Disintegrasi Baqngsa di Antara Presiden
DISINTEGRASI BANGSA DIANTARA
PERGANTIAN PRESIDEN
Oleh : M. Anwar Siregar
Indonesia sejak
merdeka telah memiliki empat Presiden dan lebih setengah kumlah wakil presiden
ternyata belum juga sanggup membangun demokrasi yang adil dan bersih dari
intrik-intrik kotor politik, setelah lepas dari cengkeraman Belanda bangsa ini
ternyata mengalami cengkeraman baru berupa geliat politik kotor dengan dalih
kepentingan rakyat, namun kenyataan yang kita lihat adalah pembantaian lawan
politik, penangkapan yang bernuansa politik maupun juga dengan cara melakukan
penyumbatan kran demokrasi agar genggaman kekuasaan tetap berlanjut entah kapan
akan berakhir.
Semua presiden
di Indonesia
telah menunjukkan masing-masing semangat demokrasi mereka menurut versi dan
arahan yang mereka inginkan. Ke empat presiden RI ini telah mencoba mempratikan
semangat dan kemampuan demokrasi kepada rakyat. Ir. Soekarno terkenal dengan semangat demokrasi
“terpimpin”, setelah beliau dilengserkan dengan surat sakti yang sampai
sekarang belum ketahuan juntrungannya oleh Soeharto dengan memperkenalkan
semangat demokrasi Pancasila bagi seluruh rakyat Indonesia maupun juga kepada
partai-partai politik bila tidak ingin di cap “komunis”, berganti kemudian dari
pemerintah orba berlanjut kepemerintahan transisi reformasi dibawah pimpinan
anak “emasnya”. Dalam waktu singkat BJ Habibie meneruskan dan memperkentalkan
demokrasi sang suhu dengan demokrasi pancasila yang lebih democrat dengan
membuka dan mempersilahkan partai-partai dibentuk tanpa batas-batas. Namun ia
pun terjungkal ditangan para reformis (yang dianggap dirinya begitu) dengan
terpilihnya Gus Dur dengan semangat baru untuk membentuk Indonesia baru beserta demokrasi
paling moderen namun dibarengi sikap yang controversial.
Belum dua tahun
memimpin Negara ini, Gus Dur belum juga mampu mengendalikan keamanan dan
ketertiban masyarakat terhadap anarkis, kerusuhan dan penjarahan diberbagai
daerah. Akumulasi ini dimulai dari konflik elite politik yang maunya
mementingkan kepentingan partai politiknya.
Kemampuan aparat
dalam menyelesaikan problem keamanan dalam proses demoralisasi mengalami
kendala dilapangan, pemisahan TNI dan Polri berlangsung kurang lancar dengan
dibarengi dengan jumlah personalia yang masih kurang dan waktu dalam
menyelesaikan berbagai gangguan keamanan justrunya menimbulkan rasa frustasi,
apabila mereka belum dipersiapkan secara mantap dalam mengendalikan para
demosran yang terjadi setiap hari, sampai menimbulkan kematian disalah satu
pihak.
Bangsa ini
seperti mengikuti sebuah siklus, bila lepas dari satu konflik masuk lagi ke
konflik berikutnya yang tak kalah dahsyat dan sebagai dampak dari akibat
ketidak adilan pusat dalam melakukan pembagian pembangunan, timbulnya tuntutan
untuk melepaskan diri dari NKRI semakin kuat ketika Abdurrahman Wahid terpilih
menjadi presiden yang kurang aspiratif bahkan tindakan makin keras tingkat
kekerasan dan eskalasi konflik seperatisme bergema di daerah-daerah.
Kekerasan di
berbagai daerah semakin meruncing tajam karena kemampuan pemerintah dalam
memecahkan persoalan seperatisme dan kerusuhan disebabkan pengetahuan dan
keterampilan didalam menyelesaikan segala sengketa sangat tebatas, selain massa juga sangat
emosional. Sikap pemerintahan terutama presiden dalam menangani kerusuhan
sangat lambat dan memilih ke luar negeri dan baru balik ketika kerusuhan itu
sudah memuncak seperti yang terjadi di sampit terimbaskan ke Kalimantan Barat
kembali terjadi lagi.
Fakta-fakta yang
ditemukan dilapangan dianggap remeh tentang ketimpangan structural sebagai
akibat pembangunan yang sentralistik dan diperparah oleh homogeni pusat sebagai
devisa politik harmonisasi yang menjadi penyebab matinya kemampuan masyarakat
local untuk hidup secara otonomi.
Namun dalam
pemerintahan Gus Dur, dalam pelaksanan otonomi, masih banyak kepentingan pusat
atas daerah yang belum diserahkan ke daerah, malah memberikan hak daerah sangat
terbatas. Otonomi daerah yang pelaksanaannya pun setengan mati, perimbangan
keuangan antara pusat dan daerah sangat tidak adil, menggelegarkan amarah rakyat
didaerah untuk menuntut keadilan, tanggapan ini dianggap tidak perlu, akibatnya
timbullah tuntutan kemerdekaan dan pemisahan daerah dari Negara kesatuan RI.
EKONOMI
Penjarahan dan
penghancuran barang-barang milik umum atau negara adalah akumulasi dari kekecewaan selama 32 tahun
pemerintahan orba dari segi ekonomi. Ketimpangan keungan pusat dan daerah telah
menambah kecemburuan social daerah yang kaya yang telah terperaskan karena
tetap yang termiskin. Diiringi oleh eskalasi politik yang memanas dan meruncing
antara elite politik, menyeret masyarakat untuk berbuat sesuatu menurut
kehendak mereka. Karena para elite itu sibuk mengurus perseteruan mereka
daripada mengurus kemaslahatan bangsa. Dilain pihak, sikap kontradiksi presiden
yang semaunya dan lebih banyak mengurus
kepentingannya agar tidak jatuh dan bersikap tidak mau repot-repot.
Kecenderungan
Gus Dur akhir-akhir ini, lebih banyk memusatkan pikiran dalam menghadapi lawan
politiknya, tidak lain akibat sikap
sendiri yang kini membuatnya repot, mengundang berbagai macam reaksi dari
masyarakat tidak secara langsung menyeret massa pendukung untuk saling
menunjukkan kekuatan masing-masing, menimbulkan dilematis keadaan Negara
mendekati chaos. Sedang perubahan
dibidang ekonomi justru semakin krisis mendekati krisis ekonomi jilid ke II. Ada
beberapa penyebabnya, pertama karena factor ekonomi yang belum beres dan
dibarengi sikap presiden dalam memberantas KKN belum menunjukkan hasil, Gus Dur
lebih banyak mengeluarkan statemen politik yang kadang-kadang memanaskan. Kedua
adalah faktor keamanan, penyelesaian masalah keamanan daerah yang memilih
pemberontakan seperatisme belum juga dibasmi dengan alasan masih saudara yang
mesti diberikan kesempatan kembali kepangkuan ibu pertiwi. Keamanan inilah yang
dibutuhkan para investor dalam menanam modal dalam meningkatkan pendapatan dan
pengurangan pengangguran karena termasuk bibit kerusuhan dan pembentukan
premnisme. Dan yang terakhir ketiga adalah konflik elite yang terus menerus dan
masalah semakin ruwet karena ambisi yang euforia yang sudah kelewat batas,
etika berbangsa telah hilang dari diri sebagai bangsa yang menghormati adat
ketimeran.
Penyelesaian masalah seperatisme didaerah kini
memasuki DOM versi baru, dimana Aceh mau
diberlakukan operasi meliter terbatas (OMT). Apakah dengan OMT ini Aceh
betul-betul bebas dari pemberontakan? Terus apa saja yang dikerjakan pansus UU
otonomi khusus Aceh? Kenapa begitu lambat kerjanya sedang di negeri serambi
mekkah itu terus bergejolak dan tiada hari tanpa korban dikedua belah pihak.
DISINTEGRASI
Bangsa ini mengalami disintegrasi semakin parah,
karena banyaknya konflik-konflik kepentingan elite dengan parpolnya membuat
pembahasan masalah pencegahan disintegrasi sepertinya terpinggirkan. Masalah
krusial justrunya semakin meningkat tajam. Peraturan-peraturan pemerintah
banyak yang tidak akomodatif, penguasaan SDA milik daerah masih tetap dipegang
pusat, padahal akumulasi kekecewaan berawal keras disini. Pusat dibawah kendali
Gus Dur sepertinya tidak belajar dari kesalahan pemerintahan yang lalu. Malah
ia mengirim dan pembentukan pasukan OMT di Aceh, sedang di Jawa Timur dibiarkan
adanya pasukan berani mati. Bila keduanya berada siapa yang untung? bukan
rakyat, melainkannegara lain yang punya kepentingan atas pertikaian ini.
Politik kekerasan ini lebih banyak menjalar di
kegidupan rakyat Indonesia. Ancaman disintegrasi bangsa mulai dari sini Mr Gus
Dur, dimana konfrontasi horizontal antar atnis atau untuk pendukung dapat
membahayakan negara ini. Ini lihat akibat dari tidak puasnya penduduk asli
terhadap penduduk pendatang yang diwujutkan dengan konflik sosial dan budaya.
Nuansa disintegrasi itu telah mulai mengakar, bila
para elite tidak dapat menghentikan pertikaian yang terus menerus tanpa ada
perubahan yang mendesak, perang pendukung dan pembentukan pasukan berani mati
ataupun pasukan jihat telah meningkatkan jurang disintegrasi semakin lebar.
Indonesia akan tinggal dan Mr Gus Dur, sebaiknya
dari sekarang persiapkan perangkatan untuk menyelesaikan masalah ini dan
bahaslah ketika kompromi politik jadi berlangsung agar disintegrasi dapat
dicegah.
M. Anwar Siregar
Karyawan Swasta
Dipubliskasi di HARIAN ANALISA MEDAN, Tgl 9 juni 2001
Dipublikasi Ulang, untuk mengingatkan tulisan ini sudah dijiplak habis
Komentar
Posting Komentar