Politik Lingkungan
STANDAR GANDA POLITIK LINGKUNGAN
Oleh M. Anwar Siregar
Saat ini banyak orang berbicara soal lingkungan
hidup, namun selalu dikaitkan dengan berbau politik. Padahal peraturan lingkungan itu
tidak bisa dibuat dan digabung-gabung kepada hal-hal yang berbau politik karena
lingkungan adalah penyelamat bumi.
Kebijakan
politik kadang membatasi kebijakan
teknis, sebaliknya aspek politik tidak boleh membatasi gerak lingkungan,
penerapannya dalam agenda teknis lingkungan itu lingkupnya saat luas,
lingkungan itu adalah tanggung jawab bersama, hal ini banyak kita lihat
dan
dibicarakan oleh berbagai kalangan, penyelamatan dan kesehatan
lingkungan
selalu terbentur oleh standar ganda politik, termasuk pada COP 21 di
Paris Desember 2015, umumnya banyak dilakukan
negara
maju, baik yang dilakukan negara pendonor maupun oleh kalangan lembaga
yang
bergerak dalam penyelamatan lingkungan serta ekonomi lingkungan, kasus
ini
dapat dilihat pada misi lembaga swadaya lingkungan internasional
terhadap standar ganda pemanfaatan sawit dengan dikaitkan dengan
lingkungan
dimana produk minyak sawit dianggap merusak lingkungan, dan kita sudah
mengetahui bahwa dalam pengembangan ekonomi dan keberlanjutan organisasi
LSM
Lingkungan banyak didanai oleh kompetitator perusahaan besar.
Ironisnya, perusahaan ini justrunya menikmati
kekayaan alam Indonesia, standar ganda jelas dilihat dengan penekanan
pemanfaatan dana untuk lingkungan untuk kepentingan pendonor. Dan kita tahu
bahwa, banyak perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia telah banyak
merusak lingkungan hutan dan laut Indonesia tanpa dana rehabilitasi yang utuh
sedang kekayaan banyak dilarikan ke negaranya, studi kasus ini dapat dilihat di
Aceh, Riau, Minahasa, Jambi dan Papua serta Kalimantan. Standar ganda politik
terhadap lingkungan di negara berkembang tanpa jelas dari tekanan yang
dilakukan negara maju termasuk organisasi PPB seperti WTO yang menekan negara
berkembang agar menyesuaikan kebijakan pembangunannya dengan kemauan negara
maju.
STANDAR GANDA
Proses politik yang sangat elitis serta praktek
penyelenggaraan negara yang bersandar sepenuhnya berpihak atau bersandar pada
kekuatan ekonomi global, dan oleh karena itu selalu mengabaikan kepentingan
rakyat atau menguatkan subordinasi, ketidak-adilan gender dalam pengelolaan
sumber-sumber kehidupan atau faktor-faktor produksi. Akibatnya pemiskinan
negara berkembang dan ada kemungkinan ancaman kekerasan akibat peradaban
manusia terganggu oleh peningkatan emisi lingkungan yang semakin tinggi
sehingga suatu wilayah tak layak dihuni dan terjadi perpindahan secara massal.
Kecenderungan belakangan ini malah semakin
kuat mengarah pada digunakannya isu lingkungan hidup sebagai salah satu alat
politik dalam interaksi ekonomi dan bisnis global. Standar ganda politik ini
kadang menimbulkan gelombang protes masyarakat internasional, menyebabkan
sebuah konsensus global gagal terwujud seperti protokol Kyoto yang disebabkan
banyak perbedaan pendapat diantara negara-negara berkembang dengan
negara-negara maju. Negara-negara berkembang penyebab polusi utama, seperti
Tiongkok, bersikeras bahwa negara-negara kayalah yang seharusnya memimpin upaya
penurunan emisi karbon. Negara-negara berkembang, tak bisa diharapkan untuk
mengorbankan pertumbuhan ekonomi mereka.
Kecenderungan negara-negara maju di Utara
untuk menunggangi sistem ekonomi pasar global (globalisasi) itu dengan berbagai
manuver untuk mengeruk keuntungan dan mengamankan kepentingannya dengan cara
yang tidak fair, merugikan kepentingan negara-negara sedang berkembang termasuk
di Indonesia melalui lembaga keuangan dunia yang sering menekan aspek politik
ekonomi lingkungan Indonesia.
Dalam konferensi iklim Copenhagen pada 2009, politik
lingkungan sempat memunculkan harapan tercapainya sebuah traktat dunia mengenai
perubahan iklim namun gagal terwujud akibat standar ganda politik negara maju, Negara
maju cenderung menggambarkan kesepakatan baru tersebut sebagai kesepakatan
pengurangan emisi, membuat komitmen untuk meningkatkan dukungan keuangan mereka
buat negara berkembang sampai 100 miliar dolar AS per tahun pada 2020 untuk
menangani perubahan iklim, tetapi negara berkembang berkeras kesepakatan yang
akan dicapai seperti Konsesus Paris termasuk COP 21 pada tahun 2015 mesti
menyeluruh, mencerminkan anasir lain seperti penyesuaian, keuangan, alih
teknologi, transparansi tindakan dan dukungan, dan kemampuan pembangunan dengan
cara yang seimbang..
Di antara negara maju yang telah menyampaikan
"sumbangan yang dimaksud dan ditetapkan secara nasional", tak satu
pun menyebutkan kewajiban mereka untuk menyediakan dukungan keuangan dan
teknologi buat negara berkembang.
Untuk memberi bukti bagi negara berkembang, penting untuk meningkatkan transparansi dari sumber daya masa lalu dan masa depan, penjelasan mengenai jalur yang akan dicapai jumlah yang diperkirakan dan menjadi komitmen paling lambat sampai 2020 serta petunjuk mengenai pengerahan lebih lanjut dukungan keuangan jangka panjang.
Untuk memberi bukti bagi negara berkembang, penting untuk meningkatkan transparansi dari sumber daya masa lalu dan masa depan, penjelasan mengenai jalur yang akan dicapai jumlah yang diperkirakan dan menjadi komitmen paling lambat sampai 2020 serta petunjuk mengenai pengerahan lebih lanjut dukungan keuangan jangka panjang.
Namun peta jalan yang jelas untuk mencapai
komitmen itu tersebut belum tersedia sampai sekarang. Hal ini menyebabkan mengapa sampai saat ini emisi
dunia belum mengalami penurunan secara signifikan.
Lihat
saja, di Amerika Serikat, upaya mitigasi perubahan
iklim hanya akan menjadi penghalang yang tidak perlu terhadap
pertumbuhan
ekonomi, sejak konferensi pertama Jenewa tahun 1979 Swiss, Protokol
Kyoto 1997, lalu dilanjutkan COP 15 tahun 2009 di Kopenhagen dan
COP Paris 2015, semua negara maju masih setengah hati untuk
meratifikasi perubahan iklim dengan target emisi industri tanpa kejelasan
penurunan dengan hanya menyebutkan penurunan suhu global 2 persen.
PROTOKOL KYOTO
Kesadaran akan hasil penurunan emisi gas CO2 di
atmosfer sebagaimana yang dimandatkan Conference on Parties (COP) 3 on Climate
Change di Kyoto, yang dikenal sebagai Protokol Kyoto sampai ke COP Paris 2015,
belum memberikan hasil memuaskan. Lucunya negara industri seperti Amerika
Serikat tidak mau menandatangani peratifikasian Protokol Kyoto sebagai bukti partisipasi
yang diwujudkan dalam aksi demi pengurangan gas CO2 yang dimaksud secara
konkret. Sikap politik AS sejak George W Bush dilihat dari perspektif
pertumbuhan ekonomi negara mereka, dimana angka pengangguran dalam negeri bisa
melonjak tinggi kalau mereka mengurangi industri dan itu berarti gejolak
politik dalam negeri. Namun, ada yang berpandangan sinis atas sikap ini dengan
mengatakan bahwa alasan itu hanyalah alibi untuk membenarkan agenda lebih besar
dalam politik pasar global yang dimotori oleh negara Adi kuasa tersebut, yang
menghendaki pasar dibuka bebas dan liar demi memajukan ekonomi dunia. Sebagai
negara yang menguasai kapital global, termasuk teknologi, wajar sekali AS lebih
suka pasar tidak diatur sehingga memberi keleluasaan bagi mereka menguasai
sumber-sumber ekonomi yang selama ini masih dilindungi peraturan nasional suatu
bangsa atau oleh berbagai kesepakatan, konvensi, dan hukum internasional. Banyak
organisasi internasional dibentuk kemudian diperalat untuk menyukseskan agenda
pasar global tersebut. Maka Protokol Kyoto gagal terimplemensi secara luas.
URGENSI RATIFIKASI KABUT ASAP
Sudah
sampai dimana kemajuan ratifikasi kabut asap
di Asia Tenggara? Pada Agustus 2014 lalu, Singapura mengesahkan sebuah
UU Kabut
Asap yang memberikan kekuasaan bagi pemerintah untuk menjatuhkan denda
perusahaan yang terbukti menyebar asap dengan memerintah pengadilan
menghukum pembakar hutan, melanggar kedaulatan hukum negara lain, dalam
hal ini Indonesia yang dibidik. Denda yang diberikan senilai S$2 juta,
atau Rp18 miliar. Perusahaan itu bisa terkena jeratan UU Negeri
Singapura,
walaupun mereka tidak memiliki kantor perwakilan di sana. Namun
kenyataan ini,
kabut asap tahun 2015 ada indikasi kabut asap masih didalangi perusahaan
dari
Singapura? Urgensi ratifikasi kabut asap itu apa sudah memberikan efek
yang
mumpuni? Lalu untuk apa Indonesia meratifikasi UU Kabut Asap jika masih
ada
saja kebakaran hutan dan lahan di Indonesia dengan negara Asia Tenggara
yang
perusahaannya masih terlibat pembakaran? Hanya karena standar kualitas
emisi
atau polusi yang sudah berbahaya bukan berarti Indonesia ditekan, tapi
etika
bisnis dari perusahaan-perusahaan pembakar hutan dan lahan yang dituntut
untuk
memperhatikan etika lingkungan dan politik guna mencegah bencana
kebakaran yang
menimbulkan kabut asap, itu yang paling penting disosialisasikan dan
sebagai
upaya mitigasi perubahan iklim global di Asia Tenggara.
Terasa sangat ironis standar politik lingkungan
itu bagi kita sebagai negara berkembang, kabut asap akan terus ”berkembang” tiap
tahun.
M. Anwar Siregar
Enviromentalist Geologist, Kerja di Tapsel.
Komentar
Posting Komentar