Jun 1, 2016

Udara Semakin Panas

UDARA SEMAKIN PANAS DAN TERCEMAR


(Analisa/ferdy) FENOMENA HALO: Lingkaran cahaya disekitar matahari atau lebih dikenal fenomena halo/optis diakibatkan oleh kristal es pada awan cirrus di lapisan troposfer. Cahaya matahari yang terik direfleksikan oleh permukaan awan akibat penguapan yang tinggi.
Oleh: M Anwar Siregar.

Udara Indonesia dalam beberapa dekade terakhir ini telah mengalami pencemaran sangat tinggi akibat bencana ekologis dan peningkatan penggunaan energi serta transportasi yang tidak berbasis energi dan ekologi hijau. Selain itu, penataan tata ruang industri tidak berwawasan lingkungan, sehingga polusi yang dihasilkan industri menjadi salah satu penyebab perubahan iklim global.
Saat ini, belum dikembangkan proses pembuang hasil industri seperti limbah pertambangan dan industri kertas serta industri lainnya yang menghasilkan kondisi lingkungan yang ramah dan berkelanjutan. Umumnya, buangan produk industri lebih banyak dibuang ke sungai dan lautan yang dianggap sebagai tong sampah.
Dampaknya membuat sungai dan lautan menjadi tercemar dan tak mampu menguraikan, apalagi mengurangi penyerapan emisi yang ditimbulkan dari hasil produk industri. Akibatnya kita mengalami panas yang sangat mengerikan, dan menimbulkan dampak bencana turunan yang tidak bisa ditekan.
Peningkatan besaran turunan bencana telah memberikan rangsangan tambahan panas bagi laut dan sungai-sungai besar yang banyak membelah tata ruang kota besar di Indonesia. Ini mungkin tidak bisa diubah, dan akan menyebabkan terjadinya distabilitas kerak bumi dan memantulkan kembali ke udara. Kemudian terjadi perubahan iklim. Bahkan dapat memberikan stimulus bagi kekuatan tanah, sehingga dapat menimbulkan gerakan tanah atau longsoran serta banjir.
Dampak pemanasan global pun dapat dirasakan di wilayah udara Indonesia saat ini. Beberapa kota besar yang dulunya memiliki udara sejuk, kini menjadi panas dalam 10 tahun terakhir. Hal ini akibat peningkatan suhu ekstrim 0.2-05 derajat celcius di wilayah khatulistiwa di Asia Tenggara dan Pasifik. Beberapa kota atau desa yang selama ini menjadi lumbung pangan, kini menjadi lumbung banjir dan kekurangan pangan dan air bersih.
Beberapa wilayah Indonesia selama ini dianggap aman dari bencana alam, kini menjadi daerah yang rawan bencana akibat perubahan tata ruang lingkungan. Tidak mengherankan, setiap hari kita melihat berita bencana. Sebagian kita belum siap menghadapi berbagai resiko bencana. Itulah sebabnya mengapa langit udara Indonesia sering bergejolak dalam 20 tahun terakhir dan menimbulkan banyak korban jiwa.
Panas Tercemar
Sebuah peringatan bagi kita untuk menjaga kelestarian alam, baik di darat, air dan udara maupun di bawah permukaan bumi. Mengapa demikian? Karena konsekuensi ekstrim perubahan global khususnya bagi Indonesia yang berada di jantung khatulistiwa sebagai penjaga keseimbangan paru-paru bumi yang memiliki karakteristik hutan untuk menjaga efek regional perubahan iklim.
Namun, yang terjadi saat ini, kita merasakan seperti ada sesuatu yang siap mengobarkan bahaya akibat peningkatan pembakaran hutan yang mencapai 2 juta hektar dari Sabang sampai Merauke. Pemanasan global di udara sudah sangat mengganggu pola hujan yang kadang tidak teratur. Ini telah berlangsung sejak akhir tahun 90-an dan menyebabkan banjir di berbagai kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Medan, Bandung, Semarang dan Manado.
Semua bencana pencemaran udara seperti emisi CO2 akibat pembakaran lahan dan hutan yang telah berlangsung bertahun-tahun di Indonesia berdampak pada sektor pertanian dan kesehatan. Sehingga menimbulkan gejolak sosial sebagai akumulasi perpindahan massal penduduk karena daerahnya dianggap tidak layak di huni lagi. Efek turunan bencana ini menghasilkan bencana lagi, yaitu penggurusan lahan-lahan hijau, perubahan tata ruang wilayah, terbentuknya kawasan kumuh di lahan rawan bencana dan distabilitas kondisi tanah semakin rentan mengalami bencana. Gangguan tata ruang air, juga menimbulkan berbagai polusi yang tidak sehat bagi ruang publik, penyakit mengancam berbagai elemen lingkungan.
Langit udara Indonesia memang tidak sehat saat ini, apalagi jika dihubungkan dengan bencana ekologis yang sudah berlangsung 10 tahun terakhir, dipicu perubahan lapisan ozon yang semakin mudah menerobos bumi. Perluasan kebun kelapa sawit, penggundulan hutan dan perubahan tata ruang hijau akibat eskalasi pertumbuhan ekonomi dalam 10 tahun meningkat tingkat bahayanya terutama dampak CO2 beserta kawan-kawannya tanpa surut waktu dari 2.1 % hingga sebesar 5 %  dan Indonesia adalah investasi terbesar penghasil ekspor emisi terbesar dunia.
Emisi Asap
Panas dan tercemar udara dan bumi Indonesia adalah dampak utama dari eskalasi pertumbuhan ekonomi yang tidak berbasis hijau berkelanjutan, yang berkelanjutan adalah bencana untuk kita dan bencana untuk bumi serta bencana kembali kepada kita semuanya yang ada di alam semesta. Sebab, polutan hitam itu efeknya bukan saja diatas daratan tetapi juga dalam bentuk sampah-sampah antariksa yang terlumaskan dalam berbagai jenis bahan bakar, melayang dan terbakar di lapisan stratosfer dan tumpahan oli pesawat yang mengalami kerusakan dan jatuh ke bumi. 
Melemahnya perekonomian global, dapat memicu berkurangnya pengawasan reklamasi kawasan hijau dan menimbulkan musim panas berkepanjangan. Sejumlah aksi penghematan energi ternyata belum membudaya di Indonesia ikut juga mempercepat kerusakan iklim global dan membuat kondisi udara Indonesia semakin berbahaya bagi kesehatan, lalu memicu terjadinya peningkatan biaya sosial bagi masyarakat dan pemerintah.
Sungguh luar biasa efek asap berkelanjutan di udara Indonesia. Standart emisi CO2 belum begitu ketat dipraktekan dalam pengeluaran izin konsesi lahan perkebunan, pertambangan dan industri transportasi sehingga tidak mudah melihat langit yang biru dan menyejukan di beberapa kota Indonesia karena lingkungan penyerap energi kotor telah berkurang, RTH dan lahan pertanian abadi kini seperti telah mulai “memudar keindahannya”.
Kondisi iklim udara Indonesia bukan saja Indonesia yang merusaknya, tetapi juga negara maju yang melakukan pembiaran politik lingkungan yang tidak adil bagi negara berkembang dengan terlihat peningkatan emisi CO2 terbesar masih dipegang negara maju, Dalam hal ini adalah Amerika Serikat dengan emisi sebesar 17.3 ton per kapita pada tahun 2012, lalu Tiongkok dengan CO2 mencapai 9.1 % pada tahun 2012 dan 2015 lalu India dengan emisi sebesar 6 %.
Terjadinya kabut asap di Sumatera, Kalimantan dan Papua serta kebakaran hutan akibat musim kemarau di Jawa dan Sulawesi baru-baru ini, setidaknya Indonesia telah mengekspor karbon sekitar 600 juta ton gas rumah kaca yang akan memperparah keadaan. Lapisan ozon semakin terbuka lebar di garis kahatulistiwa. Sehingga akan mempercepat berbagai fenomena badai tropis di kawasan Asia Tenggara, Asia Selatan dan Pasifik.
Mitigasi Udara
Dalam konsteks mitigasi, pencemaran udara di Indonesia saat ini paling buruk di dunia. Aksi pemerintah mengurangi dampak emisi terkesan lambat. Itu diperlihatkan oleh berjuta-juta ton emisi terinjeksi ke udara. Pemerintah Indonesia harus bertindak keras menekan kerusakan udara dengan melakukan berbagai upaya. Antara lain memperketat izin pembuangan limbah, pengawasan penggunaan zat-zat kimia beracun di berbagai sektor, pengawasan Amdal dan reklamasi.
Kemudian mengawasi perubahan tata ruang lingkungan serta melakukan perhitungan emisi dan cadangan karbon tiap daerah yang telah tercemar secara terus menerus, menekan resiko emisi karbon yang terus meningkat dengan meregulasi energi hijau dan konservasi energi agar resiko emisi tidak mengganggu peradaban manusia di bumi.
(Penulis adalah Enviromental Geologist, pemerhati masalah tata ruang lingkungan dan energi-geosfer)
Diterbitkan di Harian ANALISA MEDAN, Tgl 24 April 2016

No comments:

Post a Comment

Related Posts :