesaikan problem keamanan dalam proses demoralisasi mengalami kendala dilapangan, pemisahan TNI dan Polri berlangsung kurang lancar dengan dibarengi dengan jumlah personalia yang masih kurang dan waktu dalam menyelesaikan berbagai gangguan keamanan justrunya menimbulkan rasa frustasi, apabila mereka belum dipersiapkan secara mantap dalam mengendalikan para demosran yang terjadi setiap hari, sampai menimbulkan kematian disalah satu pihak.
Bangsa ini seperti mengikuti sebuah siklus, bila lepas dari satu konflik masuk lagi ke konflik berikutnya yang tak kalah dahsyat dan sebagai dampak dari akibat ketidak adilan pusat dalam melakukan pembagian pembangunan, timbulnya tuntutan untuk melepaskan diri dari NKRI semakin kuat ketika Abdurrahman Wahid terpilih menjadi presiden yang kurang aspiratif bahkan tindakan makin keras tingkat kekerasan dan eskalasi konflik seperatisme bergema di daerah-daerah.
Kekerasan di berbagai daerah semakin meruncing tajam karena kemampuan pemerintah dalam memecahkan persoalan seperatisme dan kerusuhan disebabkan pengetahuan dan keterampilan didalam menyelesaikan segala sengketa sangat tebatas, selain massa juga sangat emosional. Sikap pemerintahan terutama presiden dalam menangani kerusuhan sangat lambat dan memilih ke luar negeri dan baru balik ketika kerusuhan itu sudah memuncak seperti yang terjadi di sampit terimbaskan ke Kalimantan Barat kembali terjadi lagi.
Fakta-fakta yang ditemukan dilapangan dianggap remeh tentang ketimpangan structural sebagai akibat pembangunan yang sentralistik dan diperparah oleh homogeni pusat sebagai devisa politik harmonisasi yang menjadi penyebab matinya kemampuan masyarakat local untuk hidup secara otonomi.
Namun dalam pemerintahan Gus Dur, dalam pelaksanan otonomi, masih banyak kepentingan pusat atas daerah yang belum diserahkan ke daerah, malah memberikan hak daerah sangat terbatas. Otonomi daerah yang pelaksanaannya pun setengan mati, perimbangan keuangan antara pusat dan daerah sangat tidak adil, menggelegarkan amarah rakyat didaerah untuk menuntut keadilan, tanggapan ini dianggap tidak perlu, akibatnya timbullah tuntutan kemerdekaan dan pemisahan daerah dari Negara kesatuan RI.
EKONOMI
Penjarahan dan penghancuran barang-barang milik umum atau negara adalah  akumulasi dari kekecewaan selama 32 tahun pemerintahan orba dari segi ekonomi. Ketimpangan keungan pusat dan daerah telah menambah kecemburuan social daerah yang kaya yang telah terperaskan karena tetap yang termiskin. Diiringi oleh eskalasi politik yang memanas dan meruncing antara elite politik, menyeret masyarakat untuk berbuat sesuatu menurut kehendak mereka. Karena para elite itu sibuk mengurus perseteruan mereka daripada mengurus kemaslahatan bangsa. Dilain pihak, sikap kontradiksi presiden yang semaunya dan lebih banyak mengurus  kepentingannya agar tidak jatuh dan bersikap tidak mau repot-repot.
Kecenderungan Gus Dur akhir-akhir ini, lebih banyk memusatkan pikiran dalam menghadapi lawan politiknya,  tidak lain akibat sikap sendiri yang kini membuatnya repot, mengundang berbagai macam reaksi dari masyarakat tidak secara langsung menyeret massa pendukung untuk saling menunjukkan kekuatan masing-masing, menimbulkan dilematis keadaan Negara mendekati chaos. Sedang perubahan dibidang ekonomi justru semakin krisis mendekati krisis ekonomi jilid ke II. Ada beberapa penyebabnya, pertama karena factor ekonomi yang belum beres dan dibarengi sikap presiden dalam memberantas KKN belum menunjukkan hasil, Gus Dur lebih banyak mengeluarkan statemen politik yang kadang-kadang memanaskan. Kedua adalah faktor keamanan, penyelesaian masalah keamanan daerah yang memilih pemberontakan seperatisme belum juga dibasmi dengan alasan masih saudara yang mesti diberikan kesempatan kembali kepangkuan ibu pertiwi. Keamanan inilah yang dibutuhkan para investor dalam menanam modal dalam meningkatkan pendapatan dan pengurangan pengangguran karena termasuk bibit kerusuhan dan pembentukan premnisme. Dan yang terakhir ketiga adalah konflik elite yang terus menerus dan masalah semakin ruwet karena ambisi yang euforia yang sudah kelewat batas, etika berbangsa telah hilang dari diri sebagai bangsa yang menghormati adat ketimeran.
Penyelesaian masalah seperatisme didaerah kini memasuki DOM  versi baru, dimana Aceh mau diberlakukan operasi meliter terbatas (OMT). Apakah dengan OMT ini Aceh betul-betul bebas dari pemberontakan? Terus apa saja yang dikerjakan pansus UU otonomi khusus Aceh? Kenapa begitu lambat kerjanya sedang di negeri serambi mekkah itu terus bergejolak dan tiada hari tanpa korban dikedua belah pihak.
DISINTEGRASI
Bangsa ini mengalami disintegrasi semakin parah, karena banyaknya konflik-konflik kepentingan elite dengan parpolnya membuat pembahasan masalah pencegahan disintegrasi sepertinya terpinggirkan. Masalah krusial justrunya semakin meningkat tajam. Peraturan-peraturan pemerintah banyak yang tidak akomodatif, penguasaan SDA milik daerah masih tetap dipegang pusat, padahal akumulasi kekecewaan berawal keras disini. Pusat dibawah kendali Gus Dur sepertinya tidak belajar dari kesalahan pemerintahan yang lalu. Malah ia mengirim dan pembentukan pasukan OMT di Aceh, sedang di Jawa Timur dibiarkan adanya pasukan berani mati. Bila keduanya berada siapa yang untung? bukan rakyat, melainkannegara lain yang punya kepentingan atas pertikaian ini.
Politik kekerasan ini lebih banyak menjalar di kegidupan rakyat Indonesia. Ancaman disintegrasi bangsa mulai dari sini Mr Gus Dur, dimana konfrontasi horizontal antar atnis atau untuk pendukung dapat membahayakan negara ini. Ini lihat akibat dari tidak puasnya penduduk asli terhadap penduduk pendatang yang diwujutkan dengan konflik sosial dan budaya.
Nuansa disintegrasi itu telah mulai mengakar, bila para elite tidak dapat menghentikan pertikaian yang terus menerus tanpa ada perubahan yang mendesak, perang pendukung dan pembentukan pasukan berani mati ataupun pasukan jihat telah meningkatkan jurang disintegrasi semakin lebar.
Indonesia akan tinggal dan Mr Gus Dur, sebaiknya dari sekarang persiapkan perangkatan untuk menyelesaikan masalah ini dan bahaslah ketika kompromi politik jadi berlangsung agar disintegrasi dapat dicegah.
M. Anwar Siregar                             
Karyawan Swasta
Dipubliskasi di HARIAN ANALISA MEDAN, Tgl 9 juni  2001
Dipublikasi Ulang, untuk mengingatkan tulisan ini sudah dijiplak habis

No comments:

Post a Comment

Related Posts :