Jun 13, 2016

Sebentar Lagi Berasap Kita

BERSIAP MENGHADAPI KABUT ASAP LAGI
Oleh : M. Anwar Siregar
Fenomena ini sudah tersirat diantara hujan menghasilkan banjir dengan kebakaran lahan dan hutan yang menghasilkan kabut asap. Fenomena antara banjir dan kabut asap sudah ditakdirkan untuk dihadapi setiap tahun selama semangat mental pelaku, pemilik lahan dan penegak hukum serta pemerintah masih menggunakan metode persuasif. Sekarang, atau esok mungkin kita menghadapi kabut asap lagi.
MUNCUL TITIK API
Belum selesai musim hujan menghasilkan banjir datang lagi kabut asap. Meskipun masih masuk musim hujan sebagian daerah di Indonesia, kabut asap di Sumatra sudah mulai muncul. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mendeteksi 19 titik api di Sumatera pada tanggal 24 Februari 2016, lalu muncul lagi 41 titik api, dengan sebelas titik api ditemukan di Aceh, enam titik di Sumatra Utara, dan dua titik di Riau, sejumlah titik api (hotspot) terpantau aktif. Dikhawatirkan, titik-titik api itu berpotensi memicu ke­ba­karan hutan dan lahan, teru­tama di sebagian Sumatera, data tersebut untuk tanggal 26 Februari 2016 dan data hot spot terpantau lagi tanggal 29 Februari meningkat lagi dengan perinciannya, ada tujuh titik api di Aceh, 17 di Su­matera Utara, enam di Su­matera Barat, sembilan di Bengkulu, satu di Kepulauan Riau, 19 di Beng­kalis, 5 di Pelalawan, dan tiga di Siak. Meski pun satelit hanya memindai titik api di Pulau Sumatera, lalu tercatat lagi pada terdeteksi lagi hot spot baru sekiyar 58 titik api di Pulau Sumatera pada tanggal 2 Maret 2016, lalu tercatat lagi kemunculan titik api baru sebanyak 13 hot spot di Riau pada tanggal 8-11 Maret 2016 dengan muncul kabut asap menyelimuti kawasan Mebidang di Sumatera Utara dan kemung­kinan potensi yang sama dapat saja terjadi di Kalimantan. Apakah ini berulang kembali kejadian kabut asap yang berkepanjangan? Sedang musim hujan belum juga tuntas dengan efek banjir yang ditinggalkan yang melanda 259 kota/kabupaten di Indonesia akan menambah beban hidup yang semakin berat di negeri ini, yang tanahnya dilahirkan sebagai tanah yang mudah bergeser, lunak dan rentang terhadap perubahan fisik.
Ironisnya, seperangkat aturan dan sanksi hukum belum juga memberikan efek bagi pelaku dan perusahaan pemilik lahan untuk mencegah karhutla, sehingga kita terus menghadapi efek kabut asap menahun.
Dan sekitar pada bulan Mei dan \juni di Riau ditemukan titik api terbaru lagi dengan puncak terbanyak di Riau mencapai 134 titik api dari 141 titik tertangkap oleh Satelit NOAA. Kemungkinan semakin bertambah karena dalam beberapa hari ini tidak terjadi hujan secara teratur di Jambi dan Riau. Kedua daerah ini perlu mengetahui kalau Indonesia sudah menghasilkan 6 juta ton ekspor asap ke atmosfir? Kenapa juga menghasilkan bencana kabut asap lagi? Bencana kabut asap dapat juga disebabkan oleh ulah manusia menebang hutan. Apakah tidak mengetahui pola rutinitas antara musim hujan dan musim kering, pola­nya pada Februari-April ada­lah kering sehingga berpo­tensi mengalami kebakaran hutan dan lahan (karhutla), di Riau ada pola hujan, pada Fe­bruari hingga April cende­rung mengalami kering. Cu­rah hujan yang terbatas me­nye­babkan lahan mudah terbakar.
ULAH MANUSIA
Bencana kabut asap yang terjadi di Sumatera akibat ulah manusia yang tidak menjaga keseimbangan alam, menebang dan menggunduli serta membakar sembarangan sehingga menghasilkan bencana dan kebodohan SDM, kabut asap dapat menyebabkan penurunan indeks prestasi belajar, karena dipastikan akan ada ”libur asap panjang”. Hasil pembakaran hutan hanya dinikmati segelintir orang, lantas kenapa masyarakat masih ada mau menjadi bemper kepanjangan tangan oknum untuk melakukan pembakaran hutan? Bahwa kabut asap dibeberapa kawasan di Provinsi di Sumatera menimbulkan kerugian bukan saja untuk Indonesia tetapi juga masyarakat Dunia, kondisi Bumi serta masyarakat itu sendiri karena tidak dijaganya keseimbangan alam, bahkan dirusak dengan cara membakar, membuang limbah di hutan serta buang sampah B3 kadang juga di hutan.
Salah satu faktor dominan penyebabnya adalah peningkatan laju ekonomi dan standar kebutuhan hidup, sehingga menghasilkan banyak kasus lingkungan hidup dari dampak kabut asap dan dipastukan akan menjadi masalah utama pada tahun ini, belum lagi bencana alam lainnya ikut antri akan menambah kepenatan hidup di negeri bencana.
Berbagai kasus konversi lahan masih banyak terjadi di beberapa provinsi belum dianggap tindakan pidana sehingga menimbulkan protes warga. Ironinya banyak agenda hukum pencegahan dan penagakan hukum lingkungan tidak ada upaya penyelesaian yang signifikan seperti kasus pembakaran hutan yang lalu, dimana sudah ditetapkan tersangka pembakaran dan dibebaskan oleh pengadilan, bukti bahwa hukum lingkungan di Indonesia belum berjalan sebagaimana mestinya dan diperparah oleh tidak dikuasainya oleh SDM hukum oleh pihak penegakan hukum dalam hal ini para hakim dan jaksa yang menangani kasus bencana lingkungan kabut asap. Kriminalisasi terhadap warga kecil lebih menjadi prioritas utama dibandingkan dengan para pelaku dari kalangan pengusaha sehingga menimbulkan dampak lingkungan semakin parah.
Bencana kabut asap berulang kembali merupakan salah satu contoh pengelolaan lingkungan hidup yang tidak tepat. Terjadinya alih fungsi hutan secara serampangan tanpa ada upaya pencegahan dan penegakan hukum karena belum terbangunnya pemahaman yang sama antara pemerintah, penegak hukum dan masyarakat dalam menangani kasus kebakaran hutan, penggundulan, pencemaran dan illegal logging serta berjalan dengan pemahaman masing-masing.
Tidak terbentuknya kemitraan yang baik antara pemerintah, penegakan hukum dan masyarakat penyebab utama berulangnya kembali kabut asap lebih awal.
KEMANA ANTISIPASI
Kenapa antisipasi penanganan musibah kabut asap selalu lambat, bukankah pola musim hujan di Riau sudah terpantau teratur? Yang seharusnya di manfaatkan untuk menyimpan air di lahan gambut? Ironisnya, terjadi banjir di Kampar tidak memberikan hikmat pelajaran karena air bandang itu sebenarnya dapat juga di simpan sebagai kantong parkir air dengan menyesuaikan faktor geologis air sehingga dapat mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan namun tidak dimaksimalkan sebelum terjadinya musibah banjir bandang. Di Kampar dan Bengkalis banyak terdapat sungai yang seharusnya dapat dibangun sekat kanal, kantong air dengan memahami geologis pembentuk gambut agar intensitas air di lahan gambut tidak terbuang ke laut.
Lebih ironis lagi, pemerintah tidak berkonsentrasi untuk benar-benar mencagah lolos air hujan yang terbuang percuma dari hilir, pemimpin di negeri penghasil asap ini lebih fokus mencegah permukaannya saja dan rehabilitasi serta reboisasi daerah yang mengalami pembakaran sangat lambat sehingga banjir tak dapat dikendalikan. Pembangunan sekat kanal merupakan solusi hilir dari kebakaran hutan dan lahan. Namun yang lebih penting, kenapa pemerintah dan swasta tidak secara intensif melakukan perbaikan kubah gambut yang selama ini hilang akibat kanalisasi sehingga tidak mampu lagi menyimpan air. Alhasil, hutan gambut jadi mudah terbakar. Kelemahan lain dari manajemn bencana di negeri kabut asap lancang kuning adalah adalah koordinasi lintas sektor, dan sosialisasi mesti ditingkatkan saat musim hujan ini namun hal itu tidak teralisasi dan mungkin fokus pencegahan banjir di Kampar dan Indragiri hulu dan Indragiri hilir.
Semua sudah tahu, kalau musim hujan adalah waktu yang tepat dalam mengantisipasi sumber kebakaran atau dapat digunakan sebagai gudang air untuk menghadapi musim panas sehingga pemerintah tidak kewalahan lagi menghadapi musim kabut asap setelah pola musim hujan lewat terutama ketika masuk pada bulan April ke depan sehingga gambut memiliki cadangan air dapat mengurangi dampak kekeringan.
Kemana antisipasi lainnya berupa aturan untuk mencegah kebakaran dan aturan untuk penurunan emisi global Indonesia? Target penurunan emisi versi era SBY tahun 2020 rasanya sudah terlambat. Target versi Jokowi emisi turun sebelum 2025 masih ada waktu namun tetap lambat dengan munculnya kabut asap lebih awal di tahun 2016. Pemerintah di era Jokowi-JK terlalu terburu-buru dalam mengantisipasi perkembangan dalam negeri dan lebih memusatkan perkembangan global. Membubarkan Lembaga REDD+ dan Dewam Nasional Perubahan Iklim di bawah kendali kementerian dengan alasan efesiensi, Namun sebenarnya pemerintah selama ini dinilai sebagai sumber masalah kehutanan dengan kebijakan perijinan yang dikeluarkan yang menyebabkan banyak dampak bencana dan mungkin sebagai pembunuh utama kota-kota di Indonesia.
M. Anwar Siregar
Geologist. Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer

No comments:

Post a Comment

Related Posts :