Introspeksi Kabut Asap

MOMENTUM INTROSPEKSI BENCANA KABUT ASAP
Oleh M. Anwar Siregar
Sejarah buruk kabut asap berulang kembali di Indonesia , yang paling terburuk sudah pernah berlangsung pada tahun 1997 lalu. Saat kejadian itu, kabut asap akibat kebakaran hutan untuk pembukaan dan perluasan lahan perkebunan di Kalimantan dan Sumatera menimbulkan bencana kabut asap yang mencapai wilayah udara Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam dan Fhilipina yang terjadi akibat terbakarnya sumber daya alam gambut. Dan saat ini bencana kabut asap telah berlangsung lebih tiga bulan terjadi. Pengulangan bencana kabut asap juga terjadi pada tahun 2014 walau tidah separah tahun 2015 namun telah menimbulkan banyak kerugian karena jumlah titik api yang menggila itu ternyata memberi ekses ke negeri jiran di kawasan Asia Tenggara.
Laju kerusakan lingkungan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan upaya pemulihan dan perlindungan. Fenomena bencana ekologis nyaris berlangsung setiap hari di Tanah Air yang tidak pernah berhenti, seperti datang berganti dari kota atau desa ke Desa atau kota berikutnya. Fenomena bencana terutama bencana kabut asap yang menghasilkan berton-ton milyar emisi ke atmosfir itu akibat dianutnya paradigma pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan tetapi lebih berbasis kepada pembangunan berbasis pertumbuhan ekonomi yang bertumpu kepada ekspansi sumber daya alam oleh penyelenggara Negara melalui berbagai kebijakan yang selama ini telah diterapkan.
Dekade terakhir ini menunjukan bahwa percepatan perusakan lingkungan hidup jauh meningkat akibat adanya pertautan dan standar ganda politik kekuasaan dengan lingkungan serta bisnis ekstraktif yang berdampak negatif bagi banyak kehidupan dan Indonesia yang paling banyak menikmati kerugian, mengeluarkan banyak dana pemulihan kondisi alamnya dan telah memberikan sebuah pukulan telak bagi pertumbuhan ekonomi dan sumber daya manusianya dan juga memberikan kerusakan perubahan iklim global.
STANDAR KEBIJAKAN
Standart ganda kebijakan lingkungan semakin menarik dengan situasi baru yang terjadi saat ini di Indonesia terutama yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan di tahun 2015, situasi darurat kabut asap hingga menghasilkan bencana kemanusiaan itu menjadikan semakin penting karena menyangkut target pengurangan emisi dari aksi emisi pemerintah Indonesia sebesar 26 persen pada tahun 2020 yang menciptakan kecemasan bagi masyarakat internasional, sebab semakin buruk dalam mengendalikan bencana perubahan iklim global yang ingin dicapai pemerintah. Dipihak lain, pemerintah juga membutuhkan aliran dana masuk dalam bentuk investasi perluasan pembukaan perkebunan untuk memenuhi target sebagai penghasil produk industri sawit terbesar dunia yang menimbulkan berbagai kebijakan ganda, yaitu memberikan izin maka tidak langsung maupun langsung akan berdampak pada kondisi lingkungan seperti saat ini, terjadi bencana kabut asap.
Akibat kebijakan ganda ini telah memberikan ekses bagi pertumbuhan ekonomi yang melambat karena adanya penundaan mobilisasi berbagai sarana transportasi ekonomi, penerbangan, logistik serta pembangunan sarana infrastruktur fisik perhubungan dan pendidikan serta target pencapaian produktivitas industri yang mengalami gangguan. Upaya yang dilakukan selama ini dalam penanganan masalah kabut asap itu ternyata belum maksimal disebabkan masih terbatasnya kemampuan pemerintah dan sumber daya ahli gambut yang dilibatkan belum terakomodasi sejak era pemerintahan Soeharto ke pemerintahan Jokowi. Para ahli ini seharusnya dilibatkan dalam mengatasi laju kerusakan lingkungan seperti kabut asap yang salah satunya penyebab perubahan iklim.
Sebuah introspeksi bagi standar ganda kebijakan bagi pencapai target emisi dan ekonomi. Momentum kabut asap harus menjadi introspeksi bagi berbagai kebijakan pemerintah yang perlu ditindak lanjuti dalam upaya menekan laju kerusakan alam Indonesia.
BERITA ASAP
Berita asap kini menjadi topik utama berbagai media nasional dan luar negeri, yang menyoroti kinerja kabinet Jokowi-JK yang jika dicermati visi dan misi pembangunannya tidak berpihak atau paling sedikit membahas penanggulangan bencana di Indonesia, dan semua tahu negara ini telah ditakdirkan untuk hidup akrab dengan bencana, seharusnya dalam salah satu kebijakan lebih memprioritaskan pembangunan lingkungan sumber daya alam yang berbasis lingkungan ekologi dengan bertumpu dari berbagai kajian ilmu-lmu kebumian dan disiplin ilmu lain untuk menekan dampak natural disaster, economic disaster ataupun juga dampak man made disater dengan titik fokus akibat pengejaran pertumbuhan ekonomi tanpa mengabaikan faktor lingkungan.
Kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan serta sebagian Papua adalah faktor ekonomi dan bukan oleh faktor alam, kalau di Jawa dan Sulawesi adalah faktor musim kemarau yang telah menimbulkan musibah kabut asap hingga menjalar ke Malaysia, Singapura dan Fhilipina tak bisa dianggap remeh lagi.
Berita dari sumber ramalan cuaca menyebutkan adanya musim kering panjang benar-benar terjadi. Sumber Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) memperkirakan peristiwa kebakaran hutan dan asap tahun telah menjadi rekor sekarang. NASA memperkirakan total kerugian lingkungan akibat bencana ini bisa mencapai US 9 miliar dollar atau 129 milyar rupiah.  Data dari Global Fire Emissions Data Base yang di dukung NASA, menyebutkan juga perkiraan sekitar 600 juta ton gas rumah kaca telah dihasilkan oleh kebakaran tahun 2015 selama kurun tujuh bulan.
Sumber BNPB, memprediksi kerugian ekonomi akibat bencana kabut asap yang terjadi karena kebakaran hutan dan lahan di beberapa Provinsi di Indonesia pada tahun 2015 bisa melebihi angka Rp 30 triliun. Sebuah angka kerugian yang fantatis dan seharusnya menjadi bahan renungan bagi Kabinet Jokowi-JK.
Sumber emisi kerugian itu berasal dari 16.500 titik sejak Januari-Septembaer 2015 berdasarkan data LAPAN Indonesia sebanyak 24.086, sedangkan berdasarkan data NASA FIRM yang tersebar lima provinsi dengan kebakaran terparah di Jambi, Kalbar, Kaltim dan Sumsel serta Riau. Titik panas yang berbeda di konsesi perusahaan, beberapa diantaranya yaitu Kalbar ada 2.449, Kalteng terdapat hot spot sejak April sebanyak 5.692, Riau terdapat titik api 1.005, Sumatera Selatan sebanyak 4.416 hot spot dan Jambi terdapat 2.842 titik panas.
Berita tentang bencana kemanusiaan yang berdampak pada kesehatan manusia yang kena dampak asap telah mencapai lebih 2.5 juta jiwa dan terpapar ISPA mencapai 325.000 jiwa dengan Jambi yang paling parah merasakan dan jumlah korban meninggal telah mencapai lebih 10 jiwa termasuk bayi baru lahir akibat kabut asap pekat di Palangkaraya. Sebuah renungan bagi semua untuk memahami daya dukung bumi dalam eksistensinya bagi kehidupan manusia khususnya bagi kebijakan pemerintah dalam membangun pembangunan yang merata di Indonesia tanpa mengorbankan ekosistim yang menjaga rantai kehidupan bagi semua makhluk hidup dibumi dan pemerintah wajib bergerak cepat bahwa bencana kabut asap saat ini telah lebih parah dibandingkan pada kejadian tahun 1997 lalu, dan jumlah-jumlah korban akan terus meningkat selaras dengan bertambahnya lokasi titik panas telah menyentuh lokasi yang mengandung bahan tambang di lima provinsi terkaya akan bahan tambang vital dan strategis (dari berbagai sumber).
Berita lainnya tentang kondisi fisik pencemaran lingkungan mencatat sejak awal september-oktober 2015 tingkat total suspended particulates (TSP) sudah melebihi batas normal di beberapa kota di Indonesia. Berdasarkan data baku mutu udara, tingkat TSP normal seharusnya 230 mikro gram per normal meter kubik, yang nampak sekarang dari tingkat pencemaran kabut telah mencapai 1000-3000 mikro gram per normal meter kubik.
INTROSPEKSI ASAP
Kabut asap saat ini melanda tiga propinsi di Sumatera yaitu Aceh, sebagian Sumatera Utara dan Riau, berulang kembali, penyebabnya tidak ada instropeksi.
Tidak mengherankan telah menelan jumlah korban yang meninggal sia-sia akibat buruknya penanggulangan bencana kabut asap dan diperparah kurang responnya pemerintah sejak era reformasi untuk memahami kejadian berulang bencana asap tiap tahun, harusnya pemerintah introspeksi.


Momentum kabut asap adalah renungan terbaik bagi pemerintah dan masyarakat untuk memahami kondisi lingkungan dengan bijaksana agar dapat mengendalikan kehancuran yang lebih luas.
Pemerhati Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pembangunan Berbasis Informasi Kerentanan Geologis : Geologi Mitigasi

Membangun Tata Ruang Kota Tahan Bencana : Geologi Mitigasi

Euforia Demokrasi Di Indonesia