Ketangguhan Investasi Bencana Lingkungan Sumut



MEMBANGUN SUMUT TANGGUH INVESTASI BENCANA LINGKUNGAN
Oleh M. Anwar Siregar

Sumatera Utara masih diprediksi menghadapi ancaman bencana lingkungan strategis, yang diprediksi berasal dari kegempaan besar tsunami dahsyat kedua dari wilayah Pantai Barat Sumatera di Mentawai menjadi ancaman yang menghancurkan kota-kota di Sumut. Yang patut dikhawatirkan adalah bila pusat gempa bumi berada di bawah Selat Mentawai. Hal itu akan memicu tsunami besar yang mengancam Pantai di Teluk Tapanuli yang berkontur datar dan tidak terlindungi oleh sistim perisai lingkungan hijau berlapis.
HARUS SIAP
Sumut belum siap dan belum mempersiapkan tatanan kehidupan kota berbasis bencana lingkungan terutama belum siap untuk mewaspadai megathrust dari Mentawai dimasa mendatang, sebab bencana yang kecil saja seperti bencana banjir dan gerakan tanah belum mampu diatasi dan akan terus berlanjut karena masih ada energi stress yang belum dilepaskan di Utara di Pulau Pagai dan Sipora atau Siberut yang berdekatan dengan zona kegempaan besar Nias dan mengingat posisi blok Patahan Enggano-Mentawai berada tepat di tengah-tengah zona subduksi yang dapat menghasilkan kegempaan strategis luar biasa. Sudah siapkah kita? Harus sudah diimplementasikan dalam pembangunan ketataruangan investasi lingkungan yang tangguh bencana, serta peningkatan kewaspadaan dini untuk menjaga investasi lingkungan hijau yang sangat mahal
INVESTASI LINGKUNGAN
Untuk menjaga investasi properti tata ruang kehidupan yang lebih baik dari sekarang, maka kota-kota besar di Sumut [termasuk Propinsi pemekaran] harus lebih siap menata tata ruangnya sesuai dengan karakateristik geomorfologinya dengan bertumpuh pada kajian geohazard dan georisk untuk menimalisasi bencana, bahwa pelajaran bencana tata ruang lingkungan terdahulu telah memberikan gambaran kehancuran sarana infrastruktur lebih disebabkan oleh peletakan tata ruang berada dalam radius ancaman gempa, letusan gunungapi, banjir dan gerakan tanah atau tepatnya berada dalam kawasan zona patahan gempa bumi yang memiliki distabilitas tanah yang lembek, contohnya untuk kota Padangsidimpuan dan Sipirok berada dalam sub segmen patahan Toru-Angkola bagian dari patahan sumatera dan jalur vulkanik, begitu juga Tanah Karo.
Dalam menjaga tata ruang investasi lingkungan properti dan kawasan lingkungan industri di pesisir Sumut, beberapa kota yang berada di kawasan pesisir dengan 4-5 jenis berbagai ancaman bencana harus memadukan aspek teknologi deteksi dini gempa (early earthquaked warning), tsunami serta vulkanik seische dan teknologi kanal banjir kiriman. Sedangkan dalam pembagian wilayah sistim peringatan dini untuk berbagai jenis bencana di Sumut dapat dibagi dalam tiga zona penyebaran di bagian barat dengan pusat utama di Gunung Sitoli dan Sibolga, bagian tengah di pusatkan di Parapat ataupun di kawasan Tanah Karo karena ada beberapa gunung api dan tiga segmen patahan berdekatan dengan dua danau kawah terbesar serta di bagian timur dipusatkan di Medan atau Deli Serdang.
Khusus di Pulau Nias sebaran teknologi deteksi gempa dan tsunami harus tersebar 7 wilayah yaitu utara, barat, selatan, timur Nias serta di Pulau Tello, Pulau Tanah Masa dan Pulau Sigintan, sistim harus berlapis mulai dari peralatan GPS, sensor broakbank, pemrosesan data, riset penelitian dan perisai pemecah gelombang alamiah dan buatan harus ada dalam radius 15 km di lokasi bekas kejadian gempa dan zona patahan maupun pusat tumbukan antar lempeng di lautan hingga menuju ke daratan dan terintegrasi dengan EWS di Daratan Sumut. Hingga ditulisan ini di buat, tata ruang untuk teknologi perlindungan tersebut belum diterapkan secara maksimal dan sebagian juga sudah ada rusak dan dicuri.
Pusat pengumpulan dan penelitian perubahan anomali kelautan seharusnya telah lengkap di pelabuhan laut Sumut agar data EWS tersebar cepat dan real time, stasiun pengamatan pasang surut air laut diberbagai pelabuhan Sumut harus ditingkatkan lagi karena jumlahnya masih terbatas termasuk di pelabuhan besar Belawan dan pusat pertumbuhan kawasan industri baru seperti Sei Mangke, pemerintah Sumut harus terus merevisi data dan memonitoring peralatan diberbagai instansi terkait dengan sistim kebencanaan lingkungan yang di senergiskan dengan penempatan tata ruang hunian jauh dari ancaman bencana geologi dan klimatologi.
Setiap daerah Kota/Kabupaten di Nias dan Sumut harus terdapat 15-25 seismograf gempa dan vulkanik bukan dalam jumlah 2-3 seismograf, memiliki 15 pusat stasiun sensor broadbank di darat dan kepulauan, infrastruktur fisik jalan-jembatan harus tahan gempa dengan peredam guncangan disisi badan dan jembatan di daerah di pesisir pantai dan kepulauan Nias, sedangkan di daerah pegunungan harus di tambahkan dengan disertakan daerah jalan alternatif tidak jauh dari zona jalan arteri, tidak berada dalam radius 25 km zona patahan bumi sebagai upaya zonasi rehabilitasi dan penambahan kekuatan struktur bangunan yang telah ada (refrofit),
Menjaga barang investasi berharga seperti perumahan, arsip negara, pusat perdagangan bisnis dan pendidikan-kesehatan sangat penting dalam mengurangi jumlah kerugian dan menekan biaya rekonstruksi dapat diupayakan melalui pemetaan daerah kegempaan lokal untuk basis aturan zonasi rehabilitasi keruangan sebagai agunan masa depan tata ruang yang harus tersedia dan dipatuhi. Daerah tata guna lahan lingkungan yang telah mengalami bencana gempa dan dan letusan gunungapi sebaiknya difungsikan sebagai daerah rehabilitasi pertanian dalam jangka tertentu sebagai upaya penekanan laju kerusakan lingkungan serta tindakan pencegahan kekurangan sandang pangan atau ketahanan pangan berkelanjutan.
Pemetaan dan perlindungan zonasi daerah wisata sebagai investasi devisa harus telah tersedia peta daerah aman bagi lintasan jalur logistik serta taman depo ketahanan bencana dan jalur lintasan evakuasi yang jelas, Kota/Kabupaten yang memiliki keunggulan wisata perairan pantai, kelautan dan panorama pegunungan sebaiknya menjadikan zona terbesar wisata alam itu sebagai keseimbangan lingkungan daerah tangkapan air bersih dengan menekan laju spasial interior bangunan raksasa dengan mempersiapkan sebagian besar menjadi kawasan khusus taman hijau, daerah siklus air dan bio-geodiversity, yang akan menggambarkan wilayah itu sebagai paru-paru alam, menekan ancaman berat terhadap keanekaragaman hayati secara global dengan dipadukan dengan sistim sirene lokal di berbagai tempat di setiap kota kecamatan dalam satu kabupaten. Tata ruang lingkungan wisata ini dapat dimulai dari Pesisir pantai Barat Sumatera di Nias, Tapteng dan Timur dari Langkat hingga Belawan.
Yang terakhir dan sangat berperan penting dalam jalur investasi bencana lingkungan adalah kesiapsiagaan masyarakat lebih intensif dengan meningkatkan pelatihan mitigasi Tim Rescue atau SAR dan masyarakat secara berkala 4 kali dalam setahun maupun pusat penyebaran informasi dan komunikasi pada interval 10 km dalam tiap kecamatan. Peningkatan pelatihan sebagai upaya menekan laju kehilangan sumber daya manusia yang berkualitas, sumber daya manusia di Sumut termasuk paling rentan mengalami korban akibat bencana alam.
Karena itu, bahwa gambaran bencana lingkungan setiap tahun belum mencerminkan kemampuan pemerintah daerah di Sumut mengendalikan kehancuran tata ruang infrastruktur lingkungan serta pelatihan bencana lingkungan masih belum optimal sehingga masih akan ada banyak korban bencana. Sejujurnya, sebenarnya Sumut belum siap menghadapi  “tantangan” Mentawai sebelum tahun 2033 atau bencana banjir kecil di masa mendatang dan mungkin lebih cepat terjadi?.

M. Anwar Siregar
Pemerhati Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pembangunan Berbasis Informasi Kerentanan Geologis : Geologi Mitigasi

Membangun Tata Ruang Kota Tahan Bencana : Geologi Mitigasi

Euforia Demokrasi Di Indonesia